Hukum mengembalikan barang yang sudah diberikan dalam Islam

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Kita kembali lanjutkan pembahasan kaidah seputar jual beli.  Kita bahas kaidah kelima belas.

Kaidah kelima belas, terkait hukum asal dalam transaksi jual beli, barang diterima dengan selamat

Kaidah menyatakan,

الاصل مضي العقد على السلامة

Pada prinsipnya, semua barang yang diterima dalam keadaan selamat ketika akad

Keterangan:

Yang dimaksud selamat di sini adalah terbebas dari aib dan cacat yang berpengaruh mengurangi nilai barang. Jika dalam barang itu ada cacat yang mempengaruhi nilainya, maka barang itu dianggap tidak selamat.

Kaidah ini memiliki posisi penting dalam muamalah maliyah. karena menjadi salah satu rujukan untuk menentukan siapa yang berhak ketika terjadi sengketa. kaidah ini secara umum merupakan turunan dari prinsip mengambil yang dzahir (yang nampak), dalam setiap kasus maupun ucapan.

Al-Kasani mengatakan,

الدليل على أن السلامة مشروطة في العقد دلالة أن السلامة في البيع مطلوبة المشتري عادة إلى آخره لأن غرضه الانتفاع بالمبيع ولا يتكامل انتفاعه إلا بقيد السلامة

Bukti bahwa barang bebas cacat adalah syarat akad secara prinsip, karena barang bebas cacat, itu yang diinginkan pembeli. Karena tujuannya adalah memanfaatkan barang. Sementara dia tidak bisa memanfaatkan dengan baik, kecuali jika barang bebas dari cacat. (Bada’i as-Shana’i, 5/274).

Untuk itulah, ketika pembeli telah menerima barang, asumsinya, barang ini bebas dari cacat. Jika ternyata barang ini memiliki cacat, berarti asumsi itu tidak benar, sehingga pembeli punya hak mengembalikan barang.

Dalam Ensiklopedi Kaidah Fiqh Mumalah Maliyah dinyatakan

وإنما ثبت خيار العيب؛ لان الأصل في المعقود عليه السلامة باتفاق الشرع والعقل؛ وعلى هذا تعامل الناس في كل زمان

Adanya khiyar aib, karena hukum asal dari objek akad adalah diterima dengan selamat. Bisa dipahami secara syariat dan sesuai logika. Dan inilah yang menjadi tradisi masyarakat dalam bertransaksi dari zaman ke zaman. (Jamharah al-Qawawid al-Fiqhiyah fi al-Muamalah al-Maliyah, 270)

Ini seperti yang dinyatakan al-Baji – ulama Malikiyah -,

إن إطلاق العقد يقتضي السلامة؛ وإن لم ينص عليها؛ فإن اطلع بعد على عيب كان له الرد…

Ketika akad telah dilakukan, barang harus dalam kondisi selamat dari aib, meskipun tidak ada kesepakatan. Sehingga jika setelah itu pembeli melihat ada aib, maka dia punya hak untuk mengembalikan. (al-Muntaqa Syarh al-Muwatha’, 4/183).

Beberapa Penerapan Kaidah

Kasus pertama, Pembeli mengklaim bahwa dirinya tidak serius ketika melakukan akad

Jika pembeli mengklaim bahwa dia tidak serius ketika melakukan akad, dan dengan ini dia beralasan untuk mengembalikan barang, maka alasannya tidak bisa diterima. Karena pada asalnya, transaksi terjadi dengan baik (as-Salamah), tidak ada penipuan, dan barang diterima dengan baik. Kecuali jika dia punya bukti yang mendukung pernyataannya.

Dalam al-Mughni dinyatakan,

ومن أقر بحق ثم ادعى أنه كان زائل العقل حال إقراره؛ لم يقبل قوله إلا ببينة؛ لأن الأصل السلامة حتى يعلم غيرها

Siapa yang menyetujui hak tertentu, kemudian dia mengklaim bahwa ketika menyetujui dia tidak sadar, maka klaimnya tidak bisa diterima, kecuali dengan bukti. Karena hukum asalnya adalah akad itu berlangsung selamat (sukses) sampai diketahui ada kondisi yang berbeda. (al-Mughni, 5/271).

Kasus kedua, komplain adanya aib dari pembeli

Jika pembeli mengembalikan barang karena adanya aib pada barang

Di sana ada 3 rincian:

Pertama, Cacat itu murni dari kesalahan pembeli. Dia tidak berhak mengembalkan barang yang telah dia beli.

Kedua, Cacat yang bisa dipastikan dari penjual, misalnya orang beli buku, ternyata ada bagian halaman yang kurang. Atau ada bagian yang tidak sesuai spec yang disebutkan ketika akad.

Ketiga, Cacat tidak jelas kapan munculnya. Pembeli komplain, sementara penjual tidak menerimanya.  Siapakah yang dimenangkan dalam kasus ini?

Ulama berbeda pendapat dalam kasus ini. Dalam madzhab hambali ada 2 pendapat,

[1] yang dimenangkan adalah pembeli.

Sehingga pembeli cukup bersumpah bahwa cacat itu sudah ada sejak dari penjual. Ini merupakan pendapat al-Kharqi (w. 334 H).

[2] yang dimenangkan penjual

Sehingga penjual cukup bersumpah bahwa cacat itu dari pembeli. Dan ini pendapat yang lebih kuat. Dengan alasan:

  1. Hukum asal transaksi, barangnya selamat bebas cacat. Jika ada klaim cacat yang tidak jelas, dikembalikan kepada hukum asal, bahwa barang diterima dengan selamat.
  2. Dinyatakan dalam kaidah,

الأصل إضافة الحادث إلى أقرب أوقاته عند الإختلاف في التاريخ

Hukum asalnya, kejadian dikembalikan kepada waktu yang paling dekat, ketika terjadi perbedaan dalam menetapkan waktunya.

Karena barang ini baru diterima oleh pembeli maka kejadian dikembalikan kepada pembeli.

Kasus ketiga, jual beli dengan syarat bebas komplain (Ba’i bi Syarth al-Bara’ah)

Ketika penjual mengajukan syarat kepada pembali untuk lepas tangan dari setiap aib barang, dan pembeli menerimanya, apakah penjual bisa bebas dengan syarat ini? Bolehkah  pembeli mengajukan hak khiyar?

Ada dua keadaan dalam hal ini

Pertama, Pembeli telah mengetahui cacat barang atau cacat itu sangat jelas, maka penjual bebas dari cacat ini

Kedua, Pembeli tidak tahu cacat, sementara penjual lepas tangan  dari semua aib, hukum yang berlaku ada 2:

[a] Cacat yang sama-sama tidak diketahui, penjual lepas tangan. Karena pembeli telah menerima semua kondisi barang.

[b] Cacat yang diketahui penjual, sementara dia diam dan merahasiakannya. Sehingga pembeli tetap berkewajiban menerima hak khiyar aib. Karena dengan menyembunyikan aib, termasuk penipuan.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina PengusahaMuslim.com)

PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

    • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
    • DONASI hubungi: 087 882 888 727

Hukum mengembalikan barang yang sudah diberikan dalam Islam

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28

Hukum mengembalikan barang yang sudah diberikan dalam Islam
Hukum mengembalikan barang yang sudah diberikan dalam Islam

Setelah hubungan berakhir, tidak jarang banyak orang yang bingung harus berbuat apa terhadap benda yang memiliki kenangan manis dengan mantan Anda. Bahkan, mengembalikan barang pemberian mantan kerap kali menjadi solusi agar cepat move on. Lantas, apa yang sebenarnya harus dilakukan terhadap barang pemberian mantan?

Sebenarnya, soal perlu atau tidaknya mengembalikan barang pemberian mantan bergantung pada Anda dan pasangan, juga status barang itu. Apabila benda itu statusnya dipinjamkan, sudah barang tentu Anda harus mengembalikannya.

Misalnya saja, ketika Anda bepergian bersama mereka, mantan Anda meminjamkan jaket atau pakaian sebagai baju ganti saat itu. Jika ini yang terjadi, sebaiknya barang ini segera dikembalikan.

Meski sah-sah saja untuk meminjam barang dari orang lain yang bukan kekasih, meminjam barang dari mantan tentu akan membuat Anda semakin sulit untuk melangkah maju.

Mengembalikan barang pemberian mantan juga perlu Anda lakukan sebagai bentuk kesopanan.

Yang biasanya jadi soal adalah jika pemberian dari mantan ini sifatnya adalah hadiah. Sebenarnya, barang dari mantan yang memang ditujukan sebagai hadiah tidak perlu dikembalikan lagi.

Mengembalikannya justru akan membuat suasana di antara Anda dan mantan jadi makin canggung.

Akan tetapi, tak mengembalikannya mungkin membuat Anda berpikir akan semakin sulit untuk lepas dari memori manis tentangnya. Jika itu yang terjadi, masih ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan selain mengembalikannya.

Tak harus dikembalikan, begini cara memperlakukan barang pemberian mantan

Terkadang, barang apa pun, terlebih itu pemberian mantan akan sangat sulit untuk membuangnya. Perasaan sayang, merasa ada yang lain yang membutuhkan, masih bisa dipakai, sampai kenangan yang ada mungkin membuat Anda tak tega memasukkannya ke tempat sampah.

Di sisi lain, Anda juga tak mau melihat benda tersebut. Nah, beberapa strategi berikut dapat Anda terapkan agar pemberian mantan tidak melulu terbuang sia-sia.

Hukum mengembalikan barang yang sudah diberikan dalam Islam
Sumber: Honey Kids

Mengembalikan barang pemberian mantan mungkin hanya akan membuat Anda terlihat kekanak-kanakan. Namun, melihatnya membuat Anda sulit move on.

Nah, salah satu cara agar barang dari mantan tidak sia-sia adalah dengan memberikan kepada yang lebih membutuhkan.

Selain dapat mempercepat proses move on Anda, mendonasikan barang seperti ini juga membuat hati Anda merasa lebih baik karena dapat membantu orang lain.

Cobalah untuk mulai memilah hadiah dari mantan Anda yang kondisi dan fungsinya masih layak.

Setelah itu, barulah Anda bisa mengunjungi beberapa tempat yang menerima donasi, seperti pakaian, buku, atau barang elektronik.

2. Menjualnya

Tidak hanya melalui donasi, Anda pun bisa menjual barang pemberian mantan yang mungkin terlalu mahal untuk diberikan secara cuma-cuma kepada orang lain.

Contohnya, jam tangan bermerek. Entah sebagai hadiah ulang tahun atau hadiah biasa, Anda mungkin bisa menjualnya jika tak mau lagi memakainya. Terlebih jika kondisinya masih sangat baik.

3. Membuang barang tersebut

Pilihan terakhir yang bisa Anda lakukan terhadap hadiah dari mantan Anda adalah membuangnya. Terlebih lagi, jika benda tersebut sudah tidak lagi layak pakai dan tidak mungkin Anda donasikan kepada orang lain karena terlalu personal.

Pilihlah barang-barang yang mungkin memang tidak akan Anda pakai dan kenangan mantan sangat melekat erat di dalamnya. Dengan membersihkan beberapa benda tersebut, setidaknya dapat mengurangi hal-hal yang membuat Anda teringat dengan berbagai memori manis dan pahit dengan mantan.

Sebenarnya, barang pemberian mantan adalah hadiah untuk Anda. Anda tak perlu mengembalikan karena hadiah berarti barang pemberian mantan itu menjadi milik Anda. Anda bebas berbuat apa saja terhadap barang tersebut.

Jika menyimpannya hanya membuat Anda semakin sulit untuk melupakan mantan, melakukan berbagai cara di atas adalah wajar sehingga Anda tak lagi sulit untuk move on.

Sumber Foto: Videoblocks

Hello Health Group tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.