Samuel bentham menggunakan standarisasi bentuk dan ukuran untuk membangun produk

A.    HUKUM ALAM
Aliran hukum alam atau yang biasa disebut mazhab hukum alam telah berkembang sejak kurun waktu 2.500 tahun yang lalu.[1] Aliran ini berpendapat bahwa hukum itu berlaku  universal dan abadi.[2] Dilihat dari sejarahnya, menurut Friedmann aliran ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut.[3] Berdasarkan sumbernya,  hukum alam dapat di bedakan dalam dua macam, yaitu:[4]
1.   Hukum alam irrasional
Aliran hukum alam yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung.[5] Pendukung aliran hukum alam yang irasional ini antara lain adalah Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wycliffe.[6]
Thomas AquinasThomas Aquinas adalah seorang rohaniawan gereja Katolik yang lahir di Italia.[7] Pemikiran Thomas Aquinas yaitu ia mengakui bahwa di samping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal, menurutnya ada pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal, dan untuk itulah diperlukan iman.[8] Sekalipun akal manusia tidak dapat memecahkan misteri, ia dapat meratakan jalan menuju pemahaman terhadapnya. Dengan demikian menurut Aquinas ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitu pengetahuan alamiah yaitu pengetahuan yang berpangkal pada akal dan pengetahuan iman yaitu pengetahuan yang berpangkal pada wahyu ilahi.[9] Dalam buku-bukunya yang sangat terkenal yaitu Summa Theologica dan De Regimene Principum, Thomas Aquinas membentangkan pemikiran hukum alamnya yang banyak mempengaruhi geraja dan bahkan menjadi dasar pemikiran gereja hingga kini, Thomas Aquinas membagi hukum menjadi empat golongan yaitu yang pertama Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala sumber. Rasio ini tidak dapat di tangkap oleh panca indera manusia, yang kedua yaitu lex Divina, bagian daripada rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya, ketiga Lex Naturalis, yaitu hukum alam yang merupakan penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia dan yang terakhir yaitu Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia, hukum positif ini terdiri atas hukum positif yang dibuat oleh Tuhan seperti yang terdapat di dalam kitab-kitab dan hukum positif yang dibuat oleh manusia.[10] 
John SalisburySalisbury adalah seorang rohaniawan pada abad pertengahan, ia banyak mengkritik kesewenangan penguasa waktu itu, menurutnya gereja dan negara perlu bekerja sama ibarat hubungan organis antara jiwa dan raga.[11] Dalam menjalankan pemerintahan, penguasa wajib memperhatikan hukum tertulis dan tidak tertulis (hukum alam) sedangkan tugas rohaniawan adalah membimbing penguasa agar tidak merugikan kepentingan rakyat.
Dante AlighieriPada abad pertengahan Jerman maupun Perancis menghadapi perselisihan dengan kekuasaan Paus di Roma, Dante amat menentang penyerahan kekuasaan duniawi kepada gereja, baginya keadilan baru dapat ditegakkan apabila pelaksanaan hukum diserahkam kepada satu tangan saja yaitu pemerintahan yang absolut.[12]
Piere DuboisDubois adalah salah satu filsuf terkemuka Prancis, sama halnya dengan Dante, Dubois menyatakan bahwa penguasa atau raja dapat langsung menerima kekuasaan dari Tuhan tanpa perlu melewati pemimpin gereja, bahkan Dubois ingin kekuasaan duniawi gereja (paus) dicabut dan diserahkan sepenuhnya kepada raja[13]
Marsilius Padua dan Wiliam OccamPadua berpendapat bahwa negara berada diatas kekuasaan Paus, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, selain itu juga Padua berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk memajukan kemakmuran dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara agar dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Dengan demikian, hukum harus mengabdi kepada rakyat bahkan rakyat pula yang berwenang memilih pemerintahannya, rakyat boleh menghukum penguasa yang melanggar undang-undang termasuk memberhentikannya, menurut Padua kekuasaan raja bukanlah kekuasaan yang absolut melainkan dibatasi oleh undang-undang.[14] Selanjutnya Wiliam Occam mengatakan bahwa hukum itu adalah identik dengan kehendak mutlak Tuhan.[15] Rasio manusia tidak dapat memastikan suatu kebenaran, pengetahuan (ide) yang ditangkap oleh rasio hanyalah nama-nama (nomen, nominal) yang digunakan manusia dalam hidupnya
John Wycliffe da Johannes HussJohn Wycliffe juga menyoroti masalah kekuasaan gereja. Ia menolak hak-hak paus untuk menerima upeti dari Raja Inggris. Wycliffe mengibaratkan hubungan antara kekuasaan Ketuhanan dan kekuasaan duniawi seperti hubungan antara pemilik dan penggarap tanah. Masing-masing memiliki bidangnya sendiri, sehingga tidak boleh saling mencampuri.[16] Huss melengkapi pemikiran dari Wycliffe, Huss mengatakan bahwa gereja tidak perlu mempunyai hak milik, karena itu penguasa boleh merampas milik itu apabila gereja salah menggunakan haknya. Menurut Huss, paus dan hirarki gereja tidak diadakan menurut perintah Tuhan, namun gereja yang sebenarnya dibentuk oleh semua orang yang beriman.[17]
2.     Hukum Alam Rasional
Tokoh-tokoh pendukung pemikiran aliran hukum alam rasioanal yaitu Hugo de Groot, Samuel von Pufendorf, Christian Thomasius dan Immanuel Kant.
a.     Hugo de Groot alias Grotius
Hugo Grotius adalah seorang humanis yang ternama dalam zamannya. Ia memegang jabatan-jabatan sebagai ahli hukum dan negarawan.[18] Bukunya yang terkenal adalah tentang hukum damai dan perang, lalu buku tentang hukum alut bebas. Judul-judul buku ini memperlihatkan bahwa Grotius berjasa bagi perkembangan hukum terutama hukum internasional.[19] Maka Grotius ini dikenal dengan sebagai Bapak Hukum Internasional. Menurut Grotius sumber hukum adalah rasio manusia, karena karakteristik yang memebedakan manusia dengan mahluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan manusia harus berdasarkan pada kemampuan akal (rasio) itu.[20] Hukum alam menurut Grotius adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia, hukum alam ini tidak mungkin dapat diubah secara ekstrim, bahkan oleh Tuhan sekalipun[21]
b.     Samuel von Pufendorf dan Christian Thomasius
Pufendorf berpendapat bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang murni. Dalam hal ini unsur naluriah manusia lebih berperan akibatnya ketika manusia mulai hidup bermasyarakat timbul pertentangan kepentingan satu dengan lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan terus menerus dibuatlah perjanjian sukarela di antara rakyat, baru setelah itu diadakan perjanjian berikutnya, berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Dengan adanya perjanjian itu berarti tidak ada kekuasaan yang absolute, semua kekuasaan dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan dan tujuan dari negara yang didirikan.[22] Sementara menurut Thomasius, manusia hidup dengan bermacam-macam naluri yang bertentangan satu dengan yang lainnya, karena itu diperlukan baginya aturan-aturan yang mengikat agar ia mendapat kepastian dalam tindakan-tindakannya baik kedalam maupun keluar.[23]
c.     Immanuel Kant
Kant dikenal sebagai filsafat yang kritis,. Kehidupan Kant dapat dibagi atas dua periode yakni zaman praktisi dan zaman kritis. Dalam zaman praktisi Kant menganut pendirian rasionalistis, namun berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalismenya dan mengubahnya menjadi pandangan yang bersifat kritis.[24]
Hukum alam tumbuh di Yunani dan Romawi, perbedaan pokok antara pemikiran yang tumbuh di Yunani dengan pemikiran yang tumbuh di Romawi adalah bahwa pemikiran Yunani tentang hukum lebih bersifat teoritis dan filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih menitik beratkan pada hal-hal yang praktis dan dikaitkan pada hukum positif.[25] 
Tokoh-tokoh yang terkenal pada zaman Yunani yaitu Plato dan Aristoteles. Plato menganut pandangan bahwa negara seharusnya dipimpin oleh para cendikiawan yang bebas dan tidak terikat pada hukum positif tetapi pada keadilan.[26] Buku yang ditulis Plato yang sangat terkenal yaitu Politeia dan Nomoi, di dalam buku Politeia melukiskan suatu model tentang negara yang adil, dimana negara harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya supaya adil, sedangkan dalam buku Nomoi, Plato mengatakan bahwa petunjuk bagi dibentuknya suatu tata hukum yang membawa orang-orang kepada kesempurnaan, yaitu peraturan-peraturan yang berlaku supaya ditulis dalam suatu buku perundang-undangan, kalau tidak penyelewengan dari hukum sulit dihindarkan.[27] Selain Plato pada zaman Yunani dikenal juga filsafat terkenal yaitu Aristoteles. Aristoteles adalah murid dari Plato. Sumbangan Aristoteles yang paling penting terhadap teori hukum adalah formulasi tentang problem esensial dari keadilan, formulasi tentang perbedaan antara keadilan yang abstrak dengan equity dan yang terakhir uraian tentang perbedaan keadilan hukum dan keadilan alamiah (seperti hukum positif dan hukum alam).[28] Tentang formulasi mengenai problem esensial keadilan yang telah disebutkan tadi di atas, Aristoteles membuat perbedaan antara keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif adalah tentang soal pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Keadilan ini menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedudukan yang sama memperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan hukum.[29] Sedangkan keadilan korektif adalah yang menetapkan kriteria dalam melaksanakan hukum sehari-hari yaitu kita harus mempunyai standar umum untuk memulihkan akibat tindakan yang dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain.[30]
Tokoh yang banyak mengemukakan pemikirannya tentang hukum alam pada zaman Romawi adalah Cicero. Cicero mengajarkan tentang konsep a true law (hukum yang benar) yang disesuaikannya dengan right reason (penalaran yang benar) serta sesuai dengan alam dan yang menyebar diantara kemanusian dan sifatnya immutable dan eternal.[31] Cicero juga berpendapat bahwa kita lahir untuk keadilan hukum. Hukum tidaklah didasarkan pada opini tetapi pada man’s very nature.[32] Selain Cicero sebagai salah seorang tokoh pemikir di zaman Romawi maka ada salah seorang pemikir Romawi yang terkenal yaitu Gaius. Gaius membedakan antara ius civile dan ius gentium. Ius civile adalah hukum yang bersifat khusus pada suatu negara tertentu, sedangkan ius gentium adalah hukum yang berlaku universal yang bersumber pada akal pikiran manusia.[33]
Friedmann mengemukakan bahwa meskipun kini tidak mungkin lagi menerima berlakunya hukum alam sebagai aturan, tetapi selama sejarahnya, hukum alam telah memberikan sumbangan bagi kehidupan hukum dewas ini, sumbangan itu adalah:[34]
1.     Berfungsi sebagai instrumen utama di dalam pentransformasian hukum perdata Romawi Kuno menjadi suatu sistem yang lebih luas dan bersifat cosmopolitan
2.     Ia telah menjadi senjata yang digunakan oleh kedua pihak dalam pertarungan antara pihak gereja dengan pihak kekaisaran Jerman
3.     Atas nama hukum alam lah maka kevaliditasan dan hukum internasional dapat ditegakkan
4.     Prinsip-prinsip hukum alam juga telah menjadi senjata dari para hakim Amerika ketika mereka membuat interpretasi terhadap konstitusi mereka, yaitu dengan cara menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk melakukan pembatasan di bidang ekonomi
5.     Hukum alam telah menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan keabsolutan.
 
Hukum alam dapat dibedakan atas hukum alam sebagai metode dan hukum alam sebagai substansi. Hukum alam sebagai metode yaitu usaha untuk menciptakan aturan-aturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang berbeda-beda, ia tidak mengadung kaidah, tetapi ia hanya mengajarkan bagaiman membuat aturan yang baik, sedangkan hukum alam sebagai substansi merupakan hukum alam yang memuat kaidah-kaidah, ia menciptakan sejumlah besar aturan-aturan yang dilahirkan dari beberapa asas yang absolute sifatnya, yang lazim sikenal sebagai hak asasi manusia.[35]
Perkembangan hukum alam mengalami kemunduran di sekitar abad ke-16 dan muncul kembali pada abad ke-19,oleh seorang bangsa Jerman yang bernama Rudolf Stammler. Stammler memberikan pokok-pokok pikirannya mengenai hukum alam sebagai berikut:[36]
1.     Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil
2.     Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan untuk menentukan kebenaran yang relative dari hukum dalam setiap situasi
3.     Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan membawanya lebih dekat pada tujuannya
4.     Hukum adalah suatu struktur yang sedemikian rupa, kita harus mengabstraksikan tujuan-tujuannya pada kehidupan sosial yang nyata
5.     Dengan bantuan analisis yang logis, kita akan menemukan asas penyusunan hukum tertentu yang mutlak sah, yang akan memandu dengan aman dalam memberikan pengakuan oleh hukum dan bagaimanakah tujuan tersebut berhubungan satu sama lain secara hukum 
 
Kalau mencermati secara seksama mengenai hukum alam yang dikemukan oleh beberapa pakar diatas, maka pada prinsipnya hukum alam bukanlah suatu jenis hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat para ahli hukum, kemudian diberikan sebuah label yang bernama hukum alam. Hal ini sejalan dengan pandangan Satjipto Rahardjo yang mengatakan bahwa istilah hukum alam ini didatangkan dalam berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, hakikat hukum alam merupakan hukum yang berlaku universal dan abadi, sebab menurut Friedmann sejarah hukum alam adalah sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang disebut absolute justice di samping kegagalan manusia dalam mencari keadilan.[37]
 
B.    POSITIVISME
Positivisme hukum sering dikenal dengan dengan aliran hukum positif, yang mana aliran ini perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral  atau dengan kata lain memisahkan antara das sein dengan das sollen. Tokoh-tokoh dalam aliran ini yaitu : John Austin, Hans Kelsen, L.A Hart, dan Auguste Comte. Positivisme hukum dapat dibedakan dalam empat corak, yaitu sebagai berikut:
1.   Aliran Hukum Positif Analitis
Aliran ini diperkenalkan oleh John Austin pada tahun 1790 sampai dengan tahun 1859. Menurut Austin, hukum adalah perintah dari penguasa Negara, dimana ‘penguasa’ ini merupakan hakekat dari hukum itu sendiri dan hukum adalah perintah pihak yang berdaulat. Bagi Austin, ‘No law no sovereign, and no sovereign, no law’.[38] Selain itu, menurut Austin, hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. [39]Austin membedakan hukum dalam dua jenis, yaitu: [40]
a.   Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws); dan
b.  Hukum yang dibuat oleh manusia, yang dibedakan lagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1)  Hukum yang sebenarnya atau yang dikenal dengan hukum positif, meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum ini memiliki empat unsur yaitu perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (sovereignity).
2)  Hukum yang tidak sebenarnya yaitu hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum.
Konsep kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menurut ajaran Austin ini menunjuk pada suatu atribut negara yang bersifat internal maupun eksternal. Sifat Eksternal dari kedaulatan negara tercermin pada hukum internasional, sedangkan sifat internal tercermin pada hukum positif. [41]
 
2.  Aliran Hukum Murni
      Aliran ini diperkenalkan oleh Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, dan etis. Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dengan demikian, hukum yang dipakai itu adalah hukum positif (ius constitutum), bukan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).[42]
      Pemikiran Hans Kelsen sangat dekat dengan pemikiran John Austin. Yang membedakan adalah Hans Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantianisme, sedangkan John Austin pada Utilitiarisme. Bagi Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk bukan berurusan dengan isinya atau materi, yang mana bentuknya ditentukan oleh penguasa sebagai pembuat hukum tersebut. Selain itu menurut Hans Kelsen, hukum positif dapat menjadi tidak efektif lagi di dalam  masyarakat apabila kepentingan masyarakat yang diatur dengan hukum positif tersebut sudah tidak ada lagi. [43]
      Terdapat suatu dualisme antara doktrin hukum positif dengan hukum alam. Diatas hukum positif yang tidak sempurna, terdapat hukum alam yang sempurna, yang mana hukum positif hanya teruji kebenarannya hanya sepanjang bersesuaian dengan hukum alam.[44] Peraturan hukum sebagai wujud dari hukum positif merupakan bentuk logis dari hukum alam. Peraturan hukum dalam pengertian deksriptif adalah suatu pertimbangan hipotetik yang melakatkan konsekuensi-konsekuensi tertentu pada kondisi tertentu. Perbedaan antara peraturan hukum dengan hukum alam yaitu peraturan hukum menunjuk kepada manusia dan perbuatannya sedangkan hukum alam menunjuk kepada kebendaan dan reaksinya. [45]
      Selain dikenal sebagai pencetus teori hukum murni, Hans Kelsen juga mengajarkan suatu teori yang dinamakan Teori Jenjang (Stufentheorie). Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida, dimana norma yang paling tinggi yaitu norma yang ada di puncak piramida yang dikenal dengan norma dasar (Grundnorm). Teori jenjang ini kemudian dikembangkan oleh murid Hans Kelsen yang bernama H. Nawiasky. Nawiasky hanya mengkhususkan pembahasannya sebagai norma hukum, dimana sebagai penganut aliran hukum positif, hukum indentik dengan suatu peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa. Ajaran dari Hans Kelsen dan Nawiasky inilah yang saat ini dianut oleh sistem hukum yang ada di Indonesia, dimana Undang-Undang Dasar 1945 sebagai norma dasar sistem hukum Indonesia. [46]
 
3. Positivisme Sosiologis
    Ajaran ini diinspirasi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte sebagai bapak sosologi moderen mengajarkan bahwa hukum mutlak yang harus hidup bersama dengan manusia dan gejala sosialnya. Menurut Comte, hukum tampak dalam tiga perkembangan yang dilalui oleh masyarakat, yaitu: [47]
a.   Tahap Teologis, dimana manusia percaya pada kekuatan Tuhan dibelakang gejala alam;
b.  Tahap Metafisis, dimana terdapat kritik terhadap segala pikiran, termasuk pikiran teologis yang kemudian diganti dengan ide abstrak dari metafisika; dan
c.   Tahap Positif, dimana satu gejala diterangkan dengan gejala lain dengan mendapatkan hukum-hukum antar mereka, yang mana hukum disini saling berhubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain.
    Selain dari Comte, aliran ini juga diikuti oleh Herbert Spencer. Menurut Spencer, prinsip-prinsip evolusi yang berlaku bagi perkembangan biologis, juga berlaku bagi perkembangan hidup manusia didalam masyarakat.[48] Baik Comte maupun Spencer tidak mengakui adanya hukum selain hukum positif yang dibuat oleh manusia.
 
4. Esensi Positivistis Yuridis
Esensi dari ajaran yang diperkenalkan oleh L.A Hart ini, yaitu: [49]
a.   Hukum adalah perintah.
b.   Hukum positif sebagaimana hukum yang diundangkan untuk masyarakat harus dibedakan dengan hukum yang diinginkan atau dicita-citakan.
c.   Sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang menerapkan putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan yang telah ada sebelumnya.
d.   Penghukuman secara moral tidak lagi dapat ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argument yang rasional ataupun pembuktian dengan alat bukti.
Pandangan positivism Hart tergambar dengan bagaimana Hart melakukan pembedaan pembedaan peraturan menjadi dua macam, yaitu:[50]
a.   Peraturan Primer
Secara umum, masyarakat prahukum hidup berdasarkan kebiasaan yang lazim ditemukan dalam masing-masing komunitas masyarakat. Karena itu kontrol sosial juga ditentukan oleh kebiasaan yang biasa berlaku dalam masing-masing komunitas. Struktur sosial yang mengatur perilaku masyarakat prahukum inilah yang oleh Hart disebut sebagai peraturan kewajiban primer.
b.  Peraturan Sekunder
Peraturan sekunder menjelaskan bagaimana peraturan primer itu sendiri. Peraturan ini menjelaskan cara dimana peraturan primer secara pasti ditegaskan, diperkenalkan, dibuang, dan fakta pelanggarannya juga ditentukan secara pasti.
Menurut Hart, moral menjadi syarat minimum dalam hukum. Hart juga menyadari bahwa positivism hukum mengalami ketertinggalan dari realitas sosial. Terhadap berbagai keterbatasan manusia tersebut, hukum memiliki tanggung jawab yang berfungsi sebagai sistem aturan yang melindungi, mengontrol, mencegah, memfasilitasi, dan memandu kehidupan manusia agar terciptanya kehidupan tertib di tengah-tengah keterbatasan natural. Selain itu hukum juga memiliki kewajiban moral untuk mengambil tindakan-tindakan diskresional sebagai jalan keluar dari keterbatasan hukum yang ada. [51]
Dari beberapa ajaran aliran positivism dapat disimpulkan bahwasanya aliran positivism hukum ini hadir untuk memberikan jawaban atas aspek kepastian hukum. Hans Kelsen dalam padangan hukumnya berhasil mematematiskan rumusan sebuah aturan hukum dalam bentuk, subjek hukum ditambah bentuk kesalahan yang menghasilkan adanya hukuman. Walaupun sampai saat ini, ini merupakan sebuah cara yang jelas sangat berguna yang dapat digunakan oleh para praktisi untuk mengidentifikasi pokok persoalan dari penyelidikannya tetapi Kelsen mengarahkan untutuk menjauh dari gagasan bahwa hukum itu terdiri dari proses-proses yang terkait dengan manusia.
Meskipun ajaran positivisme hukum menguasai praktek hukum saat ini, tetapi ajaran ini tidak lepas dari kritik atas sifatnya yang kaku dan formalistik. Namun kenyataannya pada saat ini, hukum tidak hanya menyangkut manusia saja, tetapi semua hal yang berhubungan dengan kehidupan di jagad raya. Pemisahan tegas antara hukum dan moral oleh positivism hukum secara keseluruhan memiliki sisi positif dan negative. Hukum adalah produk rasional dan modal meskiupun masuk kedalam, hukum harusnya dibangun dengan argumentasi yang rasional dan verifikatif. Hukum harus berkompeten dan juga adil serta mampu mengenali keinginan masyarakat dan mempunya komitmen terhadap tercapainya keadilan yang substantif. Tanpa mengenyampingkan pluralism hukum, kondisi negara moderen memang keberadaan positivisme hukum adalah sebuah keniscayaan.
 
 

C.   UTILITARISME


Aliran Utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Adapun ukuran kemanfaatan hukum, yaitu kebahagian yang sebesar-besarnya bagi orang-orang. Penilaian baik atau buruk dan adil atau tidaknya hukum tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak.[52] Tokoh-tokoh utama aliran utilitarianisme dan pemikirannya adalah:
1.   Jeremy Bentham (1748-1832)
·    Seorang filsuf utilitarian Inggris, ahli ekonomi dan ahli hukum teoritis.
·    Ajaran Bentham dikenal sebagai Utilitarianisme individual.
·    Prinsip-prinsip dasar ajaran Bentham adalah sebagai berikut:[53]
a.    Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu baru orang banyak. Prinsip utiliti Bentham berbunyi ”the greatest heppines of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang).
b.    Prinsip itu harus diterapkan secara kuatitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama.
c.    Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat, maka perundang-undangan harus mencapai empat tujuan:
-         To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup);
-         To Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan berlimpah);
-         To provide security (untuk memberikan perlindungan);
-         To attain equity (untuk mencapai persamaan).
·    Arti penting pemikiran Bentham dalam sejarah filsafat hukum sebagai berikut, bahwa Bentham:[54]
a.     Menghubungkan dasar pemikiran filsafat dengan dalil-dalil hukum praktis;
b.     Meletakkan individualisme atas dasar materialistis baru;
c.     Menghubungkan hak-hak individu yang tahu diri dan menempatkannya di bawah kebahagiaan sejumlah besar individu-individu dengan tuntutan yang sama yang hidup dalam masyarakat;
d.     Mengarahkan tujuan-tujuan hukum pada tujuan-tujuan sosial praktis, bukannya pada dalil-dalil yang abstrak;
e.     Meletakkan dasar untuk kecenderungan relativitas baru dalam ilmu hukum, yang dikemudian hari disebut ilmu hukum sosiologis dan menghubungkan hukum dengan tujuan-tujuan sosial yang pasti dan keseimbangan dari pelbagai kepentingan;
f.      Memandang jaminan keamanan sebagai objek hukum yang penting, sebagai fungsi yang dikembangkan, untuk tidak menghiraukan orang-orang lain, dengan positivisme analitis;
g.     Memberi tekanan pada kebutuhan dan mengembangkan cara pembentukan hukum yang disadari, dengan kodifikasi melalui pengadilan atau evolusi melalui kebiasaan.
 
2.   John Stuar Mill (1806-1873)
  • Seorang filsuf dan ekonom Inggris terkemuka.
  • Mill setuju dengan Bentham bahwa suatu tindakan hendaklah ditujukan kepada pencapaian kebahagiaan, sebaliknya suatu tindakan adalah salah apabila menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan. Namun, Mill juga mengkritik pandangan Bentham dan berupaya melakukan upaya perumusan ulang terhadap utilitarianisme.
  • Berikut adalah pendapat penting dari Mill dalam upaya perumusan ulang terhadap utilitarianisme:
a.     Mill mengkritik pandangan Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kebahagiaan dapat diukur juga secara empiris, yaitu kita harus berpedoman pada orang yang bijaksana dan berpengalaman dalam hal ini. Orang seperti itu dapat memberi kepastian tentang mutu kebahagiaan.
b.     Menurut Mill, utilitarianisme versi Bentham memiliki beberapa kelemahan, karena ia didasarkan pada suatu sistem yang mengidentifikasi ‘baik’ dengan kesenangan dan ‘buruk’ dengan kesakitan, tanpa melakukan spesifikasi terhadap sifat kesenangan dan kesakitan tersebut. Versi Bentham juga mengasumsikan bahwa manusia itu sangat rasional sehingga mereka selalu mengikuti kalkulasi moral.
c.     Kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan bawahan dalam hal ini harus diperlakukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain.
d.     Menurut Mill, kesenangan spiritual dan persahabatan intelektual adalah lebih bernilai daripada kepuasan fisik. Dengan demikian, sebagian kesenangan adalah lebih bernilai dan lebih tinggi daripada sebagian lainnya. Mill berkata, Lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada menjadi seorang tolol yang puas”
 
3.   Rudolf von Jhering (1800-1889)
·    Dikenal sebagai penggagas teori Sosial Utilitarianisme atau  Interessen Jurisprudence (kepentingan).
·    Teorinya merupakan penggabungan antara teori Bentham dan Stuar Mill dan positivisme hukum dari John Austin.
·    Keseluruhan ajaran Jhering tentang hukum dapat disimpulkan dalam beberapa butir:
a.     Jhering menolak pandangan von Savigy yang berpendapat bahwa hukum timbul  dari  jiwa bangsa   secara   spontan.  Menurut Jhering:
-     Contoh, Hukum Romawi, dapat dikaterisir sebagai suatu System des disciplin Egoismus (sistem egoisme yang berdisiplin). Disini hukum digabungkan dengan egoisme bangsa. Penggabungan itu dianggap berguna bagi bangsa yang dapat diterima sebagai hukum. Jadi Jhering menganut positivisme utilistis.
-     Karena hukum senantiasa sesuai dengan kepentingan negara, maka tentu saja hukum itu tidak lahir spontan, melainkan dikembangkan secara sistematis dan rasional, sesuai dengan perkembangan kebutuhan negara. Jhering mengakui ada pengaruh jiwa bangsa, tetapi tidak spontan, yang penting bukan jiwa bangsa, tetapi pengelolaan secara rasional dan sistematis, agar menjadi hukum positif.
b.     Pengelolaan hukum dinamai Jhering dengan istilah Teknik Hukum. Teknik Hukum ini tidak hanya diperhatikan materi atau isi kaidah-kaidah hukum, melainkan memperhatikan segi formalnya. Teknik hukum adalah metode yang digunakan pakar-pakar hukum untuk menguasai hukum positif secara rasional, dengan tujuan agar hukum dapat diterapkan secara tepat pada perkara-perkara konkret. Rasionalisai hukum dalam teknik hukumnya Jhering itu berlangsung dua tahap:
1)      Penyerdehanaan bahan hukum dari sudut kuantitas. Bermaksud demi rasionalisasi hukum, maka kaidah-kaidah hukum sedapat mungkin dikurangi jumlahnya. Caranya adalah:
-     Analisis yuridis: bahan hukum dipelajari isinya.
-     Konsentrasi logis: bahan hukum dipandang dalam lingkup ide-ide tertentu.
-     Sistematis yuridis: bahan hukum diberi suatu aturan yang tepat.
-     Penetuan terminoligis: dicari terminologi yang cocok bagi ilmu hukum.
-     Ekokomi yuridis: jumlah aturan semaksimalnya dikurangi. Tinjauan ekonomi ini menguasai seluruh proses ini, yakni diusahakan untuk menghemat pikiran.
2)      Penyederhanaan bahan hukum dari sudut kualitas. Rasionalisasi kedua ini bahwa hukum ditingkatkan menjadi ide-ide dan institusi-institusi hukum. Caranya adalah:
-     Mencari aturan intern tata hukum. Ditujukan pada suatu pengertian menyeluruh tentang tata hukum tertentu.
-     Mempertimbangkan kualitas dan nilai bagian-bagian tata hukum untuk dapat  sampai pada suatu keseimbangan antara bagian-bagian itu.
Teknik hukum tersebut, khususnya yang kedua, menjadikan bahan hukum bersifat rasional semata, logis dan abstrak. Karena itu ajaran Jhering ini dinamai begriffjurisprudenz (keahlian hukum berdasarkan logika). Tetapi, kemudian Jhering meninggalkan begriffjurisprudenz dan berganti pandangan bahwa yang menentukan dalam hukum, bukanlah ide-ide rasional, melainkan kepentingan masyarakat. Dengan ini teorinya beralih ke interssenjurisprudenz  (keahlian hukum berdasarkan kepentingan sosial). Hal ini tampak dari pendapatnya bahwa esensi hukum yang tercermin dalam tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut, termasuk memperkecil kemungkinan terjadinya konflik. Di bawah hukum, kepentingan-kepentingan masyarakat harus lebih didahulukan jika terjadi konflik dengan kepentingan individu. Kebutuhan manusia sebagai warga masyarakat mendominasi konsep-konsep hukum Jhering.
c.     Menurut Jhering bahwa hukum adalah seperangkat kondisi-kondisi kehidupan sosial dalam pengertian yang sangat luas yang ditegakkan oleh kekuasaan negara melalui usaha paksaan dari luar. Paksaaan dan kekuasaan merupakan unsur esensial hukum, dalam hubungan ini Jhering mengemukakan bahwa aturan hukum membutuhkan kekuasaan, tanpa itu aturan-aturan bagikan api yang tidak panas.
d.     Jhering memandang esensi hukum merupakan kehendak nyata untuk melindungi kepentingan kehidupan bersama dan kepentingan individu, melalui kordinasi, kemungkinan konflik bisa diperkecil. Di bawah hukum, kepentingan masyarakat harus lebih didahulukan.
e.     Jhering memandang bahwa aktivitas kemasyarakatan diri warga masyarakat seharusnya dikorbankan dan ini hanya mungkin tercapai melalui asas-asas gerak sosial (social motion). Gerak sosial ini mendapat dua jenis pengaruh:
1)    Pengaruh egoistis. Pengaruh egoistis ini dari imbalan dan paksaan, dapat digunakan untuk mengorbankan aktivitas kemasyarakatan berupa:
-       Kegiatan perdagangan melalui paham mementingkan diri sendiri demi keuntungan pribadi, seperti memberi hadiah.
-       Implikasi perlakuan unsur paksaan membuat ide hukum dan negar dapat dilaksanakan.
2)    Pengaruh altruistik, terdiri dari:
-       Extra legal  seperti aspek makanan.
-       Mixed legal, yaitu aspek-aspek kehidupan manusia yang tidak berhubungan dengan hukum paksaan, misalnya self preservation.
-       Purely legal, yaitu aspek-aspek kehidipan yang berhubungan secara keseluruhan dengan perintah-perintah hukum, misalnya membayar pajak.
Kombinasi penggunaan kedua pengaruh di atas, memungkinkan tercapainya tujuan sosial. Hasilnya adalah bahwa masyarakat dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
D.   HUKUM MURNI
Hans Kelsen (1881-1973)[55]
   Menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis, seperti unsusr sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal sebagai Teori Hukum Murni (Reine Rechtlehre) dari Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu Sollenskategorie (Kategori Keharusan/ideal), bukan Seinskategorie (Kategori faktual), yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya” (what the law is).
  
Dengan demikian, walaupun hukum itu Sollenskategorie, yang dipakai adalah hukum positif (ius constitutum), bukan yang dicita-citakan (ius constituendum). Bagi Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi (materia). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa. Di sisi lain, Kelsen pun mengakui bahwa hukum positif dapat saja menjadi tidak efektif lagi. Ini biasanya terjadi karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah tidak ada.
      Kelsen juga dianggap berjasa mengembangkan Teori Jenjang yang dikemukakan oleh  Adolf Merkl. Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak pula sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut Kelsen dengan nama Grundnorm (Norma Dasar) atau Ursprungnorm.
 
E.    HISTORISME
Mahzab Sejarah[56]
   Pemikiran filsafat terakhir di abad ke-19 disebut Mazhab Sejarah. Kelahiran mazhab yang dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny ini dipengaruhi Montesquieu (1689-1755), melalui bukunya L'esprit des Lois mengatakan adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya. Selain itu juga dipengaruhi paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Selanjutnya, kelahiran mazhab ini juga merupakan reaksi terhadap pendapat yang dikemukakan Thibaut yang menghendaki dilakukannya kodefikasi hukum di negara Jerman berdasarkan Hukum Perancis (Code Napoleon); serta reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif[57] .
      Mahzab yang tampaknya dapat menjawab kelemahan pemikiran aliran hukum  alam dan hukum positif tentang hukum itu intinya mengajarkan bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das Recht wird nichtgemacht, est ist und wird mit dem Volke). Dampak ajaran mahzab ini sangat tampak pada para sarjana sosiologi dan hukum adat. Mereka disadarkan tentang pentingnya penelitian mengenai hubungan antara hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilainya. Pengaruh pandangan Savigny juga terasa sampai jauh ke luar negara Jerman, termasuk ke Indonesia. [58] Namun, sebagaimana produk kreativitas manusia lainnya, pemikiran madzab sejarah tentang hukum, tentulah juga memiliki kelemahan, dalam hal ini yang utama adalah kurang diberikannya arti penting perundang-undangan sebagai sumber hukum [59]. Inti ajaran Mahzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny  ini  terdapat dalam bukunya 'von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (Tentang Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-undang dan Ilmu Hukum), antara lain dikatakan: 'Das Recht wird nicht gemacht. est ist und wird mit dem volke (Hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat).[60] Latar belakang pendapat Savigny di  atas  timbul  karena keyakinannya bahwa dunia yang terdiri dari  bermacam-macam  bangsa  itu mempunyai volkgeist (jiwa rakyat) yang berbeda-beda yang tampak dari perbedaan kebudayaan. Ekspresi itu juga tampak pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada setiap tempat dan waktu. Isi hukum yang bersumber dari pada jiwa rakyat itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Hukum menurut pendapat Savigny berkembang dari suatu masyarakat yang  sederhana  yang   pencerminannya tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli  hukumnya. Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:[61]
1.     Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis; oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.
2.     Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.
3.     Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain.
Dampak pemikiran hukum Savigny yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta, terhadap perkembangan hukum tertulis di Jerman tampaknya sangat kuat. Buktinya tantangan Savigny terhadap kodefikasi Perancis itu menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak mempunyai kodefikasi hukum perdata[62]. Baru pada tahun 1900 negeri Jerman mendapatkan kitab undang- undangnya dalam wujud Burgerliches Gesetzbuch[63].
Di Indonesia pun pengaruh ajaran mahzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Demikian juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny memperteguh keyakinan mereka bahwa antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk hukum yang akan memiliki daya berlaku sosiologis.
Namun akhirnya, ajaran madzab sejarah ini mengalami improvisasi di tangan pengikutnya sendiri yakni Sir Henry Maine (1822-1888) yang dalam bukunya "Ancient Society" mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan modern. Pada masyarakat modern hubungan antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan. Hukum sendiri pada masyarakat ini berkembang melalui 3 cara, yaitu: fiksi, equity, dan perundang-undangan. Pandangan terakhir inilah yang oleh beberapa penulis hukum digunakan untuk membedakan  Maine  dengan  Savigny.  Tampaknya  Maine  tidak mengenyampingkan peranan perundangan dan kodefikasi dalam pengembangan hukum pada masyarakat yang telah maju[64].
 
Jadi Maine membedakan adanya masyarakat-masyarakat yang statis dan progresif. Masyarakat yang progresif adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui 3 cara yaitu: "fiksi, equity, dan perundang-undangan. Selanjutnya, bagi Maine,  Volgeist bukanlah sesuatu yang mistik. 0leh karena Maine mencermati bahwa dalam perjalanan kehidupan masyarakat terdapat perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh status kepada penggunaan kontrak[65].
Kelebihan pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang mengatakan bahwa hukum itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena hukum pasti sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum kebiasaan sejajar dengan undang-undang tertulis[66]. Sikap semacam ini dapat mencegah kepicikan orang akan wujud hukum yang utuh.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa bagi Indonesia, pemikiran dan sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan ("preservation") hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya "pembaratan" (westernisasi) yang terlalu cepat, kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya samasekali, kecuali bagi sebagian kecil golongan pribumi.[67]

Akan tetapi pemikiran hukum madzab ini juga mengandung beberapa kelemahan yakni [68]:


1.   tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan);
2.   konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak;
3.   inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.

F.    SOSIOLOGIS


            Aliran ini hendaknya dibedakan dengan apa yang kita kenal dengan Sosiologi Hukum. Sosiologi Hukum yakni bagian dari Ilmu Tentang Kenyataan Hukum yang membahas perihal hubungan timbal balik antara masyarakat dan hukum dalam rangka saling pengaruh-mempengaruhi.[69] Menurut Roscoe Pound dalam kata pengantar pada buku Gurvitch yang berjudul “Sosiologi Hukum” perbedaan diantara keduanya ialah bahwa kalau sosiological jurisprudence itu merupakan suatu mahzab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut disamping juga diselidiki sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dengan kata lain kalau sociological jurisprudence cara pendekatannya bermula dari hukum ke masyarakat sedangkan sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum.[70]
Sedangkan perbedaannya menurut Lily Rasjidi adalah:[71]
1.     Sosiological Jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang dari sosiologi
2.     Walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Sosiological Jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat sedangkan sosiologi hukum memilih pendekatan dari masyarakat ke hukum.
 
Perbedaan yang mencolok antara kedua hal tersebut adalah bahwa sosiologi hukum berusaha menciptakan ilmu mengenai kehidupan sosial sebagai suatu keseluruhan dan pembahasannya meliputi bagian terbesar dari sosiologi (secara umum) dan ilmu politik. Titik berat penyelidikan sosiologi hukum terletak pada masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan sociological jurisprudence menitik beratkan pada hukum dan memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum.
       Menurut aliran sociological jurisprudence ini, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) Positivisme Hukum dan (antitesis) Mazhab Sejarah. Sebagaimana diketahui, Positivisme Hukum memandang tiada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa, sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua lebih mementingkan pengalaman, dan sociological jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya.
Aliran sociological jurisprudence ini memiliki pengaruh yang sangat luas dalam pembangunan hukum Indonesia. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.[72]
1. Eugen Ehrlich (1862-1922)
Eugen Ehrlich dapat dianggap sebagai pelopor aliran sociological jurisprudence, khususnya di Eropa. Ia adalah ahli hukum dari Australia dan tokoh pertama yang meninjau hukum dari sudut sosiologi. Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat di lain pihak. Menurutnya, hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tadi. Di sini jelas bahwa Ehrlich berbeda pendapat dengan penganut Positivisme Hukum.
Ehrlich ingin membuktikan kebenaran teorinya, bahwa titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, sumber dan bentuk hukum yang utama adalah kebiasaan. Hanya sayangnya, seperti yang dikatakan Friedmann, dalam karyanya, Ehrlich pada akhirnya justru meragukan posisi kebiasaan ini sebagai sumber dan bentuk hukum pada masyarakat modern.
Selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Hukum sendiri tidak akan mungkin efektif, oleh karena ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan sosial terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh Negara.
Bagi Ehrlich, tertib sosial didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam system hukum.  Secara konsekuen Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan system hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bersangkutan. Kesadaran itu harus ada pada setiap anggota profesi hukum yang bertugas mengembangkan hukum yang hidup dan menentukan ruang lingkup positif dalam hubungannya dengan hukum yang hidup.
Sampai disini terlihat bahwa pendapat Ehrlich mirip dengan Von Savigny. Hanya saja, Ehrlich lebih senang menggunakan istilah kenyataan sosial daripada istilah volkgeist sebagaiman yang digunakan Savigny. Kenyataan-kenyataan sosial yang anormatif itu dapat menjadi normatif, sebagai kenyataan hukum atau hukum yang hidup yang juga dinamakan Ehrlich dengan Rechsnormen, melalui empat cara. Hujibers menyebut empat cara itu dengan kebiasaan, kekuasaan eketif, milik efektif, dan pernyataan kehendak pribadi.
Friedmann membentangkan tiga kelemahan utama pemikiran Ehrlich karena keinginannya meremehkan fungsi Negara dalam pembentukan undang-undang;
1.     Ehrlich tidak memberikan kriteria yang jelas yang membedakan norma hukum dengan norma sosial yang lain. Akibatnya, teori sosiologi dari Ehrlich dalam garis besarnya merupakan sosiologi umum saja.
2.     Ia meragukan posisi kebiasaan sebagai sumber hukum dan sebagai suatu bentuk hukum. Pada masyarakat primitive posisi kebiasaan ini sangat penting sebagai sumber dan bentuk hukum, tetapi tidak demikian lagi pada masyarakat modern. Pada masyarakat modern, posisi tersebut digantikan dengan undang-undang, yang selalu dengan derajat bermacam-macam bergantung pada kenyataan-kenyataan hukum, namun berlakunya sebagai hukum tidak bersumber pada ketaatan faktual ini. Friedmann menyatakan kebingungan ini merembes ke seluruh karya Ehrlich.
3.     Ehrlich menolak mengikuti logika perbedaan yang ia sendiri adakan antara norma hukum negara yang khas dan norma hukum dimana Negara hanya memberi sanksi pada kenyataan-kenyataan sosial.
Norma yang pertama melindungi tujuan khusus Negara, seperti kehidupan konstitusional, serta keuangan dan administrasi. Dalam masyarakat modern, norma ini terus bertambah banyak, sehinga menuntut pengawasan yang lebih banyak dari negara. Konsekuensinya, peranan kebiasaan terus berkurang, bahkan sebelum pembuatan undang-undang secara terinci. Sementara itu, undang-undang yang dikeluarkan pemerintah pusat mempengaruhi kebiasaan masyarakat sama banyaknya dengan pengaruh pada dirinya sendiri. Buku Ehrlich yang terkenal antara lain berjudul  Grubdle-gung der Soziologie des Rechts.
2. Roscoe Pound (1870-1964)
Pound terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui masyarakat. Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut:
a.     Kepentingan umum (public interest):
1.     Kepentingan Negara sebagai badan hukum
2.     Kepentingan Negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
b.     Kepentingan masyarakat (social interest):
1.     Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
2.     Perlindungan lembaga-lembaga sosial
3.     Pencegahan kemerosotan akhlak
4.     Pencegahan pelanggaran hak
5.     Kesejahteraan sosial.
c.     Kepentingan pribadi (private interest):
1.     Kepentingan individu
2.     Kepentingan keluarga
3.     Kepentingan hak milik
Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik dua hal;
1.     Pound mengikuti garis pemikiran yang berasal dari Von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai jalan kearah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Memang, penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya melanjutkan apa yang telah dilakukan Von Jhering. Karena itu, dilihat dari hal tersebut, Pound sebenernya dapat pula digolongkan sebagai penganut Utilitarianisme sebagai penerus Jhering dan Bentham.
2.     Klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum, sehingga membuat pembentuk undang-undang, hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan perkataan lain, klasifikasi itu membantu menghubungkan antara prinsip hukum dan praktiknya.
Karya Roscoe Pound sangat banyak jumlahnya, dan beberapa telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, seperti: Pengantar Filsafat Hukum dan Tugas Hukum. Beberapa karangannya antara lain berjudul The History and System of the Common Law, Social Control through Law, Justice According to Law.
Aliran yang dianut Pound berangkat dari pemikiran tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat. Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja.

G.   ANTROPOLOGIS


Antropologi merupakan kajian atau ilmu yang terpisah dari hukum. Secara harfiah, antropologi berarti “the study of man” (studi tentang manusia, muncul sekitar abad ke-19. Salah satu objek kajian utama dari antropologi adalah kultur.[73]
Menurut pandangan antropologi, hukum mencakupi suatu pandangan masyarakat tentang kebutuhannya untuk “survival” dan juga merupakan aturan yang mengatur produksi dan distribusi kekayaan dan metode untuk melindungi masyarakat terhadap kekacauan internal dan musuh dari luar.
Sampai dengan awal abad ke-20, orang menafsirkan hukum dalam arti sempit. Masyarakat dan rakyat primitif yang tidak mempunyai hukum formal, pengadilan, polisi, penjara dianggap tidak mempunyai kelengkapan yang diperlukan untuk bisa disebut sebagai masyarakat yang mempunyai “hukum”. DIakui mereka memiliki kebiasaan, tapi ini dianggap lebih drendah dari hukum. Radcliffe-Brown mengartikan hukum sebagai “kontrol sosial melalui penerapan sistematis kekuatan masyarakat yang diorganisasikan secara politik.”.[74]
Para antropolog mempunyai pengertian tersendiri tentang apa yang mereka pandang sebagai hukum, yaitu antara lain :
  1. any rule of conduct likely to be enforced by the courts Schapera.
  2. the whole reservoir of ruler on which judges draw for their decisions. (Gluckman)
  3. that body of binding obligation, which has been reinstitutionalised whitin the legal institutions. (Bohannan)
  4. rules or modes of conduct made obligations by same sanction which is imposed and enforced for their violations by controlling authority. (Pospisil)
Pendekatan yang umum dipakai di bidang antropoloho hukum dewasa ini adalah untuk tidak memusatkan pada hukum sebagaimana lazimnya, melainkan kepada metode-metode untuk menangani sengketa-sengketa.[75]Ada beberapa ajaran yang beraliran antropologis terhadap hukum yang patut dikemukakan esensi ajaran-ajaran berikut ini, yaitu ajaran dari pakar-pakar sebagai berikut :

1.   Esensi Ajaran Malinowski


Malinowski membahas hukum dalam masyarakat liar. Hukum Melanesia merupakan salah satu lapangan studinya. Malinowski menulis tentang pranata-pranata sebagai kelompok yang disatukan dalam kewajiban-kewajiban umum, yang menggunakan suatu bentuk yang pantas dari aparat dan membutuhkan suatu mekanisme dari pelaksanaan hukum yang didasarkan pada unsur-unsur yang bersifat timbal balk dan pengaruh yang sistematis dari kewajiban-kewajiban hukum.[76]
Studi Malinowski terhadap masyarakat di kepulauan Trobiands membuatnya menyatakan bahwa adalah suatu pendapat yang keliru untuk mendefinisikan hukum dalam kerangka “kekuasaan sentral, peraturan, pengadilan, dan polisi. Masyarakat Trobiands cuup tertib tanpa adanya hal-hal tersebut.[77]
2.   Esensi Ajaran Hoebel
Hoebel menegaskan tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum (lawless tribal society).[78] Ada 3 unsur esensial sebagai kriteria untuk mengidentifikasi yang mana yang termasuk fenomena hukum :
- Keteraturan hidup (regurality).
- Otoritas pejabat (official authority).
– Sanksi
Menurut Hoebel, hukum melakukan fungsi yang esensial untuk mempertahankan masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut adalah (Hoebel, 1967 : 275 – 287) :[79]
a)     Mendefinisikan hubungan-hubungan antara anggota-anggota masyarakat, untuk menetapkan hal-hal apa yang boleh dilakukan dan yang tidak,sebagai usaha untuk mempertahankan integrasi minial dari kegiatan antar individu dan kelompok dalam masyarakat.
b)    Keharusan untuk menjinakkan kekuasaan yang bersifat telanjang dan mengarahkannya dalam rangka mempertahankan ketertiban.
c)     Penyelesaian sengketa-sengketa yang muncul.
d)    Mendefinisikan kembali hubungan-hubungan antar individu-individu dan kelompok-kelompok pada saat kondisi kehidupan mengalami perubahan Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kemampuan beradaptasi.

3. Esensi Ajaran Gluckman[80]

Gluckman mengkhususkan pada studi tentang proses peradilan di Barotse, yaitu suku bangsa Lozi yang proses peradilannya didasarkan pada kebiasaan, moralitas, kebijakan umum, dan suatu jenis perundang-undangan. Fungsi pokok dari proses peradilan bagi Bangsa Lozi adalah untuk melaksanakan hukum pada keadaan untuk mempertahankan kemapanan dan memunculkan sejumlah nilai-nilai.

4. Esensi Ajaran Paul Bohannan[81]


Paul Bohannan berpandangan bahwa seluruh kaedah hukum  berasal dari kaidah hukum lain yang sudah ada sebelumnya, tidak ada kaidah hukum yang langsung lahir sebagai kaidah hukum. Bagi Bohannan, hukum sebaiknya dipikirkan sebagai seperangkat kewajiban-kewajiban yang mengikat yang dipandang sebagai hak oleh suatu pihak dan diterima sebagai kewajiban oleh pihak lain, dan yang telah dilegitimasi kembali (double legitimacy) dalam pranata-pranata hukum agar masyarakat dapat terus berfungsi dengan cara teratur berdasarkan aturan-aturan yang dipertahankan melalui cara tersebut. Menurut Bohannan, hukum adalah kebiasaan yang menjalani pelembagaan kembali (reinstutionalization) untuk memenuhi tujuan yang lebih terarah dalam kerangka yanga pa disebut hukum.[82]
5. Esensi Ajaran Leopold Pospisil[83]
Bagi Pospisil, (Ihromi, 1984: 66-67), pemikiran hukum dari aspek antropologis harus memperhatikan lima butir :
  1. Kajian ini tidak membatasi pandangannya pada kebudayaan-kebudayaan tertentu.
  2. Masyarakat dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang utuh yang bagian-bagiannya saling berkaitan. Hukum harus dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan, dan tidak dianggap sebagai pranata yang otonom.
  3. Ketentuan-ketentuan sosial maupun hal-hal yang superorganis, serta peranan individu, semuanya sama-sama diperhatikan.
  4. Masyarakat tidak dipandang berada dalam keseimbangan yang mengalami gangguan jika terjaid penyimpangan, melainkan dipandang sebagai dinamis, sehingga pernanan sosial dari hukum tidak terbatas pada mempertahankan keadaan status quo. Meminjam kata-kata (Stone, 1950: 444), antropologi hukum bukanlah penganut “ketidakmampuan legislatif”.
  5. Kajian antropologis itu termasuk ilmu mengenai hukum, jadi bersifat empiris. Konsekuensinya adalah teori yang dikemukakannya hars didukung oleh semua fakata yang relevan atau paling sedikit oleh “wakil” yang representatif dari fakta yang relevan.

H.   REALISME


Dalam pandangan penganut Realisme, hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat control sosial. Pangkal pikiran dari mazhab ini bertitik tolak pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumber hukum.[84] Akar realisme hukum adalah empirisme, khususnya pengalaman-pengalaman yang dapat ditimba dari pengadilan. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semuanya adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Menurut Llewellyn, hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum. Ciri-ciri dari realism yang terpenting diantaranya :
·      Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab, tetapi adalah gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
·      Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan social.
·      Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan sein untuk keperluan suat penyelidikan.
·      Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional. Realisme menciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada yang terdapat pada praktik masa lampau.
·      Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum dengan mengingatkan akibatnya.
Dengan demikian, Realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Realisme dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu Realisme Amerika dan Realisme Skandinavia. Persamaan keduanya menurut  Friedmann[85] adalah semata-mata verbal.
1. Realisme Amerika
            Realisme Amerika adalah hasil pendekatan pragmatis dan paling sopan pada lembaga-lembaga sosial. Realisme Amerika menekankan bekerjanya hukum tetapi kurang memperhatikan dasar hukum transcendental. Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim. Hakim sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan. Pragmatic Legal Realism dimasukkan dalam Realisme Amerika karena sikap pragmatism yang terkandung dalam realism lebih banyak muncul di Amerika. Adapun tokoh-tokoh Realisme Amerika, antara lain adalah Charles Sanders Peirce, John Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes Jr, William James, John Dewey, B.N. Cardozo dan Jerome Frank.
Charles Sanders Peirce (1839-1914)Pierce disebut sebagai orang pertama yang memulai pemikiran ini. Pragmatisme menyangkal kemungkinan bagi manusia untuk mendapat suatu pengetahuan teoretis yang benar, karena itu ide-ide perlu diselidiki dalam praktik hidup. Menurutnya ide-ide diterangkan dengan jalan analitis. Metode analitis harus digunakan secara fungsional, karena itu kata pragmatis dipakai oleh pierce dalam arti empiris atau eksperimental. Karya Pierce antara lain berjudul Pragmatism and Pragmaticism

John Chipman Gray (1839-1915)


Gray menempatkan hakim sebagai pusat perhatiannya. Semboyannya “All The Law is Judge-made-law”. Menurutnya selain logika sebagai faktor penting dalam pembentukan perundang-undangan, unsur kepribadian, prasangka, dan faktor-faktor lain yang tidak logis memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan hukum. Dengan demikian Gray memelopori cara pendekatan yang tidak semata-mata pada factor logika saja tepai juga faktor lain di luar logika. Karangan Gray antara lain berjudul The Nature and Sources of Law.
Oliver Wendell Holmes, Jr (1841-1935)
Pandangan Gray ditegaskan lebih lanjut oleh Holmes yang memberikan suatu perumusan tentang hukum yang didasarkan pada pengalaman dan meragukan peranan logika.. Menurutnya ramalan tentang apa yang sesungguhnya akan diperbuat oleh pengadilan-pengadilan dan bukan hal-hal yang muluk-muluk itulah yang dinamakan dengan hukum. Disamping norna-norma hkum bersama tafsirannya, moral hidup dan kepentingan sosial ikut menentukan keputusan para hakim. Karya terpentingnya antara lain berjudul The Path of Law.
William James (1842-1910)
Menurutnya pragmatism adalah nama baru untuk beberapa cara pemikiran yang sama, yang sebenarnya juga positivis. William James adalah tokoh utama dalam filsafat Pragmatisme. Seorang pragmatis menolak abstraksi dan hal-hal yang tidak memadai, penyelesaian secara verbal sistem tertutup  dan hal-hal yang dianggap mutlak dan asli. Ia menentang kelengkapan dan kecukupan, fakta, perbuatan, kekuasaan. Suatu keterbukaan dan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda dari dogma, kepalsuan dan anggapan final dari kebenaran. Karya penting dari James berjudul The Meaning Of The Truth dan Varietes Of Religious Experience.
John Dewey (1859-1952)Dewey termasuk salah satu peletak realisme dalam hukum. Inti ajaran Dewey adalah bahwa logika bukan berasal dari kepastian-kepastian dari prinsip teoritis, seperti silogisme, tetapi suatu studi tentang kemungkinan. Logika adalah teori tentang penyelidikan mengenai akibat-akibat yang mungkin terjadi, suatu proses dalam mana prinsip umum hanya bisa dipakai sebagai alat yang dibenarkan atas pekerjaan yang dikerjakan. Jika diterapkan pada proses hukum, ini berarti bahwa prinsip umum yang sebelumnya telah diletakan harus dilepaskan untuk logika yang lebih eksperimental dan luwes. Ahli hukum tidak mengambil konklusi-konklusinya dari prinsip-prinsip umum. Karena ahli hukum belajar lebih banyak dari fakta dalam kasus. Maka ia dapat memilih ketentuan-ketentuan hukun yang diterapkan dalam kasus. Premis dan kesimpulan adalah dua cara untuk menyatakan hal yang sama. Dengan demikian hukum adalah proses eksperimental dimana faktor logika hanya salah satu dari faktor yang utama untuk menarik kesimpulan. Pemikiran yang eksperimental dan fleksibel dalam hukum dapat mengubahnya menjadi alat yang tetap, aman dan masuk akal untuk perbaikan sosial. Karya dari Dewey antara lain logic, the theory of inquiry dan my philosophy of law.

Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938)


Cardozo sangat terpengaruh oleh teori-teori ilmu hukum sosiologis, yang menekankan pada kepekaan yudisiil terhadap realitas sosial. Ia beranggapan bahwa hukum mengikuti perangkat aturan umum dan yakin bahwa penganutan terhadap preseden seharusnya merupakan aturannya, dan bukan merupakan pengecualian dalam melaksanakan peradilan.[86] Adanya kelonggaran atau keluwesan pelaksanaan aturan yang ketat disebabkan penganutan terhadap preseden tidak konsisten dengan rasa keadilan dan kesejahteraan sosial. Doktrin preseden tidak dapat dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan abadi. Sehingga hakim wajib mengikuti norma-norma yang berlaku di masyarakat dan menyesuaikan putusan hakim itu dengan kepentingan umum. Cardozo beranggapan, kekuatan sosial mempunyai pengaruh instrumental terhadap pembentukan-pembentukan hukum, misalnya logika, sejarah, adat istiadat, kegunaan, dan standar moralitas yang diakui. Menurutnya dengan adanya standar yang diakui masyarakat serta pola nilai-nilai objektif merupakan suatu tanda adanya kesatuan serta konsistensi dalam hukum., walaupun adanya keputusan subjektif dari pada hakim tidak dapat dicegah dalam semua kasus yang dihadapi. Perkembangan hukum sebagai gejala sejarah ditentukan oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat, serta pandangan masyarakat mengenai adat istiadat dan moralitas. Prinsip-prinsip sosiologis, menurut Cardozo dalam buku the nature of judicial process (1921) harus senantiasa dipergunakan agar hukum selalu serasi dengan kebutuhan sosial dan cita-cita tertib sosial yang kontemporer. Karya lain dari Cardozo berjudul the growth of the law dan paradoxes of legal science.
Jerome Frank (1889-1957)
Frank adalah salah seorang penganut pemikiran Holmes. Menurut Frank, hukum tidak dapat disamakan dengan suatu aturan yang tetap. Dalam aturan tetap norma-norma hukum berperan seakan-akan merupakan prinsip-prinsip logika. Dengan berpegang pada prinsip tersebut, hakim kemudian menjatuhkan putusannya. Menurut Frank, manusia zaman sekarang tahu bahwa hukum sebenarnya hanya terdiri dari putusan-putusan pengadilan yang tergantung dari banyak faktor. Menurutnya norma-norma hukum yang berlaku memang mempengaruhi putusan hakim, tetapi tidak lebih sebagai salah saru pertimbangan saja. Sama dengan Gray, Frank berpendapat, unsur-unsur lain, seperti prasangka politik, ekonomi, moral, bahkan simpati dan antipati pribadi, ikut berperan dalam putusan tersebut. Norma hukum  dilukiskan sebagai suatu generalisasi fiktif dari kelakuan para hakim. Tulisan dari Frank antara lain berjudul Law and the modern mind dan court on trial.
 
 
2. Realisme Skandinavia
Skala Realisme Skandinavia lebih luas daripada realisme Amerika karena pusat perhatiannya bukanlah para fungsionaris hukum (khususnya hakim), tetapi justru orang-orang yang berada dibawah hukum. Realisme Skandinavia banyak menggunakan dalil dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya. Realisme Skandinavia adalah kritik falsafah atas dasar-dasar metafisis dari hukum. Realisme Skandinavia bercorak kontinental dalam pembahasan kritis, dan sering sangat abstrak. Kalau di Amerika para realis hukum berasal dari kalangan praktik maupun pengajaran, maka di Skandinavia meraka mendekati tugasnya pada peringkat yang lebih abstrak, dengan dasar pendidikan sebagai filsuf. Ciri-ciri gerakan Realisme Skandinavia adalah :
  1. Merupakan cara berpikir para ahli hukum modern Skandinavia yang tidak ada persamaannya dengan negara –negara lain. Dengan Realisme Amerika , hanya persamaan nama tidak ada hubungannya dengan yang lain.
  2. Merupakan filsafat yang memberikan kritik-kritik terhadap metafisika hukum, yang mirip dengan filsafat hukum Eropa Kontinental.
  3. Menolak berlakunya suatu hukum alam[87]
 
Penganut aliran realisme hukum dari Skandinavia adalah Axel Hegerstrom, Olivecrona, Lundstet dan Ross yang secara tegas menolak metafisika hukum, dengan membela nilai-nilai yang dapat diverifikasi secara ilmiah atas gejala hukum yang faktual. Disisi lain aliran ini juga menolak ajaran Positivme Hukum dari John Austin, karena menurutnya, John Austin membiarkan begitu saja tanpa penjelasan terhadap berbagai karakteristik yang hakiki dari hukum.Hagerstrom menyatakan bahwa hukum seharusnya diselidiki dengan titik tolak pada data empiris, yang dapat ditemukan dalam perasaan psikologis, yaitu rasa wajib, rasa kuasa dalam mendapat untung, rasa takut akan reaksi dari lingkungan dan sebagainya.
 Olivercrona menyamakan hukum dengan perintah-perintah yang bebas (independent imperative). Menurutnya adalah keliru untuk menganggap hukum sebagai perintah dari seseorang manusia, sebab tidak mungkin ada  manusia yang dapat memberikan semua perintah yang terkandung dalam hukum itu. Dia juga menolak mengidentikan pemberi perintah dari hukum itu dengan negara atau rakyat. Olivecrona menyangkal keberadaab hukum notmatif, apa yang sesungguhnya terjadi tatkala suatu peraturan diberlakukan adalah suatu ancang-ancang (sebagaimana suatu rancangan undang-undang) semata. Suatu ketentuan hukum selalu mempunyai dua unsur yaitu, gagasan untuk berbua dan beberapa symbol imperative. Ketentuan undang-undang itu sendiri hanyalah kata-kata di atas kertas. Kenyataan yang berenaan dengan pembicaraan ilmiah tentang hukum haruslah berkenaan dengan reaksi-reaksi psikologis dari para individu, yakni ide tentang tindakan apa dan perasaan apa yang timbul apabila meraka mendengan atau melihat suatu ketentuan.
 Ross berpendapat bahwa hukum adalah suatu realitas sosial. Ia berusaha membentuk suatu teori hukum yang empiris belaka, tetapi yang dapat mempertanggungjawabkan keharusan normative sebagai unsur mutlak dari gejala hukum .
Perkembangan hukum menurut Ross melewati 4 tahapan, yaitu:
1.     hukum adalah suatu sistem paksaan yang actual.
2.     Hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas. Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggal.
3.     Hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar, ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum.
4.     Supaya hukum berlaku harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya.
 
4. Herbert Lionel Adolpus Hart[91]
Ia mengatakan, hukum harus dilihat, baik dari aspek ekstern maupun internnya. Dari ekstern berarti hukum dilihat sebagai perintah penguasa, sebagaimana diartikan oleh Austin, sedangkan aspek intern yaitu keterkaitan terhadap perintah dari penguasa itu secara batiniah. Dalam memandang materi hukum, Hart berpendapat bahwa materi hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip dari kenyataan hidup tertentu. Hart membedakan secara tegas antara hukum (dalam arti das Sein) dan moral (das sollen). Adapun yang disebut hukum, hanyalah menyangkut aspek formal. Artinya suatu hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak layak untuk ditaati kerena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.
 
5.   Julius Stone[92]
Julius Stone memandang hukum sebagai suatu kenyataan sosial, yang dapat ditangkap melalui suatu penyelidikan logis-analitis, sebagaimana telah dipraktikkan dalam mashab hukum Austin dan kawan-kawan. Akan tetapi, Stone bermaksud mengerjakan suatu ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi tata hukum yang berlaku. Padangan Stone tentang hukum tidak jauh berbeda dengan Hart, ia berpendapat bahwa hukum harus dibedakan dari moral. Hukum adalah semua aturan baik yang mengandung aspek moral  maupun tidak.
 
6.   John Rawls[93]
Adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil. Rawis mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawis banyak terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme.

I.      CRITICAL LEGAL STUDIES


            Teori kritis pertama kali dikembangkan oleh mazhab Frankfurt yang dipelopori oleh  para sarjana berhaluan kiri yang merupakan anggota dari Institute for Social Research University of Frankfurt. Kemudian teori kritis ini berkembang ke berbagai bidang ilmu, termasuk Teori Hukum Feminis (Feminist Legal Theory) dan Teori Ras Kritis (Critical Ras Theory) yang merupakan perkembangan berikutnya dari CLS.
            Dasar pemikiran Gerakan Studi Hukum Kritis dari aliran positivisme hukum, karena pemikiran hukum gerakan studi hukum kritis merupakan serangan terhadap sistem hukum modern yang banyak didominasi oleh aliran positivisme hukum.
            Pada abad XX muncul perkembangan adanya kritikan kritikan terhadap ilmu pengetahuan, namun para filsuf tetap berkeyakinan bahwa ilmu pengetahuan adalah jalan satu-satunya untuk mencapai kebenaran. Dalam situasi ini muncul aliran neopositivisme yang menitikberatkan pada logika dan hubungan antara logika dan bahasa dengan mempertahankan prinsip positivisme yaitu menolak segala sesuatu yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah.
            Di Amerika Serikat Neopositivisme Hukum bersanding dengan pragmatisme yang lebih dikenal dengan Positivisme Pragmatisme. Pragmatisme ini dikaitkan dengan sikap pragmatis dan dianggap sebagai sikap realistis yang cukup diterima di Amerika dan kemudian populer dengan Realisme Hukum (Legal Realism). Kemunculan aliran realisme ini tidak sepenuhnya menentang aliran positivisme hukum,  namun masih berpegang pada prinsip Positivisme Hukum oleh karenanya menjadi Neopositivisme Hukum.
            Pada perkembangannya sebagian orang menganggap Realisme Hukum masih konvensional dan akhirnya mencari alternatif lain dalam mengkaji hukum. Salah satu pemikiran yang muncul dalam mengkritisi kondisi tersebut adalah gerakan yang kemudian dikenal dengan Gerakan Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies).
            Gerakan Studi Hukum (CLS) berawal dari pertemuan kecil di Madison, Wisconsin, Amerika Serikat pada tahun 1977. Pertemuan ini diberi nama Conference on Critical Legal Studies, dengan inisiator Roberto Mangabeira Unger dan Duncan Kennedy sebagai figur utama gerakan CLS, disamping nama-nama lainnya sebagai pengembang pemikiran CLS.[94] CLS merupakan organisasi nasional para pemikir.  Aktivitas gerakan CLS terdiri dari praktisi hukum, professor dan mahasiswa, ilmuwan sosial dan pihak lain yang memiliki komitmen atas pengembangan perspektif teori kritis terhadap hukum, praktik hukum dan pendidikan hukum.
            Studi Hukum Kritis (CLS) bukan merupakan aliran pemikiran hukum, melainkan gerakan dalam pemikiran hukum. Sekalipun gerakan ini belum begitu diakui sebagai salah satu aliran atau mazhab dalam pemikiran hukum, namun kehadirannya memperkaya kajian dalam bidang hukum dan melahirkan pemikiran-pemikiran baru semacam Feminist Jurisprudence dan Critical Race Theories.
            CLS mencoba mempengaruhi realitas sosial. Bagi critical studies kesadaran hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan, sebagai cara untuk menghindari atau menyembunyikan kebenaran fundamental bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran. Untuk mengkritisi doktrin hukum yang telah terbentuk selama ini CLS menggunakan metode:
  1. Trashing, yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk  untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.
  2. Deconstruction, yaitu membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran ini maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
  3. Genealogy, yaitu penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk konstruksi hukum.[95]
 
Kelebihan Dan Kekurangan Critical Legal Studies
            Kelebihan CLS terdiri dari berbagai pemikiran yang dikemukakan oleh banyak ahli hukum yang bercirikan marxian ortodok sampai post-modern. Kesepahaman dari pemikiran-pemikiran tersebut yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkis, dan didominasi oleh kelompok tertentu, dan keinginan untuk merombak struktur sosial.  Kelebihan utama CLS adalah mampu memahami realitas sosial dan tata hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan praksis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkis, yang diwujudkan dalam bentuk analisis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut netral dan benar secara obyektif. Kelebihan lainnya antara lain:
-       Adanya pemikiran-pemikiran yang berasal dari banyak ahli hukum dari yang bericirikan marxian ortodok sampai pemikiran post-modern.
-       Adanya kesepahaman seperti ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkis dan didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan merombak struktur sosial.
-       Pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
-       apabila pemikiran kritis tidak digunakan secara tepat dengan mengingat tujuan dan batas penggunaannya maka kritisme dapat berujung pada nihilisme (lingkaran kritik tanpa ujung) sehingga melupakan tugas praktis pada masyarakat.
-       apabila dari sifat asli pemikiran kritis dalam dirinya sendiri selalu melakukan dekonstruksi, yang menyebabkan perubahan dan gejolak selalu terjadi. Sementara realitas masyarakat lebih mempertahankan nilai-nilai dan tatanan lama, dan memilih perubahan yang tidak terasa.
Kelemahan-kelemahan ini mengakibatkan CLS sangat sulit menjadi yang paling utama dalam pembangunan hukum. Tugas utama CLS adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan orang lain.
 
Perkembangan Critical Legal Studies Di Indonesia
            CLS di kalangan hukum sendiri dianggap baru. Awalnya CLS digunakan oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Sudah saatnya pemikiran-pemikiran CLS juga digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun dan menerapkan hukum di Indonesia untuk menghadapi masa transisi dari kekuatan-kekuatan yang coba mendominasi baik dari dalam negeri maupun kapitalis internasional.
            Pemikiran CLS mempengaruhi pemikiran ahli hukum Indonesia. Kajian-kajian hukum CLS sangat diperlukan untuk mengungkap “hidden political intentions” di belakang berbagai konsep, doktrin dan proses-proses hukum di Indonesia. Penggunaan CLS untuk menganalisis hukum di Indonesia mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru karena pada masa ini dapat dilihat kepentingan ekonomi dan politik lebih dominan dalam tata hukum.  Penggunaan CLS di Indonesia tetaplah harus memperhatikan faktor-faktor tertentu seperti faktor nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia dan atau faktor agama.
DAFTAR PUSTAKA
 
Buku-buku
 
Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
 
Chand, Hari. Modern Jurisprudence. Kualalumpur: Law Book Series,1994.
 
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2008.
 
 
Erwin, Muh. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta: Rajawali Press, 2011.
 
Halim, Pdt. A. Ridwan. Filsafat Hukum Indonesia dan Pragmatisasinya. Angky Pelita Studyways, 2001.
 
Huijebers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1982.
 
Kelsen, Hans. Teori Umum Hukum dan Negara Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik. Diterjemahkan oleh Soemardi. Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007.
 
Lembaga Penelitian dan Kriminologi. Hukum, Masvarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Binacipta, 1976.
 
Rasjidi, Lili. Dasar-dasar Filsafat Hukum, Cet.7 Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.
 
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
 
Mangesti, Yavita A dan Bernard L. Moralitas Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing, 2014.
 
 
Rasjidi, Lili. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Cet 5. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1990.
 
__________. Filsafat Hukum -Apakah Hukum itu ?. Cet.5. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
 
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit Alumni, 1986.
 
Ujan, Andre Uta. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisisus, 2009.
 
W, Friedman. Teori &  Filsafat Hukum Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (Susunan II). Diterjemahkan oleh Muhammad Arifin. Cet.2. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
 
 
Internet
 
Zulkarnain. Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah,” http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1561/1/fh-zulkarnain.pdf ., diunduh 10 Maret 2016.
 
Lain-lain
 
Hikmahanto Juwana. “Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Maju.” Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 2001.
 

[1]  Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2008), hlm. 103.


 
[2]  Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, cet 5, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 27.
 
[3]  Darji Darmodiharjo dan Shidarta, loc.cit.
 
[4]  Lili Rasjidi, op.cit. hlm. 29.
 
[5]  Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit. hlm. 104.
 
[6]  Ibid.
 
[7] Theo Huijebers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1982), hlm. 39.
 
[8] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit. hlm. 105.
 
 
[9] Ibid.
 
[10] Rasjidi, op. cit. hlm. 30.
  
[11] Darmodiharjo, op. cit. hlm. 106.
 

[12]  Ibid., hlm. 107.


 
[13]  Ibid., hlm. 108.
 
[14] Ibid., hlm. 109.
 
[15] Rasjidi, op. cit., hlm. 31.
 
[16]  Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit. hlm. 110.
 
[17] Ibid.
 
[18] Theo Huijebers, Op, Cit, hlm. 58.
 
[19] Ibid.
 
[20] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit. hlm. 111.
 
[21] Ibid
 
[22] Ibid.
 
[23]  Ibid., hlm. 112.
 
[24]  Ibid.
 
[25] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 83.
 
[26] Ibid, hlm. 84.
 
[27] Zainuddin Ali, Filsafat Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 48.
 
[28]  Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op, Cit, hlm. 85.
 
[29] Ibid.
 
[30] Ibid., hlm. 86.
 
[31] Ibid., hlm. 87.
 
[32] Zainuddin Ali, Op, Cit, hlm. 49.
 
[33] Ibid.
 
[34] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op, Cit, hal 89.

[35] Ibid.,  hlm. 89-90.


 
[36] Zainuddin Ali, Op,Cit., hlm. 52.
 
[37] Ibid., hlm. 53.
 
[38] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op.cit., hlm. 99.
 
[39] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, op.cit.,  hlm. 114.
 
[40] Darji Darmodiharjo dan Sidharta,  Loc.Cit.
 
[41] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah,  Loc.Cit.
 
[42] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Op.Cit., hlm. 115.
 
[43] Ibid., hlm. 116.
 
[44] Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, diterjemahkan oleh Soemardi, (Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007)  hlm. 13.
 
[45] Ibid., hlm. 55.
 
[46] Ibid., hlm.55.
 
[47] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op.cit., hlm 95.
 
[48] Ibid., hlm 96.
 
[49] Ibid., hlm 97.
 
[50] Andre Uta Ujan, Filsafat Hukum (Kanisius, Yogyakarta, 2009), hlm.70.
 
[51] Yavita A Mangesti dan Bernard L, Moralitas Hukum (Yogyakarta: Genta Publishing, 2014)  hlm. 32-33.
[52]Lilik Rasyidi dalam Zainuddin Ali, Filsafat Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 59.
[53] Muh. Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 180-181.
 
[54] W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhamad Arifin, disunting oleh Achmad Nasir Budiman dan Suleman Saqib (Jakarta: Rajawali, 1990), hlm.  1119-120.
[55] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, op.cit., hlm. 115-116.
[56] Zulkarnain, Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah,” http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1561/1/fh-zulkarnain.pdf ., diunduh 10 Maret 2016.
 
[57] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Cet.7 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 68.
 
[58] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum -Apakah Hukum itu ?, Cet.5 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), hlm 48.
 
[59] Rasjidi, Op.cit., hlm.70.
 
[60] Ibid., hlm. 69.
[61] Friedman. W., Teori &  Filsafat Hukum Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (Susunan II), diterjemahkan oleh Muhammad Arifin, cet.2, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994),   hlm. 61-62.
[62] Rasjidi, Op.cit., hlm.70.
            [63] Rahardjo Satjipto,  Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hlm.248.
            [64] Lili, Op.cit, hlm. 48.
            [65] Satjipto, Op.cit., hlm. 250.
[66] Lili, Op.cit., hlm.71.
[67] Lembaga Penelitian dan Kriminologi, Hukum, Masvarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Binacipta, 1976), hlm. 4.
[68] Rasjidi, Op.cit., hlm. 49.
[69] Pdt. Dr. (HC). A. Ridwan Halim, Filsafat Hukum Indonesia dan Pragmatisasinya. (Angky Pelita Studyways, 2001), hlm. 30.

[70] Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 66 – 67.[71] Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, op.cit., hlm. 126.


[72] Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, op.cit., hlm. 126-127.
[73] Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, op.cit., hlm.113.
 
[74] Rahardjo, op.cit., hlm. 287.
 
[75] Ibid, hlm. 288.
 
[76] Prasetyo dan Barkatullah, Op.Cit,, hlm.113.
 
[77] Rahardjo, Op.Cit, hlm. 288
 
[78] Prasetyo dan Barkatullah, Op.Cit, hlm.113
 
[79] Rahardjo, Op.Cit, hlm. 289-290
 
[80] Prasetyo dan Barkatullah, Op.Cit, hlm.117
 
[81] Ibid, hlm.117
 
            [82] Rahardjo, Op.Cit.,  hlm. 289
 
            [83] Prasetyo dan Barkatullah, Op.Cit., hlm.118
                  [84] Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi, op.cit., hlm 68.
            [85] Darjin Darmodiharjo, op.cit., hlm. 135.
[86] Ibid, hal. 141
            [87] Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Citra Aditya, 2004), hlm72-73
[88]  Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hlm. 142.
 
[89] Ibid., hlm.142-143.
 
[90] Ibid., hlm. 143.
[91] Ibid., hlm.144-145.
[92] Ibid., hlm. 46.
[93] Ibid.
[94] Hari Chand,  Modern Jurisprudence (Kualalumpur: International Law Book series, 1994), hlm.244.
 
[95] Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Maju,” (Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 2001), hlm. 29-30.

Menilai berarti memberi pertimbangan utk menentukan sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek, berguna atau tdk. Hasil penilaian itu disebut nilai yaitu sesuatu yang benar, yg baik, yg indah, yg berguna. Mengenai HAM pasal 4 UU No. 39/ 1999 ttg HAM“hak utk hidup, hak utk tdk disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak utk tdk diperbudak, hak utk dihakimi sbg pribadi dan persamaan di hadapan hukum dan hak utk tdk dituntut atas dasar hukum yg berlaku surut adl HAM yg tdk dpt diulangi dlm keadaan apapun dan oleh siapapun” Theo Huijbers (1995) membedakan dua jenis hak manusia, yaitu:

  1. Hak manusia (human right)
  2. Hak undang-undang (legal right)
Persamaannya: Perbedaannya:

Hak manusia


Hak UUHak manusia adalah hak yang dianggap melekat pada setiap manusia, sebab berkaitan dengan realitas hidup manusia sendiriHak undang-undang adalah hak yang melekat pada manusia karena diberikan oleh undang-undangHak manusia tidak dapat direbut atau dicabut krn sdh ada sejak manusia itu ada, tdk bergantung dr persetujuan org, merupakan bagian dari eksistensi manusia di duniaHak tsb tidak langsung berhubungan dengan martabat manusia, melainkan krn tertampung dalam UUHak manusia mempunyai sifat dasar, asasi, sehingga disebut juga dengan HAMKarena diberikan oleh UU, maka pelanggaran hak UU dapat dituntut di depan pengadilan berdasarkan UUHAM dibagi menjadi:Hak yang diberikan UU antara lain:a. Hak asasi individual: kebebasan batin, kebebasan beragama, kebebasan hidup pribadi, nama baik, melakukan pernikahan, emansipasi wanitaa. Menjadi PNS atau anggota ABRIb. Hak asasi sosial: hak ekonomi, sosial dan kulturalb. Memilih dan dipilih dalam Pemilu c. Pensiun hari tua d. Santunan asuransi kecelakaan 3 arti etika menurut BERTENS:
  1. etika dipakai dlm arti nilai2 dan norma2 moral yg mjd pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dlm mengatur tingkah lakunya. Arti ini disebut jg sbg system nilai dlm hidup manusia perseorangan atau hdp bermasyarakat
  2. etika dipakai dlm arti kumpulan asas atau nilai moral yg dimaksud disini adl kode etik, misalnya kode etik advokat Indonesia, kode etik notaris Indonesia
  3. etika dipakai dlm arti ilmu ttg yg baik atau yg buruk. Arti etika disini sama dgn filsafat moral
 Menurut SUMARYONO (1995) etika berasal dari bhs yunani ethos yg mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan yg baik. Bertolak dari pengertian ini kemudian etika berkembang mjd studi ttg kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan wkt yg berbeda yg menggambarkan perangai manusia dlm kehidupan pd umumnya. Selain itu etika jg berkembang mjd studi ttg kebenaran dan ketdkbenaran berdasarkan kodrat manusia yg diwujudkan mll kehendak manusia. Etika perangai adl adat istiadat/ kebiasaan yg menggambarkan perangai manusia dlm hidup bermasy. Di daerah2 tertentu pd wkt tertentu pula.Etika moral berkenaan dgn kebiasaan berprilaku baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Etika berarti moralEtiket berarti sopan santun, tatakramaPersamaannya adalah keduanya mengenai perilaku manusia 4 Perbedaan etika dan etiket menurut BERTENS (1994);
  1. etika menetapkan norma perbuatan, apakah perbuatan itu blh dilakukan/ tdk, etiket menetapkan cara melakukan perbuatan, menunjukkan cara yg tepat baik dan benar sesuai dgn yg diharapkan
  2. etika berlaku tdk bergantung p dada tdknya org lain, etiket hny berlaku dlm pergaulan
  3. etika bersifat absolut, tdk dpt ditawar, etiket bersifat relative yg dianggap tdk sopan dlm suatu kebudayaan dpt saja dianggap sopan dlm kebudayaan lain
  4. etika memandang manusia dari segi dalam (batiniah), etiket memandang manusia dari segi luar (lahiriah)
 Etika adalah studi tentang kehendak manusia, etika berusaha menjelaskan persoalannya mengapa yang satu dinilai benar dan yang lain dinilai salah.Hadiah dinilai benar dan menyogok dinilai salah karena:
  1. Hadiah adalah nilai yang diperoleh penerima
  2. Nilai itu diputuskan oleh pemberi
  3. Keputusan pemberi berdasarkan kebebasan kehendak
  4. Kebebasan kehendak diwujudkan karena kesadaran diri pemberi
  5. Kesadaran diri pemberi adalah suara hati nuraninya
  6. Hati nuraninya adalah anugrah Tuhan kepada manusia spy berbuat baik dan benar
 Pekerjaan diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu:
  1. Pekerjaan dalam arti umum, yaitu pekerjaan apa saja yang mengutamakan kemampuan fisik, baik sementara atau tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan (contoh; kuli bangunan)
  2. Pekerjaan dalam arti tertentu, yaitu pekerjaan yang mengutamakan kemampuan fisik atau intelektual, baik sementara atau tetap dengan tujuan pengabdian (contoh; abdi dalem keratin, penjaga masjid)
  3. Pekerjaan dalam arti khusus, yaitu pekerjaan bidang tertentu, mengutamakan kemampuan fisik dan intelektual, bersifat tetap, dengan tujuan memperoleh pendapatan (contoh; dokter, pemadam kebakaran, notaris)
 Profesi adalah pekerjaan dalam arti khusus, kriterianya sbb:1. Meliputi bidang tertentu saja (spesialisasi)Pekerjaan bidang tertentu adalah spesialisasi yg dikaitkan dgn bidang keahlian yg dipelajari dan ditekuni, biasanya tdk ada rangkapan dgn pekerjaan lain diluar keahliannya itu.2. Berdasarkan keahlian dan ketrampilan khususPekerjaan bidang tertentu itu berdasarkan keahlian dan keterampilan khusus yg diperolehnya melalui pendidikan dan latihan. Pendidikan dan latihan itu ditempuhnya secara resmi pada lembaga pendidikan dan latihan yang diakui oleh pemerintah berdasarkan UU.3. Bersifat tetap atau terus menerusTetap artinya tdk berubah-ubah pekerjaan, sedangkan terus menerus artinya berlangsung utk jangka wkt lama smp pension atau berakhir masa kerja profesi ybs4. Lebih mendahulukan pelayanan daripada imbalan (pendapatan)Artinya mendahulukan apa yg hrs dikerjakan, bkn brp bayaran yg diterima. Seorang professional sll bekerja dgn baik, benar dan adil. Baik artinya teliti, tdk asal kerja, tdk sembrono. Benar artinya diakui oleh profesi ybs. Adil artinya tdk melanggar hak pihak lain5. Bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakatBertanggung jwb kpd diri sendiri artinya dia bekerja krn integritas moral, intelektual, dan professional sbg bagian dr kehidupannya.Bertanggung jwb kpn masyarakat artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dgn profesinya, tanpa membedakan pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yg bermutu, yg berdampak positif bg masyarakat.6. Terkelompok dalam suatu organisasiBERTENS menyatakan kelompok profesi merupakan masyarakat moral yg memiliki cita2 dan nilai2 bersama. Kelompok profesi memiliki kekuasaan sendiri dan tanggung jwb khusus. Sbg profesi, kelompok ini mempunyai acuan yg disebut kode etik profesi Franz Magis Suseno (1975) mengemukakan 3 nilai moral yang dituntut dari pengemban profesi yaitu:1. Berani berbuat untuk memenuhi tuntutan profesiMisalnya Notaris dalam menjalankan profesinya harus terus memperhatikan apakah melanggar ketentuan UU atau tdk, harus hati-hati dan berani menolak klien dgn sopan2. Menyadari kewajiban yang harus dipenuhi selama menjalankan profesiPasal 16 ayat 1 huruf a UUJN yakni jujur, amanah, seksama, tidak berpihak3. Idealisme sebagai perwujudan misi organisasi profesiMisalnya setelah lulus dari MKn langsung daftar menjadi anggota INI luar biasa. Franz Magis Suseno juga mengemukakan 5 kriteria nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian professional hukum;1. KejujuranKejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka professional hukum mengingkari misi profesinya sehingga dia menjadi munafik, licik, penuh tipu diri. 2 sikap yang terdapat dalam kejujuran;2. Sikap terbuka. Ini berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan melayani scr bayaran atau scr cuma-cuma3. Sikap wajar. Ini berkenaan dgn perbuatan yang tdk berlebihan, tdk otoriter, tdk sok kuasa, tdk kasar, tdk menindas, tdk memeras4. OtentikOtentik artinya menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Otentik pribadi professional hukum antara lain:
  1. tdk menyalahgunakan wewenang
  2. tdk melakukan perbuatan yg merendahkan martabat
  3. mendahulukan kepentingan klien
  4. berani berinisiatif dan berbuat sendiri dgn bijaksana, tdk semata-mata menunggu perintah atasan
  5. tidak mengisolasi diri dari pergaulan sosial
5. Bertanggung jawabDalam menjalankan tugasnya, professional hukum wajib bertanggung jawab artinya;
  1. kesediaan dgn melakuka sebaik mungkin tugas apa saja yang termaksud lingkup profesinya
  2. bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo)
  3. kesediaan memberikan laporan pertanggung jawaban atau pelaksanaan kewajibannya
6. Kemandirian moralKemandirian moral artinya tdk mudah terpengaruh atau tdk mdh mengikuti pandangan moral yg tjd di sekitarnya, melainkan membentuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri.7. Keberanian moralKeberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan utk menanggung resiko konflik. Keberanian tsb antara lain:
  1. menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap, pungli
  2. menolak tawaran damai di tempat atas tilang krn pelanggaran lalu lintas jalan
  3. menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yg tdk sah
 Akal adalah alat berpikir, sebagai sumber ilmu dan teknologi. Dgn akal manusia menilai mana yg benar dan mana yg salah.Perasaan adalah alat utk menyatakan keindahan, sbg sumber seni. Dgn perasaan manusia menilai mana yg indah (estetis) dan yg jelek, sbg sumber nilai keindahan.Kehendak adalah alat utk menyatakan pilihan, sbg sumber kebaikan. Dgn kehendak manusia menilai mana yg baik dan yg buruk, sbg sumber nilai moral. Pengawasan intern terhadap Notaris melalui pelaksanaan Kode Etik Notaris dilakukan oleh Dewan Kehormatan Daerah dan atau Pengurus Pusat INIPengawasan ekstern dilakukan oleh MPD, Wilayah, Pusat yg dibentuk oleh Kemenkumham.  Kebutuhan manusia diklasifikasikan mjd 4 jenis:
  1. kebutuhan ekonomi yg bersifat material, utk kesehatan dan keselamatan jasmani seperti pakaian, makanan, perumahan
  2. kebutuhan psikhis yg bersifat immaterial, utk kesehatan dan keselamatan rohani seperti pendidikan, hiburan, penghargaan, agama
  3. kebutuhan biologis yg bersifat seksual, utk membentuk keluarga dan kelangsungan hidup generasi scr turun temurun seperti perkawinan, berumah tangga
  4. kebutuhan pekerjaan yg bersifat praktis, utk mewujudkan ketiga jenis kebutuhan diatas seperti perusahaan, profesi
 Notaris harus memiliki prilaku professional. Unsur-unsur prilaku professional adalah sbb:
  1. keahlian yg didukung oleh pengetahuan dan pengalaman tinggi
  2. integritas moral artinya menghindari sesuatu yg tdk baik walaupun jasanya tinggi, pelaksanaan tugas profesi diselaraskan dgn nilai2 kemasyarakatan, sopan santun dan agama
  3. jujur tdk saja pd pihak kedua atau pihak ketiga tetapi jg pd diri sendiri
  4. tdk semata-mata pertimbangan uang, melainkan juga pengabdian, tdk membedakan antara org mampu dan tdk mampu
  5. berpegang teguh pd kode etik profesi krn didlmnya ditentukan segala prilaku yg hrs dimiliki oleh notaris, termasuk berbahasa Indonesia yg sempurna.
 Kode etik profesi perlu dirumuskan scr tertulis, alasan menurut SUMARYONO (1995):1. sbg sarana control sosialkode etik profesi mrpkn kriteria prinsip professional yg telah digariskan shg dpt diketahui dgn pasti kewajiban professional anggota lama, baru maupun calon anggota kelompok profesi. Anggota kelompok profesi dpt melakukan control mll rumusan kode etik profesi, apakah anggotanya telah memenuhi kewajiban profesionalnya sesuai dgn kode etik profesi2. sbg pencegahan campur tangan pihak lainkode etik profesi telah menentukan standarisasi kewajiban professional anggota kelompok profesi, dgn demikian pemerintah atau masy tdk perlu lg campur tangan utk menentukan bgmana seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan kewajiban profesionalnya.

3. sbg pencegahan kesalahpahaman dan konflik sesama anggotakode etik profesi merupakan kristalisasi prilaku yg dianggap benar menurut pendapat umum krn berdasarkan pertimbangan kepentingan profesi ybs

1.
Cara terjadinya gadai pada piutang atas bawa (aan toonder)

  • Perjanjian gadai; antara debitur dan kreditur membuat perjanjian untuk menberikan hak gadai baik secara tertulis (otentik), dibawah tangan maupun secara lisan (pasal 1151 KUHPer)
  • Penyerahan surat buktinya
Pada pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa: “gadai surat atas piutang bahwa terjadi dengan menyerahkan surat itu kedalam tangan pemegang gadai atau pihak ketiga yang disetujui oleh kedua belah pihak”.Perlu untuk diketahui bahwa piutang atas bawa selalu ada surat buktinya, surat bukti ini mewakili piutang. Cara meletakkan hak gadai pada piutang atas bawa yaitu dengan menahan surat bukti yang dijaminkan kepada kreditur atas jumlah uang tertentu, yang berakhir dengan adanya pelunasan atas prestasi dari debitur. 

Cara terjadinya gadai pada piutang atas tunjuk (aan oerder)

  • Perjanjian gadai; antara debitur dan kreditur membuat perjanjian gadai berupa persetujuan kehendak untuk mengadakan hak gadai yang dinyatakan oleh para pihak
  • Adanya endosemen yang diikuti dengan penyerahan suratnya
Pasal 1152 bis KUH Perdata disebutkan bahwa: “untuk mengadakan hak gadai piutang atas tunjuk diperlukan adanya endosemen pada surat hutangnya dan diserahkan hutang pada pemegang gadai”. Untuk itu cara meletakkan hak gadai pada piutang atas tunjuk, surat hutangnya harus dipindahkan (diendoser) dan diserahkan kepada penerima gadai. Pada endosemennya dicatat bahwa piutangnya telah digadaikan. Setelah perjanjian gadai berkahir maka diendoser pada pemberi gadai lagi. 

Cara terjadinya gadai pada piutang atas nama

  • Perjanjian gadai; antara debitur dan kreditur membuat perjanjian gadai yang bentuknya harus tertulis
  • Adanya pemberitahuan kepada debitur dari piutang yang digadaikan
Pasal 1153 KUH Perdata menyebutkan bahwa “hak gadai piutang atas nama diadakan dengan memberitahukan akan penggadaiannya (perjanjian gadainya) kepada debitur”.Cara penyerahan piutang atas nama (vordering op naam), dengan jalan memberitahukan mengenai perjanjian gadainya kepada debitur, yaitu terhadap siapa hak gadai itu akan dilaksanakan. Setelah pemberitahuan debitur hanya dapat membayar hutangnya pada pemegang gadai atau berpiutang (yang menerima gadai). Pemberitahuan ini dapat dilakukan secara bebas, dapat dengan lisan maupun tertulis. Dalam gadai piutang atas nama, yang digadaikan adalah atas nama, yaitu perjanjian gadai antara kreditur (pemegang gadai) dan pemberi gadai, sehingga penyerahan piutang atas nama ini dilakukan dengan cessie. Namun untuk gadai tagihan-tagihan atas nama tidak diisyaratkan adanya cessie dan juga karenanya tidak diisyaratkan adanya akta-akta otentik atau dibawah tangan, melainkan setelah penyerahan atau pelimpahan itu, diberitahukan kepada debitur atau secara tertulis disetujui dan diakui oleh debitur. Pemberitahuan dengan juru sita perlu diadakan apabila debitur tidak bersedia memberikan keterangan tertulis tentang persetujuan pemberian gadai itu.   2.​Pasal 1155 dan 1156 KUHPer mengatur eksekusi objek jaminan gadai. Pasal 1155 KUHPer merupakan Parate Eksekusi yaitu hak untuk menjual barang gadai dengan kekuasaan sendiri apabila debitur wanprestasi atau Eksekusi Serta Merta (tidak didasarkan persetujuan debitur) Pasal tsb menunjukkan bahwa ketentuan pasal 1155 KUHPer merupakan ketentuan yang bersifat pelengkap/ mengatur (aanvullendrecht), karena para pihak bebas menetapkan lain. Sejak saat debitur atau pemberi gadai wanprestasi, maka lahirlah hak tersebut. Hak ini juga diberikan oleh undang-undang, tidak perlu diperjanjikan. 

Wanprestasi/ cedera janji;

  • Apabila ada ketentuan waktu sebagai batas akhir namun telat membayar
  • Apabila tidak ditentukan waktunya, perlu diberikan peringatan/ somasi terlebih dahulu.
 
Cara penjualannya adalah;
  1. Menjual barang gadai dimuka umum/ public selling berdasarkan kebiasaan setempat dan ketentuan yang berlaku. Yang boleh diambil adalah utang pokoknya, bunga dan biaya yang muncul dari pendapatan menjual.
  2. Terhadap barang perdagangan atau efek dapat dijual dipasar atau bursa (saham public). Harus dengan dua orang makelar yang ahli dalam perdagangan itu.
 Pasal 1156 KUHPer merupakan Rieel Eksekusi yaitu hak untuk menjual barang gadai melalui perantaraan hakim. Memberikan hak kepada penerima gadai mengajukan tuntutan ke pengadilan agar hakim atau pengadilan menjatuhkan putusan penjualan barang gadai menurut cara yang ditentukan hakim atau pengadilan. 

Cara penjualannya adalah private selling;

  • Karena ada barang-barang tertentu yang tidak laku di public selling atau kalau di public selling harganya menjadi turun
  • Sifatnya hanya pemberitahuan, bukan persetujuan
 3.Larangan diadakannya Fidusia ulang ditegaskan dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yaitu bahwa Pemberi Fidusia dilarang melakukan Fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia, baik debitur maupun penjamin pihak ketiga adalah oleh karena hak milik atau benda tersebut telah beralih kepada Penerima Fidusia.Jika dikaitkan dengan pasal 28, maka apa yang ditegaskan dalam pasal 17 berikut penjelasannya menimbulkan suatu tanda tanya sebab pasal 28 tsb menyatakan:“Apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada kantor pendaftaran fidusia” Sehubungan dengan itu bukankah benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah lebih dahulu didaftar berdasarkan ketentuan pasal 17 tidak dapat didaftarkan kembali. Sedangkan hak mendahulu bagi kreditur preferen baru timbul jika ada lebih dari satu kreditur pemegang fidusia yang memperoleh bagiannya dari hasil penjualan benda yang dijadikan jaminan dalam hal terjadi eksekusi. Padahal waktu terjadi eksekusi berdasarkan pasal 17 tidak mungkin ada kreditur pemegang fidusia yang kedua karena pasti tidak diizinkan atau ditolak oleh Kantor Pendaftaran Fidusia. 4.Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa pemberi fidusia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan. Namun hal itu tidak berlaku jika telah terjadi cidera janji/ wanprestasi oleh debitur dan/ atau pemberi fidusia pihak ketiga (ayat 2). Benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang telah dialihkan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib digantikan oleh pemberi fidusia dengan objek yang setara (ayat 3). Sedangkan dalam hal pemberi fidusia cedera janji, maka hasil pengalihan dan/ atau tagihan yang timbul karena pengalihan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 demi hukum menjadi objek jaminan fidusia pengganti dari objek jaminan fidusia yang dialihkan (ayat 4). Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa ketentuan pasal 21 menegaskan kembali bahwa pemberi fidusia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia, namun untuk menjaga kepentingan penerima fidusia maka benda yang dialihkan tsb wajib diganti dengan objek yang setara. Yang dimaksud dengan mengalihkan antara lain termasuk menjual atau menyewakan dalam rangka kegiatan usahanya. Yang dimaksud dengan setara tidak hanya nilainya tapi juga jenisnya. 

Pembeli benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang merupakan benda persediaan, menurut pasal 22 UUF bebas dari runtutan meskipun pembeli tsb mengetahui tentang adanya jaminan fidusia itu dengan ketentuan bahwa pembeli telah membayar lunas harga penjualan benda tsb sesuai dengan harga pasar. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 21, menurut pasal 23 ayat 1 apabila penerima fidusia setuju bahwa pemberi fidusia dapat menggunakan atau menggabungkan, mencampur, atau mengalihkan benda atau hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia, atau menyetujui melakukan penagihan atau melakukan kompromi atas piutang, maka persetujuan tsb tidak berarti bahwa penerima fidusia melepaskan jaminan fidusia. Namun berdasarkan pasal 23 ayat 2 ada larangan bagi pemberi fidusia untuk mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda persediaan kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia. 

Prinsip dasar yang terkandung dalam pasal 1131 KUHPer yaitu:1. Utang selalu dapat ditagihPada dasarnya sudah terjadi kesepakatan antara kreditur dan debitur (pasal 1320 KUHPer mengenai syarat sah perjanjian) yang ditekankan oleh pasal 1338 KUHPer bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.Penagihan bisa dilakukan dengan:a. kontraktual; durasi waktu dan term nya sudah ditentukanb. unkontraktual; tidak ditentukan jangka waktu utang sehingga cara penagihannya memberikan peringatan untuk pembayaran dengan jangka waktu yang patut (tepat dan pantas) pada umumnya 14 hari. 2. Utang tidak pernah dapat hapusKecuali telah melaksanakan hal-hal yang terkandung dalam pasal 1381 mengenai hapusnya perikatan yang didalamnya juga mengatur tentang hapusnya utang oleh karena adanya;

  1. pembayaran
  2. pembebasan (perbuatan sepihak) yaitu tindakan atau komitmen sepihak dari kreditur yang menyebabkan kewajiban debitur dan harus murni dari kreditur/ tidak bisa dipaksakan.
  3. daluwarsa (pasal 1967 KUHPer); 30 tahun berturut-turut
Karena esensinya menghapus utang bahwa orang yang berutang menjadi tidak terbebani lagi. Dalam hal utang perorangan, bahkan setelah debitur meninggal dunia pun utang tersebut harus ditanggung oleh ahli warisnya (pasal 1100 KUHPer). Sedangkan dalam hal utang badan hukum, perlu melihat bahwa atas kesalahan siapa yang mengakibatkan perusahaan tersebut merugi/ atas tindakan lalai. Namun secara hukum pada dasarnya direksi memiliki financiary duty, pasal 97 ayat 3 dan 4 UUPT (UU No. 40 Tahun 2007) menyatakan bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya baik secara individu maupun tanggung renteng kecuali dapat membuktikan hal-hal di ayat 5 pasal yang sama. 3. Kebendaan apapun menjadi jaminan utangPrinsip Paritas Creditorium, yakni:
  1. semua barang debitur yang sudah ada (pada saat utang dibuat)
  2. semua barang yang akan ada (pada saat pembuatan utang belum menjadi kepunyaan debitur tapi kemudian menjadi miliknya)
  3. baik barang bergerak maupun tidak bergerak
Ini menunjukkan bahwa piutang kreditur menindih pada seluruh harta debitur tanpa kecuali.  Pasal 1132 KUHPerdata mengatur bahwa pada dasarnya pembagian kekayaan debitur harus dilakukan secara pari passu pro rata parte, kecuali ada hak yang didahulukan. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte adalah bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara mereka kecuali ada hak untuk didahulukan. Prinsip tersebut dapat digunakan antara kreditur konkuren oleh karena kreditur memiliki tingkatan yang sama maka pendapatan penjualan tersebut dapat dibagikan secara proporsional diantara mereka sesuai dengan besar kecilnya piutang masing-masing (Pasal 1131 KUHPer jo. 1132 KUHPer). Sementara kreditur preferen adalah kreditur yang karena undang-undang diberi tingkatan yang lebih tinggi daripada kreditur lainnya semata-mata berdasarkan sifat piutang yang diatur dalam pasal 1139 KUHPer dan pasal 1149 KUHPer. Prinsip pari passu pro rata parte tidak dapat digunakan antara sesama kreditur preferen yang telah diatur tingkatannya. Pasal 1134 KUHPer menyebutkan bahwa Gadai dan Hipotik mempunyai kedudukan yang lebih tinggi terhadap hak istimewa/ prIviledge (sekarang termasuk hak tanggungan dan fidusia). Jadi, hak yang didahulukan yang berasal dari perjanjian kedudukannya lebih unggul daripada yang diberikan oleh undang-undang. Namun prinsip tersebut bisa digunakan antara sesama kreditur preferen yang sama tingkatannya, yakni berlaku antara mereka ketentuan kreditur konkuren (pasal 1136 KUHPer).  Pasal 1834 KUHPer mengatur bahwa penanggung yang mempergunakan hak istimewa nya agar kekayaan debitur terlebih dahulu disita dan dijual untuk pelunasan utang nya diwajibkan menunjukkan benda-benda debitur yang akan disita dan dijual, kecuali benda-benda yang;1. sedang sengketa di pengadilanbenda yang sedang sengketa di pengadilan belum memiliki status hukum yang jelas/ belum mendapat keputusan tetap dari pengadilan sehingga tidak bisa dijual/ tidak likuid untuk dijaminkan2. sudah dibebankan hak jaminan kebendaanjaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dan dapat di peralihkan. Jaminan kebendaan tersebut dibagi menjadi 2 yaitu  Benda Bergerak, lembaga jaminannya adalah: Gadai, Fidusia dan Benda Tidak Bergerak lembaga jaminannya: hipotik dan hak tanggunganjadi apabila suatu benda tersebut sudah dijadikan suatu jaminan terhadap suatu perikatan maka tidak lagi bisa dijaminkan untuk perikatan lainnya/ benda tsb telah dimiliki oleh kreditur lain yang didahulukan dalam pengambilan pelunasan daripada kreditur lainnya.3. diluar penguasaan debiturJaminan adalah suatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. Apabila benda yang dijaminkan itu diluar penguasaan debitur atau secara fisik tidak dipegang oleh debitur (misalnya sudah digadaikan) maka tidak ada kepastian yang jelas akan pelunasan utang kepada kreditur4. benda berada di luar negeriTerkait dengan daya eksekusi nya (asas territorial) oleh karena benda tersebut berada di luar negeri maka hukumnya menjadi tidak berlaku diluar wilayah Indonesia/ tunduk pada hukum setempat. Penanggungan yang terdiri dari beberapa orang bertindak sebagai penanggung, masing-masing terikat untuk seluruh utang yang ditanggung. Namun penanggung dapat melepaskan dirinya dari penanggungan yang bersifat renteng tersebut apabila;Penanggung dalam keadaan tidak mampu (pasal 1837 dan 1838 KUHPer) walaupun sudah ada pemecahan utangnya atau penanggung dinyatakan pailit atau digugat di depan pengadilan Penanggung juga memiliki hak untuk diberhentikan dari penanggungan karena terhalang melakukan subrogasi akibat perbuatan kesalahan kreditur (pasal 1848 KUHPer) Subrogasi dalam penanggungan terjadi apabila si penanggung yang telah membayar, menggantikan demi hukum segala hak si berpiutang terhadap di berutang (pasal 1840 KUHPer). Subrogasi juga diterangkan dalam pasal 1400 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang kedapa seorang pihak ketiga yang membayar kepada si berpiutang itu, baik dengan persetujuan (pasal 1401 KUHPer) maupun demi undang – undang (pasal 1402 KUHPer). Akibat hukum yang timbul terkait dengan utang piutang, tanggung jawab debitur, kreditur dan penanggung. Akibat hukumnya adalah bahwa perjanjian utang piutang tsb masih berjalan namun penanggung yang telah membayar tersebut (posisinya sekarang berganti menjadi kreditur) dapat menuntutnya kembali dari si berutang baik mengenai uang pokoknya maupun bunga serta biaya-biaya (pasal 1839 KUHPer). Dalam pasal 1841 KUHPer menjelaskan bahwa debitur lebih dari 1 orang dan penanggung hanya 1 orang, penanggung diberikan opsi untuk menentukan cara pembayaran baik dengan menuntut masing-masing debitur maupun memilih sala satu yang dianggap mampu bayar. Para debitur ini bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap utangnya ke penanggung. Dalam pasal 1842 KUHPer menjelaskan bahwa penanggung berhak untuk meminta pengembalian pembayaran kepada kreditur yang mempunyai itikad baik dalam hal;
  • Penanggung dan debitur sama-sama melakukan pembayaran utang kepada kreditur (double payment).
  • Penanggung sudah membayar namun ternyata perjanjian antara debitur dan kreditur dibatalkan.
 Penanggung juga dapat menuntut si berutang untuk diberikan ganti rugi atau untuk dibebaskan dari perikatannya, bahkan sebelum ia membayar utangnya (pasal 1843 KUHPer) Pasal 1844 KUHPer
  • dalam kondisi penanggung melunasi utang karena digugat di muka Hakim dan penanggung lainnya tidak mampu bayar, maka penanggung boleh menuntut haknya ke penanggung lainnya sesuai proporsinya namun bersifat sementara karena bisa menuntut ke debitur.
  •  Apabila debitur di pailitkan, penanggung bisa menuntut ke penanggung lainnya tapi hak para penanggung tidak dijaminkan kembali oleh karena debitur telah pailit

Definisi pajak: Suatu kontribusi wajib/ pungutan sebagai prestasi keuangan yang diperoleh dari seseorang melalui kekuasaan bersifat definitif dan tanpa kontra prestasi untuk menutup pengeluaran negara 

Azas/ Prinsip Umum Hk Pajak Adam Smith (wealth of nation):

  1. Prinsip keadilan (justice) – pajak dipungut secara seimbang, sesuai dgn kemampuan masing-masing
  2. Prinsip kepastian (certainty) – yg dipungut hrs jelas, subjeknya, objeknya, tariff dsb
  3. Prinsip kemudahan (convenient) – yg dipungut dalam keadaan mempunyai penghasilan/ uang
  4. Prinsip ekonomi
 UU Pajak membatasi diri pada 5 sifat:1. Mutabilitas – dapat menyesuaikan dengan perkembangan2. Territoriality – hk pajak hanya diterapkan di batas Negara tsb. Contoh: Amerika menganut prinsip citizenship, shg dimanapun WN berada dapat dipungut pajak, sedangkan Indonesia menganut prinsip residentship.3. Mengatur kepentingan umum/ public (public order)4. Hk pajak bersifat otonom – hk pajak dpt menentukan sendiri prinsip-prinsip nya dgn tdk tunduk pd cabang hk yg laincontoh; hk pajak dpt menentukan sendiri apa yg dimaksud dgn subjek pajak dlm negeri tanpa bergantung pd peraturan. UU mengenai kewarganegaraan.5. Hk pajak bersifat riil (realism du droit fiscal) – melihat fakta yang sebenarnya/ substansinya dari suatu tindakan/ perbuatan hk yg menimbulkan kewajiban pajakcontoh; perbuatan, tindakan, peristiwa/ keadaan yg menimbulkan kewajiban pajak regardless of legal/ illegal, moral/ immoral. In dubio contra fiscum – krn pajak adalah hk publik, maka dalam hal terjadi peraturan/ keraguan maka yang diputuskan harus yang menguntungkan masyarakatTujuan/ Fungsi pajak:1. Keuangan – membiayai pengeluaran Negara

2. Ekonomi – utk mendorong bidang-bidang ekonomi tertentua. Bersifat struktural – contohnya;

  • Mendatangkan investasi utk menyediakan kesempatan kerja shg dpt bebas pajak (tax holiday) selama 5 – 10 thn
  • Investment allowance dlm bentuk biaya sbg dasar pengurangan penghasilan yg kena pajak
  • Excelerated depreciation, termasuk penghapusan biaya utk fixed asset
  • Kompensasi kerugian
b. Bersifat konjungtural – misalnya dlm keadaan inflasi, mengurangi jumlah uang yg beredar3. Sosial – pemerataan daripada distribusi pendapatan diantara masyarakat Penggolongan Pajak:1. Berdasarkan fungsi/ tujuan pajak

a. penggolongan pajak bersifat doktrinal

  • pajak tunggal dan multiple
  • pajak analitis dan sintesis
b. penggolongan pajak bersifat operasional
  • pajak langsung
  • pajak tidak langsung
2. Berdasarkan teknik penghitungan pajak
  • pajak spesifik
  • pajak ad valorem
3. Berdasarkan resonansi politik
  • Pilihan pajak riil
  • Pilihan pajak progresif dan pajak proporsional
  • Pilihan pajak dibayar dan pajak diterima
4. Berdasarkan jenis/ sosiologis
  1. Sosial - pilihan pajak riil dan pajak personil
  2. Ekonomi – pilihan pajak penghasilan (PPh), pajak atas capital (PBB), dan pajak atas konsumsi (PPN, PPNBM)
  3. Yuridis – pilihan pajak langsung dan tidak langsung
 
Teori timbulnya hutang pajak:
  1. Hutang pajak timbul krn “taatbestand” yaitu keadaan, peristiwa, atau perbuatan yang menurut ketentuan undang-undang dapat dikenakan pajak – system self assessment (ajaran materiil). Contoh: PPh & PPN
  2. Hutang pajak timbul krn adanya tindakan adminitratif dari Fiskus – system official assessment/ oleh pejabat (ajaran formil). Contoh: SKP & SPPT
 
Pembagian Hk Pajak:
  1. Hk Pajak Formil – Hk yg mengatur mengenai hak dan kewajiban WP
  2. Hk Pajak Materil – Hk yg mengatur subjek, objek, tariff, cara menghitung pajaknya
 Penghindaran Pajak:Sebab yg bersifat moral, Sebab yg bersifat yuridis, Sebab yg bersifat ekonomi, Sebab yg bersifat tehnik 

Bentuk Penghindaran Pajak:

  1. Tax avoidance – usaha utk menghindari pajak dgn memanfaatkan ketentuan UUP itu sendiri
  1. Abstinent – absen melakukan usaha
  2. Memanfaatkan “loop holes”/ kekosongan UU
  1. Tax evasion – melanggar ketentuan UU, misalnya;
  1. tdk melaporkan objek yg sebenarnya
  2. rekayasa pembukuan

Unsur2 pengertian pajak:
  • pungutan wajib
  • prestasi keuangan/ dlm bentuk uang (jaman dulu dlm bentuk barang)
  • yang diperoleh dari seseorang (subyek pajak – individu, badan usaha dll)
  • melalui azas authority/ kekuasaan (yg memungut otoritas pajak)
  • bersifat definitive (pasti jumlahnya/ sesuai dgn peraturan perUUan)
  • tanpa kontra prestasi (utk pembenaran pemungutan, konsep pajak adl utk membiayai pengeluaran negara/ kepentingan bersama, abad pertengahan pajak dipungut krn ada kontra prestasi – menjadi/ menikmati keamanan, bersifat asuransi)
  • utk menutup pengeluaran Negara/ kepentingan bersama (tujuan pemungutan pajak membiayai pelayanan publik)
 Hk pajak bersifat otonom artinya hk pajak dpt menentukan sendiri prinsip-prinsip nya dgn tdk tunduk pd cabang hk yg lain. Contoh; hk pajak dpt menentukan sendiri apa yg dimaksud dgn subjek pajak dlm negeri tanpa bergantung pd peraturan UU mengenai kewarganegaraan.Hk pajak bersifat riil (realism du droit fiscal) artinya melihat fakta yang sebenarnya/ substansinya dari suatu tindakan/ perbuatan hk yg menimbulkan kewajiban pajak. Contoh; perbuatan, tindakan, peristiwa/ keadaan yg menimbulkan kewajiban pajak regardless of legal/ illegal, moral/ immoral (missal penyelundupan, prostitusi) Subjek Pajak adalah orang, atau badan atau kesatuan lainnya yang memenuhi persyaratan subjektif . Subjek pajak juga dapat dikatakan sebagai pihak yang dituju oleh undang-undang perpajakan untuk dikenakan pajak.

Subjek pajak menurut UU PPh terdiri dari:

  1. Orang Pribadi
  2. Warisan blm terbagi sbg satu kesatuan
  3. Badan; PT, CV, Firma, Koperasi, Dana Pensiun, dll
  4. Bentuk Usaha Tetap; Kantor Perwakilan, Cabang perusahaan, Gudang dll
 
Objek pajak dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk menghitung pajak terutang. Pada prinsipnya segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa. Misalnya;
  1. Keadaan: kekayaan seseorang pada saat tertentu; memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi
  2. Perbuatan: melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan rumah atau gedung
  3. Peristiwa: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak
 
Macam-macam objek pajak;
  1. Objek pajak PPh
  2. Objek pajak PPN
  3. Objek pajak PPN BM
  4. Objek pajak PBB
  5. Objek pajak BPHTB
  6. Objek pajak Bea Materai
​Fungsi SPTSurat Pemberitahuan atau SPT adalah surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Daluwarsa penetapan pajak ditentukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan surat ketetapan pajak diterbitkan.Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau Peninjauan Kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

Daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila (psl 14 UU 16/2009):

  1. diterbitkan Surat Paksa
  2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung
  3. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
  4. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
 Teori timbulnya hutang pajak:Teori 1 Hutang pajak timbul krn “taatbestand” yaitu keadaan, peristiwa, atau perbuatan yang menurut ketentuan undang-undang dapat dikenakan pajak – system self assessment (ajaran materiil). Contoh: PPh, PPN, PPN BM 

Teori 2 Hutang pajak timbul krn adanya tindakan adminitratif dari Fiskus – system official assessment/ oleh pejabat (ajaran formil). Contoh: SKP, SPPT (PBB)

UUJN – UU No. 30 tahun 2004 jo. UU No. 2 tahun 2014 Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini atau berdasarkan UU lainnya (pasal 1 ayat 1 UUJN) Akta Notaris adalah akta autentik yang yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UU ini (pasal 1 ayat 7 UUJN) Minuta Akta adalah asli akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi dan Notaris yang disimpan sebagai bagian dari protocol notaris (pasal 1 ayat 8 UUJN) Salinan akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta tercantum frasa “diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya” (pasal 1 ayat 9 UUJN) Kutipan akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari akta dan pada bagian bawah kutipan akta tercantum frasa “diberikan sebagai kutipan” (pasal 1 ayat 10 UUJN) Grosse akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan kepala akta “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang mempunya kekuatan eksekutorial (pasal 1 ayat 11 UUJN) Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (pasal 2 UUJN) 

Syarat untuk diangkat menjadi notaris (pasal 3 UUJN):

  1. WNI
  2. Bertakwa kpd Tuhan YME
  3. Berumur paling sedikit 27 thn
  4. Sehat jasmani dan rohani
  5. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan
  6. Telah menjalani magang atau telah bekerja di kantor notaris dalam waktu paling singkat 24 bulan berturut-turut atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi organisasi notaris setelah lulus strata dua kenotariatan
  7. Tidak berstatus sbg pegawai negeri, pejabat Negara, advokat, atau jabatan lain yang oleh UU dilarang utk dirangkap dgn jabatan notaris
  8. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan krn tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 thn atau lebih.
 Akta berasal dari bahasa latin Acta yang berarti suratMenurut R Subekti dan Citrosudibjo dalam buku kamus hukum akta merupakan bentuk jamak dari actum yang artinya perbuatan-perbuatan.Akta adalah suatu surat yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atas perikatan dan ditandatangani diperuntukkan sebagai alat bukti.Menurut Sudikno Mertokusumo akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa hukum yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan yang dibuat dengan sengaja untuk pembuktian. 

Akta terdiri dari;

  1. Akta otentik
  2. Akta bawah tangan
  Perbedaan akta otentik dan akta bawah tangan noakta otentikakta bawah tangan1dasar hukum psl 1868 KUHPerdasar hukum psl 1869 KUHPer2alat bukti yang sempurnamenjadi alat bukti sempurna hanya jika diakui oleh para pihak yang ttd3mengikat pihak ketigatidak mengikat pihak ketiga4dibuat oleh atau dihadapan pejabat umumdapat dibuat oleh siapa saja5bentuknya ditentukan UUbentuknya ditentukan sendiri oleh pembuatnya6harus dibuat di dalam wilayah jabatan pejabat umum yang membuatnyaboleh dibuat dimana saja Apabila penghadap tidak dapat membubuhkan ttd:Sesuai dengan pasal 44 UUJN apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tandatangan dengan pengganti tanda tangan (surrogate) yaitu suatu keterangan dari para penghadap karena tidak bisa membubuhkan tanda tangan yang ditulis oleh notaris di akhir akta sebagai bukti otentisitas dan cap jempol. 

Bagian dari akta otentik yang ditentukan UUJN (pasal 38) yaitu:

  1. judul
  2. nomor
  3. jam, hari, tanggal, bulan, tahun
  4. nama lengkap dan tempat kedudukan notaris
  1. nama lengkap, TTL, kewarganegaraan, pekerjaan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/ org yg diwakili
  2. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap
  3. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan para pihak yg berkepentingan
  4. nama lengkap, TTL, kewarganegaraan, pekerjaan, kedudukan, tempat tinggal para saksi pengenal
  1. uraian ttg pembacaan akta
  2. uraian ttg penandatanganan dan tempat penandatanganan
  3. nama lengkap, TTL, kewarganegaraan, pekerjaan, kedudukan, tempat tinggal para saksi akta
  4. uraian ttg ada tdknya perubahan berupa penambahan, coretan atau penggantian
 Akta relaas/ akta pejabat adalah akta yang dibuat oleh notarisAdalah akta yang dibuat oleh notaris dimana notaris (dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris) mencatat apa yang didengar, dilihat dan disaksikan (notaris seolah bertindak sebagai notulen). Contoh: RUPS PTTtd tidak merupakan suatu keharusan, misalnya dalam pembuatan berita acara Akta partij adalah akta yang dibuat dihadapan notarisAdalah akta yang dibuat berdasarkan keterangan dari para pihak, mengkonstantir dan memberikan penyuluhan hukum kepada pihak tsb kemudian menuangkannya dalam bentuk akta sesuai ketentuan UU. Contoh: akta jual beli, waris, hibahSyarat otentisitas: sudah harus disusun, dibacakan dan di ttd para pihak 

Cara notaris mengenal penghadap:

  1. mengenal secara pribadi orang tsb
  2. mengenal dari bukti identitas diri seperti KTP, paspor, SIM dari Foto, muka, ttd dsb. Dapat juga penghadap diperkenalkan oleh 2 orang saksi pengenal atau 2 orang penghadap lainnya.
 
Notaris tidak boleh menolak dalam memberikan pelayanan kecuali:
  1. Apabila akta tsb bertentangan dengan hukum
  2. Akta tsb peruntukkannya utk diri sendiri, keluarga sampai dengan derajat ketiga
  3. Bilamana notaris tidak bisa mengenal penghadap
  4. Bilamana penghadap tidak bisa mengemukakan kehendaknya
 Minuta akta adalah asli akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan notaris yang disimpan sebagai bagian dari protokol notaris (pasal 1 ayat 8 UUJN) Akta in Originali adalah akta yang dibuat dimana asli akta tidak disimpan oleh notaris dan diserahkan kepada para pihak (hanya sekali pakai), akta yang bersifat sumir (misal akta protest) dan bisa dibuat rangkap 2 dengan nomor yang sama dan kekuatan pembuktian yang sama (pasal 16 ayat 2-5). Contoh: Kuasa Menjual Pihak dalam akta dengan kehadiran sendiri adalah orang yang datang kepada notaris dalam kedudukannya bertindak utk diri sendiriPihak dalam akta melalui kuasa adalah orang yang datang kepada notaris dalam kedudukannya bertindak mewakili orang lain melalui kuasaPihak dalam akta dalam jabatan atau kedudukan adalah orang yang datang kepada notaris dalam kedudukannya memiliki wewenang untuk bertindak atas nama perusahaan. Fungsi saksi adalah:Untuk memenuhi syarat otentisitas suatu akta (pasal 41 UUJN) yang menyaksikan formalitasnya bahwa notaris telah memenuhi syarat sah nya pembuatan suatu akta yaitu disusun, dibacakan dan ditandatangani oleh para pihak, saksi dan notaris di dalam wilayah jabatan notaris. Saksi testeren adalah saksi yang mengenalkan penghadap kepada notarisSaksi akta/ instrumenter adalah saksi yang menyaksikan peresmian suatu akta, apakah sudah memenuhi syarat-syarat formal dan prosedurnya. 

Syarat saksi (pasal 40 ayat 2 UUJN)

  1. Paling rendah berumur 18 thn atau sudah menikah
  2. Cakap melakukan perbuatan hukum
  3. Mengerti bahasa yg digunakan dalam akta
  4. Dapat membubuhkan ttd dan paraf
  5. Tidak mempunyai hub perkawinan atau hub darah dlm garis lurus keatas atau kebawah tanpa pembatasan derajat dan kesamping sampai derajat ketiga dengan notaris atau para pihak
Keterikatan antara sumpah jabatan dengan pelaksanaan jabatan notarisNotaris adalah pejabat umum yang mendapat kewenangan atributif dari Negara. Utk dpt melaksanakan jabatannya sbg pejabat umum, notaris harus disumpah terlebih dahulu. Tanpa adanya sumpah jabatan, notaris blm dpt membuat akta otentik. Apabila dia membuat akta sebelum disumpah maka aktanya hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Notaris sebagai pejabat umum adalah orang yang memenuhi syarat tertentu yang diangkat oleh Negara atau mendapat kewenangan dari negara untuk melaksanakan sebagian fungsi publik di bidang hukum perdata. Notaris pertama di Indonesia adalah Melchior Karchem 27 Aug 1620 UUJN merupakan peraturan penjabaran dari pasal 1868 KUHPer. (Tentang akta otentik psl 38 UUJN) 

Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna (AS IS) yang tidak bisa disanggah atau dipertanyakan;

  1. kekuatan bukti diri
  2. kekuatan pembuktian formal (oleh krn yg membuat adalah pejabat yg ditunjuk oleh Negara maka dipastikan kebenarannya dijamin kec bisa dibuktikan sebaliknya)
  3. kekuatan pembuktian materiil (dijamin kebenarannya pasti sesuai dengan keterangan atau kehendak para pihak penghadap)
  

Dalam suatu akta, notaris harus menjamin;

  1. tanggal yg tertera adalah benar
  2. yang menghadap adalah orang yang sebenarnya
  3. tanda tangan adalah sesuai
 Akta berasal dari suatu tulisan yang di ttd (yang mengikat orang yang menandatangani) – akta dibawah tangan Tulisan adalah kumpulan huruf yang mengandung makna yang menggambarkan buah pikiran suatu orang Dari tulisan tsb agar bisa dipertanggung jawabkan maka di ttd 

Kapan suatu akta menjadi otentik? Setelah diresmikan oleh notaris, yakni memenuhi syarat verleiden: disusun, dibacakan dan di ttd.

Direksi Sebagai sebuah badan hukum, PT mempunyai organ-organ yang memiliki fungsi masing-masing. Organ perseroan tersebut terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris (Pasal 1 ayat (2) UUPT). Ketiga organ perseroan inilah yang menjadikan PT dapat melakukan tindakan dan perbuatan hukum dengan pihak lain. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar (Pasal 1 ayat (5) UUPT). 

Hal apa saja yang harus diperhatikan Notaris ketika akan dilakukan pemberhentian dan/ atau penggantian Direksi?

 Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Notaris apabila ada pemberhentian atau penggantian Direksi adalah sebagai berikut;
  • Identitas penghadap dan kewenangan bertindaknya
Notaris perlu memperhatikan siapa yang datang kepada Notaris dalam hal permintaan pemberhentian/ penggantian Direksi tersebut. Apakah dalam hal ini penghadap merupakan salah satu Direktur sebagai orang yang mempunyai kewenangan mewakili perusahaan atau pihak lain dalam perusahaan yang harus menjelaskan kewenangan bertindaknya dengan didukung oleh surat kuasa yang sesuai dengan kuasa bertindaknya.
 
  • Anggaran Dasar Perusahaan
Tata cara pengangkatan, penggantian, serta pemberhentian Direksi dan/atau Dewan Komisaris diatur dalam anggaran dasar PT (Pasal 15 ayat (1) huruf h UUPT). Selain itu, anggaran dasar dapat juga mengatur tentang tata cara pencalonan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris (Pasal 94 ayat (4) jo. Pasal 111 ayat (4) UUPT). Oleh karena itu, perlu ditinjau anggaran dasar PT yang bersangkutan mengenai tata cara pencalonan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris penggantinya. Namun, pada dasarnya pengangkatan, penggantian, serta pemberhentian Direksi dan/atau Dewan Komisaris dilaksanakan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham atau disingkat RUPS (Pasal 94 jo. Pasal 111 UUPT).
 Pengaturan dalam Pasal 105 ayat (1) UUPT (yang juga berlaku bagi pemberhentian Dewan Komisaris), dikatakan bahwa anggota Direksi (maupun Dewan Komisaris) dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya. Keputusan RUPS untuk memberhentikan anggota Direksi dapat dilakukan dengan alasan yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota Direksi yang ditetapkan dalam UUPT. Antara lain melakukan tindakan yang merugikan Perseroan atau karena alasan lain yang dinilai tepat oleh RUPS (Penjelasan Pasal 105 ayat (1) UUPT). Oleh karena pemberhentian Direksi dan Dewan Komisaris didasarkan pada keputusan RUPS, maka perlu dilihat kuorum yang harus dipenuhi agar keputusan tersebut dapat diambil. Berdasarkan Pasal 86 ayat (1) UUPT, RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. Keputusan RUPS pada dasarnya diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat (Pasal 87 ayat (1) UUPT). Akan tetapi dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar (Pasal 87 ayat (2) UUPT). Jadi, dibutuhkan setidaknya lebih dari 50% saham dengan hak suara untuk hadir dalam RUPS tersebut. Dan dalam mengambil keputusan, setidaknya lebih dari setengah pemegang saham yang hadir, menyetujui pemberhentian Direksi dan Dewan Komisaris. Perlu diingat bahwa dalam RUPS tersebut, keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi atau Dewan Komisaris diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS (Pasal 105 ayat (2) UUPT). Akan tetapi, pemberian kesempatan untuk membela diri tersebut tidak diperlukan dalam hal yang bersangkutan tidak berkeberatan atas pemberhentian tersebut (Pasal 105 ayat (4) UUPT). Pemberhentian anggota Direksi yakni sebagai berikut: 1. Pemberhentian Permanen DireksiAnggota direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya. Keputusan untuk memberhentikan anggota direksi diambil msetelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS. Pemberian kesempatan untuk membela diri dalam RUPS. Pemberian kesempatan untuk membeal diri tidak diperlukan dalam hal yang bersangkutan tidak berkeberatan atas pemberhentian tersebut.Jika keputusan untuk memberhentikan anggota direksi dilakukan dengan keputusan di luar RUPS, anggota direksi yang bersangkutan diberi tahu terlebih dahulu tentang rencan pemberhentian dan diberikan kesempatan untuk membela diri sebelum diambil keputusan pemberhentian.

Pemberhentian anggota direksi berlaku sejak:

  • ditutupnya RUPS
  • tanggal keputusan (jika diputuskan di luar RUPS)
  • tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan RUPS atau
  • tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan di luar RUPS
 2. Pemberhentian Sementara DireksiAnggota direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh dewan komisaris dengan menyebutkan alasannya. Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud diberitahukan secara tertulis kepada anggota direksi yang bersangkutan.Anggota direksi yang diberhentikan sementara tidak berwenang melakukan tugasnya. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemberhentian sementara harus diselenggarakan RUPS. Direksi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di dalam RUPS.RUPS mencabut atau menguatkan keputusan pemberhentian sementara tersebut. Jika RUPS menguatkan keputusan pemberhentian sementara, anggota direksi yang bersangkutan diberhentikan untuk seterusnya. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari telah lewat akan tetapi RUPS tidak diselenggarakan, atau RUPS tidak dapa mengambil keputusan, pemberhentian sementara tersebut menjadi batal. Bagi perseroan terbuka, penyelenggaraan RUPS berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. 

3. Selain karena pemberhentian oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), seorang Direksi dapat berhenti dari jabatannya karena sebab-sebab sebagai berikut:

  • Masa jabatannya telah berakhir dan tidak lagi diangkat untuk masa jabatan berikutnya
  • Berhenti atas permintaaan direktur yang bersangkutan, dengan atau sebab apapun
  • Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Direksi sebagimana diatur dalam anggaran dasar atau dalam perundang-undangan yang berlaku
  • Direktur secara pribadi dinyatakan pailit oleh pengadilan
  • Sakit terus-menerus yang dapat menghambat pelaksanaan tugas direktur
  • Menderita tekanan mental atau gangguan jiwa yang dapat menghambat pelaksanaan tugas direktur.
  • Dihukum penjara karena bersalah dalam waktu yang relatif lama sehingga dapat menghambat pelaksanaan tugas direktur.
  • Meninggalkan tugas atau menghilang tanpa berita secara terus menerus
 
RUPS yang mengesahkan semua tindakan anggota Direksi dan Dewan Komisaris tersebut serta menegaskan kembali mengenai susunan anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan selanjutnya diberitahukan kepada Menkumham (Pasal 94 ayat 9 UUPT).

SEJARAH NOTARIAT
Lembaga kemasyarakatan yang dikenal sebagai “notariat”  timbul karena kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat bukti mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan/atau terjadi di antara mereka; kekuasaan umum untuk di mana dan apabila Undang-Undang mengharuskan demikian atau hal tersebut dikehendaki oleh masyarakat, untuk membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik.Masuknya lembaga ini ke Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah masuknya lembaga ini di negara-negara Eropa, khususnya Belanda. Hal ini disebabkan oleh karena perundang-undangan yang berlaku di Indonesia di bidang notariat tersebut berakar pada “Notariswet” di Belanda tanggal 8 Juli 1842, dan “Notariswet” yang bersangkutan sebagian besar mengambil contoh dari Undang-Undang Notaris Perancis dari 25 Ventose an XI (16 Maret 1803) yang dulunya pernah berlaku di Belanda. Dengan demikian, apabila ingin sungguh-sungguh mempelajari dan mengerti Perarturan Jabatan Notaris, maka haruslah dipelajari sejarah notariat di negara-negara Eropa, termasuk Belanda.

Notariat dalam abad pertengahan di Italia


Lembaga Notariat muncul dari kebutuhan masyarakat. Sejarah Lembaga Notariat berasal dari Italia Utara, pada abad 11 atau 12, di mana pada masa itu Italia Utara merupakan pusat perdagangan.Lembaga Notariat disebut sebagai Latijnse notariaat.[1]) Masyarakat membutuhkan alat bukti atas hubungan hukum keperdataan yang timbul dari perdagangan tersebut.Pada masa itu Notaris diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya dari masyarakat pula.Konsepsi yang demikian kemudian meluas ke daerah Eropa melalui Negara Spayol sampai ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Negara-negara seperti Inggris dan Skandinavia tidak mengikuti resepsi dari Latijnse notariaat, walaupun di Negara-negara tersebut kemudian dikenal juga istilah Notaris, namun memiliki arti yang berbeda, karena pengertian Notaris di Negara-negara civil law dan Negara-negara common law berbeda. Ciri-ciri Notaris pada Negara-negara civil law antara lain diangkat oleh penguasa untuk kepentingan masyarakat umum dan mendapatkan honorium dari masyarakat umum.
Pada tahun 1888 diadakan peringatan delapan abad berdirinya sekolah hukum Bologna.Sekolah hukum Bologna merupakan sekolah hukum tertua di dunia yang didirikan oleh Irnesius. Dikatakan bahwa Bologna berasal dari sekolah notariat.Irnesius sendiri menciptakan suatu karya di bidang kenotariatan dengan mempersembahkan sebuah buku yang berjudul Formularium Tabellionum. Selain Formularium Tabellionum yang disusun oleh Irnesius, bermunculan beberapa karya lainnya yang terkait dengan kenotariatan, di antaranya:[2])
  1. Summa Artis Notariae oleh Rantero di Perugia
  2. Summa Artis Notariae oleh Rolandinus Passegeri di Bologna (Pada abad ke-13)
  3. Les trios notaries oleh Papon, seorang ahli hukum Perancis (Pada tahun 1568)
Rolandinus Passegeri sendiri merupakan selebritis dari para Notaris sepanjang abad. Karya-karyanya masih digunakan sampai abad ke-17 dan pembagian isi dan karya-karyanya masih tetap dipertahankan sampai abad ke-19.  Rolandinus ini terdiri atas sejarah Notaris, tugas, syarat-syarat, bentuk akta, dan sebagainya. Buku ini kemudian menjadi acuan dari buku-buku berikutnya. Bagian dari karyanya ini secara garis besar terbagi menjadi tiga, yakni:
  1. hukum perjanjian,
  2. hukum waris, dan
  3. hukum acara perdata.
Lembaga notariat memperoleh namanya dari nama pengabdinya, yakni dari nama “notarius”. Istilah “notarius” ditemukan dalam buku-buku hukum dan tulisan-tulisan Romawi Klasik, untuk menandakan suatu golongan orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis-menulis tertentu, akan tetapi “notarius” tidaklah benar-benar sama dengan “Notaris”. Arti dari nama “notarius” secara lambat laun berubah dari artinya yang semula.Pada abad ke-2 dan ke-3 sesudah Masehi dan bahkan jauh sebelumnya, “notarii” memiliki makna golongan orang yang memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat di dalam menjalankan pekerjaan mereka. Pada awalnya, para “notarii” memiliki tugas untuk mencatat atau menuliskan pidato yang diucapkan dahulu oleh Cato dalam senat Romawi, kemudian pada abad ke-5 dan ke-6 nama “notarii” diberikan kepada para penulis pribadi dari Kaisar. Sejak abad ke-5 itulah nama “notarii” diartikan sebagai para pegawai istana. Pegawai istana yang bersangkutan tersebut memiliki perbedaan tingkatnya sendiri di kalangan mereka sendiri, berhubung para pejabat istana menduduki berbagai macam tempat di dalam administrasi yang bersangkutan.Sebelum munculnya istilah “notarii”, sebelumnya terlebih dahulu dikenal istilah “tabeliones” dan “tabularii”.

Tabeliones[3]
Dikenal pada permulaan abad ke-3 sesudah masehi pada masa pemerintahan Ulpianus. Para Tabeliones ini memiliki persamaan dengan para pengabdi dari notariat karena mereka sama-sama bertugas untuk melayani masyarakat umum untuk membuat akta-akta dan surat-surat. Tabeliones tidak diangkat oleh penguasa umum. Pekerjaan para Tabeliones ini mulai diatur pada tahun 537 oleh Kaisar Justinianus, namun tetap belum diberikan suatu status kepegawaian saat itu. Pekerjaan Tabeliones ini memiliki keterkaitan yang erat dengan pengadilan sehingga mereka diletakan di bawah pengadilan. Akta-akta yang dibuat oleh Tabeliones tidak mempunyai kekuatan otentik sehingga hanya memiliki kekuatan pembuktian di bawah tangan.Kekuatan pembuktian dari akta yang dibuat oleh para Tabeliones pada hakekatnya jauh tertinggal dari yang dibuat di hadapan yang berwajib.

Tabularii[4]
Para Tabularii merupakan pegawai negeri yang mempunyai tugas mengadakan dan memelihara pembukuan keuangan kota-kota dan juga ditugaskan untuk melakukan pengawasan atas arsip dari magistrate kota-kota di bawah resort mana mereka berada. Mereka juga berwenang dalam membuat akta-akta dan merupakan saingan para Tabeliones dalam hal ini.


Notarii dianggap lebih terhormat pada masa itu sehingga banyak masyarakat yang juga lebih memilih menggunakan jasa seorang Notarii daripada menggunakan jasa para tabeliones biasa, maka dari itu pada masa kepemimpinan Karel de Grote, para Notarii untuk melayani raja-raja dan Paus, sedangkan tabeliones ditugaskan untuk melayani masyarakat umum dan pejabat-pejabat agama yang lebih rendah dari Paus. Karel de Grote kemudian juga memerintahkan untuk membuat suatu undang-undang di mana memerintahkan untuk Notarius atau Cancellarius membantu di pengadilan untuk menulis apa yang terjadi di dalam sidang-sidang di pengadilan.
Dengan berbagai perkembangan ini maka para Notariat dan Tabelionaat ini menggabungkan diri dalam suatu badan yang dinamakan Collegium. Para Notarius yang tergabung dalam badan ini dianggap sebagai pejabat satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta-akta baik di dalam maupun di luar pengadilan, namun masih belum bersifat otentik.Terjadinya notariaat di Italia yang menunjukkan banyak persamaan dengan notariat sekarang dimana sama-sama kedudukannya sebagai pejabat, akan tetapi terdapat perbedaan besar dimana akta yang dibuat oleh para Notaris di zaman italia tidak mempunyai kekuatan otentik dan kekuatan eksekutorial sedangkan akta yang dibuat oleh Notaris sekarang mempunyai kekuatan otentik dan kekuatan eksekutorial. Masa Kemerosotan di Bidang NotariatPada abad ke-14 terjadi kemerosotan di Bidang Notariat yang disebabkan karena pemerintah yang membutuhkan uang kemudian menjual jabatan-jabatan Notaris tanpa memperhatikan kemampuan dan keahlian pada individu yang ada, sehingga menimbulkan banyak keluhan-keluhan dari masyarakat. Pada masa itu muncul istilah “kebodohan dari para Notaris adalah sasaran empuk bagi para pengacara”, hal ini disebabkan karena Notaris pada zaman itu tidak tahu apa yang harus ia buat. 

Perkembangan Notariat di Perancis


Pada tahun 1568, seorang ahli Hukum Perancis bernama Papon menulis bukunya yang termasyhur di bidang notariat, yakni “Les Trois Notaries”. Mula-mula lembaga notariat di bawa dari Italia ke Perancis, di negara mana notariat ini sepanjang masa dianggap sebagai suatu pengabdian kepada masyarakat umum, yang kebutuhan dan kegunaannya senantiasa mendapat pengakuan, telah memperoleh puncak perkembangannya. Dari Perancis pula pada permulaan abad ke-19 lembaga notariat yang telah dikenal saat ini meluas ke negara-negara sekelilingnya dan bahkan negara-negara lainnya.
Raja Lodewijk de Heilige, seorang raja yang berjasa dalam membuat peraturan perundang-undangan di bidang Notariat. Pada tanggal 6 Oktober 1791 diundangkanlah suatu undang-undang yang menghapus perbedaan yang terdapat sebelumnya, sehingga semenjak diundang-undangkannya peraturan ini, hanya dikenal satu macam Notaris. Undang-undang ini kemudian diganti menjadi Ventose an XI (16 Maret 1803). Berdasarkan undang-undang itu Notaris dijadikan ambtenaar dan sejak itu mereka berada di bawah pengawasan dari Chambre des notaries. Dengan berlakunya undang-undang tersebut, maka lahirlah perlembagaan dari Notariat yang dimulai di Perancis dengan tujuan untuk memberikan jaminan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat. 

Sejarah Notariat di Negeri Belanda

Perancis adalah negara Eropa yang memiliki jajahan yang cukup luas, diantaranya negeri Belanda. Notariat Perancis dibawa ke negeri Belanda dengan dua dekrit kaisar, yang masing-masing tanggal 8 Nopember 1810 dan tanggal 1 Maret 1811 dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Maret 1811. Sehingga  peraturan  notariat di Belanda serupa dengan di Perancis.Setelah Belanda merdeka dari Perancis pada tahun 1813, perundang-undangan  notariat Perancis (VENTOSEWET) masih berlaku di negeri Belanda. Akhirnya atas desakan rakyat Belanda lahirlah Undang-undang Jabatan Notaris  (NOTARISWET)  yaitu Undang-undang tanggal 9 Juli 1842 (Ned. Stb.no. 20). Notariswet  merupakan perubahan dari Ventosewet  namun secara garis besar sama isinya. Ada beberapa perbedaan penting antara Ventosewet dan Notariswet, yaitu :NO.VENTOSEWETNOTARISWET1. Mengenal 3 golongan Notaris : “HofNotarissen”, “AronndisementsNotarissen”, “kantonNotarissen”, yang berturut-turut  mempunyai tempat kedudukan dan menjalankan tugas di seluruh daerah hukum  “Gerechtshof”, “Rechtbank”, “Kantongerecht”Hanya mengenal 1 macam Notaris dan tiap noataris dengan tidak mengadakan pembedaan, berwenang menjalankan tugas jabatannya di seluruh daerah hukum “Rechtbank”2. Para Notaris diawasi dan diuji oleh Lembaga “Chambres des Notaires”Pengawasan terhadap Notaris diserahkan kepada badan peradilan, dan ujian Notaris dilakukan oeh “gerechtshoven” dan tahun1878 diadakan Ujian Negara3. Calon Notaris harus magang selama 6 tahun dan menyerahkan sertifikat “certificate de moralite et de capacite” (keterangan berkelakuan baik dan memiliki kecakapan)Masa magang dihapuskan berdasarkan pertimbangan alasan teoritis dan tidak tepat, seorang calon Notaris dapat diangkat menjadi Notaris jika lulus Ujian Negara4. Suatu akta Notaris hanya dapat dibuat di hadapan 2 Notaris tanpa saksi-saksi atau di hadapan seorang Notaris dan 2 saksiPembuatan akta dilakukan di hadapan seorang Notaris dan 2 saksi-kecuali pembuatan akta superskripsi dan surat wasiat rahasia-dengan ancaman batal demi hukum, jika tidak dilakukan demikianTerhadap undang-undang tahun 1842 (NOTARISWET) ini, banyak pihak yang tidak puas dan menginginkan diadakan peninjauan yang menyeluruh dari undang-undang itu. Namun, Notariswet sampai sekarang masih berlaku dan telah mengalami banyak perubahan. 

Notariat dalam abad ke-17 di Indonesia


Notariat mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan adanya “Oost Ind. Compagnie” di Indonesia. Pada tanggal 27 Agustus 1620, Melchior Karchem diangkat sebagai Notaris pertama di Indonesia walaupun pada saat itu beliau masih menjabat sebagai Sekretaris dari College Van Schepenen. Lima tahun kemudian yakni pada tanggal 16 Juni 1625, setelah jabatan notaries public dipisahkan dari jabatan secretarius van den gerechte dengan surat keputusan Gubernur Jenderal tanggal 12 November 1620, maka dikeluarkanlah instruksi pertama untuk para Notaris di Indonesia, yang hanya berisikan 10 pasal, diantaranya ketentuan bahwa para Notaris terlebih dahulu diuji dan diambil sumpahnya.Namun kenyataannya para Notaris pada waktu itu tidak mempunyai kebebasan dalam menjalankan jabatannya oleh karena mereka merupakan pegawai dari Oost Ind. Compagnie. Bahkan pada tahun 1632 dikeluarkan plakaat yang berisi ketentuan bahwa para Notaris, sekretaris dan pejabat lainnya dilarang untuk membuat akta-akta transport, jual-beli, surat wasiat dll jika tidak mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal dan “Raden van Indie” dengan ancaman kehilangan jabatannya.Setelah pengangkatan Melchior Kerchem sebagai Notaris di tahun 1620, jumlah Notaris terus bertambah. Pada tahun 1650 ditentukan bahwa di Batavia akan diadakan hanya 2 orang Notaris dan untuk menandakan bahwa jumlah tersebut telah mencukupi dikeluarkan ketentuan bahwa para “prokureur” dilarang untuk mencampuri pekerjaan Notaris, dengan maksud agar dengan demikian masing-masing golongan dapat memperoleh penghasilannya dengan adil.Di tahun 1654 jumlah Notaris di Batavia bertambah lagi menjadi 3 dan di tahun 1751 jumlahnya menjadi 5 orang dengan ditentukan bahwa 4 daripadanya harus bertempat tinggal di dalam kota (yakni 2 di bagian barat dan 2 di bagian timur), sedangkan yang seorang lagi harus tinggal di luar kota.

Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai dengan tahun 1822, notariat ini hanya diatur oleh 2 buah reglemen yang terperinci, yakni dari tahun 1625 dan 1765. Reglemen tersebut sering mengalami perubahan oleh karena apabila dirasakan ada kebutuhan, bahkan sering terjadi peraturan yang tidak berlaku lagi, diperbaharui, dipertajam atau dinyatakan berlaku kembali atau diadakan peraturan tambahannya.


Peraturan-peraturan lama di bidang notariat yang berasal dari Republiek der Vereenigde Nederlanden tetap berlaku dan bahkan setelah berakhirnya kekuasaan Inggris di Indonesia, peraturan-peraturan lama tersebut tetap berlaku tanpa perubahan sampai dengan tahun 1822. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa Ventosewet tidak pernah dinyatakan berlaku di Indonesia. Pada tahun 1822 (Stb No 11) dikeluarkan Instructie voor de Notarissen in Indonesia yang terdiri dari 34 pasal. Ketentuan dalam Instructie tersebut ternyata merupakan resume dari peraturan yang ada sebelumnya, suatu bunga rampai dari plakkat-plakkat yang lama. Selama 38 tahun usianya, Instructie tersebut tidak banyak mengalami perubahan.Pada tanggal 26 Januari 1860 diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement Stb No 3) yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860. Peraturan Jabatan Notaris ini terdiri dari 66 pasal dimana 39 diantaranya mengandung ketentuan mengenai hukuman, disamping banyak sanksi untuk membayar penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Ke-39 pasal tersebut terdiri dari 3 pasal mengenai hal-hal yang menyebabkan hilangnya jabatan, 5 pasal tentang pemecatan, 9 pasal tentang pemecatan sementara dan 22 pasal mengenai denda.

Pasal-pasal yang terdapat dalam Peraturan Jabatan Notaris adalah copy dari pasal-pasal dalam Notarieswet yang berlaku di Belanda. Namun di dalam Peraturan Jabatan Notaris tidak diatur mengenai pendidikan Notaris, yang diatur hanya mengenai ujian Notaris. Kemudian dirasa perlu adanya suatu pendidikan untuk jabatan Notaris beserta persyaratan ujian. Hal ini kemudian dilaksanakan, dengan dimulainya pendidikan Notariat pada programpasca sarjana di Universitas Indonesia, dan kemudian disusul Universitas Pajajaran, Universitas Gajah Mada, dan terakhir Universitas Sumatera Utara. Namun demikian masih disayangkan, pendidikan Notariat di Indonesia belum diatur dalam suatu perundang-undangan, dan juga belum dijadikan satu-satunya pendidikan Notariat, dimana masih tetap diadakan ujian Negara sebagai salah satu prasyarat untuk dapat menjadi Notaris. Perlu diperhatikan juga bahwa yang dapat diterima untuk pendidikan Notariat pasca sarjana adalah semua sarjana hukum yang telah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Negeri atau yang disamakan dengan itu.

Sejarah Notariat di Indonesia juga pernah mengalami kemerosotan, yakni ketika pada tahun 1954 diundangkan Undang-Undang mengenai Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Undang- undang tersebut telah menyebabkan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan, yang memerosotkan nama baik dari Notaris. Dengan  adanya kemerosotan  itu maka pemerintah pun melaksanakan peremajaan di kalangan Notaris agar Notaris yang menjabat adalah Notaris yang benar-benar terjamin kualitasnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan kekecewaan masyarakat pada jabatan Notaris.

PENGERTIAN NOTARIS


Berdasarkan sejarah, Notaris adalah seorang pejabat negara / pejabat umum yang dapat diangkat oleh negara untuk melakukan tugas-tugas negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan.[5]) Dalam  Pasal 1 angka 1 UUJN,  Notaris di definisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam UUJN. Definisi yang diberikan UUJN ini merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh Notaris. Artinya Notaris mempunyai tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.
Notaris disebutkan pula sebagai pejabat umum ditegaskan dalam bab I Pasal 1 peraturan jabatan Notaris di Indonesia (Ord. Stbl. 1860 no. 3, mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860), yang menyebutkan[6]) : Notaris adalah pejabat umum yang satu satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan di kehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga tugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.Akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta berada, sedangkan istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Ambtenaren yang menurut Kamus Hukum adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan publik. Dalam hal ini Notaris mempunyai tugas untuk membuat akta otentik guna melayani kepentingan publik.

Notaris merupakan suatu Jabatan mempunyai karakteristik, yaitu : [7])

Sebagai Jabatan

UUJN merupakan satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu pada UUJN.[8])

Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menetapkan Notaris sebagai Jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu.Notaris mempunyai kewenangan tertentu.Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya. Seorang Notaris melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikatagorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris hanya dicantumkan pada Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN.Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintahPasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 ayat 14 UUJN).Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya.Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tapi tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu.Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakatKehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat, masyarakat dapat menggugat secara perdata Notaris, dan menuntut biaya, ganti rugi dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuaikepada aturan hukum yang berlaku, hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.Seorang Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Pasal 2 UUJN). Dalam Pasal 3 UUJN disebutkan bahwa syarat-syarat untuk diangkat menjadi seorang Notaris adalah :
  1. warga Negara Indonesia;
  2. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  3. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
  4. Sehat jasmani dan rohani;
  5. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
  6. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;
  7. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat Negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan lain.
Notaris merupakan pejabat yang mempunyai peran yang penting dalam pembuatan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan dengan peran yang sangat penting, maka seorang Notaris dalam pelaksanaan jabatannya selain mendapatkan pengawasan juga perlu kepastian hukum. Kepastian hukum dimaksud agar Notaris dalam melaksanakan jabatannya senantiasa mendapatkan keadilan. Disamping itu, agar Notaris mendapatkan perlindungan hukum dari peraturan perundang-undangan.Notaris wajib terlebih dahulu mengucapkan sumpah/janji untuk menjalankan tugas jabatan Notaris, seperti yang telah diatur di dalam Pasal 4 UUJN. Notaris dalam menjalankan jabatannya merupakan suatu profesi karena Notaris melakukan suatu pekerjaan yang tetap dalam bidang tertentu didasarkan pada suatu keahlian khusus yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan mendapat penghasilan dari pekerjaan tersebut.Dalam menjalankan tugas jabatannya, Notaris diawasi oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris yang terdiri atas:
  1. Majelis Pengawas Daerah;
  2. Majelis Pengawas Wilayah;
  3. Majelis Pengawas Pusat.
Kemudian, berdasarkan Pasal 15 UUJN kewenangan Notaris adalah sebagai berikut:
  1. Kewenangan Umum berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN yaitu kewenangan untuk membuat akta secara umum dengan batasan sepanjang :
  1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
  2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.
  3. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan
  1. Kewenangan Khusus berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UUJN yaitu untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti :
  1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
  2. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
  3. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan
  4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya
  5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta
  6. Membuat AKta yang berkaitan dengan pertanahan
  7. Membuat Akta risalah lelang
Kewenangan yang akan ditentukan kemudian berdasarkan Pasal 15 ayat (3) UUJN adalah kewenangan yang akan ditentukan berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius constitendum). Kewenangan yang dimaksud di sini adalah kewenangan yang kemudian lahir setelah terbentuk peraturan perundang-undangan dalam bentuk Undang-undang, namun juga dapat diketemukan wewenang Notaris bukan dengan peraturan perundang-undangan di kemudian hari, dapat saja melalui tindakan hukum tertentu yang harus di buat dengan akta Notaris seperti pendirian partai politik yang wajib dibuat dengan akta Notaris.

[1])G.H.S. Lumban Tobing, “Peraturan Jabatan Notaris”, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1983, hal. 3.

[2])Ibid., hal. 4.

[3])Ibid., hal. 7.

[4])Ibid., hal. 8.

[5]) Djuhad Mahja, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,(Jakarta:Durat Bahagia,2005), hlm.59

[6]) Ord. Stbl. 1860 no. 3, Peraturan Jabatan Notaris,

[7]) M.J.A. van Mourik, Civil Law and The Civil Law Notary in a Modern World, media Notariat , No. 22-23-24-25, Jan-Juli-oktober 1992, Ikatan Notaris Indonesia,1992, hlm.23

[8]) Habib Adjie, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi Hukum pengaturan Notaris, Renvoi, Nomor 28. Th. III, 3 September 2005, hlm. 38.

PENCATATAN PERKAWINAN Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974). Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditangani oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban hukum. Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain. Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat.  Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Siri).Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan pula bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Perbuatan pencatatan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administrative (K. Wantjik Saleh, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1976, hlm. 16)Merujuk kepada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang menentukan bahwa suatu perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka ketentuan ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipilih keberlakuannya. Apabila hanya memenuhi salah satu ketentuan saja, maka peristiwa perkawinan tersebut belum memenuhi unsur hukum yang ditentukan oleh undang-undang. 

Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang menyatakan bahwa:

  • Bagi yang beragama Islam pencatatannya oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk.
  • Bagi mereka yang bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
 Dengan kata lain bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), pada umumnya dilaksanaan bersamaan dengan upacara akad nikah karena petugas pencatat nikah dari KUA hadir dalam acara akad nikah tersebut. Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil setelah kedua mempelai melakukan pernikahan menurut agamanya masing- masing. Misalnya bagi mereka yang memeluk agama Katholik atau Kristen, terlebih dahulu kedua mempelai melakukan prosesi penikahan di gereja, dengan membawa bukti (surat kawin) dari gereja barulah pernikahan tersebut dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setempat.  

DASAR HUKUM PENCATATAN PERKAWINAN

 Beberapa dasar hukum mengenai pencacatan perkawinan/pernikahan, antara lain: 

UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 2


“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” 

UNDANG-UNDANG NO 22 TAHUN 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak dan Rujuk Pasal 1 Ayat 1


“Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.” 

Pasal ini memberitahukan legalisasi bahwa supaya nikah, talak, dan rujuk menurut agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur segala hak-hak yang bersangkut pada dengan kependudukan harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian, dan sebagainya lagi pada perkawinan perlu di catat ini untuk menjaga jangan sampai ada kekacauan.



 

PP NOMOR 9 TAHUN 1975 Tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Bab II


Pasal 2Ayat 1: Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk.Ayat 2: Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaiman dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.Ayat 3: Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatn perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan Pemerintah. 

Pasal 6

Ayat 1: Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.

Ayat 2: Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Pencatat meneliti pula:

  1. Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;
  2. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;
  3. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
  4. Izin Pengadilan sebagi dimaksud pasal 14 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
  5. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
  6. Izin kematian isteri atau suami yang terdahuluatau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
  7. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah satu calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
  8. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
  

MANFAAT PENCATATAN PERKAWINAN


Ada beberapa manfaat pencatatan pernikahan:
  • Mendapat perlindungan hukum
Misalnya dalam hal terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika sang istri mengadu kepada pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai istri yang mendapat tindakan kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya, karena sang isteri tidak mampu menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang resmi.
 
  • Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan
Akta nikah akan membantu suami isteri untuk melakukan kebutuhan lain yang berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak menunaikan ibadah haji, menikahkan anak perempuannya yang sulung, pengurusan asuransi kesehatan, dan lain sebagainya.
 
  • Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum
Pernikahan yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan yang dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau yang ditunjuk olehnya. Karenanya, walaupun secara agama sebuah pernikahan yang tanpa dicatatkan oleh PPN, pada dasarnya illegal menurut hukum. Legalitas formal ini memberikan kepastian hukum bagi keabsahan suatu ikatan perkawinan bagi suami maupun istri, memberikan kepastian hukum bagi anak-anak yang akan dilahirkan, mengurus Akta Kelahiran anak-anaknya, mengurus tunjangan keluarga bagi PNS, TNI/POLRI, BUMN/BUMD dan 
Karyawan Swasta, mengurus warisan.Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan terjamin keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya. Misalnya, seorang suami atau istri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat dalam Akta Nikah untuk keperluan yang menyimpang. Maka, keaslian Akta Nikah itu dapat dibandingkan dengan salinan Akta Nikah tersebut yang terdapat di KUA tempat yang bersangkutan menikah dahulu. Menurut Saidus Syahar (Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, Bandung: Alumni, 1981, hlm. 108), pentingnya pendaftaran dan pencatatan perkawinan adalah;1.Agar ada kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi yang berkepentingan mengenai perkawinannya, sehingga memnudahkannya dalam melakukan hubungan dengan pihak ketiga.2.Agar lebih menjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara.3.Agar ketentuan undang-undang yang bertujuan membina perbaikan sosial (social reform) lebih efektif.4.Agar nilai-nilai dan norma keagamaan dan kepentingan umum lainnya sesuai dengan dasar negara Pancasila lebih dapat ditegakkan.  

AKIBAT HUKUM TIDAK DICATATNYA PERKAWINAN

  • Perkawinan Dianggap tidak Sah
Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
 
  • Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.
 
  • Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. 

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PENCATATAN PERKAWINAN

 Pergub No. 93 Tahun 2012 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil mengatur secara spesifik sebagai berikut; 

Pencatatan Perkawinan di Daerah

 Pasal 65(1)Perkawinan yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi mereka yang beragama selain Islam wajib dilaporkan oleh pemohon di Dinas bagi Orang Asing dan di Suku Dinas bagi WNI.(2)Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-Iambatnya 60 (enam puluh) hari sejak tanggal sahnya perkawinan.(3)Pelaporan peristiwa perkawinan dieatat dalam register akta perkawinan dan diterbitkan Kutipan Akta Perkawinan.(4)Sebagai bukti pencatatan perkawinan kepada suami dan istri diberikan Kutipan Akta Perkawinan.(5)Penerbitan Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan selambat-Iambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pencatatan perkawinan. Pasal 66Persyaratan untuk pencatatan dan penerbitan Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) adalah sebagai berikut:a.Surat Keterangan dari Lurah sesuai domisili yang bersangkutan;b.Surat pemberkatan perkawinan dari pemuka agama atau surat perkawinan Penghayat Kepereayaan yang ditandatangani oleh Pemuka Penghayat Kepereayaan bagi yang terlambat pelaporannya lebih dari 60 (enam puluh) hari sejak terjadinya perkawinan;c.KK dan KTP suami dan istri;d.Foto berwarna suami dan istri berdampingan ukuran 4 x 6 cm sebanyak 5 (lima) lembar;e.Kutipan Akta Kelahiran suami dan istri;f.Kutipan Akta Perceraian atau Kutipan Akta Kematian suami/istri bagi mereka yang pernah kawin;g.Pencatatan perkawinan yang tidak memiliki bukti perkawinan dikarenakan perkawinan adat maka pembuktian perkawinannya harus melalui proses Penetapan Pengadilan Negeri;h.Legalisasi dari pemuka agama/pendeta/penghayat kepereayaan di tempat terjadinya perkawinan bagi peneatatan perkawinan yang melampaui batas waktu;i.Dua orang saksi yang memenuhi syarat;j.Bagi mempelai yang berusia di bawah 21 (dua puluh satu) tahun harus ada izin dari orang tua;k.Surat Izin Pengadilan Negeri bagi calon mempelai di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun, apabila tidak mendapat persetujuan dari orang tua;l.Surat izin Pengadilan Negeri apabila calon mempelai pria di bawah usia 19 (sembilan belas) tahun dan wanita di bawah usia 16 (enam belas) tahun;m.Surat Keputusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap bila ada sanggahan;n.Dispensasi Camat apabiia pelaksanaan pencatatan perkawinan kurang dari sepuluh hari sejak tanggal pengajuan permohonan;o.Kutipan Akta Kelahiran Anak yang akan disahkan dalam perkawinan, apabila ada;p.Pengumuman perkawinan;q.Akta Perjanjian Perkawinan dari Notaris yang disahkan pada saat pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat pada Dinas dan Suku Dinas;r.Surat Izin dari Komandan bagi anggota TNI dan POLRI; dans.Bagi Orang Asing melampirkan dokumen1.Paspor;2.KITAP/KITAS Dokumen dari imigrasi;3.SKLD Dokumen dari kepolisian;4.KTP/KKISKTI/SKDS Dokumen pendaftaran Orang Asing dari Dinas; dan5.Surat Izin dari Kedutaan/Perwakilan dari Negara Asing. Pasal 67 
(1)Tata cara penerbitan Kutipan Akta Perkawinan WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4) adalah sebagai berikut:a.Pemohon mengisi dan menandatangani Formulir Pencatatan Perkawinan dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pada Suku Dinas (F-2.12);b.Petugas registrasi melakukan verifikasi, validasi data permohonan dan mengagendakan permohonan pencatatan perkawinan;c.Petugas registrasi mengumumkan rencana pelaksanaan pencatatan perkawinan selama 10 (sepuluh) hari kerja pada papan pengumuman bagi yang pencatatan perkawinannya kurang dari 10 (sepuluh hari) sejak tanggal pengajuan permohonan harus dilengkapi dengan Dispensasi Camat;d.Petugas pencatatan perkawinan melakukan pencatatan perkawinan yang dihadiri oleh kedua orang mempelai dan dua orang saksi sekaligus melaksanakan pencatatan pengesahan anak apabila ada anak luar kawin yang disahkan;e.Petugas pencatatan perkawinan melakukan pencatatan perkawinan sekaligus pencatatan pengesahan perjanjian perkawinan apabila ada perjanjian perkawinan yang disahkan;f.Petugas registrasi melakukan perekaman data perkawinan ke dalam database dan mencatat pada register akta perkawinan dan Kutipan Akta Perkawinan dan membuat catatan pinggir pengesahan anak pada register dan Kutipan Akta Perkawinan orang tua dan akta kelahiran anak;g.Petugas registrasi mencatat dalam Buku Daftar Pencatatan Perkawinan (Bk2.02) dan Buku Pengesahan Anak (Bk3.02);h.Petugas pencatatan perkawinan melakukan pencatatan perkawinan sekaligus melaksanakan pencatatan pengesahan perjanjian perkawinan apabila ada perjanjian perkawinan yang disahkan;i.Petugas registrasi melakukan perekaman data perkawinan ke dalam data base dan mencatat pada register akta perkawinan dan Kutipan Akta Perkawinan yang bersangkutan; danj.Petugas registrasi mencatat dalam buku daftar perjanjian perkawinan dan akta perjanjian perkawinan dari notaris disahkan diberi nomor pengesahan dan ditandatangani oleh Kepala Dinas. (2)Tata cara penerbitan Kutipan Akta Perkawinan Orang Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4) adalah sebagai berikut:a.Pemohon mengisi dan menandatangani Formulir Pencatatan Perkawinan di Dinas (F-2.12);b.Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data permohonan dan mengagendakan permohonan pencatatan perkawinan;c.Petugas registrasi mengumumkan rencana pelaksanaan pencatatan perkawinan selama 10 (sepuluh) hari kerja pada papan pengumuman;d.Petugas registrasi melakukan verifikasi, validasi data permohonan dan mengagendakan permohonan pencatatan perkawinan: 
e.Petugas registrasi mengumumkan rencana pelaksanaan pencatatan perkawinan pada papan pengumuman; 
f.Petugas pencatatan perkawinan melakukan pencatatan perkawinan sekaligus melaksanakan pencatatan pengesahan anak apabila ada anak luar kawin yang disahkan;g.Petugas registrasi melakukan perekaman data perkawinan ke dalam database dan mencatat pada register akta perkawinan dan Kutipan Akta Perkawinan dan membuat catatan pinggir pengesahan anak pada register dan Kutipan Akta Perkawinan orang tua dan akta kelahiran anak; 
h.Petugas registrasi mencatat dalam Buku Daftar Pencatatan Perkawinan (Bk2.02) dan Buku Pengesahan Anak (Bk3.02); dani.Kepala Dinas menerbitkan register akta dan 2 (dua) Kutipan Akta Perkawinan. Pasal 68(1)Pencatatan perkawinan yang dilaksanakan oleh KUA Kecamatan, data hasil pencatatannya wajib disampaikan kepada Suku Dinas dalam waktu 10 (sepuluh) hari setelah dilaksanakan.(2)Suku Dinas melakukan perekaman data hasil pencatatan perkawinan oleh KUA ke dalam database kependudukan.(3)Data hasil pencatatan KUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dimaksudkan untuk penerbitan Kutipan Akta Perkawinan. 

Pelaporan Pencatatan Perkawinan di Luar Negeri

 Pasal 69(1)Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri antar WNI atau WNI dengan Orang Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan itu dilangsungkan dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.(2)Perkawinan WNI atau WNI dengan Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan telah memperoleh akta perkawinan dari lembaga yang berwenang di luar negeri atau dar! Perwakilan Republik Indonesia setempat, serta wajib dilaporkan oleh yang bersangkutan, keluarga atau kuasa ke Dinas selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia.(3)Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan perkawinan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat. 
(4)Laporan perkawinan di ·Iuar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) direkam dalam database kependudukan, dicatat pada daftar register perkawinan luar negeri dan diterbitkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri. 
(5)Penerbitan Surat Pelaporan Perkawinan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan selambat-Iambatnya 5 (lima) hari sejak tanggal diterimanya berkas persyaratan secara lengkap. Pasal 70 
Persyaratan Pelaporan Pencatatan Perkawinan Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) adalah sebagai berikut:a.Asli dan Fotokopi Sertifikat Akta Perkawinan Luar Negeri Asli dan terjemahan; 
b.Surat Keterangan perkawinan dari perwakilan Republik Indonesia setempat; 
c.Asli dan Fotokopi KK dan KTP yang bersangkutan; 
d.Asli dan Fotokopi Paspor yang bersangkutan; 
e.Asli dan Fotokopi Kutipan Akta Perceraian atau Kutipan Akta Kematian suamilistri bagi mereka yang pernah kawin;f.Foto berwarna kedua mempelai berdampingan ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar; dan 
g.Asli dan Fotokopi Kutipan Akta Perkawinan yang bersangkutan. Pasal 71 
Tata cara penerbitan Surat Pelaporan Perkawinan Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (4) adalah sebagai berikut:a.Pemohon mengisi dan menandatangani Formulir Pelaporan Pencatatan Perkawinan Luar Negeri di Dinas (F-2.13);b.Petugas registrasi Dinas melakukan verifikasi dan validasi data permohonan;c.Petugas registrasi Dinas mencatat perkawinan luar negeri ke dalam register perkawinan luar negeri;d.Petugas registrasi Dinas melakukan perekaman data perkawinan penduduk di luar negeri ke dalam database;e.Kepala Dinas menerbitkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri; danf.Pemohon menerima Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri sebagai dasar untuk merubahan dokumen KK dan KTP di Kelurahan. Pencatatan Perkawinan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Pada bulan Desember 2006 Pencatatan Sipil di Indonesia telah mendapat pengaturan dalam hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Ordonansi-ordonansi yang sebelumnya mengatur pencatatan sipil di Indonesia dinyatakan tidak berlaku lagi. Pertimbangan dibentuknya Undang-Undang ini adalah :a.Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.b.Untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia dan warga negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan pengaturan tentang Administrasi Kependudukan.c.Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana apabila didukung oleh pelayanan yang profesional dan peningkatan kesadaran penduduk, termasuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.d.Peraturan perundang-undangan mengenai Administrasi Kependudukan yang ada tidak sesuai lagi dengan tuntutan pelayanan Administrasi Kependudukan yang tertib dan tidak diskriminatif sehingga diperlukan pengaturan secara menyeluruh untuk menjadi pegangan bagi semua penyelenggara negara yang berhubungan dengan kependudukan. Tujuan dibenahinya administrasi kependudukan dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan adalah agar dapat memberikan pemenuhan hak administratif seperti pelayanan publik serta perlindungan yang berkaitan dengan dokumen kependudukan tanpa adanya perlakuan yang diskriminatif.Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen ke-empat menjamin setiap orang berhak untuk membentuk sebuah keluarga dan berketurunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28B). Kemudian pasal 29 ayat (2), negara menjamin tiap-tiap warga negara untuk menjalankan agama dan kepercayaannya secara bebas. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa perkawinan adalah salah satu hak asasi manusia yang dilindungi Undang-Undang Dasar dan bersifat non- diskriminatif. Ada yang menganggap bahwa tidak diakomodirnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah tidak sesuai dengan penegakkan hak asasi manusia, apalagi kenyataan membuktikan bahwa negara yang rakyatnya sangat heterogen seperti Indonesia, sering terjadi perkawinan beda agama, meskipun jika dilaksanakan itu tidak sah menurut undang-undang perkawinan. Hal itu berkaitan dengan sifat manusia yang kadang punya seribu satu macam keinginan. Maka dengan berbagai latar belakang tersebut, dibentuklah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 khususnya pasal 35 huruf a, hukum positif di Indonesia membuka kemungkinan pengakuan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia, dengan cara memohon penetapan pengadilan yang menjadi dasar dapat dicatatkannya perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil. Keabsahan perkawinan akan dinilai oleh Hakim Pengadilan Negeri dimana permohonan diajukan. Perlindungan dan pengakuan atas status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan semua peristiwa penting yang dialami oleh penduduk yang berada di dalam wilayah Indonesia, adalah diberikan oleh negara. Perkawinan merupakan satu peristiwa penting berkaitan dengan status hukum seseorang, dan merupakan hak sipil warga negara. Pencatatan perkawinan adalah tindakan administratif dan bukan syarat sahnya perkawinan, tetapi tetap sangat penting untuk dilakukan, karena merupakan bukti autentik terhadap status hukum seseorang. Wujudnya adalah berupa buku nikah atau akta perkawinan, yang menunjukkan perkawinan telah benar-benar terjadi dan sah secara hukum. Persoalannya, meskipun setiap perkawinan harus dicatatkan, tetapi undang- undang mewajibkan perkawinan itu harus disyahkan oleh agama terlebih dahulu. Ini dikarenakan, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Indonesia tidak lagi mengenal apa yang disebut sebagai perkawinan sipil. Perkawinan di Indonesia harus dilaksanakan dengan tata cara menurut agama para pihak yang melaksanakan perkawinan. Konsekuensi dari ketentuan ini, pencatatan perkawinan menjadi persoalan tersendiri, sebab tidak semua pasangan yang akan melaksanakan perkawinan, agamanya sama. Ada pasangan yang agamanya berbeda, sehingga menimbulkan kesulitan, karena undang-undang melarang perkawinan beda agama, sementara mereka kadang tetap pada agamanya masing- masing. Tanpa adanya pengesahan dari otoritas agama, otoritas KUA dan otoritas catatan sipil sebagai lembaga pencatat perkawinan tidak dapat mencatat perkawinan tersebut. Oleh karenanya banyak pihak yang sengaja mencari celah agar bisa melaksanakan perkawinan meskipun berbeda agama. Caranya adalah dengan penyelundupan hukum dengan cara perkawinan dilaksanakan dua kali menurut masing-masing agama para pihak yang kawin, penundukan pada salah satu agama, atau melaksanakan perkawinan diluar negeri. Semuanya mempunyai konsekuensi masing-masing. Sehingga, untuk mencegah adanya usaha menyeludupkan hukum dengan cara-cara tadi, maka perkawinan beda agama dicoba diakomodir dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tersebut. Mengenai ketentuan pencatatan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, ketentuan selengkapnya sebagai berikut: Pasal 1 angka 17 :Peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, PERKAWINAN, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan status kewarganegaraan.

Ketentuan Pencatatan Perkawinan Beda Agama

 Apabila diperhatikan lebih lanjut, ada satu pasal yang mengakomodir pencatatan perkawinan beda agama, yaitu pasal 35 huruf a. Pasal tersebut ditujukan untuk mengakomodir perkawinan beda agama yang selama ini sulit dilaksanakan. Tetapi sebenarnya ketentuan tersebut kontroversial dan mengundang perdebatan. Sebagai contohnya adalah apa yang dipermasalahkan di bawah ini.

Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminitrasi Kependudukan berbunyi: “Pencatatan perkawinan berlaku pula bagi Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.”

 Penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Ada pendapat yang menyatakan bahwa sampai dengan pasal 35 dan 36 dari undang-undang ini, dapat dimengerti dan dapat diterima akal. Tetapi menjadi janggal kalau membaca penjelasan pasal 35 a, yang bunyinya tidak bisa diterima bila dihubungkan dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Ungkapan yang dikemukakan diatas, memperlihatkan bahwa suatu penjelasan atas suatu pasal dari suatu undang-undang, menghapuskan atau membatalkan suatu ketentuan atau bunyi dari suatu pasal undang-undang yang lain. 

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi:
”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

 Dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap perumusan pasal 2 diatas: tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.Sedangkan bunyi penjelasan pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 mengizinkan perkawinan beda agama dan mendaftarkannya. 

Masyarakat dan rakyat Indonesia telah mengetahui dan memaklumi, bahwa, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, suatu perkawinan diantara pasangan yang berbeda agama adalah dilarang, tetapi dengan adanya penjelasan dari pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, seakan-akan perkawinan beda agama dibolehkan asal melalui penetapan pengadilan. Ini merupakan kontroversi yang ada diantara peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pencatatan perkawinan. Tetapi meskipun ada kontroversi dan ada yang memperdebatkan ketentuan pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tersebut, namun ketentuan itu telah menjadi hukum positif di Indonesia.