Perjanjian renville menghasilkan keputusan yang membuat rakyat indonesia tidak puas dan kecewa

Perjanjian Renville merupakan perundingan berikutnya yang dilakukan setelah Perjanjian Linggarjati. Sama seperti perjanjian sebelumnya, Perundingan Renville juga menjadi bukti perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia secara diplomasi.

Peritiwa Sebelum Perjanjian Renville

Perundingan Linggarjati yang disahkan pada 25 Maret 1947 ternyata dilanggar oleh pihak Belanda. Seusai perjanjian tersebut Belanda justru melakukan serangan yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda I.

Menurut penjelasan di buku “Sejarah Indonesia Paket C Setara SMA/MA”, agresi militer ini dimulai pada tanggal 20 Juli 1947. Saat itu, Belanda berhasil menerobos ke daerah yang dikuasai Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Pada agresi militer I ini, Belanda juga membawa dua pasukan khusus yaitu Korps Speciale Troepen (KTS) di bawah Wasterling yang berpangkat Kapten dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Agresi militer ini membuat Belanda berhasil merebut daerah-daerah penting seperti kota pelabuhan, perkebunan, dan pertambangan.

Baca Juga

Peristiwa serangan Belanda ini membuat Indonesia akhirnya secara resmi mengadu pada PBB karena agresi militer tersebut sudah melanggar perjanjian internasional, yaitu Perjanjian Linggarjati. Namun di lain sisi, Belanda tidak memperhitungkan reaksi dari dunia internasional termasuk Inggris.

Atas permintaan dari India dan Australia pada 31 Juli 1947, masalah agresi militer ini akhirnya dimasukan dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Kemudian dikeluarkanlah Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947 yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.

Dewan Kemanan PBB secara de facto kemudian mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dari penyebutan kata “Indonesia” bukan “Netherlands Indie”. Penyebutan kata “Indonesia” terdapat dalam seluruh resolusi yang dikeluarkan oleh PBB.

Kemudian atas tekanan dari Dewan Keamana PBB, pemerintah Belanda akhirnya menyatakan menerima resolusi tersebut dan menghentikan pertempuran pada 15 Agustus 1947. Tanggal 17 Agustus 1947, pemerintah RI dan Belanda menerima resolusi Dewan Keamanan PBB untuk melakukan gencatan senjata.

Sejarah Perjanjian Renville

Mengutip dari buku “Sejarah Indonesia Paket C Setara SMA/MA” dijelaskan bahwa untuk mengawasi gencatan senjata dan sengketa antara Indonesia – Belanda, akhirnya PBB membentuk Komite Tiga Negara (KTN).

Komite tersebut beranggotakan Australia, Belgia, dan Amerika Serikat. Anggota KTN dipilih oleh Indonesia dan Belanda. Australia yang diwakili oleh Richard Kirby dipilih oleh pihak Indonesia. sedangkan Belgia yang diwakili Paul van Zeeland dipilih oleh Belanda.

Sementara itu, Amerika Serikat yang diwakili oleh Frank Porter Graham dipilih berdasarkan kesepakatan antara Australia dan Belgia. KTN kemudian mengusulkan untuk mengadakan perundingan yang dilakukan di atas kapal perang milik Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”. Maka dari itu, perundingan tersebut akhirnya dikenal dengan nama Perjanjian Renville.

Baca Juga

Perjanjian di atas kapal perang tersrbut kemudian di tanda tangani pada 17 Agustus Januari 1948. Pada saat itu, Amir Syarifuddin berperan sebagai delegasi Indonesia dalam Perjanjian Renville, sedangkan Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo.

Adapun hasil Perjanjian Renville sebagai berikut:

  1. Belanda mengakuti wilayah Indonesia atas Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagian kecil Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera.
  2. Tentara Republik Indonesia (TRI) harus ditarik mundur dari daerah-daerah yang diduduki Belanda.

Dampak Perjanjian Renville

Sama halnya dengan Perjanjian Linggarjati, Peundingan Renville juga memberikan dampak bagi Bangsa Indonesia. Menurut penjelasan di buku “Sejarah Indonesia Paket C Setara SMA/MA”, akibat adanya perjanjian ini maka wilayah Indonesia menjadi semakin sempit.

Dalam sumber lain juga dikatakan bahwa Indonesia mengakami blokade ekonomi Belanda pasca Perundingan Renville. Belanda mencegah pasokan pangan, sandang, dan senjata ke wilayah-wilayah yang dikuasai Indonesia.

Perjanjian ini juga menyebabkan rasa kecewa di hati rakyat Indonesia. Akibatnya, Kabinet Amir Syrifuddin yang pada saat itu berkuasa dianggap telah menjual negara dan membuat kabinet ini runtuh alias tidak berkuasa lagi.

Baca Juga

Melansir dari buku “Sejarah Indonesia Paket C Setara SMA/MA”, setelah Perjanjian Renville ditanda tangani, maka muncul dua peristiwa penting yang terjadi di tanah air. Pertama, terjadinya pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948 yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin. Kedua, ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta, karena Jakarta termasuk dalam wilayah yang dikuasai Belanda berdasarkan Perundingan Renville.

Tidak berhenti pada kedua peritiwa tersebut, beberapa bulan setelahanya tepatnya 18 Desember 1958 Belanda mengumumkan bahwa pihaknya sudah tidak terikat dengan isi perjanjian tersebut. Kemudian tanggal 19 Desember 1948 Belanda kembali melakukan serangan ke wilayah RI.

Serangan tersebut kemudian disebut dengan Agresi Militer Belanda II. Serangan tersebut dimulai saat Belanda mengebom Lapangan Terbang Maguno, Yogyakarta. Dan dalam waktu singkat Ibu Kota Indonesia itu jatuh ke tangan Belanda.

Saat peristiwa tersebut terjadi, pemerintah RI kemudian memberi mandat kepada Menteri Syafruddin Prawiranegara yang ada di Bukittinggi, Sumatera Barat untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Di saat yang sama, Soekarno, Mohammad Hatta, dan pejabat lainnya di tangkap oleh Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kemudian diasingkan di Pulau Bangka. Pada saat itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman berhasil lolos. Jenderal Soedirman kemudian memimpin Perang Gerilya untuk mengahdapi Belanda.

Baca Juga

Meski mendapat banyak kecaman dari dunia internasional, Belanda tidak lantas menghentikan serangannya. Akhirnya pada 24 Januari 1949, PBB kembali mengadakan sidang dan mengeluarkan resolusi. Adapun isi resolusi tersebut sebagai berikut:

  1. Menghentikan permusuhan.
  2. Pembebasan Presiden Soekarno beserta pimpinan RI lainnya yang ditangkap saat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948.
  3. Meminta KTN memberikan laporan lengkap mengenai situasi di Indonesia sejak 19 Desember 1948.

Itulah sederet peristiwa yang terjadi mulai dari sebelum sampai setelah Perjanjian Renville. Peristiwa tersebut perlu untuk kita ketahui agar bisa menjadi pengingat perjuangan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan.

Perundingan Renville – KTN berusaha mendekatkan Indonesia dan Belanda untuk mencari penyelesaian persoalan-persoalan militer dan politik. Dalam masalah militer KTN akan mengambil inisiatif, sedangkan dalam masalah politik KTN hanya akan memberikan usul dan saran.

Atas usul KTN tercapailah perundingan di atas kapal pengangkut pasukan Amerika Serikat yang bernama “USS Renville” yang berlabuh di teluk Jakarta.

Pelaksanaan Perundingan Renville

Perundingan Renville dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan mencapai persetujuan yang ditandatangani oleh pihak Indonesia dan pihak Belanda pada tanggal 17 Januari 1948.

Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan tersebut adalah Mr. Amis Syarifuddin, sedangkan ketua delegasi Belanda ialah seorang Indonesia yang memihak Belanda yang bernama R. Abdulkadir Widjojoatmodjo.

Perjanjian renville menghasilkan keputusan yang membuat rakyat indonesia tidak puas dan kecewa

Keputusan Perundingan Renville

Perundingan Renville terutama menghasilkan keputusan yang menetapkan bahwa tentara RI harus ditarik mundur dari daerah yang diduduki Belanda. Keputusan perjanjian ini menyebabkan wilayah RI menjadi semakin sempit, yaitu terkurung oleh daerah-daerah pendudukan Belanda.

Sebagai akibat perundingan Renville, kedudukan RI semakin sulit, karena Belanda menjalankan blokade ekonomi secara ketat terhadap Indonesia.

Rakyat Indonesia tidak puas terhadap hasil perundingan ini, maka timbullah reaksi dari kalangan RI yang mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin dan digantikan oleh Kabinet Hatta.

Meskipun perundingan Renville tersebut amat merugikan pihak Republik Indonesia, tetapi dengan itikad baik pemerintah mentaati ketentuan yang telah disetujui bersama. TNI terpaksa hijrah, mengosongkan dan meninggalkan daerah gerilya yang sangat luas. Daerah-daerah yang telah ditinggalkan oleh pasukan TNI itu disebut daerah-daerah “kantong”.

Di Jawa Barat, Divisi Siliwangi dihijrahkan ke daerah Jawa tengah, di daerah Jawa Timur pasukan TNI dipindahkan ke daerah republik. Di sumatera pasukan TNI yang dihijrahkan hanyalah sedikit, mereka juga dipindahkan ke daerah Republik.

Sebenarnya di kalangan prajurit merasa kecewa terhadap perintah hijrah itu, bahkan sebagian meminta berhenti sebagai protes, antara lain ialah Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.

Sementara itu Belanda makin giat menjalankan politik adu domba, juga makin giat mendirikan negara-negara boneka, seperti Negeri Pasundan dengan Wali Negara R.A.A Wiranatakusumah.

Negara Sumatera Timur dengan Wali Negara Dr. Tengku Mansyur. Negara Madura dengan Wali Negara R.A.A Cakraningrat, dan negara boneka yang lain.

Baca juga: Persetujuan Linggarjati 25 Maret 1947 dan isinya

Belanda Melanggar Perundingan Renville

Belanda memang benar-benar tidak dapat dipercaya, mereka tidak lagi mau mengakui perjanjian Renville. Selanjutnya Belanda melanggar persetujuan Renville dan melancarkan Agresi Militer yang kedua terhadap Republik Indonesia.

Akibat tindakan Belanda tersebut banyak negara-negara lain yang mengutuk dan mengecam agresi yang dilancarkan. Negara-negara Asia dipelopori oleh Burma dan India, mengadakan Konferensi New Delhi.

Konferensi negara-negara Asia ini mengutuk serangan Belanda terhadap RI. Selanjutnya India dan pakistan melarang pesawat terbang Belanda singgah di negerinya, sehingga Belanda mendapat tantangan hebat dari India dan Pakistan.

Demikianlah sikap negara-negara Asia dalam membantu perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Konferensi negara-negara Asia di New Delhi tersebut dihadiri pula oleh utusan dari beberapa negara Afrika dan Australia. Konferensi ini menghasilkan sebuah resolusi yang kemudian disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB.

Resolusi Dewan Keamanan PBB

Dewan Keamanan PBB segera mengadakan sidang-sidang untuk membicarakan masalah Indonesia. Wakil Indonesia dalam sidang Dewan Keamanan PBB antara lain ialah: Lembertus Nico Palar dan Mr. Ali Sastroamidjojo.

Akhirnya Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi yang isinya adalah sebagai berikut:

  1. Penghentian semua operasi militer oleh Belanda dan penghentian semua aktifitas gerilya oleh RI.
  2. Indonesia dan Belanda harus bekerja sama mengadakan perdamaian kembali.
  3. Pembebasan dengan segera tanpa syarat semua tahanan politik di dalam daerah Republik oleh Belanda sejak tanggal 19 Desember 1948.
  4. Belanda harus memberi kesempatan kepada pembesar-pembesar Pemerintah Republik untuk kembali ke Yogyakarta.
  5. Mulai sekarang KTN diganti namanya menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Commission for Indonesia atau UNCI).

Dalam melaksanakan resolusi tersebut, UNCI berhasil membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan.