Oleh: Slamet Tuharie Hiruk pikuk kondisi transisi pemerintahan dari Khulafaur Rosyidin kepada Bani Umayyah menimbulkan berbagai gejolak sosial dan politik. Hal ini juga mempengaruhi terhadap pola pengelolaan Baitul Maal yang menjadi tidak sehat. Jika pada masa Ali Ibn Abi Thalib manajemen kelembagaan Baitul Maal telah dikembalikan seperti yang telah diinisiasi oleh Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar Ibn Khattab, maka kondisi Baitul Maal pun berubah ketika dipegang oleh Bani Umayyah. Salah satu yang paling prinsipil adalah terkait dengan pengelolaan Baitul Maal yang berada pada kekuasaan tunggal sang Khalifah. Tentu saja ini berbeda dengan model pengelolaan Baitul Maal di masa Umar Ibn Khattab yang memisahkan antara peran pemerintah sebagai pengawas dan pengambil kebijakan dengan pelaksana administrasinya. Bahkan, di masa Bani Umayyah—selain Umar Ibn Abdul Aziz—harta yang terdapat di Baitul Maal diperlakukan sebagai harta pribadi Khalifah dan berhak digunakan tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyatnya. Termasuk di dalamnya adalah pengelolaan tanah negara yang dimiliki oleh pribadi-pribadi keluarga Khalifah. Namun, di luar dari berbagai kebijakan yang kontroversial terkait Baitul Maal yang ada di zaman Bani Umayyah, kita juga perlu memberikan apresiasi terkait dengan berbagai prestasi yang ada. Contohnya adalah kebijakan pengangkatan qadi atau hakim sebagai sebuah profesi di masa Muawwiyah Ibn Abi Sufyan (661-680 M). Juga kebijakan Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan (685-705 M) yang menerbitkan mata uang baru menggunakan tulisan Arab sebagai pengganti mata uang Byzantium dan Persia, juga penetapan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan. Selain itu, di masa kepemimpinan Walid Ibn Abdul Malik (705-714 M), dana negara yang terdapat di Baitul Maal juga digunakan untuk pembangunan panti asuhan untuk orang-orang cacat, pembangunan infrastruktur yang berupa jalan raya sebagai penghubung antara wilayah, pembangunan masjid, gedung-gedung pemerintah dan bahkan pabrik. Ini yang kemudian bisa disebut bahwa penggunaan dana Baitul Maal tidak selalu bersifat konsumtif-karitatif, namun juga produktif.
Hiruk pikuk kondisi transisi pemerintahan dari Khulafaur Rosyidin kepada Bani Umayyah menimbulkan berbagai gejolak sosial dan politik. Hal ini juga mempengaruhi terhadap pola pengelolaan Baitul Maal yang menjadi tidak sehat. Jika pada masa Ali Ibn Abi Thalib manajemen kelembagaan Baitul Maal telah dikembalikan seperti yang telah diinisiasi oleh Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar Ibn Khattab, maka kondisi Baitul Maal pun berubah ketika dipegang oleh Bani Umayyah. Salah satu yang paling prinsipil adalah terkait dengan pengelolaan Baitul Maal yang berada pada kekuasaan tunggal sang Khalifah. Tentu saja ini berbeda dengan model pengelolaan Baitul Maal di masa Umar Ibn Khattab yang memisahkan antara peran pemerintah sebagai pengawas dan pengambil kebijakan dengan pelaksana administrasinya. Bahkan, di masa Bani Umayyah—selain Umar Ibn Abdul Aziz—harta yang terdapat di Baitul Maal diperlakukan sebagai harta pribadi Khalifah dan berhak digunakan tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyatnya. Termasuk di dalamnya adalah pengelolaan tanah negara yang dimiliki oleh pribadi-pribadi keluarga Khalifah. Namun, di luar dari berbagai kebijakan yang kontroversial terkait Baitul Maal yang ada di zaman Bani Umayyah, kita juga perlu memberikan apresiasi terkait dengan berbagai prestasi yang ada. Contohnya adalah kebijakan pengangkatan qadi atau hakim sebagai sebuah profesi di masa Muawwiyah Ibn Abi Sufyan (661-680 M). Juga kebijakan Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan (685-705 M) yang menerbitkan mata uang baru menggunakan tulisan Arab sebagai pengganti mata uang Byzantium dan Persia, juga penetapan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan. Selain itu, di masa kepemimpinan Walid Ibn Abdul Malik (705-714 M), dana negara yang terdapat di Baitul Maal juga digunakan untuk pembangunan panti asuhan untuk orang-orang cacat, pembangunan infrastruktur yang berupa jalan raya sebagai penghubung antara wilayah, pembangunan masjid, gedung-gedung pemerintah dan bahkan pabrik. Ini yang kemudian bisa disebut bahwa penggunaan dana Baitul Maal tidak selalu bersifat konsumtif-karitatif, namun juga produktif. Perubahan terkait dengan manajemen kelembagaan Baitul Maal dilakukan oleh Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M) yang ibunya adalah cucu dari Umar Ibn Khattab. Ia mengawali kebijakannya terkait pengelolaan Baitul Maal dengan berupaya membersihkan Baitul Maal dari pemasukan harta yang tidak halal. Tak hanya itu, Umar Ibn Abdul Aziz juga membuat perhitungan dengan para Amir (setingkat Gubernur) untuk kemudian mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah kepada Baitul Maal. Bahkan, sebagai bentuk keseriusannya dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, Umar Ibn Abdul Aziz memulainya dengan mengembalikan harta milik pribadinya yang bersumber dari tanah milik negara. Salah satunya adalah tanah yang terdapat di perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Makkah, yang sejak Rasulullah saw wafat dijadikan milik negara. Namun, pada masa Khalifah ke-4 Bani Umayah, Marwan Ibn Hakam (684-685 M), harta tersebut dimasukkan sebagai milik pribadi Khalifah dan mewariskannya kepada keturunannya. Pada masa Bani Umayyah, fungsi Baitul Maal memang diperluas. Tidak saja sebagai lembaga penyalur tunjangan sosial, namun juga dikembangkan dan diberdayakan untuk menyalurkan pembiayaan demi keperluan pembangunan sarana dan prasarana umum. Bahkan, dana yang dikelola oleh Baitul Maal pada masa Umar Ibn Abdul Aziz juga digunakan untuk membiayai proyek penerjemahan buku-buku kekayaan intelektual Yunani kuno. Di sinilah gelombang intelektual Islam dimulai. Bahkan, Umar Ibn Abdul Aziz juga menawarkan tanah milik pemerintah untuk dikelola oleh masyarakat dengan dikenakan kharj atas garapan tersebut. Namun, besaran kharj yang ditetapkan sangatlah fleksibel dan didasarkan atas kemampuan masyarakat yang mengelolanya. Jika masyarakat yang mengelola tidak sanggup membayar kharj sebesar 50 persen, maka akan diturunkan menjadi 30 persen. Jika tidak mampu dengan 30 persen, maka akan dikurangi lagi menjadi 10 persen, dan bahkan sampai nol persen. Terakhir, jika yang mau mengelola itu menolak karena keterbatasan ekonomi, maka Umar Ibn Abdul Aziz memerintahkan Baitul Maal untuk membiayai tanah tersebut agar para petani dapat mengelolanya. Adapun penarikan terhadap kharj di masanya tidak dilakukan dengan pukul rata. Ia memerintahkan kepada petugasnya untuk melihat dulu kondisi tanahnya, ketersediaan irigasinya, kesuburan tanahnya, dan juga hasil panennya untuk menentukan besaran kharj. Kebijakan lainnya yang sangat penting pada masa Umar Ibn Abdul Aziz terkait dengan Baitul Maal adalah kebijakan tentang pemisahan antara rekening zakat dan shadaqah yang keduanya memiliki bagiannya sendiri-sendiri. Selain pemisahan antara rekening zakat dan shadaqah, Umar Ibn Abdul Aziz juga membuat kebijakan tentang otonomisasi pengelolaan zakat di masing-masing daerahnya. Dengan kebijakan ini maka pemerintah daerah tidak perlu menyetorkan hasil perolehan zakat dan pajaknya kepada pemerintah pusat, cukup dikelola di masing-masing Baitul Maal di daerahnya masing-masing. Sebaliknya, pemerintah pusat wajib memberikan subsidi kepada daerah-daerah yang masih minim pendapatan zakat dan pajaknya. Sistem inilah yang digunakan oleh Umar Ibn Abdul Aziz dalam rangka menciptakan pemerataan ekonomi masyarakatnya. Tak cukup dengan itu, ketika kondisi perekonomian sedang mengalami krisis yang membawa dampak terhadap keuangan negara, dan berakibat pada kemiskinan rakyatnya, maka Umar Ibn Abdul Aziz membuat kebijakan untuk tidak menarik pajak kepada masyarakat yang tak mampu untuk membayarnya. Sebaliknya, negara akan menyantuni mereka dari hasil zakat kaum muslimin yang kaya. Keadaan perekonomian pada masa pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz pun telah mengalami loncatan yang menakjubkan. Dasarnya, tidak lain adalah prinsip kebijakan yang melayani dan tidak memberatkan masyarakat, serta penataan kelembagaan yang profesional. Artikel ini telah dipublikasikan di Tribunnews.com tanggal 26 Mei 2019. http://www.tribunnews.com/ramadan/2019/05/26/sejarah-pengelolaan-baitul-maal-di-masa-bani-umayyah
Umar bin Abdul Aziz mengembalikan fungsi dan peran Baitul Mal. Kamis , 13 Aug 2020, 12:11 WIB onlineinvestingai.com Umar bin Abdul Aziz mengembalikan fungsi dan peran Baitul Mal. Baitul Mal (ilustrasi). Rep: Imas Damayanti Red: Nashih Nashrullah REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketika dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khalifah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah drastis. Baca Juga Cendekiawan Al-Maududi misalnya menyebutkan, jika masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah, Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan khalifah yang absolut. Keadaan tersebut setidaknya berlangsung sampai datangnya Khalifah ke-8 Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz. Dengan sistem Baitul Mal yang sudah melenceng dari khittah yang ada itu, Umar berusaha mendistribuskan dana-dana di Baitul Mal kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Dalam buku Pajak Menurut Syariah karya Gus Fahmi dijelaskan, Umar bin Abdul Aziz membuat perhitungan dengan para amir dan bawahannya agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah. Di samping itu, Umar bin Abdul Aziz juga mengembalikan milik pribadinya sendiri yang kala itu berjumlah sekitar 40 ribu dinar setahun ke Baitul Mal. Harta tersebut dikembalikan karena diperoleh dari warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara harta tersebut terdapat perkampungan Fadak. Yang mana desa tersebut berada sebelah utara Makkah yang sejak Rasulullah SAW wafat dijadikan milik negara. Namun Marwan bin Hakam (khalifah keempat Bani Umayyah) telah memasukkan harta tersebut sebagai milik pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya. Dalam melakukan berbagai kebijakannya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berupaya melindungi dan meningkatkan kemakmuran taraf hidup masyarakat secara keseluruhan. Ia mengurangi beban pajak yang dipungut dari kaum Nasrani, menghapus pajak terhadap kaum Muslim, membuat takaran dan timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa, hingga hal lainnya. Berdasarkan fakta sejarah, tindakan-tindakan tersebut nyatanya berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan sehingga tidak ada lagi yang mau menerima zakat. Artinya, kesejahteraan masyarakat di kala itu sudah sangat terjamin mapan dan berkecukupan. Lebih jauh lagi, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerapkan juga kebijakan otonomi daerah. Di mana setiap wilayah Islam mempunyai wewenang untuk mengelola zakat dan pajak sendiri-sendiri tanpa harus menyerahkan upeti kepada pemerintah pusat. Bahkan sebaliknya, pemerintah pusat justru akan memberikan bantuan subsidi kepada setiap wilayah Islam yang minim pendapatan zakat dan pajaknya. Dengan demikian, masing-masing wilayah Islam diberi kekuasaan untuk mengelola kekayaannya secara mandiri. Jika terdapat surplus pendapatan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz akan menyarankan kepada daerah tersebut untuk memberi bantuan kepada wilayah yang minim pendapatan alias defisit. Untuk menunjang hal tersebut, Khalifah Umar pun mengangkat Ibnu Jahdan sebagai amil shadaqah yang bertugas menerima dan mendistribusikan hasil shadaqah secara merata ke seluruh wilayah Islam. Maka tak heran pada masa pemerintahannya, sumber-sumber pemasukan negara berasal dari zakat, hasil rampasan perang, dan pajak penghasilan pertanian yang belakangan di terapkan. Setelah stabilitas perekonomian masyarakat berangsur membaik, pajak penghasilan pertanian barulah diterapkan. Dari pajak penghasian pertanian itu, timbul lah hasil pemberian lapangan kerja yang produktif kepada masyarakat luas. Dengan segala upaya yang dilakukan, Baitul Mal di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dapat berjalan sesuai mandat yang mulia. Yakni, menghilangkan praktik-praktik haram yang cenderung jauh dari semangat dan nafas Islam. Namun sayangnya, kembalinya Baitul Mal dalam posisi operasional yang baik itu tidak bertahan lama. Kebijakan fiskal dalam mengelola Baitul Mal itu akhirnya runtuh akibat keserakahan para penguasa. Caranya adalah dengan meruntuhkan sendi-sendi Baitul Mal itu sendiri. Keruntuhan itu setidaknya dapat dilihat dan berkepanjangan sampai masa Kekhalifahan Bani Abbasiyah.
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ... |