Bagaimana pendapat tentang kepemimpinan seorang wanita di indonesia

Siaran Pers Nomor: B-015/SETMEN/HM.02.04/01/2021

Ubud, Bali (30/01) Perempuan adalah pihak yang paling mengetahui kebutuhan, permasalahan, dan solusi dari isu-isu yang dihadapi oleh kaumnya sendiri. Oleh karenanya, kepemimpinan dan pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi sangat penting. Faktanya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia pada 2019 yang mengukur partisipasi aktif laki-laki dan perempuan pada kegiatan ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan baru menunjukkan angka 75,24.

“Kepemimpinan perempuan nyatanya sangat esensial bagi kesejahteraan bangsa, bahkan dunia. Hal ini perlu terus menerus kita gelorakan dan gaungkan, sehingga tertanam menjadi persepsi yang baru di dalam masyarakat,” tutur Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga pada Rakernas Perempuan Pemimpin Indonesia (PPI) I Tahun 2021 dengan tema Kepemimpinan Perempuan Tangguh sebagai Pilar Bangsa Menuju Indonesia Emas Mercusuar Dunia yang diselenggarakan secara virtual.

Minimnya keterwakilan perempuan sebagai pemimpin membuat organisasi maupun institusi kurang memiliki sudut pandang perempuan, sehingga secara tidak langsung juga berpengaruh pada penyusunan kebijakan yg berpihak pada perempuan dan berdampak pada rendahnya indeks kesetaraan gender. Padahal, Bank Dunia pada 2012 sepakat bahwa saat perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk aktif secara politik dan membuat berbagai keputusan dan kebijakan, maka akan muncul kebijakan-kebijakan yang lebih representatif dan inklusif untuk mencapai pembangunan yang lebih baik.

Wakil Gubernur Provinsi Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati juga menyampaikan bahwa eksistensi perempuan dalam berbagai kehidupan tidak dapat dipandang sebelah mata, khususnya di bidang ekonomi yang telah mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, Pemerintah Provinsi Bali melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan pengarusutamaan gender dalam pembangunan.

“Pemerintah Provinsi Bali selalu berupaya mengintegrasikan gender ke dalam arus  pembangunan dengan cara memosisikan perempuan sebagai subjek pembangunan dan meminimalkan faktor kendala yang dihadapi perempuan, sehingga pengarusutamaan gender, khususnya dalam kepemimpinan perempuan dapat terwujud. Selain itu, Pemerintah Provinsi Bali juga berupaya mengubah pandangan masyarakat yang bias gender, meningkatkan kapasitas, dan peningkatan produktivitas kerja perempuan di segala bidang. Dalam menghadapi tantangan global diperlukan kepemimpinan perempuan yang visioner, inovatif, kemampuan manajemen yang baik, kemampuan kerja tim yang baik, percaya diri, tangguh, kuat, dan berperspektif gender untuk menuju Indonesia Emas,” tutur Tjokorda Oka Artha.

Ketua Dewan Penasihat PPI, Dewi Motik Pramono yang hadir pada kegiatan tersebut berpesan agar para pemimpin perempuan tidak merasa sombong dan harus saling dukung satu sama lain. 

“Ingat, apa yang kita perbuat adalah berkat anugerah Tuhan dan dukungan dari para sahabat dan mitra. Tidak ada istilah superstar, yang ada hanyalah supermitra yang saling mengalah dan saling mendukung,” ujar Dewi Motik.

Dalam kesempatan tersebut, Menteri Bintang juga mengapresiasi kerja nyata yang dilakukan PPI sebagai mitra Kemen PPPA dan menyampaikan beberapa pesan bagi para pemimpin perempuan.

“Saya mengapresiasi berbagai kerja nyata yang dilakukan PPI bagi peningkatan taraf hidup perempuan dan anak Indonesia. Saya juga berpesan kepada para pemimpin perempuan untuk selalu membawa perspektif perempuan dan anak dalam setiap program, keputusan, dan kebijakan yang diambil, turut menyukseskan isu prioritas Kemen PPPA, menjadi panutan bagi perempuan dan anak-anak perempuan agar mereka dapat menjadi pemimpin yang baik pula, serta berperan dalam berbagai pilar pembangunan baik akademisi, dunia usaha, maupun media dengan memberikan intervensi dari berbagai sisi. Perempuan berdaya, anak terlindungi, Indonesia maju,” pesan Menteri Bintang.


BIRO HUKUM DAN HUMAS KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN              

DAN PERLINDUNGAN ANAK                                                

Telp.& Fax (021) 3448510,                                            

e-mail :                                        

www.kemenpppa.go.id

Margaret Thatcher Foto: @barronessmargaretthatcher

Pria dan wanita memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Pria lebih menggunakan norma keadilan sementara wanita menggunakan norma persamaan. Pria juga menggunakan strategi yang lebih luas dan lebih positif. Namun, perbedaan manajemen tidak akan terlihat jika wanita memiliki rasa percaya diri yang tinggi.

RA Kartini merupakan teladan penting bagi perempuan Indonesia. Beliau adalah tokoh yang memperjuangkan hak-hak perempuan seperti hak untuk belajar di sekolah dan hak untuk memimpin sebuah organisasi. Dengan demikian, seorang wanita memiliki sifat demokratis dan rasa kepedulian yang tinggi sehingga sosok wanita pun berkompeten untuk menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi.

Dalam filosofi Jawa, wanita memiliki arti ”wani ditata” atau berani diatur. Namun, perkembangan zaman terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup yang layak, membuat perempuan ikut bekerja demi mendapatkan penghasilan.

Saat ini, peran perempuan telah bergeser ke dimensi yang lebih luas. Kebangkitan kaum perempuan dalam era globalisasi telah membawa perubahan: perempuan bukan lagi semata-mata sebagai istri atau ibu, tetapi telah terorientasi pada kualitas eksistensinya selaku manusia.

Mengapa perempuan harus tampil memimpin dan ikut dalam pengambilan kebijakan? Karena jumlah perempuan mencapai separuh penduduk dunia sehingga secara demokratis pendapat dari perempuan harus dipertimbangkan. Selain itu, partisipasi perempuan diharapkan dapat mencegah kondisi yang tidak menguntungkan bagi kaum perempuan dalam menghadapi masalah stereotip terhadap perempuan, diskriminasi di bidang hukum, kehidupan sosial dan juga eksploitasi terhadap perempuan.

Kepemimpinan perempuan secara umum ada 2 (dua), yaitu pertama kepemimpinan transformasional. Dengan penerapan kepemimpinan model ini, bawahan akan merasa dipercaya, dihargai, loyal dan tanggap kepada pimpinannya. Kepemimpinan transformasional merupakan konsep yang relevan pada situasi di mana perubahan terjadi sangat cepat dan menuntut setiap organisasi untuk dapat menyesuaikan diri.

Sedangkan kepemimpinan feminisme dapat dicirikan sebagai berikut: tak agresif, tergantung, emosional, subjektif, gampang terpengaruh, pasif, tak kompetitif, sulit memutuskan, tak mandiri, sensitif, tak berani spekulasi, kurang PD, butuh rasa aman, memperhatikan penampailan. Adapun ciri-ciri Kepemimpinan maskulin: sebaliknya. Dewasa ini sangat dibutuhkan etika feminin, sebagai penyeimbang bagi dominasi etika maskulin.

Untuk menjadi seorang pemimpin tidak saja dibutuhkan bakat, tetapi juga dibutuhkan kemampuan dan keahlian yang dilatih sejak muda. Perempuan harus berjiwa pemimpin, antara lain: visioner, partisipatif, think globally, act locally, berkarakter, cerdas secara spiritual, emosional, sosial, maupun intelektual. Juga adanya passion kompetitif.

Lantas, apa yang harus dilakukan sebagai perempuan pemimpin? Perempuan harus mampu membangun personal branding/citra diri yang positif, baik sebagai sebagai individu, ibu, mitra suami, sebagai pemimpin atau pelayan masyarakat. Perempuan harus memahami konsep diri, yaitu kesadaran, sikap, dan pemahaman, tentang siapa diri kita, apa cita-cita kita, apa kekurangan, kelebihan, kemampuan, kekuatan, dll.

Perempuan pemimpin harus memiliki konsep diri positif, yakin akan kemampuan mengatasi masalah. Merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu sadar setiap keinginan dan perilaku tidak selalu disetujui masyarakat, dan mampu memperbaiki diri. Konsep diri bukan sesuatu yang tiba-tiba “jadi” tetapi harus dibentuk, dengan belajar.

Seorang perempuan pemimpin harus memiliki sikap asertif, yaitu penuh percaya diri, mempunyai keyakinan yang kuat akan tindakannya dan mampu menyatakan perasaan dan pendapatnya, tanpa menyakiti perasaan diri-sendiri atau perasaan orang lain, tanpa mengganggu hak orang lain. Bagaimana menjadi perempuan pemimpin yang asertif? Di sini tentu melibatkan unsur identitas, gambaran diri, hingga harga diri.

Saat berniat tampil sebagai pemimpin, perempuan masih menghadapi tantangan, seperti rendahnya tingkat pendidikan perempuan, kurangnya semangat daya saing dan keberanian yang berpotensi menurunkan prestasi dan rendahnya tingkat partisipasi perempuan dalam bidang politik.

Maka, revolusi total (jasmani dan mental) perempuan calon pemimpin menjadi sangat penting. Perempuan harus mengembangkan diri menjadi pribadi yang tangguh tanpa meninggalkan kodrat perempuan sebagai istri, ibu rumah tangga yang baik, pendidik dan pengasuh anak yang patut diteladani, serta menjadi warga negara yang produktif dan mampu memberi kontribusi positif untuk kemajuan pembangunan.

Seorang perempuan harus memiliki posisi tawar yang kuat dan sejajar dengan kaum laki-laki. Untuk itu, perlu pengembangan potensi diri meliputi aspek fisik, intelektual, maupun mental spiritual. Aspek fisik dapat dikembangkan melalui olahraga dan pola makan yang sehat. Aspek intelektual dapat dikembangkan melalui berbagai pendidikan formal dari TK sampai Perguruan Tinggi.

Sedangkan aspek mental spiritual dikembangkan melalui kegiatan keagamaan, seminar, atau pelatihan-pelatihan, sehingga dapat menjalani hidup pada jalur yang benar dengan penuh optimisme. Jadilah perempuan pemimpin yang asertif, visioner, bisa mendengar, berani mengambil keputusan, berani mengambil risiko, dan mempunyai citra diri positif.

Dunia tahu, banyak tokoh dunia perempuan yang menjadi panutan seperti Margaret Thatcher di Inggris, Indira Gandhi di India, Cory Aquino di Filipina, Megawati di Indonesia yang mampu memposisikan dirinya sebagai wanita cerdas dengan tidak melihat dirinya sebagai perempuan yang lemah melainkan kekuatan dan kecerdasan dalam menempatkan diri di rumah, dunia kerja, tempat ibadah, dan lingkungan masyarakat.

Namun, pengetahuan yang luas dan kecerdasan perempuan bukan untuk menjadi kompetitor laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tetapi agar perempuan lebih cakap dalam melakukan kewajibannya.