Apakah hukum meminjam sepeda motor di mana bahan bakarnya akan berkurang setelah digunakan


#Jawaban di bawah ini, bisa saja salah karena si penjawab bisa saja bukan ahli dalam pertanyaan tersebut. Pastikan mencari jawaban dari berbagai sumber terpercaya, sebelum mengklaim jawaban tersebut adalah benar. Selamat Belajar..#


Answered by ### on Tue, 18 Oct 2022 22:43:59 +0700 with category Bahasa lain

Jawaban:

jangan memberi hukum,sebaiknya kita memberi teguran agar mereka bisa lebih tau diri

Penjelasan:

maaf kalo salah

Baca Juga: Contoh apresiasi karya seni rupa 2 dimensi Roma Decade


ask.dhafi.link Merupakan Website Kesimpulan dari forum tanya jawab online dengan pembahasan seputar pendidikan di indonesia secara umum. website ini gratis 100% tidak dipungut biaya sepeserpun untuk para pelajar di seluruh indonesia. saya harap pembelajaran ini dapat bermanfaat bagi para pelajar yang sedang mencari jawaban dari segala soal di sekolah. Terima Kasih Telah Berkunjung, Semoga sehat selalu.

Kita sudah pahami kaedah yang dipahami para ulama,

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ حَرَامٌ

“Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.”

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al-Mughni, 6: 436)

Baca juga: Utang Piutang yang Ada Keuntungan Dihukumi RIBA

Kita perlu memahami suatu hukum bukan sekadar dari lafazh saja. Memahami suatu hukum dari hakikat sebenarnya.

Ada dua istilah yang perlu dipahami yaitu Al-‘Aariyah dan Al-Qordh.

Contoh al-‘aariyah: Seseorang meminjamkan motor untuk dipakai satu hari, lalu besok motor itu dikembalikan lagi. Untuk al-‘aariyah, motor tidak berpindah kepemilikan.

Contoh al-qordh: pinjam satu juta rupiah, maka dikembalikan satu juta rupiah bukan dengan uang yang sama namun penggantinya. Alias, untuk al-qordh terjadi berpindah kepemilikan dan nantinya diganti.

Untuk al-‘aariyah berarti tidak berpindah kepemilikan. Untuk al-qordh berarti berpindah kepemilikan.

Tepatkah mengatakan meminjam motor teman disebut qordh sehingga berlaku hukum riba?

Ataukah seperti itu bukan qordh namun ‘aariyah?

Kalau ‘aariyah, maka sah-sah saja meminta diisikan bensin, sehingga akadnya berubah menjadi ijaaroh (sewa).

Silakan direnungkan dan moga jadi pencerahan.

Baca juga:

  • Tafsir Surat Al-Maauun
  • Celakalah Yamna’unal Maa’uun (Orang yang Pelit)

Disusun di perjalanan Klaten – Jogja, 16 Shafar 1441 H (15 Oktober 2019)

Oleh yang selalu mengharapkan ampunan Allah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Jakarta -

Kegiatan pinjam meminjam dalam Bahasa Arab dikenal dengan nama 'Ariyah. Agama Islam, mengatur kegiatan ini berdasarkan beberapa dalil.

Dikutip dari Kitab Minhajul Muslim karya Syekh Abu Bakar Jabir al Jaza'iri 'ariyah atau pinjam meminjam adalah suatu barang yang diberikan kepada seseorfang yang dapat memanfaatkannya hingga jangka waktu tertentu, kemudian setelah itu dikembalikan kepada pemiliknya tanpa ada imbalan.

Hukum Pinjam Meminjam dalam Islam:

Menurut Syekh Abu Bakar Jabir al Jaza'iri hukum pinjam meminjam atau 'Ariyah adalah disyariatkan. Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Quran surat Al Maidah ayat 2:

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ


"Dan tolong-menolong lah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.

Diriwayatkan dalam hadits Imam Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


وَ اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ

"Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya".


Kemudian, hukum pinjam meminjam bisa menjadi wajib apabila orang yang meminjam itu sangat memerlukannya. Contohnya, seperti meminjam pisau untuk memotong kambing yang mendekati mati atau pakaian untuk menutup aurat.

Namun, hukum pinjam meminjam bisa menjadi haram ketika seseorang melakukan kegiatan tersebut untuk hal-hal yang dilarang. Contohnya adalah meminjam pisau untuk membunuh orang.

Rukun pinjam meminjam dikutip dari buku 'Fikih Madrasah Tsanawiyah' karya Zainal Muttaqin dan Drs. Amir Abyan terbagi menjadi empat macam. Semua rukunnya memiliki syarat pinjam meminjam dalam Islam

Orang yang meminjamkan, disyaratkan:

- Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang dipaksa atau anak kecil tidak sah meminjamkan
-Barang yang dipinjam itu milik sendiri atau menjadi tanggungjawab orang yang meminjamkannya

Orang yang meminjam, disyaratkan

-Berhak menerima kebaikan. Oleh karena itu, orang gila atau anak kecil tidak sah meminjam
-Hanya mengambil manfaat dari barang yang dipinjam

Barang yang dipinjam, disyaratkan

-Ada manfaatnya
-Barang bersifat kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh karena itu, makanan yang habis tidak sah bila dipinjam

Akad pinjam meminjam

Kegiatan pinjam-meminjam berakhir bila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya. Sehingga barang tersebut harus dikembalikan kepada pemiknya.

Selain itu, kegiatan ini juga bisa berakhir apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia atau gila. Atau karena pemiliknya meminta barang sewaktu-waktu, sebab, kegiatan ini sifatnya tidak tetap.

Sementara itu, hukum pinjam meminjam jika terjadi perselisihan di antara keduanya mengenai barang sudah dikembalikan atau belum, maka diharuskan yang meminjam melakukan sumpah. Hal ini sesuai pada hukum asalnya, yakni belum dikembalikan.

(pay/erd)

Apakah hukum meminjam sepeda motor di mana bahan bakarnya akan berkurang setelah digunakan
Ilustrasi. (mtblog.mtbank.by)

Pengertian Pinjam Meminjam

dakwatuna.com – Pinjam meminjam merupakan hal yang biasa terjadi antara individu satu dan individu lain dalam kehidupan. Pinjam meminjam merupakan salah satu bentuk hablum minannaas dan salah satu bentuk tolong menolong dalam kebaikan. Secara bahasa pinjam meminjam berasal dari bahasa arab yaitu ‘Ariyah’. Sedangkan menurut syara’ adalah sebuah akad yang berupa pemberian manfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain, tanpa ada imbalan dan dengan tidak mengurangi atau merusak benda yang dipinjamkan serta dikembalikan setelah diambil manfaatnya. Dasar hukum pinjam meminjam terdapat dalam Q.S Al-Maidah ayat 2:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ

Arti: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”

Hukum Pinjam Meminjam

Menurut hukum asalnya pinjam meminjam adalah boleh atau mubah, namun dapat berubah menjadi hukum yang lain apabila dalam keadaan seperti berikut:

Sunnah, apabila pinjam meminjam dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hajatnya, lantaran sang peminjam memang tidak mempunyai barang tersebut. Misalnya meminjam uang untuk membayar sekolah anak.

Wajib, apabila pinjam meminjam ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak, dan apabila tidak meminjam akan mengalami suatu kerugian atau mara bahaya. Misalnya ada salah satu anggota keluarga yang sakit parah dan harus segera diobatkan, kalau tidak maka sakitnya akan semakin parah bahkan berujung kematian, namun keluarga dari orang yang sakit ini tidak mempunyai biaya, maka sang keluarga wajib meminjam uang untuk mengobatkan anggota keluarga yang sakit ini.

Haram, apabila pinjam meminjam dilakukan untuk menunjang perbuatan maksiat atau untuk berbuat jahat dan membahayakan orang lain. Misalnya meminjam sepeda motor yang digunakan untuk menjambret, meminjam pisau untuk membunuh, dll.

Bagaimanakah Ketentuan Pinjam Meminjam Yang Sesuai Syariat Islam?

Dalam Islam, kegiatan yang berhubungan dengan tingkah laku manusia baik kepada Rabbnya maupun sesama, semua diatur dalam Al-Quran dan hadits serta sesuai dengan ketentuan syariat, termasuk kegiatan pinjam meminjam ini, yang masuk dalam ranah Muamalah. Sebenarnya kegiatan pinjam meminjam tidak sesederhana dan seremeh yang kita anggap dan dilakukan sehari-hari. Hal ini ada beberapa ketentuan, di antaranya:

  1. Pinjam meminjam harus dilaksanakan atau dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik dan halal, karena pinjam meminjam dalam maksiat hukumnya haram.
  2. Orang yang meminjam barang hanya boleh menggunakan barang yang dipinjamkan sebatas yang diizinkan oleh pemiliknya.
  3. Orang yang meminjam harus merawat barang yang dipinjamkan dengan baik. Sesuai hadits nabi berikut:

عَنْ سَمُرَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَلَي الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى يُؤَدِّيْهِ  (رواه الخمسة الاّ النسائ)

Artinya: “ Dari Samurah, Nabi saw. bersabda: Tanggung jawab barang yang diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu. ” (HR. Lima Orang Ahli Hadits).

  1. Akad pinjam-meminjam boleh diputus dengan catatan tidak merugikan salah satu pihak.
  2. Jika barang yang dipinjamkan rusak atau hilang dengan pemakaian sebatas yang diizinkan pemiliknya, maka peminjam tidak wajib mengganti. Sebab pinjam-meminjam itu sendiri berarti saling percaya dan mempercayai, Akan tetapi kalau kerusakan barang yang dipinjam akibat dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka peminjam wajib menggantinya. Hal ini sesuai hadits Nabi SAW:

اَلْعَارِيَةُ مُؤَدَّةٌ وَ الزَّعِيْمُ غَارِمٌ (رواه ابو داود و الترمذ)

Artinya: “Pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar“ (H.R. Abu Daud).

  1. Jika dalam proses mengembalikan barang itu memerlukan ongkos atau biaya maka yang menanggung adalah pihak peminjam.
  2. Akad pinjam-meminjam akan putus jika salah seorang dari kedua belah pihak meninggal dunia, atau karena gila. Maka jika terjadi hal seperti itu maka ahli waris wajib mengembalikannya, dan tidak halal menggunakannya. Dan andaikan ahli waris menggunakannya maka wajib membayar sewanya.
  3. Jika terjadi perselisihan antara pemberi pinjaman dengan peminjam, misalnya yang pemberi pinjaman mengatakan bahwa barangnya belum dikembalikan, sedang peminjam mengatakan bahwa barangnya belum dikembalikan, maka pengakuan yang diterima adalah pengakuannya pemberi pinjaman dengan catatan disertai sumpah.
  4. Setelah si peminjam telah mengetahui bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan/membatalkan akad, maka dia tidak boleh memakai barang yang dipinjam itu.

Lantas Bolehkah Kita Meminjam Barang, Namun Juga Mengurangi Substansi Atau Isi Dari Barang Tersebut?

Yang dinamakan pinjam meminjam seperti yang dipaparkan pada pengertian di atas adalah suatu akad pemberian manfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain, tanpa ada imbalan dan dengan tidak mengurangi atau merusak benda yang dipinjamkan serta dikembalikan setelah diambil manfaatnya. Dalam salah satu dari ketentuan pinjam meminjam di atas juga disebutkan bahwa ‘Jika dalam proses mengembalikan barang itu memerlukan ongkos atau biaya maka yang menanggung adalah pihak peminjam’, ditambah lagi hadits berikut اَلْعَارِيَةُ مُؤَدَّةٌ وَ الزَّعِيْمُ غَارِمٌ  yang menyebutkan bahwa pinjaman wajib dikembalikan dan orang yang menjamin wajib membayarnya. Dari hadits ini dapat kita simpulkan bahwa Jika barang yang dipinjamkan rusak atau hilang dengan pemakaian sebatas yang diizinkan pemiliknya, maka peminjam tidak wajib mengganti, akan tetapi kalau kerusakan dan kehilangan barang yang dipinjam akibat dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka peminjam wajib menggantinya.

Hal ini mungkin sepele, namun secara tidak sadar juga sering terjadi di kehidupan sehari-hari kita. Misalnya di dalam kelas teman kita meminjam pulpen atau tipe-x milik kita, akadnya adalah meminjam, namun secara tidak sadar dia menggunakan tinta dari pulpen atau isi dari tipe-x tersebut sehingga substansinya berkurang. Hal ini tidak dihukumi sebagai pinjam meminjam barang, namun dihukumi sebagai meminta isi dari barang tersebut. Karena substansinya berkurang dan tidak hanya diambil manfaatnya saja, namun juga isinya. Sama halnya ketika kita meminjam motor teman kita. Akadnya adalah meminjam, namun sebenarnya juga mengurangi bensin yang ada di motor tersebut. Sehingga ini bukan dinamakan meminjam, tapi meminta. Jika akadnya adalah meminjam, maka si peminjam harus mengganti bensin yang telah digunakannya, dan isinya harus sama seperti sedia kala ketika dia meminjam, jika tidak maka hal tersebut dihukumi sebagai hutang kepada si pemilik barang. Dan hal ini termasuk ke dalam merugikan salah satu pihak, yaitu si pemilik barangnya. Akibatnya tidak tercapainya kemaslahatan antar kedua belah pihak, namun hanya pada pihak peminjam barang saja. Hal ini juga sesuai dengan pendapat beberapa sahabat di antaranya pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad yang mengatakan bahwa peminjam harus menggantinya (barang yang hilang tersebut) dalam kondisi apapun, dan pendapat ini masyhur. Ini juga diriwayatkan sebagai pendapat Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas.

Dalam akad pinjam-meminjam (al-Ariyah), objek yang dipinjamkan tidak mengalami perpindahan kepemilikan. Sehingga peminjam tidak memiliki hak apapun terhadap barang itu, selain hak guna sementara, selama izin yang diberikan pihak yang meminjamkan. Misalnya jika kita hutang motor, maka Anda berhak memiliki motor itu. Selanjutnya bisa kita jual atau sewakan bahkan digadaikan untuk hutang. Lain halnya jika kita pinjam motor, lalu motor itu kita jual atau kita sewakan dan gadaikan untuk hutang, kita disebut orang yang tidak amanah karena tidak menjaga barang pinjaman dengan benar, bahkan ampai menjualnya karena motor ini buka milik kita, tapi motor pinjaman milik orang lain. Kita hanya punya hak guna pakai selama masih diizinkan. Karena itulah, benda habis pakai, hanya mungkin dilakukan akad hutang. Meskipun ketika akad menyebutnya pinjam, namun hukumnya utang. Misalnya makanan, uang, atau benda habis pakai lainnya, seperti yang dikatakan As-Samarqandi dalam Tuhfatul Fuqaha’:

كل ما لا يمكن الانتفاع به إلا باستهلاكه، فهو قرض حقيقة، ولكن يسمى عارية مجازا، لانه لما رضي بالانتفاع به باستهلاكه ببدل، كان تمليكا له ببدل

Semua benda yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya, maka hakikatnya hanya bisa diutangkan. Namun bisa disebut pinjam sebagai penggunaan majaz. Karena ketika pemilik merelakan untuk menggunakan barang itu melalui cara dihabiskan dengan mengganti, berarti terjadi perpindahan hak milik dengan mengganti. Kemudian Al-Kasani menjelaskan dengan menyebutkan beberapa contoh:

وعلى هذا تخرج إعارة الدراهم والدنانير أنها تكون قرضا لا إعارة ; لأن الإعارة لما كانت تمليك المنفعة أو إباحة المنفعة على اختلاف الأصلين , ولا يمكن الانتفاع إلا باستهلاكها , ولا سبيل إلى ذلك إلا بالتصرف في العين لا في المنفعة

Berdasarkan penjelasan ini dipahami bahwa meminjamkan dinar atau dirham, statusnya adalah utang dan bukan pinjam meminjam. Karena pinjam-meminjam hanya untuk benda yang bisa diberikan dalam bentuk perpindahan manfaat (hak pakai). Sementara dinar dirham tidak mungkin dimanfaatkan kecuali dengan dihabiskan. Tidak ada cara lain untuk itu, selain menghabiskan bendanya bukan mengambil hak gunanya. Lebih lanjut dijelaskan lagi:

لو استعار حليا ليتجمل به صح ; لأنه يمكن الانتفاع به من غير استهلاك بالتجمل… وكذا إعارة كل ما لا يمكن الانتفاع به إلا باستهلاكه كالمكيلات والموزونات , يكون قرضا لا إعارة لما ذكرنا أن محل حكم الإعارة المنفعة لا بالعين

Jika ada yang meminjam perhiasan untuk dandan, statusnya sah sebagai pinjaman. Karena perhiasan mungkin dimanfaatkan tanpa harus dihabiskan ketika dandan, sementara meminjamkan benda yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan dihabiskan, seperti bahan makanan yang ditakar atau ditimbang, statusnya utang bukan pinjam meminjam, sesuai apa yang kami sebutkan sebelumnya bahwa posisi pinjam meminjam hanya hak guna, bukan menghabiskan bendanya. (Bada’i as-Shana’i, 8/374)

Dalam konteks ini kita mengambil contoh pinjam motor, ketika akadnya pinjam motor, lalu dikembalikan dalam waktu yang ditentukan dengan kondisi barang yang sama, namun bensinnya berkurang, maka ini dapat dihukumi sebagai utang, karena bensin termasuk benda habis pakai, sehingga harus diganti ketika kita telah menggunakan motornya sehingga bensinnya berkurang atau habis. Karena pada dasarnya meminjam hanyalah mengambil manfaat atau nilai guna dari barang tersebut, bukan mengurangi substansi dari barang tersebut. Karena waktu pengembalian barang harus dalam keadaan dan kondisi yang sama seperti ketika dipinjam, termasuk bensin. Jika bensin berkurang, maka ini dapat dihukumi sebagai ‘barang yang hilang’ karena dipinjam oleh peminjam tersebut, sehingga wajib diganti oleh peminjam, dan bila tidak diganti maka dihukumi sebagai hutang. Maka dari sini dapat kita simpulkan bahwa ketika berakad meminjam suatu barang, namun di dalam barang tersebut ada suatu benda yang habis pakai seperti bensin atau tinta dalam pulpen, maka hal ini dihukumi sebagai hutang. Dan hutang harus dibayar oleh orang yang bersangkutan (peminjam).

Wallahu a’lam bis shawab… (dakwatuna/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:

Apakah hukum meminjam sepeda motor di mana bahan bakarnya akan berkurang setelah digunakan
Apakah hukum meminjam sepeda motor di mana bahan bakarnya akan berkurang setelah digunakan
Apakah hukum meminjam sepeda motor di mana bahan bakarnya akan berkurang setelah digunakan
Apakah hukum meminjam sepeda motor di mana bahan bakarnya akan berkurang setelah digunakan
Apakah hukum meminjam sepeda motor di mana bahan bakarnya akan berkurang setelah digunakan
(No Ratings Yet)

Apakah hukum meminjam sepeda motor di mana bahan bakarnya akan berkurang setelah digunakan
Loading...