Yang mengatur tentang pembuktian perdata

Yang mengatur tentang pembuktian perdata

Hukum Pembuktian merupakan bagian terpenting dan kompleks dalam proses litigasi sebab pembuktian berkaitan dengan kemampuan merangkai atau mengkonstruksikan kejadian atau peristiwa masa lalu ( past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Namun, kebenaran yang dicari dalam sistem hukum sangat berbeda dengan kebenaran dalam sistem hukum pidana, dalam sistem hukum pembuktian perdata kebenaran sangat relatif bahkan sangat mendekati kemungkinan ( probable) namun untuk mencari dan mendapatkan kebenaran tersebut masih sangat sulit, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:

  1. Faktor Sistem Adversial
    dalam sistem ini mengharuskan memberikan hak yang sama kepada para pihak yang berperkara sesuai dengan asas audiatur et altera pars atau eines mannes rede ist keines mannes rede, serta memberikan hak untuk saling membantah sesuai dengan proses adversarial ( adversarial proceeding).
  2. Hakim yang bersifat pasif
    Pad prinsipnya kedudukan hakim dalam proses pembuktian bersifat pasif dalam artian tidak aktif dalam mencari dan menemukan kebenaran diluar apa yang diajukan dipersidangan .
  3. Bukti dan Fakta
    Mencari dan menemukan kebenaran semakin lemah dan sulit disebabkan fakta dan bukti yang diajukan oleh para pihak tidak dianalisa dan dinilai oleh ahli.

Prinsip Umum Pembuktian Hukum Perdata
yang dimaksud prinsip umum pembuktian ialah landasan penerapan pembuktian dimna semua pihak termasuk hakim harus berpegang teguh pada patokan yang digariskan oleh prinsip tersebut.

Berikut beberapa prinsip umum pembuktian :

  1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil
    Sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara perdata tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (  Negatif Wettelijk Stelsel) seperti dalam proses pemeriksaan hukum acara pidana, dimana harus dibuktikan berdasarkan alat buktu yang mencapai batas minimal pembuktian yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memenuhi syarat formil dan materil. selain mencapai batas minimum juga harus berdasarkan keyakinan hakim, sistem pembuktian inilah yang dianut oleh pasal 183 KUHAP. Beda hal dalam proses peradilan perdata dimana kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim hanya kebenaran formil saja hal ini ditegaskan dalam putusan MA no.3136k/pdt/1983.
  2. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara
    Pada prinsipnya , pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Apabila tergugat mengakui scara bulat dan murni atas materi pokok yang didalilkan penggugat, dianggap perkaran yang disengketakan telah selesai hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 164 HIR.284  RBG jo. Pasal 1866 KUH Perdata dimana salah satu alat bukti dalam hukum acara perdata ialah pengakuan.

Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata
Berdasarkan pasal 164 64 HIR/284 RBG Jo. Pasal 1866 KUH Perdata bahwa dalam hukum acara perdata mengenail hierarki alat bukti yakni :

  1. Bukti Tertulis
  2. Bukti Saksi
  3. Persangkaan
  4. Pengakuan
  5. Sumpah

Tags: Adversial, Bukti Tertulis, event, Formil, hierarki, KUH, litigasi, past, past event, probable, Stelsel, truth, Wettelijk, Wettelijk Stelsel


Yang mengatur tentang pembuktian perdata


Yang mengatur tentang pembuktian perdata


Yang mengatur tentang pembuktian perdata


Yang mengatur tentang pembuktian perdata


Yang mengatur tentang pembuktian perdata


Yang mengatur tentang pembuktian perdata


Penulis: Feliks Gerald Ferguson Purba

Yang mengatur tentang pembuktian perdata

Pembuktian  merupakan proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan dalam hukum acara yang berlaku.[1] Tujuan pembuktian adalah untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti, tidak meragukan dan memiliki akibat hukum.[2] Membuktikan adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.[3] Dalam hal membuktikan suatu peristiwa, cara yang dapat digunakan adalah menggunakan alat bukti. Alat bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian.[4]

Pada saat ini, perkembangan teknologi dan informasi membuat permasalahan hukum juga semakin beragam terutama dalam transaksi secara elektronik. Salah satu permasalahan hukum yang muncul adalah mengenai sah atau tidaknya alat bukti elektronik yang dilampirkan penggugat atau tergugat dalam hukum acara perdata serta kekuatan pembuktian alat bukti elektronik tersebut.

Alat bukti dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 164, 153, 154 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Pasal 284, 180, 181 Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBG).[5] Dalam HIR dan RBG tidak mengatur secara langsung atau mengklasifikasi alat bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti di muka pengadilan. Alat bukti elektronik kemudian diatur secara khusus dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE).[6] Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE menyatakan sebagai berikut:

“(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.”

“(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.”

Dari penjelasan diatas, UU ITE telah secara eksplisit menentukan bahwa Informasi dan Dokumen Eletronik merupakan alat bukti yang sah dan memperluas alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang telah berlaku di Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan.[7] Untuk bisa menjadi alat bukti yang sah, Informasi dan Dokumen Elektronik harus memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat formil tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE sebagai berikut:

“Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam

bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.”

Syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE sebagai berikut:[8]

Pasal 6

“Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.”

Pasal 15

“(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.

(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.”

Pasal 16

“Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;

b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan

e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Dapat disimpulkan bahwa pembuktian alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE. Kemudian alat bukti tersebut harus memenuhi syarat materil dan formil supaya menjadi alat bukti yang sah. Alat bukti elektronik dapat digunakan dalam hukum acara perdata berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU ITE.

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 251).
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 58).
  • Herzien Inlandsch Reglement (Staatsblad 1848 No. 16 dan Staatsblad 1941 No. 44).
  • Rechtreglement voor de Buitengewesten (Staatsblad 1927 No. 227).

Referensi:

[1] Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), halaman 7.

[2] Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2017), halaman 144.

[3] Ibid.

[4] Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), halaman 17.

[5] Efa Laela Fakhriah, Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan Menuju Pembaharuan Hukum Acara Perdata, https://jhaper.org/index.php/JHAPER/article/view/16/22 , (diakses 13 Agustus 2021).   

[6] Riki Perdana Raya Waruwu, Eksistensi Dokumen Elektronik di Persidangan Perdata, https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/3048/eksistensi-dokumen-elektronik-di-persidangan-perdata , (diakses 21 Juli 2021).

[7] Dewi Asimah, Menjawab Kendala Pembuktian Dalam Penerapan Alat Bukti Eletronik, https://jurnalhukumperatun.mahkamahagung.go.id/index.php/peratun/article/download/159/34/ (diakses 1 September 2021).

[8] Josua Sitompul, Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5461/syarat-dan-kekuatan-hukum-alat-bukti-elektronik, (diakses 21 Juli 2021).