Tuhan menempatkan manusia di bumi masing-masing menempati wilayah tertentu yang sudah

1. AL-KINDI (185-252 H/ 801-866 M) Dari suku Kays di Kindah (Yaman) lahirlah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishaq Ash-Sabbah bin Imran bin Ismai’il bin Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Ia lahir di Kufah tahun 185 H (801 M). Ayahnya Ishaq Ash-Shabbah, seorang gubernur  Kuffah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid. (Yunasril Ali, 1991: 27). Al-Kindi hidup pada masa keemasan kekuasaan Bani Abbas. Pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid yang sangat memperhatikan dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, Bagdad menjadi pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan. Al Rasyid mendirikan akademi atau lembaga  tempat pertemuan para ilmuwan yang disebut  Bayt Al-Hikmah (Balai Ilmu Pengetahuan). Al-Kindi mempelajari Al-Qur’an, membaca, menulis dan berhitung  di Basrah. Kemudian melanjutkan ke Bagdad. Ia mahir sekali dalam berbagai macam cabang ilmu yang ada pada waktu itu seperti ilmu kedokteran, filsafat, ilmu berhitung, logika, geometri, astronomi. Disinilah Al-Kindi lebih luas mengenal ilmu pengetahuan, kesusastraan dan kebudayaan Yunani dan Siria Kuno, ia juga menguasai bahasa Suryani, kemudian menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Arab. (A. Mustofa, 1997: 100). Karya ilmiah Al-Kindi kebanyakan berupa makalah, tetapi jumlahnya amat banyak. Dalam bidang filsafat karangan Al-Kindi diterbitkan oleh Prof. Abu Ridah (1950) dengan Judul Rasail Al-Kindi Al-falasifah beisi 29 makalah dan oleh Prof. Ahmad Fuad Al Ahwani dengan judul Fi-Al Kitab Al-Kindi Ila Mu’tashim Billah falsafah Al-ula. Dari karangan-karangannya diketahui bahwa Al-Kindi adalah penganut aliran Eklektisitas, dalam metafisika dan kosmofologi ia mengambil pendapat Aristoteles, dalam psikologi ia mengambil pendapat Plato. (A. Mustofa, 1997:102). Persoalan metafisika dibicarakan oleh Al-Kindi dalam bahasa risalahnya antara lain risalah yang berjudul “Tentang Filsafat Pertama” dan “Tentang Keesaan Tuhan dan Berakhirnya Benda-benda Alam.” Pembicaraan dalam soal ini meliputi Hakekat Tuhan, Wujud Tuhan, dan Sifat-sifat Tuhan. Tuhan menurut Al-Kindi adalah wujud yang haq (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karenanya Tuhan adalah wujud sempurna  yang tidak didahului wujud lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada wujud kecuali dengan-Nya. Untuk membuktikan wujud Tuhan ia menggunakan tiga jalan, yaitu :1) Barunya alam; 2) Keanekaragaman dalam wujud; dan 3) Kerapian alam. Al-Kindi membuktikan keesaan Tuhan dengan mengatakan bahwa :”Ia bukan benda (huyula, mddah); bukan form (shrah); tidak mempunyai kualitas; tidak berhubungan dengan yang lain (idlfah); misalnya sebagai ayah atau anak; tidak bisa disifati dengan apa yang ada dalam pikiran; bukan genus; bukan differentia (fals); bukan proprium (khssah), bukan Accident (‘aradl); tidak bertubuh; tidak bergerak. Karenanya , maka Tuhan adalah keesaan belaka, tidak ada lain kecuali keesaaan itu semata. (Hanafi, 1990: 77-78) Kesimpulannya ialah bahwa Tuhan adalah Sebab Pertama (Firs Cause), dimana wujud-Nya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah Zat yang menciptakan, tetapi bukan diciptakan, menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia adalah Zat yang menyempurnakan, tetapi bukan disempurnakan. Dalam kitab Fi’al-Falsafah al Ula dan juga dalam kitab Fi Wahdaniyyati L-lahi Watanahi Fijirmil-‘Alam Al-Kindi telah membahas tentang adanya Allah, sifat dan dzat-Nya. Sebagai orang yang dijuluki Filosof Arab pertama dalam dunia Islam Al-Kindi telah mengemukakan sejumlah dalil tentang adanya Allah yang umumnya didasarkan pada pengamatan empiris terhadap kenyataan-kenyataan indrawi. Dan ini pada hakikatnya sejalan dengan tuntutan Al-Qur’an yang dalam berbagai ayat-Nya telah menghimbau manusia untuk mengamati, memperhatikan dan memikirkan segala kenyataan di sekelilingnya dan juga dalam dirinya.     Dalil adanya Tuhan Diantara dalil-dalil terpenting yang dikemukakan oleh Al-Kindi tentang adanya Allah adalah sebagai berikut : Dalil Barunya Alam Dalil Keragaman dan Kesatuan Alam Dalil Keteraturan Alam (Ahmad Daudy, 1986: 16). Penggunaan konsep bahwa alam ini baru sebagai dalil adanya Allah telah dikenal dalam kalangan Mutakallimin sebelum Al-Kindi. Perbedaannya hanya terletak pada isi kandungan dalil tersebut tidak pada dasarnya ejaannya. Menurut Al-Kindi bahwa segala sesuatu dalam alam ini dengan sendirinya ada yang mendahului. Dengan demikian alam ini ada sebab bagi adanya. Hal ini berarti alam ini ada permulaannya baik dari segi gerak maupun dari segi zaman. Dari segi gerak, karena gerak pada wataknya mengikut jisim karena tidak mungkin adanya gerak jika tidak ada jisim yang bergerak. Dengan demikian gerak juga baru dan ada titik awalnya. Sedangkan dari segi zaman, karena zaman adalah ukuran gerak dan juga baru seperti gerak. Jadi jisim, gerak dan zaman tidak dapat saling mendahului dalam wujud dan semuanya itu ada secara bersamaan. Ini berarti alam ini baru dan karena itu ada penciptanya. Dalil ini didasarkan pada suatu konsepsi bahwa keragaman yang terdapat dalam kenyataan empiris tidak mungkin ada tanpa adanya kesatuan dan kesatuan tidak mungkin ada tanpa adanya keragaman. Fenomena keterkaitan segala kenyataan empiris dalam keragaman dan kesatuan bukanlah karena kebetulan tetapi ada sebabnya. Dan sebab itu bukan jenis zat tersebut karena jika demikian maka tidak akan ada kesudahannya secara secara aktual yakni sebab-sebab yang tidak berakhir. Menurut Al-Kindi tidak mungkin adanya sesuatu secara aktual tanpa akhir. Dengan demikian tentunya dalam keragaman dan kesatuan ada suatu zat yang lebih tinggi dan luhur serta lebih mendahului adanya karena sebab itu harus mendahului musabab, dan itu adalah Allah. Adanya pengaturan dan pengendalian yang terdapat dalam alam ini sebagai gejala dan bukti atas kepastian adanya pengatur dan pengendali (Tuhan). Selain dalil-dalil di atas Al-Kindi berpendapat bahwa alam itu temporal dan berkomposisi yang karenanya ia membutuhkan pencipta yang menciptakannya. “Yang Esa yang Hak adalah yang pertama yang menahan segala yang diciptakan sehingga sesuatu yang tidak mendapat pertahannan dan kekuatan-Nya pasti akan hancur  (Ibrahim, 1995: 118) Adapun tentang hakekat Allah Al-Kindi menjelaskan bahwa Allah wujud yang hak (Al Inaiyyah, Al Haqqah) yang tidak ada ketiadaan selama-lamanya yang senantiasa dan akan selalu  demikian oleh wujud apapun. Wujud-Nya tak berakhir dan tak ada wujud sesuatu tanpa wujud-Nya. Dalam masalah sifat Allah Al-Kindi tampaknya telah memilih mazhab Mu’tazilah yang menafsirkan tauhid sebagai kesatuan zat dan sifat. Oleh karena itu Al-Kindi memandang ke-Esaa-an itu suatu sifat Allah yang khas. Jadi Allah adalah Esa dalam bilangan dan Esa dalam Zat. Untuk membuktikan wujud Tuhan, Al-Kindi berbijak adanya gerak, keanekaan, dan keteraturan alam sebagaimana argumentasi yang sering dikemukakan oleh filosof Yunani. Sehubungan dengan dalil gerak, Al-Kindi mengajukan pertanyaan sekaligus memberikan jawaban dalam ungkapan berikut : Mungkinkah sesuatu menjadi sebab adanya sendiri, atau hal-hal itu tidak mungkin ? Jawabannya : Yang demikian itu tidak mungkin. Dengan demikian, alam ini adalah baru, ada permulaan dalam waktu; demikian pula ada akhirnya. Oleh karenanya, alam ini harus ada yang menciptakannya. Dari segi filsafat, argumen Al-Kindi itu sesuai dengan argumen Aristoteles tentang causa prima dan penggerak pertama, penggerak yang tidak bergerak. Dari segi agama, argumen Al-Kindi itu sejalan dengan Mutakallimin. Alam berubah-ubah, semua yang berubah-ubah adalah baru. Karena alam adalah baru, maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan adanya penciptanya, yang mencipta dari tiada (creatio exnihilo). Tentang dalil keanekaan alam wujud, Al-Kindi mengatakan bahwa tidak mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa adanya kesatuan, demikian juga sebaliknya tidak mungkin adanya kesatuan tanpa keanekaan alam indrawi atau yang dapat dipandang sebagai indrawi. Karena dalam wujud mempunyai persamaan keanekaan  (keberagaman) dan kesatuan (keseragaman), maka sudah pasti hal ini terjadi karena ada sebab, bukan karena kebetulan. Dan sebab ini bukan alam wujud yang mempunyai persamaan dan keseragaman itu sendiri. Jika tidak demikian akan terjadi sebab akibat yang tidak berkesudahan, dalam hal ini tidak mungkin terjadi. Oleh karenanya, sebab itu di luar wujud itu sendiri, eksistensinya lebih tinggi, lebih mulia dan lebih dulu adanya. Sebab ini tidak lain adalah Tuhan. Mengenai dalil keteraturan alam sebagai wujud adanya Tuhan, Al- Kindi mengatakan bahwa keteraturan alam indrawi tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya zat yang tidak terlihat, dan zat yang tidak terlihat itu tidak mungkin diketahui adanya kecuali dengan adanya keteraturan dan bekas-bekas menunjukkan ada-Nya yang terdapat dalam alam ini. Argumen demikian ini disebut argumen teleologik yang pernah digunakan Aristoteles, tetapi juga bisa diperoleh dari ayat-ayat Al-Qur’an (Hasan, 1998: 4-5).                           2. AL-FARABI (258-339 H/872-950 M) Riwayat Hidup Al-Farabi Dalam sejarah, riwayah hidup Al-Farabi tidak termaktub dengan jelas, karena Al-Farabi sendiri maupun pengikutnya tidak pernah menulis dan merekam kehidupannya. Yang ada hanya beberapa karangan yang menerangkan tentang sebagian biografi beliau seperti buku Wafayat Al-A’yan karangan Ibnu Khalikan. Beliau adalah orang Turki, lahir di desa Wasij dekat daerah Farab, Transoxiana pada tahun 258 H.  Nama aslinya adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag Al-Farabi, yang dikenal dengan Avennoser. Bapaknya seorang perwira tentara dari Parsi sedang ibunya berasal dari Turkistan. Bahasa yang dipakainya sehari-hari ialah bahasa Arab, disamping itu ia tidak lupa mempelajari bahasa Turki dan bahasa Parsi seperti juga ia belajar dan mengamalkan ajaran Islam yang dipeluknya dengan penuh keyakinan. Kealiman Al-Farabi dalam filsafat ditunjang oleh keahliannya dalam bidang logika, sehingga disebut oleh para ahli sejarah filsafat dengan sebutan Al-Mu’allim as-Tsani (guru kedua) Artinya dialah guru kedua sesudah Aristoteles. Keahlian Al-Farabi dalam bidang logika melebihi Al-Kindi. Meskipun diakui bahwa Al-Kindi mempunyai filsafat yang sudah demikian baik, tetapi karena ia kalah dalam bidang logika maka ia dapat mengungguli Al-Farabi. Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika sehingga mudah dipahami, iapun telah dapat menjelaskannya dengan baik dan mensistematisirnya dengan teratur, dengan demikian logika itu bertambah mudah dimengerti (Yunasril Ali, 1991: 40). Pada masanya, sudah banyak kemajuan yang dibangun dari berbagai  bidang, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Dengan begitu, hal ini berpengaruh besar terhadap pola pikir Al-Farabi, termasuk di dalam membangun sendi-sendi pemikiran dan sistem filsafat. Aliran filsafat yang banyak berpengaruh pada pemikiran beliau adalah Filsafat Plato, Aristoteles dan Neo Platonisme. Sebelum membicarakan tentang hakekat Tuhan dan sifat-sifat-Nya, Al-Farabi terlebih dahulu membagi wujud yang ada kepada dua bagian :

  1. Wujud yang Mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya
Seperti wujud cahaya yang tidak ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak berwujud. Atau dengan kata lain, cahaya adalah wujud yang mumkin. Akan tetapi karena matahari telah wujud, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata (wajib) karena matahari. Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya Sebab Yang Pertama (Tuhan).
  1. Wujud Yang Nyata dengan sendirinya
Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, yaitu wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemustahilan sama sekali. Kalau Ia tidah ada, maka yang lain pun tidak akan ada sama sekali. Ia adalah Sebab Yang Pertama bagi semua wujud. Wujud Yang Wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah). Hakikat Tuhan Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa suatu sebab, karena kalau ada sebab bagi-Nya berarti ia tidak sempurna, sebab tergantung kepadanya. Ia adalah wujud yang paling mulia dan yang paling dahulu adanya. Karena itu Tuhan adalah Zat yang azali (tanpa permulaan) dan yang selalu ada. Zat-Nya itu sendiri sudah cukup menjadi sebab bagi keabadian wujud-Nya. Wujud-Nya tidak berarti hule (matter, benda) dan form (shrah), yaitu dua bagian yang terdapat pada makluk. Kalau sekiranya ia terdiri dari dua perkara tersebut, tentunya akan terdapat sususnan (bagian-bagian) pada zat-Nya. Sifat-sifat Tuhan Tuhan yang digambarkan oleh Al-Farabi adalah Tuhan yang jauh dari makhluk-Nya dan Ia tidak dapat dicapai kecuali dengan jalan renungan dan amalan serta pengalaman-pengalaman (pengalaman batin). Al-Farabi juga mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui alam dan tidak memikirkannya pula, yakni tidak menjadikan alam sebagai objek pemikiran Tuhan. Pendapat tersebut didasarkan atas anggapan bahwa alam terlalu  rendah tingkatannya untuk dijadikan objek pemikiran Tuhan, Zat Yang Maha Sempurna dan Maha Agung. Tuhan hanya memikirkan Zat-nya yang menjadi sebab bagi wujud alam ini. Jadi pemikiran Tuhan terhadap alam ini tidak langsung, melainkan cukup melalui Zat-Nya,yakni dalam kedudukan-Nya sebagai sebab adanya alam berserta segala peristiwanya. Apabila Tuhan lebih dari satu, maka Tuhan itu adakalanya sama-sama sempurna wujudnya atau berbeda dalam suatu sifat-sifat tertentu. Dengan demikian tiap-tiap Tuhan mempunyai dua macam sifat yaitu sifat umum yang dimiliki bersama-sama oleh Tuhan-Tuhan itu dan sifat-sifat khusus yang ada pada masing-masing Tuhan. Inilah sesuatu yang tidak mungkin. Demikian pula karena Tuhan itu tunggal, maka Ia tidak dapat diberi batasan (definite), karena batasan berarti penyusunan yaitu yang memakai speces dan defferentia atau dengan memakai matter dan form, seperti halnya dengan jauhar (benda), sedang kesemua itu adalah mustahil bagi Tuhan. Oleh karena itu Tuhan tidak dapat dibatasi oleh manusia yang terbatas ini dengan sempurna. Sebagai mana suatu cahaya yang sangat kuat menyilaukan mata, sehingga kita sulit menguraikan sifat-sifat cahaya itu yang sebenarnya. Adapun kesulitan tentang pengetahuan kita mengenai Dia, disamping keterbatasan yang kita miliki, dan wujud yang tidak terbatas itu, juga karena kita telah tenggelam dalam alam kebendaan yang menutup mata hati kita. Semakin kita menghindari benda itu semakin dekat kita kepada pengetahuan tentang Tuhan yang lebih jelas (Mustofa, 1997 : 134-135) Seperti Al-Kindi, Al-Farabi juga membagi wujud menjadi dua wujud yang wajib dan yang mumkin. Di luar wujud itu tak ada wujud yang lain. Wujud yang wajib itu bersifat abadi, sempurna, hakikat yang sebenarnya. Dia adalah Tuhan Allah. Wujud yang sempurna ini haruslah hanya satu. Dari zat yang Eka inilah muncul yang serba aneka. Wujud yang mungkin adalah wujud yang ada disebabkan oleh lainya, tidak sempurna, beraneka dan berubah-ubah. Sedangkan masalah hakikat Tuhan, Ia adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa sesuatu sebab bagi-Nya berarti ia tidak sempurna, sebab ia tergantung kepada-Nya. Ia adalah wujud yang paling mulia dan yang paling dahulu adanya. Karena itu Tuhan itu adalah zat yang ajaib (tanpa permulaan) dan yang selalu ada. Zat-Nya itu sendiri sudah cukup menjadi sebab bagi keabadian wujud-Nya. Wujud-Nya tidak berarti terdiri dari hule (benda) dan form (bentuk) yaitu dua bagian yang terdapat pada makhluk. Kalau sekiranya ia terdiri dari dua perkara tersebut tentunya akan terdapat susunan atau bagian-bagian pada zat-Nya.( (Mustofa, 1997: 135). Mengenai sifat-sifat Tuhan tidak berbeda dari zat-Nya karena Tuhan adalah tunggal. Tuhan benar-benar akal (pikiran) murni, Karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi akal atau pikiran dan berfikir adalah berada, maka sesuatu itu berada, kalau wujud sesuatu itu tidak membedakan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal (pikiran). Demikianlah keadaan wujud yang pertama (Tuhan). Jadi dari apa yang telah diterangkan di atas kita mengetahui bahwa Al-Farabi berusaha keras untuk menunjukkan ke-Esaan Tuhan dan ketunggala-Nya, dan bahwa sifat-sifat-Nya tidak lain adalah zat-Nya sendiri. Dari segi ini yakni kesatuan sifat dengan zat maka Al-Farabi sependapat dengan golongan Mu’tazilah.                  
  1. AL-GHAZALI (450-505 H/1058-1111 M)
Riwayat Hidup Al-Ghazali Ia adalah Abu Hamid Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 1058 M. di kota Thus Khurasan. Suatu kota kecil di kota Iran sekarang. Kata Al Ghazali kadang-kadang diucapkan dengan Al-Ghazzali (dengan dua Z). Kata ini berasal dari Ghazzal yang berarti tukang pintal benang (Labib dan Firdaus, 1995: 28), hal itu karena ayah Imam Al-Ghazali dengan memakai satu Z maka itu merupakan nisbat kepada kata Ghazalah yang diambil dari nama kampung kelahiran Al-Ghozali yang terakhir ini adalah yang paling tepat. Ayah Al-Ghozali adalah Muhammad bin Ahmad, seorang ulama yang dikenal juga seorang sufi. Beliau meninggalkan Al-Ghazali ketika masih kecil, akan tetapi sebelum wafat beliau telah dititipkan kepada seorang sufi pula untuk mendapatkan bimbingan  dalam hidupnya sehingga tidak heran kalau pada akhirnya beliau sangat tertarik sekali dengan ilmu tasawuf karena memang bekal yang beliau terima sedari kecil adalah tentang moral dan tasawuf (Abu Ahmadi,1982: 161). Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Thus kemudian meneruskan ke kota Jurjan, dan akhirnya belajar di Naisabur pada Imam Juwainy, sampai akhirnya meninggal pada tahun 478H/1085M. Kemudian berkunjung pada Nidhzam Al-Mulk, di kota Mua’skar dan dari padanya beliau mendapat penghormatan yang luar biasa, kemudian beliau tinggal di kota itu selama 6 tahun lamanya. Pada tahun 483H/1090M ia diangkat menjadi guru di sekolah nidhzamiyah Baghdad. Selama di Baghdad selain sebagai pengajar ia sering juga memberikan bantahan-bantahan kepada Syi’ah Isma’iliyah dan juga golongan-golongan pemikiran yang dirasa tidak cocok dengan dirinya dan khususnya dengan Islam. Dan selama waktu itu pula beliau tertimpa berbagai macam keraguan tentang pekerjaan yang ia geluti sekarang sehingga beliau mengalami penyakit yang sulitdisembuhkan sehingga ia dapat memanfaatkan waktunya untuk berpikir ke arah ilahiyah. Sampai akhirnya beliau meninggalkan pekerjaan sebagai tenaga pengajar dan pergi menuju kota Damsyik dan di kota tersebut beliau tidak menyia-nyiakan waktu untuk merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih 2 tahun pada waktu itu tasawuf  sebagai jalan hidupnya. Kemudian pindah menuju Palestina dan di sini beliau tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat Baitul Maqdis sebagai tempat dalam perenungannya. Sesudah itu tergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah Haji di Baitullah El-Haram dan kemudian kembali ke negerinya dan di sana beliau berkhalwat dengan khusu’ yang berlangsung selama 10 tahun lamanya dan selama perpindahannya ke Damsyik beliau meneruskan beberapa ide tentang keagamaan yang kemudian tercetus dalam sebuah kitab yang bernama IHYA’ ULUMUDDIN. Karena desakan penguasa pada masanya, yaitu Muhammad Saudara barkijaruk  Al-Ghazali mau kembali mengajar sampai meninggal pada 505 H/1111 M. Karya Al-Ghazali Al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam, puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai disiplin ilmu keislaman yang diantaranya Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fikih), Tasawuf, akhaq dan kesopanan dengan autobiografinya kebanyakan dituangkan  dalam bahasa Arab dan yang lainnya dalam bahasa Persi. Pengaruh Al-Ghazali di kalangan muslimin sangat besar sekali sehingga menurut pandangan para ahli ketimuran (Orientalis) agama Islam kebanyakan digambarkan oleh kaum muslimin banyak yang bersumber dari konsep Al-Ghazali. Kitabnya yang terbesar yaitu IHYA’ ULUMUDDIN yang mempunyai arti meghidupkan ilmu-ilmu agama dan yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan yang berpindah-pindah dari satu tempat lainnya yang berisi paduan yang indah antara fiqh, tasawuf, dan filsafat bukan saja terkenal di kalangan kaum muslimin tetapi juga di dunia Barat dan dunia di luar Islam. Bukunya yang lain yaitu : ALAMUNQIDZ MIN ADDHALAL (Penyelamat dari kesesatan) berisi sejarah perkembangan alam fikirannya dan mencerminkan sikap yang terakhir terhadap berbagai macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan, ada beberapa penulis modern yang mengikuti jejek Al-Ghazali dalam menulis beberapa autobiografi. Ibnu Al-‘Ibri dan Raymound Martin banyak mengambil fikiran-fikiran Al-Ghazali untuk menguatkan pendiriannya. Demikian pula Pascal (Perancis 1623-1662) dan filosof Barat lainnya sebagaimana diakui oleh Asin-Palacios, banyak persamaan dengan Al-Ghazali dalam pendiriannya, bahwa pengetahuan agama tidak bisa diperoleh melalui pemikiran melainkan harus berdasarkan hati dan rasa (Abu Ahmadi, 1982: 162). Diantara buah prakarsa filosofisnya yang dikarang selama 3 tahun adalah Maqasid al-Falasifah (Tujuan para filosofis) dimana beliau mengatakan bahwa tujuan yang sebenarnya adalah untuk menjelaskan ajaran-ajaran para filosof sebagai persiapan untuk menolak pandangan mereka. Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa latin yaitu; oleh Dominicus gundissalinus yang berjudul; Logica et philosophia Al-ghazelis Arabis yang menunjukkan adanya kepercayaan yang luar biasa kepada Al-Ghazali khususnya tentang penganut neo Planotis sebagaimana juga Ibnu Sina dan yang lainnya. Buah karya yang lainnya, yang tak kalah pentingnya tentang masalah logika Aristotelian adalah Mi’yarul Ilm (kriteria ilmu-ilmu) yang mana kitab ini dapat memberikan segi tiga pemikiran Al-Ghazali dengan satu kita lagi yaitu ; Tahafatut al-falasifah. Dia telah mengkafirkan para filosof Islam tentang pendapat-pendapat mereka dalam tiga hal yakni :
  1. Qadimnya alam
  2. Tuhan tidak mengetahui terhadap hal-hal yang kecil (juziyyat)
  3. Pengingkaran terhadap kebangikitan jasmani
Terhadap hal yang kedua ini banyak filosof yang sepakat tentang pendapat tersebut, tetapi Al-Ghazali sangat menentang. Alasan para filosof tentang hal ini adalah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu itu berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu/sebaliknya, berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi (mustahil). Terhadap alasan tersebut, maka Al-Ghazali memberikan jawabannya. Menurut Al-Ghazali, ilmu adalah suatu tambahan/ pertalian dengan zat, artinya lain dari pada zat. Kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaannya yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada orang  disebelah kiri kita kemudian ia berpindah kesebelah kanan kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita. Kalau perubahan ini bisa menimbulkan suatu perubahan pada zat dan yang dipegangi oleh sebagaian golongan filsuf, apakah mereka akan mengatakan bahwa berbilangnya ilmu juga menimbulkan bilangan pada zat Tuhan? Golongan filsuf juga mengatakan bahwa alam ini qadim dan mengakui adanya peruabahan-peruabahan pengertian yang terjadi di dalamnya, yang berarti mereka mengakui adanya perubahan-perubahan pada qadim. Akan tetapi, mengapa mereka tidak membolehkan perubahan-perubahan pada zat Tuhan yang qadim pula ? Al-Ghazali membagi yang wujud menjadi dua yaitu qadim dan hadist. Wujud yang hadis didefinisikan sebagai masiwallah  atau wujud selain Tuhan. Apa yang selain Allah adalah baru dan karena baru ia makhluk, diciptakan oleh yang qadim atau al khaliq. Kritiknya terhadap 3 kelompok : kelompok Dahriyun (materialistis), kelompok Thabiiyun (naturalis) dan ILahiyun. Dalam buku Tahafut al-falasihah Al-Ghazali membicarakan dua puluh persoalan filsafat yang dipandang oleh Al-Ghazali perlu dikritik. Delapan diantaranya membahas problematika Ketuhanan. Al-Ghazali mendiskusikan masalah ini satu persatu dengan usaha untuk mengkritiknya dari azasnya sehingga ia membuktikan bahwa para filosof tidak mampu menetapkan adanya pencipta, maupun mendatangkan bukti atas kemustahilan adanya dua Tuhan. (Al-Ghazali, 1947: 126). Ia menggugurkan pendapat para filosof dengan mengatakan bahwa zat yang pertama tidak bisa dibagi-bagi secaga genus dan species dan Tuhan adalah wujud sederhana tanpa substansi. Ia mengkritik dengan keras penafsiran mereka tentang ilmu Tuhan. Ia menganggap bahwa penafsiran itu memberikan kesan bahwa ia lebih dekat pada tidak tahu dibandingkan tahu. a. Dalil Wujud Allah Sebenarnya Dalam Fitroh Manusia Dan Dalil-Dalil Al-Qur’an Sudah Cukup Untuk Menjadi Bukti Adanya Allah. Namun, Karena Mengikuti Tradisi Para Ahli Kalam, Al-Ghazali Mengemukakan Dalil-Dalil Akal Dalam Masalah Ini. Ia Membedakan Allah Dengan Alam Sebagai Yang “Qadim” Dengan Yang “Baru”. Wujud Yang Qadim Merupakan Sebab Bagi Adanya Yang Baru. Oleh Karena Itu Wujud Alam Sebagai Sesuatu Yang Baru Merupakan Bukti Yang Nyata Bagi Wujud Allah. Bukti Ini Dijelaskan Sebagai Berikut : -Sesuatu Yang Baru Memerlukan Kepada Sebab Yang Menjadikannya. - Alam Ini Baru - Jadi, Alam Memerlukan Kepada Sebab Yang Menjadikannya. Adapun Wujud Allah Itu Qadim, Al-Ghazali Membuktikan Bahwa Jika Ia Baru Seperti Alam Ini, Maka Tentu Juga Memerlukan Kepada Sebab Yang Baru. Menurut Al-Ghazali, ilmu yang sangat tinggi martabatnya ialah mengenal Allah (Ma’rifatul’l-lah) dengan mengetahui zat, sifat dan af’alNya (perbuatan). Oleh karen zat Allah tidak dapat terjangkau oleh pengetahuan manusia, maka mereka tidak diwajibkan mengetahuinya. Dalam hal ini, mereka cukup mengetahui sifat-sifat dan perbuatan-Nya saja. Nabi bersabda (terjemahan) : “Berfikirlah tentang mahluk ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang zat-Nya, sehingga kamu tidak binasa” Allah adalah wujud yang maha sempurna yang tidak ada sebab bagi wujud-nya. Ia adalah sebab bagi wujud yang selain-Nya. Wujud-Nya  dapat diketahui dengan akal pikiran, karena Ia adalah sebab. Rentetan semua sebab itu tidak mungkin berlalu terus-menerus tanpa akhirnya. Oleh karena itu, rentetan sebab harus berakhir pada “Sebab Pertama”, yakni Allah. Maksudnya adalah perbuatan Allah yang berwujud penciptaan segala sesuatu di alam ini. Karena itu Allah disebut al-khaliq atau ash-Shani’ (Pencipta, Pembuat).         4. IBNU THUFAIL (Awal Abad VI-580 H/ 1110-1184) Riwayat Hidup Ibnu Thufail Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Thufail Al-Qisiy. Ia  lahir di lembah Asy suatu lembah yang subur yang terletak enam belas kilometer dari Granada pada tahun 506 H atau 1110 M. (Abdul Halim Mahmud, hal. 9). Ia sangat terkenal dalam ilmu kedokteran, ilmu falak dan falsafah. Ia juga seorang dokter pribadi Abu Ya’kub Yusuf Al-Mansur yaitu Khalifah kedua dari dinasti Muwahiddin. Para penulis sejarah telah menyebut adanya beberapa kitab dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Thufail, tatapi sayang hasil karyanya tidak diketemukan lagi, kecualai buku roman filsafat yang berjudul “Hayy Ibnu Yaqzhan fi Asrar al Hikmatil Masraqiyyah” (sihidup anak sijago tentang rahasia filsafat timur). Keahliannya di bidang medis telah dipraktekkan di Granada lalu ketenarannya sebagai seorang dokter itu membawa namanya lebih dikenal didalam pemikiran, sehingga ia diambil oleh gubernur Granada menjadi sekreatrisnya. (Yunasril Ali). Dua orang muridnya (Al Bitruji dan Ibnu Rusdy) percaya bahwa dia memilki gagasan-gagasan astronomi asli epicycles dan eccentric circle  yang dalam kata pengantar dari karyanya Al-Haiah dikemukakannya sebagai sumbangan dari gurunya Ibnu Thufail. (Encyclopedia of Islam III jilid II,: 42). Pada tahun 582 H (1185 M) Ibnu Thafail meninggal dunia di Maroko dan Abu Yusuf ikut menghadiri pemakaman jenasahnya. Begitu sekilas dan sejarah seorang filosof Islam yang terbesar yang telah memberikan nuansa dalam kajian-kajian filsafat yang terus akan dikenang sepanjang masa. Menurut Ibnu Thufail Tuhan adalah penyebab awal dari segala penyebab. Ia Maha Kuasa, Maha Mengetahui terhadap perbuatan-Nya, serta Maha Bebas dalam segala kehendak-Nya. Tuhan adalah pemberi wujud kepada semua mahluk. Tetapi Ia tidak mungkin dirasai dan dikhayalkan, karena khayalan hanya mungkin mengenai hal-hal indrawi. Ia adalah keseragaman dan keanekaragaman dan kekuatan yang tersembunyi dan yang ganjil, suci dan tidak trelihat. Dialah “Sebab Pertama” atom “Pencipta Dunia” (Ahmad Hanafi: 162). Menurut Ibnu Thufail, alam dan Tuhan sama-sama kekal. Tetapi Ia juga membedakan kekekalan dalam essensi dan kekekalan dalam waktu. Ibnu Thufail percaya bahwa Tuhan ada sebelum adanya alam dalam hal essensi, tetapi tidak dalam hal waktu. Alam bukanlah sesuatu yang lain dari Tuhan, dan sebagai penampakan diri dari essensi Tuhan. Karena itu alam tidak akan hancur pada hari penentuan. Kehancuran alam berupa keberalihan kepada pihak lain, dan bukan merupakan kehancuran sepenuhnya. Alam terus berlangsung dalam suatu bentuk lain. Alam juga bersifat qadim, karena tidak mungkin alam diciptakan dari sesuatu yang tidak ada. (M.M. Syarif, ed. 1985:183). Ibnu Thufail berpendapat bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal. Dia mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia itu bukanlah sesuatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai cahaya, yang sifat esensinya merupakan penerangan dan pengejawantahan, sebagaimana dipercaya oleh Al-Ghazali, Ibnu Thufail memandang dunia ini sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal dan tidak berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan Hari Penentu. Kehancuran berupa keberalihannya menjadi bentuk lain bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti berlangsung dari satu bentuk kebentuk lain, sebab kehancurannya tidak sesuai dengan keberadaan mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan peringatan dan pengejawantahan kekal. Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam waktu dan bahwa Tuhan ada sebelum adanya dunia dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu.                           5. IBNU RUSYD (520-595 H/ 1126-1198 M) Riwayat Hidup Ibnu Rusyd Ibnu Rusyd dilahirkan pada tahun 1126 M dan wafat pada tahun 1198 M. Ia filosof Cordova, karena ia dilahirkan dan dibesarkan di kota itu. Keluarganya terkenal alim dalam ilmu fiqh. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala Pengadilan di Andalusia. Latar belakang keagamaan inilah yang memberinya kesempatan untuk meraih kedudukan yang tinggi dalam studi keislaman. Kemasyurannya dalam filsafat Barat, tidak ada tandingannya. Pengaruhnya dalam filsafat Eropa, lebih besar dari pengaruh Ibnu Sina, Dia, adalah seorang dokter dan seorang filosof. Buku kedokterannya colliget sangat tinggi nilainya di eropa dibanding buku kedokteran Canon karangan Ibnu Sina. Dalam kejadiannya, Ibnu Sina lebih terkenal di Eropa sebagai dokter penyakit dan Ibnu Rusyd dikenal sebagai komentator Aristeteles. Pada waktu hidupnya, golongan ahli agama menyerangnya dengan hebat dengan menuduhnya atheis. Ibnu Rusyd sampai akhir hayatnya tetap mempertahankan akal sebagai sendi kemajuan berfikir. Pembahasan filsafatnya terangkum dalam berbagai karangan, terutama dalam buku Tahafut at-Tahafut dan Manhij al Adillah. Pembahasan filsafat berkisar sekitar wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan-Nya dengan alam. Sesudah mengemukakan segi-segi kelemahan golongan-golongan Islam, kemudian ia menerangkan tentang dalil-dalil wujud Tuhan menurut syara’ yang meyakinkan, yaitu dalil ‘inyah (pemeliharaan) dalil ikhtir’ (penciptaan), yang kedua-duanya terdapat dalam Al Qur’an. Ada tiga penelitian Ibnu Rusyd, pertama ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap dalil ‘inayah. Kedua ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap dalil ikhtir’. Ketiga ayat-ayat yang berisi pengingatan terhadap kedua dalil tersebut bersama-sama.   Pengetahuan Tentang Tuhan Ibnu Rusyd adalah salah seorang filosof muslim pengikut Aristoteles. Seperti halnya Aristoteles, ia berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui soal-soal juz’iyyah. Pendapat Aristoteles itu didasarkan atas suatu argumen sebagai berikut: “Yang menggerakkan itu adalah Tuhan Al-Muharrik yaitu merupakan akal yang murni, bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu pengetahuan dari akal yang tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena hal itu pula tidak mungkin Tuhan mengetahui selain Zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada sesuatu zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan. Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui pada hal-hal yang kecil (juz’iyah), maka berarti pengetahuan Tuhan disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna. Dan itu tidak wajar. Maka itu sudah seharusnya kalau Tuhan tidak mengetahui selain Zat-Nya sendiri (Poerwantana, dkk, 1993: 202-203). Dalam Al-Fashl Al Maqal Ibnu Rusyd mengatakan, bahwa pengenal pencipta itu hanya mungkin dengan mempelajari alam wujud yang diciptakan-Nya, untuk dijadikan pentunjuk bagi adanya pencipta itu. Allah memberikan dua dalil dalam kitab-kitab-Nya, yang diringkas oleh Ibnu Rusyd sebagai dalil inyah dan dalil cipta atau ikhtir. Ayat-ayat yang mewujudkan dalil adalah seperti: Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya (Q.S: Al-Hajj:73) dan ayat-ayat yang mewujudkan dalil inyah adalah seperti : Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak. (Q.S. An-Naba : 6-7). Dalil Inyah Apabila alam ini kita perhatikan, maka kita akan mengetahui apa yang ada di dalamnya sesuai sekali dengan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk yang lain. Persesuaian ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya penciptaan yang rapi dan teratur yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan modern. Adanya siang dan malam, matahari dan bulan, empat musim, hewan tumbuh-tumbuhan dan hujan, kesemuanya ini sesuai dengan kehidupan manusia, seakan-akan itu dijadikan untuk manusia. Demikian pula perhatian dan kebijaksanaan Tuhan nampak jelas dalam susunan tubuh manusia dan hewan. Dalil Ikhtir Dalil Ikhtir ini sama dengan dalil inyah karena adanya penciptaan nampak jelas pada hewan  yang bermacam-macam, tumbuh-tumbuhan dan bagian-bagian alam lainnya. Makhluk-makhluk tersebut tidak lahir dengan wujud sendirinya. Gejala hidup pada beberapa mahluk hidup berbeda-beda, misalnya tumbuh-tumbuhan hidup, maka dan berbuah. Hewan juga hidup, tetapi mempunyai perasaan instink, dapat bergerak, berkembang, makan dan mengeluarkan  keturuanan. Makhluk manusia juga berfikir. Jadi pada masing-masing makhluk hidup itu terdapat gejala hidup yang berlainan dan menentukan macam pekerjaannya. Semakin tinggi tingkat makhluk, semakin tinggi pula macam pekerjaannya. Kesemuanya tidak terjadi secara kebetulan, sebab kalau terjadi secara kebetulan tentulah tingkat hidup tidak berbeda-beda. Kesemuanya ini menunjukkan adanya pencipta yang menghendaki supaya sebagai makhluk-Nya lebih tinggi dari pada sebagainya yang lain. (Madjid, 1997:104). Disamping kedua dalil di atas yaitu dalil inyah dan ikhtir’ Ibnu Rusyd mengemukakan dalail lain yaitu dalil gerak atau dalil penggerak pertama yang diambil drai Aristoteles. Dalil tersebut menyatakan bahwa alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan tidak berbenda yaitu Tuhan. Akan tetapi Ibnu Rusyd tidak mengikuti pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa gerakan benda-benda langit adalah qadim karena Ibnu Rusyd mengatakan bahwa benda-benda langit beserta gerakkannya dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman, karena zaman tidak mungkin mendahului wujud pertama yang bergerak selama zaman itu kita anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak pertama atau sesuatu sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi wujud.                                          

B. FILSAFAT ALAM

  Membahas masalah alam maka tidak lepas dari manusia. Dengan kemampuan akalnya manusia mampu merubah alam sekitar dan benda-benda alam menjadi barang yang berguna bagi kehidupannya, karena semakin maju pula ilmu dan teknologinya, dengan begitu alam sekitar makin dapat dikontrol dan dikendalikan oleh manusia. Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia, namun Allah menundukkan alam bagi manusia, jika yang terjadi sebaliknya, maka manusia akan terjebak pada penghambaan terhadap alam bukan menghamba pada Allah, karena sesungguhnya manusia berkedudukkan sebagai kholifah untuk menjadikan bumi sebagai wahana dan obyek bertauhid dalam menegaskan keberadaan dirinya. Menurut teori Al-Qur’an, bahwa universum pada awal kejadiannya telah diciptakan oleh Tuhan, artinya Universum ini tidak ada dengan sendirinya atau dengan kata lain Universum tidak dapat menciptakan dirinya dari tidak ada menjadi ada. Sedangkan menurut teori ilmiah, adanya Universum dimulai dengan ledakan dahsyat (big-bang). Para filosof materialis, dari sejak zaman Yunani kuno seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes sampai Demokritos(Hasbulloh Bakry, 1986, hal. 53), hingga filosof modern abad XX, (Harold H. Titus, Marilyn S. Smith dan Richard T. Nolan, 1984, hal.293-294) menjawab tanpa ragu bahwa Universum ini ada dengan sendirinya atau dengan kata lain Universum menciptakan dirinya sendiri dan tidak ada menjadi ada. Para filosof muslim mengambil sikap yang berbeda-beda tentang ke-qodim-an alam. Sebagian mengikuti ajaran Islam lalu mempertahankan teori penciptaan (dari tidak ada) bahwa alam tidak qodim atau azali. Sebagian lagi menerima ide qodim-nya alam itu, tetapi berusaha memberikan tafsiran keqodiman itu yang tidak berlawanan dengan prinsip kekuasaan Allah atas alam ciptaan-Nya dan kelompok ketiga mengemukakan bahwa alam semesta ini memancar dari Allah secara berantai atas dasar emanasi.                             1. AL-KINDI Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat tertinggi martabatnya  adalah filsafat pertama yang membicarakan tentang causa prima. Sehubungan dengan ini Al-Kindi berargumen bahwa alam ini adalah baru, ada permulaan dalam waktu, demikian pula alam ini ada akhirnya, oleh karena itu alam ini harus ada yang menciptakan. Sebab semua yang berubah-ubah itu adalah baru. Jadi alam adalah baru karena alam itu berubah-ubah. Al-Kindi adalah satu-satunya filosof yang menentang pendapat qadimnya alam, berdasarkan teori matematik bahwa alam adalah terbatas, karena terbatas maka alam itu bukan azali. Sesuatu yang azali tidak mempunyai genus. Yang dimaksud dengan azali adalah bahwa sesuatu yang maujud itu tidak berawal dan sesuatu yang tidak berawal itu hanya Allah. Sedangkan alam ini tidak azali, akan tetapi kadang-kadang istilah azali ini digunakan juga untuk maujud yang tidak berawal dan tidak berakhir. Karena itu Al-Kindi mengemukakan argumentasinya bahwa segala sesuatu dalam alam ini, baik tubuh maupun ruang, waktu dan gerak, ada akhirnya, bila hal itu ada akhirnya, maka ada pula awalnya. Menurut Al-Kindi bahwa alam itu temporal dan berkomposisi yang karenanya ia membutuhkan pencipta yang menciptakannya. Yang Esa yang hak adalah yang pertama yang menahan segala yang diciptakan”, sehingga seseuatu yang tidak mendapat pertahanan dan kekuatan pasti akan hancur. (Muhammad Abd. Al Hadi, 1950: 162). Oleh karena itu alam ada yang menciptakannya, dan Allahlah pencipta-Nya yang memelihara semua yang diciptakan-Nya, akan tetapi pelaksanaan penciptaan ini tidak dijelaskan oleh Al-Kindi, dan tidak ada filosof, baik yang klasik maupun modern, yang mampu menjelaskannya dengan sempurna. Karena hal itu merupakan persoalan supernatural dan rahasia metasifika yang tidak mungkin diketahui.  
  1. AL-FARABI (259 H/870M – 339 H/950 M)
Menurut Al-Farabi, wujud alam ini memancarkan dari yang pertama atas dasar pancaran, yang dijelaskan dengan menggunakan istilah emanasi (Al-Faidh), tetapi teori emanasi itu pasti melahirkan pantheisme, yang bertentangan dengan teori creatio ex nihilo (penciptaan dari tidak ada); Allah ditundukkan kepada hukum keharusan, sehingga penciptaan alam semesta itu bukan dari kehendak-Nya, akan tetapi karena emanasi yang terjadi menurut hukum keharusan, karena itu, teori tersebut dibantah oleh sebagian orang Islam. Alam menurut Al-Farabi terbagi dua sepeti halnya menurut Aristoteles, yaitu alam langit dan alam bumi, artinya alam semesta ini merupakan bola besar yang titik pusatnya ialah bumi serta lingkaran falak yang mengelilinginya. Sampai ke falak bulan-alam bumi berakhir sampai di sini, yang terletak di luar falak bulan itu sampai ke lingkaran langit pertama adalah alam langit. Begitulah para ilmuan klasik memahami falak. Cara pelaksanaan peciptaan alam, dari wujud pertama itu memancarkan wujud yang kedua, dari yang kedua memancarkan wujud yang ketiga dan seterusnya sampai ke akal sepuluh. Al-Farabi berkata “bahwa yang pertama adalah yang wujudnya diperoleh dari dirniya sendiri. Bila wujud yang pertama itu diperoleh dari dirinya sendiri maka sudah pasti pula segala maujud ini diperoleh dari dia, sedangkan wujud barang yang diperoleh dari yang pertama itu hanya sebagai pancaran (emanasi) dari wujud yang pertama itu bagi wujud yang lain”. (Ahmad Fuad Al Ahwani, 1983/1984, : 88). Dari masalah penciptaan alam ini Ibnu Sina dan juga Al-Farabi sebelumnya telah mengemukakan dua dasar, yaitu :
  1. Keqadiman alam, yakni alam ini qadim dari segi zaman, karena alam tersebut keluar dari pencipta yang qadim.
  2. Emanasi (al-faidh), bahwa Yang Esa itu esa dari segala segi, tunggal tidak mengandung pluralitas apapun. Jadi dari-Nya hanya satu yang keluar dengan cara melimpah dan yang satu ini keluar yang lainnya. Sehingga selesailah wujud alam ini dengan segala tingkatnya.
Segala sesuatu pasti ada penciptanya. Demikian halnya dengan alam tak terkecuali yang menciptakan alam adalah Allah. Menurut Al-Farabi Allah menciptakan alam dapat dibuktikan dengan teori emanasi (pelimpahan). Teori pelimpahan ini bermula dari zat Allah sebagai wujud yang kedua yang berfikir tentang dirinya sendiri. Setelah melalui proses berfikir, maka akal pertama menghasilkan akal kedua sebagai wujud yang ketiga. kemudian akal yang kedua/wujud yang ketiga berfikir dan melahirkan Al-Falak al A’la (langit pertama). Dari lahirnya Al-Falakul A’la ini maka muncullah keaneka ragaman bentuk. Kemudian akal kedua melimpahkan akal ketiga sebagai wujud yang keempat dan melahirkan bintang-bintang. Demikian seterusnya sampai akal kesepuluh atau wujud kesebelas yang melahirkan planet-planet yang ada di alam ini. Dari akal kesepuluh sebagai wujud yang kesebelas, maka tidak ada pelimpahan lagi, yang ada adalah akal kesepuluh sebagai akal yang aktif yang terpancar dari jiwa dan unsur pertama dari materi yang belum mempunyai Shurah (bentuk). Dari sinilah muncul empat unsur yaitu api, air, tanah dan udara. Dari unsur tersebut maka muncul materi-materi mineral seperti besi, tembaga, perak, emas dan sebagainya. Dari materi mineral maka akan muncul tumbuh-tumbuhan, kemudian muncul jiwa hewani (indrawi), kemudian lebih tinggi meningkat pada manusia dimana manusia itu dianugerahi akal. Akal tersebut merupakan akal fa’al. Dan akhirnya akal fa’al tersebut berhubungan kembali dengan wujud yang pertama tadi. Yaitu Zat Yang Maha Pencipta.  
  1. AL-GHAZALI (450 H/1059 M – 1111M)
Dalam membahas penciptaan alam semesta, Al-Ghazali menolak konsep para filosof yang mengatakan bahwa dunia ini kekal dan diciptakan lewat proses emanasi, dengan bahan dasar yang bersifat kekal dan yang secara terus-menerus mengambil bentuknya yang berbeda. Memang Al-Ghazali mempunyai konsepsi tentang Tuhan dan alam, akan tetapi sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki oleh para filosof secara hati-hati dan pelan-pelan beliau mempertahankan ide-idenya sambil sedikit demi sedikit mengkritik konsep para filosof, misalnya Al-Ghazali menyerang filsafat Yunani. Dalam hal keabadian alam, ia berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus-menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya, akan tetapi suatu kepastian adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar irodah Tuhan. Para filosof mengatakn bahwa alam ini qadim, qadimnya Tuhan atas alam sama dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (sebab atas akibat) yaitu dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman, dengan alasan sebagai berikut : Bahwa Tuhan lebih dahulu daripada alam bukan dari segi zaman, melainkan dari segi pribadi (tingkatan, zat). Kalau yang dikehendaki dengan lebih dahulunya Tuhan atas alam ini ialah dari segi zaman, maka kelanjutannya ialah Tuhan dan alam kedua-duanya baru atau Tuhan dan alam qadim kedua-duanya dan mustahil salah satunya qadim sedangkan yang lain baru. Alasan ini dibantah oleh Al-Ghazali, kalau Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam dan zaman berarti Tuhan sudah ada sendirian sebelum ada alam kemudian Tuhan ada bersama-sama alam. Keadaan pertama berarti zat Tuhan dan keadaan yang kedua berarti zat Tuhan dan zat alam dan tidak perlu ada zat yang ketiga yaitu zaman. Sebagaimana arti zaman itu sendiri adalah gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang tentu belum ada zaman               4. IBNU THUFAIL  (506H/1110M) Dalam menghadapi soal apakah dunia ini kekal, atau diciptakan dari ketiadaan, Ibnu Thufail bersikap sebagaimana Kant. Tidak menganut salah satu doktrin dan tidak berusahan  mendamaikannya, disamping mengecam dengan pedas penganut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbats yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang renungan tak terbatas. Eksistensi semacam itu tidak dapat lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep creatio ex nihilo tidak dapat  dipertahankan penelitiannya dengan seksama. Sebagaimana, Ibn Thufail dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu ada sebelum dunia itu ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang Pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya? Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum Dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah yang menyebabkan terjadinya perubahan itu? Karena itu Ibn Thufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini (A. Mustofa,  1997, M.M. Syarif : 182).    
  1. IBNU RUSYD (526 H/126 M – 595 H/1198 M)
Ibnu Rusyd tidak dapat menerima teori Ibnu Sina dan Al-Farabi yakni pemahamannya teori “dari yang Esa hanya satu yang melimpah” bahkan ia telah menyalahkan dan mengkritik Ibnu Sina dengan sangat tajam karena kesalahannya itu telah membukakan jalan bagi Al-Ghazali untuk menyerang para filosof dan pemikirannya. Ibnu Rusyd menolak penafsiran tentang teori tersebut, sedangkan ia sendiri mengakui benarnya teori tersebut, tapi dengan tafsiran lain yang berbeda dengn tafsiran kedua filosofi tersebut. Ibnu Rusyd menafsirkannya sesuai dengan pendapat Aristoteles yang didasarkan pada suatu kepastian, bahwa wujud alam ini di dasarkan pada adanya saling kaitan anatar bagian-bagiannya. Sedangkan wujud kesatuan itu sendiri bermacam-macam pada mahkluk, sesuai dengan tabiatnya. Dengan adanya kesatuan yang diberikan pada alam ini dan dari itu terdapat pula keragaman di dalamnya. (Ibnu Rusyd,: 180-181). Ibnu Rusyd juga menambah penjelasan dengan membadingkan alam yang terdiri dari berbagai bagian dengan kota yang terdiri dari berbagai pimpinan : Sedangkan semuanya itu tunduk di bawah “prinsip-prinsip pertama yang tunggal” yakni pencipta alam semesta. Dengan demikian teori Ibnu Rusyd mengenai alam lebih dekat kepada teori Aristoteles. Bahwa alam semesta semesta dan benda-benda alam yang bersifat partikulas yang terdiri dari materi dan bentuk (matter dan forms) yakni dari dua prinsip yang berlawanan. Di tempat lain Ibnu Rusyd lebih berterus terang, ketika ia membicarakan tentang qadimnya alam, tanpa ragu-ragu lagi ia berkata bahwa benda-benda maujud inderawi yang menjadi dan punah dalam alam semesta ini terdiri dari materi dan bentuk. Kemudian dalam membahas apakah qadim atau baru, alam semesta ini Ibnu Rusyd mengambil posisi tengah, yang dibagi menjadi tiga bagian menurut tiga macam maujud :
  1. Maujud inderawi yang bersifat partikural
  2. Maujud yang bukan terdiri dari sesuatu dan tidak boleh sesuatu serta tidak didahului oleh waktu
  3. Maujud yang tidak dari sesuatu dan tidak didahului waktu, tetapi diwujudkan oleh sesuatu (penciptaannya) yaitu alam semesta ini.
                           

C. FILSAFAT MANUSIA

1. AL-KINDI

 

Apakah sesungguhnya manusia itu? Manusia adalah hewan yang berbicara, demikianlah Aristoteles. Dia membagi “jiwa” dalam tiga golongan dalam makhluk hidup, di dalam wujud ini, yaitu : jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa kehewanan, dan jiwa berakal (An-Nafsun-qilah). Karena manusia digolongkan hewan yang berakal maka ia merupakan jenis lain dari golongan yang disebut hewan. Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain adalah budi pekerti manusia yang terpuji. Keutamaan-keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama adalah asas dalam jiwa, tetapi bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Bagian ini dibagi menjadi tiga pula, yaitu kebijaksanaan (hikmah), keberanian (syajaah). Dan kesucian (‘iffah’). Kebijaksanaan adalah keutamaan daya pikir, yang dapat berupa kebijaksanaan teoritis dan kebijaksaan praktis. Kebijaksanaan teoritis adalah mengetahui segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki: dan kebijaksanaan praktis adalah menggunakan kenyataan-kenyataan yang wajib dipergunakan. Keberanian merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai dan menolak sesuatu yang harus ditolak. Kesucian adalah memperoleh sesuatu yang diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri dari yang tidak perlukan untuk itu (A. Mustofa : 1997). Hakekat jiwa adalah jauhar tunggal berciri Illahi dagi ruhani, tidak panjang, tidak lebar. Al-Kindi mengakui keabadian jiwa, dan ini dikuatkan oleh pertanyaan :”Wahai insan yang jahil! Tidakkah engkau tahu bahwa tempatmu di dalam ini hanya sebentar saja, kemudian engkau akan pergi ke alam hakiki di mana engkau tinggal kekal selamanya. Al-Kindi tidak dapat memecahkan persoalan tentang darimana kita datang, apakah dari ketiadaan atau dari alam tinggi, tampaknya ia bingung oleh dua pendapat yang saling bertentangan, Plato dan Aristoteles. Plato berpendapat bahwa jiwa berasal dari alam idea dan karenanya ia merupakan jauhar ruhani yang berbeda dengan jisim. Aristoteles menganggap jiwa sebagai forma bagi jisim, dan keduanya membentuk kesatuan esential yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Al-Kindi keutamaan manusia adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini dibagi menjadi tiga yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Bagian ini dibagi lagi menjadi tiga yaitu kebijaksanaan, keberanian dan kesucian. Kedua, keutamaan manusia tidak terdapat dalam jiwa tetapi hasil dan buah dari ketiga macam keutamaan tersebut. Ketiga, hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin dalam keadilan. Keutamaan manusia terdapat dalam sifat-sifat kejiwaan dan dalam buah yang dihasilkan oleh sifat-sifat tersebut. Jika orang hidup memenuhi keutamaan niscaya ia hidup bahagia, maka jika ingin menikmati kebahagiaan harus berbekal pada keutamaan.     2. AL-FARABI Menurut Al-Farabi hakekat manusia itu adalah gabungan dari roh dan jiwa mempunyai jasad sebagai wadahnya. Jiwa berasal dari jiwa kesepuluh dan muncul bersama materi pertama, tetapi roh timbul dari limpahan ilmu Tuhan bersama wujud yang pertama kali melimpah dari-Nya. Jiwa adalah materi sedang roh adalah form (bentuk), yang keduanya adalah abstrak, keduanya memiliki sifat tetap/abadi sedang jasad sebagai tempat roh dan jiwa itu akan berakhir. Sehingga menurut Al-Farabi terdapat pekerjaan sendiri-sendiri antara jiwa dan jasad tadi. Membahas mengenai manusia Al-Farabi tidak bisa lepas dari  konsepnya tentang akal. Akal menurut Al-Farabi ada dua kelompok : akal praktis, yaitu yang menyimpulkan apa mesti dikerjakan, dan teoritis, yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Sedangkan jiwa manusia menurut Al-Farabi mempunyai kekuatan-kekuatan yaitu :
  1. Kekuatan gerak yang dapat dibagi :
-  Kekuatan menumbuhkan -  Kekuatan kerinduan
  1.  Kekuatan mengetahui yang mempunyai dua daya:
-  Kekuatan penginderaan -  Kekuatan khayal
  1. Kekuatan berfikir yang mendorong untuk berfikir, baik secara praktis (Yunasril: 49).
Dalam kenyataannya manusia selain terdiri dari jiwa, roh dan badan, manusia juga mempunyai akal untuk menyaring perintah yang datang dari roh yang kemudian dilakukan oleh jasad, yang kesemua unsur tadi merupakan suatu kesatuan yang utuh. Apa saja yang dilakukan oleh manusia, baik yang tampaknya bersifat fisik ataupun mental, adalah satu kejadian yang tunggal yaitu dari manusia. Sebab tidak pernah terjadi pada manusia yang hidup, atas suatu kejadian yang bersifat mental saja atau fisik saja, setiap kejadian pada diri manusia hidup pasti dirasakan secara serentak oleh fisik dan mental.(Abdul Qodir Jailani, 1993: 156). Tidak mungkin seseorang dapat berfikir tanpa otaknya, merasa tanpa hatinya, melihat tanpa matanya, mendengar tanpa telinganya, berjalan tanpa kakinya dan seterusnya. Tentang keabadian jiwa, Al-Farabi tampak tidak konsis tentang pendapatnya, yang disisi lain ia mengatakan bahwa ruh dan jiwa bersifat abadi namun dalam bukunya Commentary on the “Nicomachean Ethics”, Farabi dilaporkan mempunyai pendapat bahwa jiwa adalah fana dan bahwa pemikiran manusia akan sampai pada batas akhir. Hal ini terjadi karena kita tidak dapat memahami bentuk –bentuk abstrak dengan demikian iapun tidak dapat kekal seperti mereka. (Oliver Leaman, 1989: 135). Menurut Al-Farabi bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang terakhir dan yang mulia yang lahir atas bumi ini. Ia terdiri dari dua unsur: Jazad dan jiwa. Jazad berasal dari alam dan jiwa berasal dari alam perintah. Sebagaimana ungkapan dia dalam bahasa arab yang artinya sebagai berikut: Anda terdiri dari dua unsur, yang satu mempuntai bentuk, berupa, berkualitas, berkadar, bergerak, diam, berjazad dan berbagian. Yang kedua berbeda dengan yang pertama pada sifat-sifat tersebut, tidak menyamainya pada hakekat dzat, maka anda diciptakan dari alam khak dan alam amr, karena roh anda dari perintah Tuhan dan badan anda dari ciptaan Tuhan anda. (Daudy, : 40-41). Pada umumnya pemikiran Al-Farabi tentang jiwa sangat dipengaruhi oleh pemikiran para filosof Yunani, terutama Aristoteles dan Plato. Manusia dalam konsepsi Aristoteles adalah bagian dari alam ini yang terdiri dari dua unsur: materi dan forma. Materi adalah jasad dan forma adalah jiwa, begitu pula jasad tidak dapat berpisah dari jiwa, yakni kedua unsur ini membentuk satu kesatuan esensial. Atas dasar ini, Aristoteles mengatakan bahwa “Jiwa adalah kesempurnaan pertama bagi benda alami yang organis lagi mempunyai hidup dalam bentuk potensial”. Perkataan Aristoteles tersebut secara harfiah  diterima oleh Al-Farabi. Namun dia menafsirkan forma bagi jasad dalam arti jauhar (substansial) yang berdiri sendiri dan berasal dari akal kesepuluh (aql fa’al), demikian hubungan jiwa dengan jasad tidak esensial tapi aksidental, sehingga jiwa tidak akan fana sebab kematian jasad. Dalam hal ini Al-Farabi menyukai konsep Plato yang menganut paham keabadian jiwa disamping kesesuaiannya dengan ajaran Islam. Namun Al-Farabi menolak pendapat Plato yang mengatakan adanya jiwa sebelum adanya badan dan teorinya tentang ingkarnasi. Menurut Al-Farabi “Jiwa berasal dari akal aktif yang telah memberikan forma kepada jasad tatkala jasad telah siap menerimanya dalam kandungan.” Nafs Nathiqoh merupakan hakekat manusia yang sebenarnya. (Daudy, : 40-41). Manusia diciptakan oleh Allah dengan segala keunggulan dan keutamaannya dibanding dengan mahkluk yang lain. Menurut Al-Farabi manusia terdiri dari dua hal yang abstrak. Dua hal itu adalah jiwa dan roh. Jiwa adalah materinya, sedangkan roh adalah pemberi petunjuk. (Yunasril Ali, : 49). Kedua hal tersebutlah yang disebut dengan hakekat manusia. Jiwa dan roh menempati satu wadah yang dinamakan jasad. Menurut Al-Farabi manusia mempunyai kekuatan-kekuatan yaitu:
  1. Kekuatan gerak
  2. Kekuatan mengetahui
  3. Kekuatan berfikir
Dari kekuatan berfikir itulah muncul dua hal yaitu akal praktis dan teoritis. Akal praktis menyangkut teknis dan ketrampilan. Sedangkan akal teoritis menurut Al-Farabi dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
  1. Akal potensial
  2. Akal aktual
  3. Akal intelek
Ketiga akal tersebut saling berkaitan dan bersambung. Dan ketiganya dapat berkembang mulai manusia lahir sampai manusia itu mati. Demikianlah pemikiran filsafat Al-Farabi tentang manusia., Disamping hal tersebut, pemikiran filsafat Al-Farabi juga mencakup tentang filsafat kenabian yang konon kabarnya untuk menentang filsafat Ar-Razi yang berkeyakinan bahwa tidak ada nabi dalam sejarah manusia. Juga pemikiran Al-Farabi tentang al-Madinah al-Fadhilah atau negara utama yang bertujuan untuk mencapai kemakmuran dan ketentraman dalam satu pemerintahan seperti dalam bukunya yang berjudul Ara’u ahli al-madinah al-fadhilah. Dalam bukunya ini Al-Farabi berpendapat bahwa untuk mengurus negara yang utama itu diperlukan seorang pemimpin yang cakap, sempurna moral, intelektual, cinta terhadap kebenaran, keadilan dan kesejahteraan, berani mengambil keputusan yang tepat, tidak tamak dengan harta dan mendapat  limpahan ilmu dari Tuhan. Dengan begitu pemimpin negara utama haruslah seorang yang filosof, karena hanya filosoflah yang mampu berhubungan langsung dengan akal yang kesepuluh dalam mencapai segala ilmunya. 3.  AL-GHAZALI Adapun pandangan Al-Ghazali tentang manusia sebagi berikut:
  1. Wujud manusia terdiri dari jiwa dan badan, tetapi esensinya adalah jiwa
  2. Jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri dan mempunyai sifat-sifat dasar yang berbeda dengan badan. Jiwa berasal dari dunia metafisik, bersifat metafisik, bersifat immateri, tidak berbentuk komposisi, mengandung daya dan bergerak dan kekal. Sedangkan badan adalah substansi yang berasal dari dunia fisik, bersifat materi, berbentuk komposisi, tidak mengandung daya pada dirinya.
  3. Daya-daya yang dimiliki manusia pada hakikatnya tidak efektif. Daya-daya itu terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Ada manusia tidak dapat mengetahui yang baik dan yang buruk secara praktis yang dapat diwujudkannya dalam perbuatan-perbuatannya.
  4. Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan akhirat yaitu mengenal Tuhan sepenuhnya.
  5. Kesempurnaan diri di dunia dilakukan dengan menempatkan daya-daya yang rendah yang dimiliki oleh manusia, al-mutakhayilat, al-syahwat dan al-ghadlab, di bawah daya tertinggi di dalam jiwa, mewujudkan akhlak yang baik dan melaksanakan ibadat-ibadat serta mengingat Allah. (Muh Yasir Nasution: 156)
Al-Ghazali yang hidup pada abad pertengahan tidak terlepas dari kecenderungan umum zamannya dalam memandang manusia. Di dalam buku-buku filsafatnya ia mengatakan bahwa manusia mempunyai identitas yang berubah-ubah, yaitu al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat dan merupakan tempat pengetahuan. Intelektuan berasal dari alam malakut atau alam amr. Untuk membuktikan adanya substansi immaterial yang disebut al-nafs Al-Ghazali mengemukakan beberapa argumen. Persoalan kenabian, gangguan perbuatan manusia dan tentang berita akhirat tidak ada gunanya bila al-nafs tidak ada. Sebab seluruh ajaran-ajaran agama hanya ditujukan kepada yang dapat memahaminya. Yang mempunyai kemampuan memahami bukanlah fisik manusia, sebab bila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami, obyek fisik lainnya juga mempunyai kemampuan memahami. Kenyataannya tidak demikian, argumen yang bersifat keagamaan ini, bagaimanapun juga tidak dapat meyakinkan orang ragu terhadap kenabian dan hari akhir. Karena itu mempercayai argumen ini orang harus terlebih dahulu harus percaya pada kenabian dan hari akhir. Argumen kesadaran langsung dikemukakan oleh Al-Ghazali mengandaikan seorang manusia menghentikan seluruh aktifitas fisiknya. Sehingga ia berada dalam keadaan tenang hampa tanpa aktivitas. Ketika ia menghilangkan segala aktifitasnya, ada sesuatu yang tidak ada di dalam dirinya yaitu kesadaran akan dirinya. Ia sadar bahwa ia ada pusat kesadaran itu yang disebut al-insyaniyah. Ketika yang disadari bukan fisik dan yang sadar itu bukan fisik. Kesadaran ini melalui alat, tetapi bersifat langsung, oleh karena itu subyek yang sadar itu jelas, bukan fisik dan bukan fungsi fisik, substansinya yang berbeda dengan fisik (Nasir, 1988: .8). Jiwa bagi Al-Ghazali adalah suatu zat dan bukan suatu keadaan atau aksiden, sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa dan bukan sebaliknya. Jiwa berada di alam spiritual sedangkan jasad di alam materi. Jiwa dan malaikat sama asal dan sifatnya yaitu ilahiah. (Hasyimsyah Nasution, 1999) Jiwa yang berasal dari ilahi mempunyai potensi kodrati yaitu kecenderungannya kepada kebaikan dan keenggannya kepada kekejian. Pada waktu lahir ia merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi malaikat (alam malakut) sedangkan jazad berasal dari alam khalaq. Karena itu kecenderungan jiwa kepada kejahatan (yang timbul setelah lahirnya nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya. Al-Ghazali juga berpendapat bahwa wujud manusi dari jiwa (al-ruh) dan badan, tetapi esensinya adalah jiwa. Status jiwa dan badan dalam keberadaan manusia adalah sama, dalam arti yang satu tidak bisa diasalkan kepada yang lain. Keduanya berhubungan secara aksidental, pada saatnya hubungan antara keduanya terputus. Jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri dan mempunyai sifat-sifat dasar yang berbeda dengan badan. Al-Ghazali yang menyebutkan hubungan jasad dan jiwa dari segi pandangan moral adalah setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuannya jiwa bisa mendapatkan bekal bagi hidup kekalnya. Jiwa merupakan inti hakikat manusia dan jasad adalah alat untuk mencari bekal. Pada hakikatnya hubungan keduanya sama dengan hubungan interaksionisme. Meskipun wujud keduanya berbeda namun keduanya saling mempengaruhi.Oleh sebab itu, perbuatan akan menimbulkan pengaruh pada jiwa. Karena interaksi inilah jiwa itu diturunkan ke alam benda atau duniawi agar ia dapat menyempurnakan dirinya melalui amal perbuatan. Dalam hal ini Al-Ghazali membagi umat manusia kedalam tiga golongan:
  1. Kaum awam (al-‘Awwam) yang cara berfikirnya sederhana sekali
  2. Kaum pilihan (al-Khawash) yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam
  3. Kaum penengkar (al-jidal)
Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menagkap hakekat-hakekat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. (Harun Nasution, 1973:39) Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana tidak dapat menagkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk. Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah, sedangkan kaum penengkar dengan sikap mematahkan argumen-argumen. (Harusn Nasution, 1973:39)   4. IBNU THUFAIL             Ibnu Thufail membagi perkembangan alam pikiran manusia menuju hakekat kebenaran itu kedalam enam bagian. Pertama : Dengan cara ilmu Hay bin Yaqdhan, yaitu dengan kekuatan akalnya sendiri memperhatikan perkembangan alam makhluk ini bahwa tiap-tiap kejadian mesti ada yang menyebabkannya. Kedua: Dengan cara pemikiran Hay bin Yaqdhan, terhadap teraturnya peredaran benda-benda besar dilangit seperti matahari, bulan dan bintang-bintang. Ketiga: Dengan demikian bahwa puncak kebahagiaan seseorang itu ialah mempersaksikan adanya Wajibul Wujud Yang Maha Esa. Keempat: Dengan memikirkan bahwa manusia ini adalah sebagian saja dari makhluk hewani, tetapi dijadikan Tuhan untuk kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi dan utama dari pada hewan. Kelima,  Dengan memikirkan bahwa kebahagiaan manusia dan keselamatannya dari kebinasaan hanyalah terdapat pada pengekalan penyaksiannya terhadap Tuhan Wajibul Wujud. Keenam: Mengakui bahwa manusia dan alam makhluk ini fana dan semua kembali kepada Tuhan. (Poerwantana dkk, 1999) Di dalam buku “Hayy bin Yaqdhan”, Ibnu Tufail berusaha menjelaskan bahwa potensi manusia semata bisa untuk berhubungan dengan Allah. Karena Ibnu Tufail menggambarkan seorang yang tumbuh terisolir dari manusi dan tidak terpengaruh oleh masyarakat, tetapi walaupun demikian, dengan logika kesediriannya, ia bisa memersepsi realitas-realitas alam dan mengklasifikasikannya sampai pada realitas yang dari padanya memancarkan cahaya dan pengetahuan. Orang itu adalah Hayy bin Yaqdhan. Ia beranggapan bahwa dibalik alam terdapat sebab-sebab yang tersembunyi yang mengelolanya dan terdapat bentuk-bentuk yang membentuknya. Dan bentuk-bentuk ini timbul dari realitas yang kodim yang oleh umumnya para filosof Islam disebut akal fa’al. Hayy bin Yaqdhan selalu membahas dan menganalisa sampai ia bisa mengetahui bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan manusia itu kembali kepada kedekatan atau kejauhannya dari Tuhannya. Dan sarana untuk mendekat dan menarik ke alam cahaya dan malaikat, sebenarnya, adalah penalaran dan analisa. (Ibrahim, : 55).   5. IBNU RUSYD Dalam membahas tentang manusia Ibnu Rusyd dipengaruhi Aristoteles. Sebagai bagian dari alam, manusia terdiri dari dua unsur materi dan forma. Jasad adalah materi dan jiwa adalah forma seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat definisi jiwa sebagai “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis” Definisi tersebut digunakan untuk membedakan dengan kesempurnaan lain yang merupakan pelengkap darinya, seperti yang terdapat dalam berbagai perbuatan. Sedangkan yang disebut organis untuk menunjukkan kepada jisim yang terdiri dari anggota-anggota. Dalam hal pembahasan manusia, Ibnu Rusyd lebih menekankan pada jiwa dari pada jasad manusia, ia membagi jiwa dalam lima bagian, yaitu:
  1. Jiwa Nabati (An-Nafs an-Nabatiyyah)
  2. Jiwa Perasa (An-Nafs al-Hissiyyah)
  3. Jiwa Hayal ( An-Nafs al-Mutakhayyilah)
  4. Jiwa Berfikir (An-Nafs an-Nathiqah)
  5. Jiwa Kecenderungan (An-Nafs an-Nuzu’iyyah) (Daudy, : 170-171)
Demikian penjelasan dan pembahasan jiwa menurut Ibnu Rusyd , pemikiran-pemikirannya banyak dipenhgaruhi oleh teori Aristoteles.                                 Â