1. AL-KINDI (185-252 H/ 801-866 M) Dari suku Kays di Kindah (Yaman) lahirlah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishaq Ash-Sabbah bin Imran bin Ismai’il bin Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Ia lahir di Kufah tahun 185 H (801 M). Ayahnya Ishaq Ash-Shabbah, seorang gubernur Kuffah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid. (Yunasril Ali, 1991: 27). Al-Kindi hidup pada masa keemasan kekuasaan Bani Abbas. Pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid yang sangat memperhatikan dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, Bagdad menjadi pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan. Al Rasyid mendirikan akademi atau lembaga tempat pertemuan para ilmuwan yang disebut  Bayt Al-Hikmah (Balai Ilmu Pengetahuan). Al-Kindi mempelajari Al-Qur’an, membaca, menulis dan berhitung di Basrah. Kemudian melanjutkan ke Bagdad. Ia mahir sekali dalam berbagai macam cabang ilmu yang ada pada waktu itu seperti ilmu kedokteran, filsafat, ilmu berhitung, logika, geometri, astronomi. Disinilah Al-Kindi lebih luas mengenal ilmu pengetahuan, kesusastraan dan kebudayaan Yunani dan Siria Kuno, ia juga menguasai bahasa Suryani, kemudian menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Arab. (A. Mustofa, 1997: 100). Karya ilmiah Al-Kindi kebanyakan berupa makalah, tetapi jumlahnya amat banyak. Dalam bidang filsafat karangan Al-Kindi diterbitkan oleh Prof. Abu Ridah (1950) dengan Judul Rasail Al-Kindi Al-falasifah beisi 29 makalah dan oleh Prof. Ahmad Fuad Al Ahwani dengan judul Fi-Al Kitab Al-Kindi Ila Mu’tashim Billah falsafah Al-ula. Dari karangan-karangannya diketahui bahwa Al-Kindi adalah penganut aliran Eklektisitas, dalam metafisika dan kosmofologi ia mengambil pendapat Aristoteles, dalam psikologi ia mengambil pendapat Plato. (A. Mustofa, 1997:102). Persoalan metafisika dibicarakan oleh Al-Kindi dalam bahasa risalahnya antara lain risalah yang berjudul “Tentang Filsafat Pertama†dan “Tentang Keesaan Tuhan dan Berakhirnya Benda-benda Alam.†Pembicaraan dalam soal ini meliputi Hakekat Tuhan, Wujud Tuhan, dan Sifat-sifat Tuhan. Tuhan menurut Al-Kindi adalah wujud yang haq (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karenanya Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului wujud lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada wujud kecuali dengan-Nya. Untuk membuktikan wujud Tuhan ia menggunakan tiga jalan, yaitu :1) Barunya alam; 2) Keanekaragaman dalam wujud; dan 3) Kerapian alam. Al-Kindi membuktikan keesaan Tuhan dengan mengatakan bahwa :â€Ia bukan benda (huyula, mddah); bukan form (shrah); tidak mempunyai kualitas; tidak berhubungan dengan yang lain (idlfah); misalnya sebagai ayah atau anak; tidak bisa disifati dengan apa yang ada dalam pikiran; bukan genus; bukan differentia (fals); bukan proprium (khssah), bukan Accident (‘aradl); tidak bertubuh; tidak bergerak. Karenanya , maka Tuhan adalah keesaan belaka, tidak ada lain kecuali keesaaan itu semata. (Hanafi, 1990: 77-78) Kesimpulannya ialah bahwa Tuhan adalah Sebab Pertama (Firs Cause), dimana wujud-Nya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah Zat yang menciptakan, tetapi bukan diciptakan, menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia adalah Zat yang menyempurnakan, tetapi bukan disempurnakan. Dalam kitab Fi’al-Falsafah al Ula dan juga dalam kitab Fi Wahdaniyyati L-lahi Watanahi Fijirmil-‘Alam Al-Kindi telah membahas tentang adanya Allah, sifat dan dzat-Nya. Sebagai orang yang dijuluki Filosof Arab pertama dalam dunia Islam Al-Kindi telah mengemukakan sejumlah dalil tentang adanya Allah yang umumnya didasarkan pada pengamatan empiris terhadap kenyataan-kenyataan indrawi. Dan ini pada hakikatnya sejalan dengan tuntutan Al-Qur’an yang dalam berbagai ayat-Nya telah menghimbau manusia untuk mengamati, memperhatikan dan memikirkan segala kenyataan di sekelilingnya dan juga dalam dirinya.   Dalil adanya Tuhan Diantara dalil-dalil terpenting yang dikemukakan oleh Al-Kindi tentang adanya Allah adalah sebagai berikut : Dalil Barunya Alam Dalil Keragaman dan Kesatuan Alam Dalil Keteraturan Alam (Ahmad Daudy, 1986: 16). Penggunaan konsep bahwa alam ini baru sebagai dalil adanya Allah telah dikenal dalam kalangan Mutakallimin sebelum Al-Kindi. Perbedaannya hanya terletak pada isi kandungan dalil tersebut tidak pada dasarnya ejaannya. Menurut Al-Kindi bahwa segala sesuatu dalam alam ini dengan sendirinya ada yang mendahului. Dengan demikian alam ini ada sebab bagi adanya. Hal ini berarti alam ini ada permulaannya baik dari segi gerak maupun dari segi zaman. Dari segi gerak, karena gerak pada wataknya mengikut jisim karena tidak mungkin adanya gerak jika tidak ada jisim yang bergerak. Dengan demikian gerak juga baru dan ada titik awalnya. Sedangkan dari segi zaman, karena zaman adalah ukuran gerak dan juga baru seperti gerak. Jadi jisim, gerak dan zaman tidak dapat saling mendahului dalam wujud dan semuanya itu ada secara bersamaan. Ini berarti alam ini baru dan karena itu ada penciptanya. Dalil ini didasarkan pada suatu konsepsi bahwa keragaman yang terdapat dalam kenyataan empiris tidak mungkin ada tanpa adanya kesatuan dan kesatuan tidak mungkin ada tanpa adanya keragaman. Fenomena keterkaitan segala kenyataan empiris dalam keragaman dan kesatuan bukanlah karena kebetulan tetapi ada sebabnya. Dan sebab itu bukan jenis zat tersebut karena jika demikian maka tidak akan ada kesudahannya secara secara aktual yakni sebab-sebab yang tidak berakhir. Menurut Al-Kindi tidak mungkin adanya sesuatu secara aktual tanpa akhir. Dengan demikian tentunya dalam keragaman dan kesatuan ada suatu zat yang lebih tinggi dan luhur serta lebih mendahului adanya karena sebab itu harus mendahului musabab, dan itu adalah Allah. Adanya pengaturan dan pengendalian yang terdapat dalam alam ini sebagai gejala dan bukti atas kepastian adanya pengatur dan pengendali (Tuhan). Selain dalil-dalil di atas Al-Kindi berpendapat bahwa alam itu temporal dan berkomposisi yang karenanya ia membutuhkan pencipta yang menciptakannya. “Yang Esa yang Hak adalah yang pertama yang menahan segala yang diciptakan sehingga sesuatu yang tidak mendapat pertahannan dan kekuatan-Nya pasti akan hancur (Ibrahim, 1995: 118) Adapun tentang hakekat Allah Al-Kindi menjelaskan bahwa Allah wujud yang hak (Al Inaiyyah, Al Haqqah) yang tidak ada ketiadaan selama-lamanya yang senantiasa dan akan selalu demikian oleh wujud apapun. Wujud-Nya tak berakhir dan tak ada wujud sesuatu tanpa wujud-Nya. Dalam masalah sifat Allah Al-Kindi tampaknya telah memilih mazhab Mu’tazilah yang menafsirkan tauhid sebagai kesatuan zat dan sifat. Oleh karena itu Al-Kindi memandang ke-Esaa-an itu suatu sifat Allah yang khas. Jadi Allah adalah Esa dalam bilangan dan Esa dalam Zat. Untuk membuktikan wujud Tuhan, Al-Kindi berbijak adanya gerak, keanekaan, dan keteraturan alam sebagaimana argumentasi yang sering dikemukakan oleh filosof Yunani. Sehubungan dengan dalil gerak, Al-Kindi mengajukan pertanyaan sekaligus memberikan jawaban dalam ungkapan berikut : Mungkinkah sesuatu menjadi sebab adanya sendiri, atau hal-hal itu tidak mungkin ? Jawabannya : Yang demikian itu tidak mungkin. Dengan demikian, alam ini adalah baru, ada permulaan dalam waktu; demikian pula ada akhirnya. Oleh karenanya, alam ini harus ada yang menciptakannya. Dari segi filsafat, argumen Al-Kindi itu sesuai dengan argumen Aristoteles tentang causa prima dan penggerak pertama, penggerak yang tidak bergerak. Dari segi agama, argumen Al-Kindi itu sejalan dengan Mutakallimin. Alam berubah-ubah, semua yang berubah-ubah adalah baru. Karena alam adalah baru, maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan adanya penciptanya, yang mencipta dari tiada (creatio exnihilo). Tentang dalil keanekaan alam wujud, Al-Kindi mengatakan bahwa tidak mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa adanya kesatuan, demikian juga sebaliknya tidak mungkin adanya kesatuan tanpa keanekaan alam indrawi atau yang dapat dipandang sebagai indrawi. Karena dalam wujud mempunyai persamaan keanekaan (keberagaman) dan kesatuan (keseragaman), maka sudah pasti hal ini terjadi karena ada sebab, bukan karena kebetulan. Dan sebab ini bukan alam wujud yang mempunyai persamaan dan keseragaman itu sendiri. Jika tidak demikian akan terjadi sebab akibat yang tidak berkesudahan, dalam hal ini tidak mungkin terjadi. Oleh karenanya, sebab itu di luar wujud itu sendiri, eksistensinya lebih tinggi, lebih mulia dan lebih dulu adanya. Sebab ini tidak lain adalah Tuhan. Mengenai dalil keteraturan alam sebagai wujud adanya Tuhan, Al- Kindi mengatakan bahwa keteraturan alam indrawi tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya zat yang tidak terlihat, dan zat yang tidak terlihat itu tidak mungkin diketahui adanya kecuali dengan adanya keteraturan dan bekas-bekas menunjukkan ada-Nya yang terdapat dalam alam ini. Argumen demikian ini disebut argumen teleologik yang pernah digunakan Aristoteles, tetapi juga bisa diperoleh dari ayat-ayat Al-Qur’an (Hasan, 1998: 4-5). 2. AL-FARABI (258-339 H/872-950 M) Riwayat Hidup Al-Farabi Dalam sejarah, riwayah hidup Al-Farabi tidak termaktub dengan jelas, karena Al-Farabi sendiri maupun pengikutnya tidak pernah menulis dan merekam kehidupannya. Yang ada hanya beberapa karangan yang menerangkan tentang sebagian biografi beliau seperti buku Wafayat Al-A’yan karangan Ibnu Khalikan. Beliau adalah orang Turki, lahir di desa Wasij dekat daerah Farab, Transoxiana pada tahun 258 H. Nama aslinya adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag Al-Farabi, yang dikenal dengan Avennoser. Bapaknya seorang perwira tentara dari Parsi sedang ibunya berasal dari Turkistan. Bahasa yang dipakainya sehari-hari ialah bahasa Arab, disamping itu ia tidak lupa mempelajari bahasa Turki dan bahasa Parsi seperti juga ia belajar dan mengamalkan ajaran Islam yang dipeluknya dengan penuh keyakinan. Kealiman Al-Farabi dalam filsafat ditunjang oleh keahliannya dalam bidang logika, sehingga disebut oleh para ahli sejarah filsafat dengan sebutan Al-Mu’allim as-Tsani (guru kedua) Artinya dialah guru kedua sesudah Aristoteles. Keahlian Al-Farabi dalam bidang logika melebihi Al-Kindi. Meskipun diakui bahwa Al-Kindi mempunyai filsafat yang sudah demikian baik, tetapi karena ia kalah dalam bidang logika maka ia dapat mengungguli Al-Farabi. Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika sehingga mudah dipahami, iapun telah dapat menjelaskannya dengan baik dan mensistematisirnya dengan teratur, dengan demikian logika itu bertambah mudah dimengerti (Yunasril Ali, 1991: 40). Pada masanya, sudah banyak kemajuan yang dibangun dari berbagai bidang, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Dengan begitu, hal ini berpengaruh besar terhadap pola pikir Al-Farabi, termasuk di dalam membangun sendi-sendi pemikiran dan sistem filsafat. Aliran filsafat yang banyak berpengaruh pada pemikiran beliau adalah Filsafat Plato, Aristoteles dan Neo Platonisme. Sebelum membicarakan tentang hakekat Tuhan dan sifat-sifat-Nya, Al-Farabi terlebih dahulu membagi wujud yang ada kepada dua bagian :
B. FILSAFAT ALAM
C. FILSAFAT MANUSIA Â
|