Terlanjur berhubungan sebelum mandi wajib

Mandi junub syarat mutlak bolehnya bersenggema usai haid

antarafoto

Mandi junub syarat mutlak bolehnya bersenggema usai haid. Ilustrasi suami istri

Rep: Muhyiddin Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Setelah darah haid seorang istri berhenti, biasanya sang suami akan langsung meminta istrinya untuk berhubungan intim atau bersenggama. 

Padahal, sang istri belum bersuci dengan melakukan mandi wajib. Lalu, bagaimana hukumnya berhubungan intim dalam keadaan seperti itu?

Pertanyaan seperti ini pernah diajukan seorang wanita kepada anggota Lembaga Fatwa Mesir Dar Ifta, Syekh Mahmud Syalabi. Dia menjelaskan, mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang istri yang baru selesai haid tetap perlu mandi besar untuk melakukan hubungan intim. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 222:

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya: “…….dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (QS Al Baqarah ayat 222)

Syalabi menambahkan, melalui video yang diterbitkan Dar Al Ifta Mesir di saluran YouTube-nya, beberapa ahli hukum meyakini bahwa dalam kasus semacam ini jika menstruasi berhenti lebih awal dari waktunya, maka perlu mandi, dan jika menstruasi berhenti setelah mencapai waktunya, maka tidak perlu mandi terlebih dahulu untuk melakukan senggama.

Kendati demikian, dia juga menjelaskan bahwa dalam hal ini kita harus memperhatikan pendapat mayoritas, bahwa mandi harus dilakukan begitu selesai menstruasi dan sebelum berhubungan intim.

Sebelumnya, ada juga pertanyaan dari seorang perempuan yang mengira bahwa telah suci dari menstruasi. Namun, setelah berhubungan intim ternyata dia menyadari bahwa ternyata ia belum suci. Lalu bagaimana hukumnya terkait masalah ini?

Dalam menjelaskan hukum Syariah tentang masalah itu, Dar Al Ifta Mesir berkata, “Seharusnya wanita dan suaminya meminta ampun dan taubat karena dia melakukan hubungan intim dengannya saat dia masih menstruasi.”  

Menurut lembaga fatwa Mesir tersebut, suami dan istrinya harus membayar denda atau kafarat, karena itu adalah salah satu ketetapan hukum yang ditetapkan dalam fikih dan syariah, bahwa hubungan seksual dengan istri yang sedang menstruasi itu tidak diperbolehkan.

Madzhab Syafii berpendapat bahwa sepasang suami istri yang melakukannya dikenai denda masing-masing satu dinar jika hubungan itu dilakukan pada masa awal haid, atau seperlima dinar jika dilakukan pada pertengahan-akhir haid.

Pendapat di atas didukung ulama dari Madzhab Hanafi. Tetapi, mazhab Hanafi berpendapat bahwa denda tersebut hanya diwajibkan atas suami dan tidak kepada istri.Karena larangan itu ditujukan pada suami. Pendapat-pendapat di atas berdasarkan pada hadits berikut: 

عنِ ابنِ عبَّاسٍ رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: في الذي يأتي امرأته وهي حائض قالَ إذا أصابَها في الدَّمِ فدينارٌ وإذا أصابَها في انقطاعِ الدَّمِ فنصفُ دينارٍ

 "Seorang laki-laki menjima istrinya yang sedang haid, apabila itu dilakukan saat darah haid istrinya berwarna merah maka dikenai denda satu dinar, sedangkan jika dilakukan saat darahnya sudah berwarna kekuningan, dendanya seperlima dinar." (HR Abu Dawud). 

Sedangkan ulama dari Mazhab Hanbali mengatakan bahwa keduanya (suami-istri) dikenai denda masing-masing setengah dinar tanpa membedakan apakah itu dilakukan di awal, pertengahan, atau akhir masa haid.

Mazhab Maliki berpendapat, tidak ada denda apa pun dalam perbuatan itu, baik atas si suami atau si istri. Satu dinar setara dengan emas 4,25 gram 21 karat.

Sumber: masrawy   

Terlanjur berhubungan sebelum mandi wajib

Terlanjur berhubungan sebelum mandi wajib

(Foto: ok.ru) (Foto: ok.ru)

Assalamu 'alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, seorang perempuan telah selesai haidh. Darah haidhnya telah berhenti keluar. Pertanyaannya, apakah suaminya mungkin karena tidak tahan boleh berhubungan badan dengannya sebelum si istri mandi wajib atau mandi junub? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu 'alakum wr. wb. (Hasanudin/Jepara).

Jawaban


Assalamu ‘alaikum wr. wb.Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Praktik hubungan badan antara suami-istri harus dilakukan dalam kondisi istri suci dari haid dan nifas. Hal ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 222 berikut ini:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ [البقرة:222/2

Artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah, ‘Itu adalah kotoran. Maka itu, jauhilah perempuan saat haidh. Jangan kalian dekati mereka hingga mereka suci. Kalau mereka telah suci, maka datangilah mereka dari jalan yang Allah perintahkan kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertobat dan orang yang bersuci,’” (Surat Al-Baqarah ayat 222).Adapun perihal praktik hubungan badan setelah istri selesai haidh sebelum mandi junub, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa sebelum hubungan badan, perempuan tersebut harus mandi wajib atau mandi junub terlebih dahulu.

ولم يجز الجمهور غير أبي حنيفة إتيانها حتى ينقطع الحيض، وتغتسل بالماء غسل الجنابة


Artinya, “Mayoritas ulama selain Abu Hanifah, tidak membolehkan hubungan badan seseorang dengan istrinya hingga darah haidh itu benar-benar berhenti dan istrinya mandi wajib terlebih dahulu,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 553).Sementara Madzhab Hanafi mengatakan bahwa ketika seorang perempuan yang melalui masa haidh (10 hari) tetapi belum sempat mandi boleh melakukan hubungan badan dengan suaminya. Kalau darahnya sudah berhenti sebelum masa haidh selesai, maka ia harus menunggu sekira waktu shalat selesai (durasi antara zhuhur hingga ashar) atau mandi junub terlebih dahulu sebelum hubungan badan.

وأجاز أبو حنيفة إتيان المرأة إذا انقطع دم الحيض، ولو لم تغتسل بالماء إلا أنه إذا انقطع دمها بعد أكثر الحيض (عشرة أيام) حلت حينئذ، وإن انقطع دمها لأقل من عشرة أيام، لم تحل حتى يمضي وقت صلاة كامل أو تغتسل


Artinya, “Abu Hanifah membolehkan hubungan badan dengan istri bila darah haidhnya telah selesai meskipun ia belum mandi wajib. Tetapi, jika darah haidh itu berhenti setelah masa haid (10 hari), maka (ia) halal ketika itu. Jika darah itu berhenti persis kurang dari 10 hari, maka ia belum halal hingga waktu shalat sempurna berlalu atau ia mandi wajib,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 553).Sedangkan Madzhab Maliki membolehkan praktik ini seketika darah haidh seseorang berhenti dengan catatan ia harus mandi junub terlebih dahulu sebelum berhubungan badan. Madzhab ini juga membolehkan rekayasa medis untuk penghentian darah haidh sebagaimana keterangan berikut ini:

هذا ولا يخفي ما في تحريم إتيان الحائض من المحاسن فقد أجمع الأطباء على أن إتيان الحائض ضار بعضوي التناسل ضررا شديدا ومع هذا فإن في المذاهب ما قد يرفع المحظور فإن الحنفية قد أباحوا إتيان المرأة إذا انقطع دمها ومضى على انقطاعه وقت صلاة كاملة من الظهر إلى العصر مثلا ولو لم تغتسل ولا يخفي أن كثيرا من النساء لا يستمر عليها نزول الدم كل مدة الحيض وأباح المالكية إتيانها متى انقطع الدم ولو بعد لحظة بشرط أن تغتسل وكثير من النساء ينقطع عنها الدم في أوقات شتى ثم إن المالكية قالوا: إذا قطعت المرأة دمها: ولو بدواء فإنه يصح إتيانها فلا يلزم أن ينقطع بنفسه فعلى الشهويين الذين لا يستطيعون الصبر أن يجتهدوا في قطع الدم قبل الإتيان طبقا لهذا


Artinya, “Tidak samar lagi kemaslahatan perihal pengharaman praktik hubungan badan dengan perempuan yang sedang haidh. Para dokter sepakat bahwa praktik ini dapat membahayakan luar biasa organ rahim. Meskipun demikian, sebagian madzhab menghilangkan keharaman praktik ini. Madzhab Hanafi membolehkan praktik ini–meskipun perempuan itu belum mandi wajib–bila darah haidhnya telah berhenti selama satu waktu shalat penuh misalnya dari zhuhur hingga ashar. Jelas, bahwa kebanyakan perempuan yang haidh tidak mengucurkan darah setiap saat sepanjang masa haidhnya. Sementara Madzhab Maliki membolehkan praktik ini ketika darah haidh berhenti meskipun sesaat dengan catatan perempuan itu harus mandi wajib terlebih dahulu. Tetapi kebanyakan perempuan memiliki pengalaman berbeda terkait waktu perhentian darah haidh. Madzhab Maliki kemudian berpendapat bahwa jika perempuan menghentikan darah haidhnya dengan misalnya obat, maka hubungan seksualnya sah karena darah haidh tidak selalu harus berhenti sendiri (perhentian darah haidh dapat direkayasa dengan obat mutakhir). Dengan logika ini, seorang suami dengan libido tinggi yang tidak sanggup menahan diri boleh berjuang untuk menghentikan darah haidh istrinya sebelum hubungan seksual,” (Lihat Syekh Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu alal Madzahibil Arba‘ah, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 114).Demikian perbedaan pandangan ulama terkait praktik seksual sebelum perempuan yang haidh atau nifas mandi wajib atau mandi junub.Kami menyarankan, seseorang yang ingin berhubungan dengan istrinya yang berada di ujung haidh atau nifas sebaiknya tetap menjaga adab jimak, yaitu mandi wajib atau mandi junub dari haidh atau nifas terlebih dahulu, membaca doa jimak, menghindari arah kiblat saat praktik ini, bertutup kain atau selimut, dan seterusnya.Demikian jawaban kami, semoga dipahami dengan baik. Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

(Alhafiz Kurniawan)

Dalil Lengkap tentang Perayaan Maulid Nabi