Sebutkan pemberontakan pemberontakan pada masa pemerintahan Ali bin Abi thalib

Di masa Ali bin Abi Thalib ada tiga kelompok politik.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Banyak persoalan yang dihadapi umat Islam pasca wafatnya Rasulullah SAW. Misalnya pada akhir kekhalifah Ali bin Abdul Muthalib, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik yang membuat keutuhan umat Islam pada saat itu rapuh dan mudah diserang di sana sini.

Abdullah Syukur Al-Azizi dalam bukunya "Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap" menuliskan tiga kelompok itu di antaranya Khawarij, Murjiah, dan Syiah.

Pertama, Kelompok Khawarij

Khawarij lahir sebagai aksi penentangan terhadap kebijaksanaan khalifah Ali dan Muawiyah menunjukkan perwakilan dalam kompromi untuk mengakhiri perang Shiffin, yang dikenal dengan Tafkhim. Pada awalnya kaum k

Khawarij awalnya dikenal sebagai pengikut Ali. Namun, karena peristiwa tersebut mereka meninggalkan Ali karena dianggap telah mengangkat Hakim atau Wali selain Allah.  Bahkan, lebih jauh mereka mengkafirkan Ali dan seluruh yang tunduk pada Tafkhim tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya, golongan Khawarij dikenal sangat ekstrem dan radikal terhadap pendapat yang berbeda dengan mereka. Bahkan, mereka melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang menurut mereka zalim. 

"Sehingga, dalam rentang waktu yang cukup lama kaum ini banyak membuat keonaran," katanya.

Kedua, Kelompok Murjia'ah

Sebagaimana halnya kaum khawarij, kelompok Murji'ah juga lahir akibat ketidakpuasan dan pergolakan politik pada masa khalifah Ali. Murji'ah lahir sebagai reaksi atas konflik kepentingan politik antara khawarij dan Syiah. 

Khawarij melakukan pemberontakan kepada kekhalifahan Ali karena menganggap mereka melanggar Hukum Allah sama persis dengan kelompok Syiah yang juga memerangi Muawiyah karena dianggap telah merampas kekuasaan dengan tidak sah. 

Di tengah pergolakan kondisi politik pada masa itu, Murjiah menjadi golongan yang tidak ingin melibatkan diri dalam pergolakan politik dan tidak mau apriori menyalahkan atau mendukung salah satu dari dua kubu yang saling bertentangan. Murji'ah, sendiri mempunyai konsep yang sesuai dengan arti dari kelompok,yaitu menangguhkan. 

Jadi, persoalan kubu Ali dengan Muawiyah harus ditangguhkan hingga akhirat. Mereka tidak menghukumi dua kubu yang berseteru dan mereka tidak menghukumi dengan kaum dunia, sehingga masuk surga atau neraka tidak bisa ditentukan, karena di akhirat hukuman yang sah.

Ketiga, Kelompok Syiah 

Syiah percaya bahwa keluarga Nabi Muhammad yaitu para Imam Syiah merupakan sumber pengetahuan terbaik tentang Alquran dan Islam. Mereka adalah guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, serta membawa penjagaan penjaga terpercaya dari tradisi sunat. 

Secara khusus golongan Syiah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh golongan sunni.

Keyakinan Syiah, Ali berkedudukan sebagai khalifah dan Imam melalui wasiat nabi ketiga kelompok tersebut yang pada masa Berikut yang merupakan golongan yang sangat kuat dan yang mewarnai perkembangan pemikiran dalam Islam.

Peperangan ini berlangsung imbang sehingga kemudian kedua belah pihak setuju untuk berunding dengan ditengahi seorang juru runding. Pertempuran dan perundingan membuat posisi Ali bin Abi Thalib melemah tetapi tidak membuat ketegangan yang melanda kekhalifahan mereda. Oleh penganut aliran Syiah, Ali bin Abi Talib dianggap sebagai Imam pertama. Oleh penganut aliran Sunni, Ali bin Abi Thalib adalah khulafaur rasyidin yang ke empat dan Muawiyah adalah khalifah pertama dari Dinasti Umayyah. Kejadian kejadian disekitar pertempuran Shiffin sangatlah kontroversial untuk Sunni dan Syiah dan menjadi salah satu penyebab perpecahan di antara keduanya.

Awalnya, Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.

Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi Thalib, dan dia mengatakan, ”Mereka adalah orang-orang yang kalian maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan, ”Kami semua yang telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia melemparkan kami.”

Dinukil juga bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mengapa mereka tidak membaiat Ali. ”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendzalimi kami, sebagaimana mereka mendzalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan terhadap kami.[10]

Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain.

Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak.

Para utusan terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram pada tahun itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru kepada pasukan Syam, ”Amirul Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujjah, akan tetapi kalian tidak menjawab.”

Pasukan Syam menyambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Disebutkan bahwa kedua pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak.[11]

Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja.[12]

Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang,[13] namun menurut Joesoef Sou'yb, pasukan Ali bin Abi Thalib berjumlah 95.000 Prajurit dan yang terbunuh 35.000,sedangkan dari Pasukan Syam berjumlah 85.000 dan yang terbunuh berjumlah 45.000 Prajurit.[14]

Terbunuhnya Ammar bin Yasir

Peristiwa terbunuhnya sahabat Ammar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah berkata kepada Ammar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin.[15]

Sedangkan Amr bin al-Ash, sahabat yang bergabung dalam barisan Muawiyah pernah mendengar bahwa Rasulullah bersabda mengenai Ammar bin Yasir, sebagaimana termaktub dalam ”Sesungguhnya orang yang membunuh dan mengambil hartanya (sebagai ghanimah) akan masuk neraka.” Lalu ada yang mengatakan kepadanya, ”Sesungguhnya engkau yang memeranginya!” Amr bin al-Ash menjawab, ”Sesungguhnya yang disabdakan adalah pembunuh dan perampas hartanya”.[16]

Hadits di atas menunjukkan bahwa memang kedua belah pihak mengetahui keutamaan masing-masing dan tidak ada kesengajaan untuk berniat saling membunuh.

Meninggikan Mushaf

Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak sahabat yang menyeru, dengan mengangkat Al Quran tinggi-tinggi, ”Jika kita tidak berhenti (bertempur) maka Arab akan sirna, dan hilanglah kehormatan.”

Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan, ”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para wanita dan keturunan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.”

Maka saat itu, pasukan Syam menyeru, ”Wahai pasukan Iraq di antara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Iya, di antara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal itu.” Jawab dia.

Diriwayatkan bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka, ”Wahai Amirul Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama Rasulullah saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau seandainya kami berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”.[17]

Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun berakhir.

Pertemuan ini disaksikan oleh sepuluh orang dari masing-masing pihak. Dari pihak Ali bin Abi Thalib, pertemuan tersebut disaksikan oleh: Abdullah bin Abbas, Al-Asy'ats bin Qais al-Kindi, Sa'id bin Qais al-Hamdani, Hujr bin Adi al-Kindi, dan Uqbah bin Ziyad al-Hadhrami.

Sementara dari perwakilan Muawiyah bin Abu Sufyan, pertemuan tersebut disaksikan oleh: Abu al-A'war as-Sulami, Habib bin Maslamah al-Fihri, Abdurrahman bin Khalid al-Makhzumi, Yazid bin al-Hurr al-Absi, dan Hamzah bin Malik al-Hamdani.[18]