Salah satu tujuan perkawinan adalah sebagai sarana prokreasi maksud dari pernyataan tersebut adalah

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.

Beberapa buku tentang pernikahan dan rumah tangga Kristen yang pernah saya baca nampaknya menganggap kurang penting untuk menjelaskan tujuan pernikahan Kristen. Beberapa penulis menjelaskan sambil lalu, sementara penulis lainnya bahkan tidak menjelaskan sama sekali. 

Secara alami (natural) bahwa tujuan pernikahan dan berkeluarga diawali ketika seorang pria dan seorang wanita bertemu, saling mencintai, dan memutuskan membuat komitmen untuk hidup bersama. Mereka kemudian meresmikan komitmen itu dalam ikatan pernikahan, dan selanjutnya menjalani hidup bersama, bekerja mengumpulkan uang dan harta benda untuk dinikmati bersama (sampai hari tua), melahirkan anak-anak, mendidik dan membesarkan anak-anak serta mempersiapkan anak-anak untuk kehidupan yang mandiri dan bahagia. 

Inilah tujuan natural dari suatu pernikahan. Namun tujuan natural pernikahan seperti ini bukan hanya ada di kalangan Kristen tetapi juga di kalangan bukan Kristen. Karena itu kita perlu melihat tujuan pernikahan berdasarkan pernyataan firman Tuhan. Tujuan pernikahan yang jauh melampaui tujuan natural tersebut. Mengapa? Karena pernikahan merupakan lembaga yang dirancang dan ditetapkan oleh Allah sendiri, maka kita harus mencari tujuan dan maksud pernikahan tersebut menurut rancangan dan kehendak Sang Pencipta, seperti yang dinyatakan dalam Alkitab.

Menurut John Stott, dalam bukunya Isu-Isu Global, bahwa teologi Kristen ortodoks (classical theology) mengakui tiga tujuan utama Allah bagi pernikahan, yaitu: 

(1) Pria dan wanita diperintahkan untuk “beranak cucu dan bertambah banyak” (Kejadian 1:28). Dengan demikian, kelahiran anak-anak biasanya berada dalam daftar teratas, bersama dengan mengasuh mereka dalam kasih sayang dan disiplin keluarga; 

(2) Allah berkata, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18). Dengan demikian Allah menghendaki pernikahan untuk “hubungan timbal balik saling menolong dan saling menghibur, yang pada dasarnya terjadi antara suami istri, baik dikala suka maupun duka”. 

(3) Pernikahan bertujuan untuk menjadi komitmen saling mencintai dan mengasihi yang saling memberi diri satu sama lain, yang menemukan ungkapan naturalnya dalam kesatuan seksual, atau menjadi satu daging” (Kejadian 2:24).

Saya setuju terhadap ketiga tujuan tersebut di atas, tetapi tidak dalam urutan prioritasnya. Saya berpendapat bahwa urutan-urutan prioritas dari tujuan pernikahan itu adalah: 

(1) Allah merancang pernikahan pertama-tama karena itu merupakan kebutuhan manusia (Kejadian 2:18); 

(2) Kemudian pernikahan itu menjadi sebuah komitmen untuk saling melengkapi dan saling memberi (Kejadian 2:24); 

(3) Setelah diberkati, maka pernikahan itu merupakan cara yang dipakai Allah bagi manusia untuk mendapatkan keturunan (Kejadian 1:8). Namun, saya juga menambahkan dua tujuan lainnya dari pernikahan seperti yang akan saya jelaskan berikut ini.

Salah satu buku tentang penikahan Kristen yang pernah saya baca lebih dari 15 tahun yang lalu adalah buku yang ditulis oleh Wayne Mack seorang doktor teologi lulusan dari Wesminster Theological Seminary. 

Buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Bagaimana Mengembangkan Kesatuan Yang Kokoh Dalam Hubungan Perkawinan tersebut, meskipun tidak secara khusus membahas tujuan pernikahan Kristen tetapi telah sangat membantu memberikan dasar pemahaman kepada saya tentang tujuan pernikahan Kristen. 

Akhirnya setelah beberapa tahun melakukan penelitian Alkitab dan banyak membaca buku-buku tentang pernikahan Kristen, saya menarik kesimpulan tentang tujuan pernikahan Kristen seperti yang dirancang Allah dalam Alkitab, seperti yang akan saya jelaskan dalam pasal ini.

Ada banyak bagian-bagian Alkitab, baik di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang membicarakan tentang pernikahan. Tetapi sepanjang yang saya dapat ketahui, hanya ada satu pernyataan Alkitab tentang perkawinan yang mana pernyataan tersebut tertulis empat kali ditempat yang berbeda. 

Pernyataan itu terdapat di dalam Kejadian 2:24; Matius 19:5; Markus 10:7-8; dan Efesus 5:31, yang berbunyi : “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Jadi, Tuhan membuat pernyataan yang sama mengenai perkawinan sebanyak empat kali:

(1) Pernyataan itu disebutkan satu kali dalam Perjanjian Lama dan tiga kali dalam Perjanjian Baru; 

(2) Pernyataan tersebut dibuat sekali sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa; dan tiga kali setelah manusia jatuh ke dalam dosa; 

(3) Pernyataan tersebut satu kali dinarasikan oleh penulis kitab Kejadian, dua kali disebutkan oleh penulis kitab Injil sebagai ucapan Yesus sendiri sebelum karya pendamaian di kayu salib, dan satu kali diucapkan oleh rasul Paulus setelah peristiwa pendamaian Kristus di salib.

Satu kali saja suatu pernyataan tertentu disebutkan dengan jelas dalam Alkitab maka tentu saja itu merupakan hal yang dianggap penting. Apalagi jika pernyataan itu disebutkan lebih dari satu kali. Faktanya pernyataan penting tentang pernikahan itu telah disebutkan dalam Alkitab sebanyak empat kali. Bahkan dua penulis Injil menarasikan pernyataan tersebut keluar dari mulut Yesus Kristus sendiri. 

Karena itu, saya yakin bahwa pernyataan tersebut menjelaskan kepada kita tentang tujuan pernikahan manusia baik sebelum kejatuhan, setelah kejatuhan dan setelah karya pendamaian Kristus di kayu salib. Pernyataan tersebut menjelaskan tujuan dan rencana Allah sepanjang masa tentang pernikahan dan tujuan tersebut tidak pernah berubah. 

Tujuan yang dinyatakan Allah untuk pernikahan itu ialah “kesatuan” yang dinyatakan dengan jelas dalam kalimat “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. 

Kesatuan melalui pernikahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Seorang laki-laki meninggalkan orangtuanya untuk bersatu dengan istrinya; (2) Bersatu dengan seorang istri; (3) Suami istri menjadi satu daging; (4) Dipersatukan Allah di dalam pernikahan.

Kata “bersatu” dalam kalimat “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya” dalam Matius 19:5 adalah kata Yunani “kolléthésetai”. Kata “kolléthésetai” ini dipakai dalam Septuaguinta (Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani) di Kejadian 2:24 untuk menerjemahkan kata Ibrani “dabaq” yang artinya “mengikat, lem, melekat, menempel, bergabung berdekatan dengan atau mengikat bersama”. 

Kata “kolléthésetai” di Kejadian 2:24 ini juga digunakan di Efesus 5:31 di mana kata ini dikutip dengan disertai awalan “pros” sehingga menjadi “proskolléthésetai” yang secara harafiah berarti “dipersatukan dengan” atau “dipersatukan kepada”, mengandung makna ”direkatkan atau diperkokoh bersama, ditatah bersama atau dilas bersama”, yang mengindikasikan tingkat kekuatan paling tinggi dalam sebuah kedekatan dan pelekatan. (Catatan: Beberapa edisi Perjanjian Baru Yunani memakai kata “kolléthésetai” tanpa awalan “pros” yang mengandung arti sama).

Sedangkan kata “dipersatukan” dalam kalimat “apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” dalam Matius 19:6 adalah kata Yunani “suzeugnumi” yang secara harfiah “bersama-sama disatukan dalam satu kuk”, atau sepenuhnya berarti “bersama dalam kuk yang sama yang telah ciptakan bagi mereka”. Sebuah kuk memampukan dua ekor lembu menarik beban bersama, masing-masing saling berbagi tugas sehingga konsekuensinya adalah meringankan tugas dan keduanya bersama dapat menyelesaikan tugas lebih banyak dari apa yang dapat dicapai kalau mereka hanya sendirian mengerjakannya. 

Jadi, dalam nas ini Yesus menggambarkan pernikahan sebagai sebuah kuk yang Allah buat, di mana seorang laki-laki dengan seorang perempuan dapat memikulnya sehingga mereka bersama dapat meringankan pekerjaan-pekerjaan dan beban-beban kehidupan, dan mencapai hal-hal bersama yang tidak dapat dicapai kalau mereka hanya sendirian saja. Kata “dipersatukan” dalam kalimat “apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6), berasal dari kata Yunani “suzeugnumi” yang berarti “menyatukan”.

Jadi, tujuan pernikahan seperti yang dirancang oleh Allah bagi seorang pria dan seorang wanita adalah kesatuan yang utuh. Tentu saja makna kesatuan yang dimaksudkan tersebut tidaklah dapat ditangkap dalam satu atau dua kalimat atau pernyataan. 

Namun makna dasar dari kesatuan tersebut dapat dan harus dipusatkan pada beberapa gagasan yang sangat mendasar, yaitu: 

(1) Kesatuan dengan menjalin persahabatan; 

(2) Kesatuan untuk saling mengisi dan melengkapi; 

(3) Kesatuan untuk menikmati kesenangan; 

(4) Kesatuan untuk mendapatkan keturunan; dan 

(5) Kesatuan dalam menampilkan citra Allah. Kesatuan yang utuh dari tujuan pertama dalam gagasan tersebut bersifat relasional, tujuan yang kedua bersifat komplementarian, tujuan yang ketiga bersifat rekreasi, tujuan yang keempat bersifat prokreasi, dan tujuan yang kelima menujukkan pada reflektif ilahi. Kelima gagasan dasar dari kesatuan yang utuh tersebut merupakan pilar-pilar yang kokoh bagi pernikahan Kristen.

Karenanya, tujuan pernikahan seperti yang dirancang oleh Allah bagi seorang pria dan seorang wanita adalah kesatuan yang utuh. Tentu saja makna kesatuan yang dimaksudkan tersebut tidaklah dapat ditangkap dalam satu atau dua kalimat atau pernyataan. Namun makna dasar dari kesatuan tersebut dapat dan harus dipusatkan pada beberapa gagasan yang sangat mendasar, yaitu:

(1) Kesatuan dengan menjalin persahabatan; 

(2) Kesatuan untuk saling mengisi dan melengkapi; 

(3) Kesatuan untuk menikmati kesenangan; 

(4) Kesatuan untuk mendapatkan keturunan; dan 

(5) Kesatuan dalam menampilkan citra Allah. Kesatuan yang utuh dari tujuan pertama dalam gagasan tersebut bersifat relasional, tujuan yang kedua bersifat komplementarian, tujuan yang ketiga bersifat rekreasi, tujuan yang keempat bersifat prokreasi, dan tujuan yang kelima menujukkan pada reflektif ilahi. 

Kelima gagasan dasar dari kesatuan yang utuh tersebut merupakan pilar-pilar yang kokoh bagi pernikahan Kristen.

PILAR 1 # KESATUAN DENGAN MENJALIN PERSAHABATAN (RELASIONAL)

Manusia ciptaan Allah adalah mahluk yang memiliki kecerdasan, alasan, imajinasi dan kemampuan untuk mengekspresikan dan mengkomunikasikan pikiran dan emosinya ke dalam bahasa. Ini jelas menunjukan bahwa manusia lebih tinggi derajatnya dari pada binatang yang hanya dengan suatu kebiasaan dan naluri saja (Kejadian 1:26-28; 2:15,19,20; Roma 1:21).

 Allah juga menciptakan manusia dengan kehendak dan kecerdasan yang mampu untuk mengasihi. Manusia diciptakan oleh kasih Allah dan untuk menerima kasih itu, sehingga ia dapat mengasihi satu sama lain. Kesatuan relasional merupakan keinginan yang sama, yang Allah berikan kepada seorang pria dan seorang wanita yang menjadi satu di dalam pernikahan. 

Perhatikan kata “penolong” dalam kalimat “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” dalam Kejadian 2:18. Kata “(seorang) penolong” tersebut adalah terjemahan dari kata Yunani “ezer kenegdo”. Kata Ibrani “ezer” yang diterjemahkan dengan “penolong” berarti “sesuai dengan; cocok dengan; atau sama dengan”. Jadi secara harafiah seorang penolong (ezer kenegdo) berarti “seorang yang cocok dengan atau seorang yang sama dengan, penolong yang sepadan atau seorang yang sepadan dengannya”.

Hal utama pertama dari tujuan pernikahan adalah terjalinnya persahabatan. Keinginan untuk mendapatkan pasangan ini ditanamkan Allah kepada manusia. Namun pernikahan bukanlah keinginan untuk mendapatkan seseorang menjadi penjaga rumah atau untuk mendapatkan seseorang yang akan menanggung kehidupan. 

Bukan juga sekedar mencari nyonya rumah atau kekasih yang tidur di ranjang yang sama. Melainkan keinginan untuk mendapatkan pasangan, yaitu seorang penolong yang sepadan, seorang pendamping yang bersedia berbagi hidup kepada pasangannya, seorang belahan jiwa yang memberikan seluruh hidupnya dan yang mendukung pasangannya untuk melakukan hal yang sama.

Integritas pondasi rohani dalam pernikahan Kristen sering melemah karena salah satu pasangan atau bahkan keduanya kurang menghargai pentingnya persahabatan dalam hubungan pernikahan. Padahal dalam ajaran Alkitab, menjalin persahabatan dalam pernikahan digambarkan dengan jelas. Allah berbicara melalui nabi Maleakhi kepada para pria Israel dan memberitahu mereka bahwa istri mereka adalah “teman sekutumu dan istri seperjanjianmu” (Maleakhi 2:14). 

Seseorang dalam kitab Kidung Agung menggambarkan hubungan yang istimewa satu sama lain dalam pernikahan dengan ungkapan “inilah kekasihku, inilah temanku” (Kidung Agung 5:16). Ketika pasangan suami istri memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan dan memiliki persahabatan yang intim satu dengan yang lain, mereka menjalani kehidupan dalam tingkat yang lebih tinggi dan pernikahan mereka pun semakin kokoh.

Namun, sayangnya kesatuan relasional ini dalam banyak pernikahan seringkali diabaikan oleh pasangan suami istri. Banyak pasangan suami istri yang mengawali hubungan mereka sebagai kekasih tanpa mengetahui hal utama, yaitu saling menjalin persahabatan. Selama di tempat tidur segala sesuatunya tampak baik-baik saja, tetapi mereka tidak tahu bagaimana caranya menciptakan suatu hubungan sehari-hari yang berhasil. 

Bila suami istri tidak tahu bagaimana harus hidup bersama sebagai sahabat, pendamping, dan pasangan, maka tidak lama lagi mereka bahkan sudah tidak ingin saling berhubungan seks. Persahabatan sejati akan membantu suami dan istri memelihara hubungan pernikahan mereka, dan karena mereka adalah sahabat maka mereka tidak akan pernah menginginkan pertengkaran. 

Karena itu perlu bagi pasangan suami istri untuk memeriksa kembali tujuan pernikahan mereka dengan bertanya: apakah hubungan pernikahan tersebut hanya untuk memanfaatkan seseorang demi memenuhi harapan, kesenangan dan kebutuhan sendiri? Ataukah hubungan pernikahan tersebut untuk berbagi hidup dengan seseorang untuk mendapatkan persahabatan sejati?

PILAR 2 # KESATUAN UNTUK SALING MENGISI DAN MELENGKAPI (KOMPLEMENTER)

Sejak semula Allah hanya menciptakan dua gender manusia, yaitu laki-laki dan perempuan, yang walaupun berbeda dalam fungsi dan reproduksi, tetapi sama dalam derajat, harkat dan martabat. Dalam Kejadian 1:27 dikatakan “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki (ish) dan perempuan (ishsha) diciptakanNya mereka”. 

Kristus menegaskan kembali hal ini dalam Matius 19:4, dikatakan, “Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia (antrophos) sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki (aner) dan perempuan (gyne)?” 

Jadi meskipun pria dan wanita diciptakan dengan status yang setara (sama dalam derajat, harkat, dan martabat), tetapi mereka tidaklah sama dalam identitas. Artinya mereka benar-benar berbeda secara seksualitas, psikologis, maupun fisiologis. Kesetaraan (equality) tidak boleh dicampuradukkan dengan jati diri (identity). Setiap orang diciptakan dalam kesetaraan dan juga dengan jati diri masing-masing sebagai seorang pria atau sebagai seorang wanita.

Jadi Allah telah merancang pernikahan untuk dijalani bersama oleh seorang pria dan seorang wanita. Sehingga dengan demikian yang dimaksud sebagai pernikahan Alkitabiah adalah antara seorang pria biologis dengan seorang wanita biologis. Karena itu pernikahan dengan sesama jenis (homoseksual: gay, lesbi) atau pun pernikahan dengan hewan bukanlah pernikahan, melainkan penyimpangan dari ketetapan Tuhan. 

Dengan demikian, karakteristik paling mendasar dari pernikahan adalah bahwa pernikahan merupakan satu kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita. Kesatuan yang komplemenetar yaitu kesatuan yang saling melengkapi di dalam kesetaraan mereka dan perbedaan satu sama lainnya.

Suami dan istri berbeda satu dengan yang lain dalam hal ciri seksualitas, psikologis, maupun fisiologis tetapi saling membutuhkan dan melengkapi. Itu sebabnya pilar pertama dari tujuan pernikahan sebagai mana dijelaskan di atas, yaitu kesatuan yang utuh dengan cara menjalin persahabatan. Persahabat ini sangat penting sebagai dasar bagi kokohnya kesatuan yang komplementer. Suami dan istri masing-masing memiliki kekuatan yang berbeda, tetapi sebagai sahabat, kekuatan tersebut dapat mendukung satu sama lain. 

Mereka masing-masing memiliki hal-hal yang tidak dimiliki oleh pasangannya, namun dapat diberikan bagi pasangannya. Mereka harus menghargai perbedaan yang ada dalam diri pasangannya dan menerima kelebihan pasangannya dengan sukacita. Jika pasangan suami istri dapat menghargai perbedaan dalam diri mereka, hal itu akan menghasilkan pengenalan khusus yang akan membawa mereka pada pilar kedua dari pernikahan yaitu kesatuan yang komplementer.

Jika pasangan suami dan istri tidak berusaha saling memahami dan menghargai perbedaan-perbedaan mereka, serta tidak bertumbuh dalam perbedaan-perbedaan tersebut, maka mereka segera akan menghadapi masalah-masalah yang mendasar. 

Tidak ada yang dapat merenggangkan hubungan pernikahan lebih cepat dari atau lebih dasyat dibanding ketika salah satu pasangan tidak dapat menghargai perbedaan-perbedaan yang seharusnya menguatkan persamaan-persamaan yang ada dalam hubungan tersebut. 

Salomo merasakan sukacita yang luar biasa dari hubungan (termasuk pernikahan) yang saling komplementer ini ketika ia menyatakan, “Berdua lebih menguntungkan daripada seorang diri. Kalau mereka bekerja, hasilnya akan lebih baik. Kalau yang seorang jatuh yang lain dapat menolongnya. Tetapi kalau seorang jatuh, padahal ia sendirian, celakalah dia, karena tidak ada yang dapat menolongnya. 

Pada malam yang dingin, dua orang yang tidur berdampingan dapat saling menghangatkan, tetapi bagaimana orang bisa menjadi hangat kalau sendirian? Dua orang yang bepergian bersama dapat menangkis serangan, tapi orang yang sendirian mudah dikalahkan. Tiga utas tali yang dijalin menjadi satu, sulit diputuskan” (Pengkhotbah 4:9-12, terjemahan BIS). 

Jadi di dalam lembaga pernikahan: suami harus mengakui kebutuhannya terhadap istri sebagai suatu karunia yang Allah berikan kepadanya, demikian juga istrinya harus mengakui kebutuhannya terhadap suaminya dan bahwa pelengkap bagi seksualitasnya ada pada suaminya.

Rasul Petrus menasehati, “Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang” (1 Petrus 3:7). 

Di sini ada dua hal yang Petrus tekankan dalam nasihatnya, yaitu: 

(1) Suami perlu hidup bijaksana dengan istrinya. Ini adalah suatu perintah bagi suami agar tidak bersikap egois terhadap istrinya, terutama karena mereka disebut sebagai “kaum yang lebih lemah”. Frase “yang lebih lemah” bukanlah berarti lebih lemah dalam karakter, atau lebih lemah dalam intelek, atau lebih lemah dalam kemampuan dan posisi. Hanya lebih lemah dalam hal tertentu yang berhubungan dengan kekuatan fisik. Tetapi pernyataan “suami perlu hidup bijaksana” ini juga dapat diterapkan pada istri dengan mengatakan, “hiduplah bersama suamimu dengan penuh pengertian”; 

(2) Suami perlu menghormati istri sebagai teman pewaris kasih karunia. Menghormati di sini tidak sama dengan perintah agar istri tunduk dan menghormati suami dalam pengertian otoritas. 

Kata menghormati di sini berarti “suami hendaklah memperlakukan istri mereka dengan lembut dan tidak kasar”. Dengan kata lain para suami tidak menggunakan kekuatannya untuk mengambil keuntungan dari istrinya, tetapi menggunakan kekuatan itu untuk menjaga dan melindungi. 

Hal yang sama dapat diterapkan kepada para istri, agar mereka tidak menggunakan kekuatan mentalnya untuk merongrong atau memanipulasi suaminya. Intinya, kedua pasangan suami istri hendaklah saling melengkapi dan menyempurnakan sebagai pasangan dan sahabat pewaris kasih karunia.

PILAR 3 # KESATUAN UNTUK SALING MENIKMATI KESENANGAN (REKREASI)

Pilar ketiga dari tujuan pernikahan adalah rekreasi. Pernikahan juga dirancang Allah untuk tujuan rekreasi, yaitu kesenangan dan kepuasan yang dapat dinikmati untuk kebahagiaan oleh pasangan suami istri. 

John Piper dalam bukunya Pernikahan dan Supremasi Kristus mengatakan, “Allah menciptakan manusia menurut rupa dan gambarNya –‘laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka’ (Kejadian 1:27) – dengan kapasitas-kapasitas untuk kesenangan seks yang intens dan dengan panggilan untuk berkomitmen dalam pernikahan...”. Dengan demikian, seks adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang telah menikah untuk kebahagiaan dan kesenangan mereka bersama. 

Alkitab mengatakan, “Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap istrinya, demikian pula istri terhadap suaminya. Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya” (1 Korintus 7:3,4). 

Karena itu keromantisan dan gairah seksual tidak dilarang dilakukan oleh suami istri dalam komitmen pernikahan. Alkitab mengatakan “Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan istri masa mudamu: rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena cintanya” (Amsal 5:18-19).

Semua hubungan seks yang dilakukan di luar hubungan pernikahan merupakan sesuatu yang dilarang di dalam Alkitab. Penulis Kitab Ibrani mengatakan, “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan penzinah akan dihakimi Allah” (Ibrani 13:4). 

Perlu ditegaskan bahwa hubungan seksual yang terjadi sebelum pernikahan disebut “percabulan” (Kisah Para Rasul 15:20; 1 Korintus 6:18), sedangkan hubungan seksual yang dilakukan di luar hubungan pernikahan disebut “perzinahan” (Keluaran 20:14; Matius 19:9). Baik percabulan maupun perzinahan, keduanya sangat dilarang di dalam Alkitab. 

Josh McDowell mengatakan, “Dalam istilah Alkitab, imoralitas seksual adalah semua hubungan seks di luar pernikahan (termasuk sebelum menikah). Tuhan telah berbicara melalui hukum (firman), dan Dia telah menjadikan standarNya jelas: keterlibatan seksual di luar pernikahan itu salah”. 

Jadi untuk mencegah imoralitas seksual inilah mengapa kita menemukan bahwa saat Alkitab membicarakan tentang seks paling banyak ditulis dalam bentuk negasi yang tegas (Bandingkan Kisah Para Rasul 15:29; 1 Korintus 6:18; 10:8; Efesus 5:3; Kolose 3:5; 1 Tesalonika 4:5). Allah tahu bahwa kita membutuhkan penyalurah hasrat biologis kita, karena itulah pernikahan merupakan sarana untuk pasangan suami istri memenuhi hasrat biologis tersebut dengan cara yang memuaskan dan menyenangkan.

Prinsip hubungan seks yang baik adalah keterbukaan dan kejujuran dalam mengungkapkan kebutuhan masing-masing. Intinya, kegiatan seks bertujuan untuk dinikmati dan saling memuaskan, namun perlu dihindari adanya kesan mengeksploitasi pasangan. Kegiatan seks yang menyenangkan akan memberikan dampak positif bagi suami dan istri. 

Bahkan disinyalir, pasangan suami istri yang melakukan hubungan seks dengan rutin dan dan menikmati hubungan seks tersebut akan lebih sehat secara fisik dan psikologis, dan ini akhirnya membawa rumah tangga mereka menuju kebahagiaan. Karena itu frekuensi, posisi dan teknik hubungan seks suami dan istri sebaiknya tidak boleh dipaksakan melainkan sesuai dengan kehendak bersama yang bermanfaat bagi kedua pasangan. Mengenai hal kesatuan pasangan suami istri untuk saling menikmati kesenangan seksual ini akan saya bahas lebih lanjut di dalam pasal berikutnya yang membahas kekudusan seks di dalam pernikahan.

PILAR 4 # KESATUAN UNTUK MENDAPATKAN KETURUNAN (PROKREASI)

Pilar keempat dari tujuan pernikahan adalah kesatuan seksual antara pria dan wanita untuk menghasilkan keturunan (prokreasi). Perhatikan frase “menjadi satu daging” dalam ayat-ayat Kejadian 1:24; Matius 19:5; Markus 10:7; Efesus 5:31. 

Seks menurut Alkitab merupakan anugerah dari Tuhan kepada manusia. Tim Clinton dan Mark Laaser dalam bukunya Sex and Relationship menyatakan, “Seks adalah anugerah Allah. Dia menciptakan kita sebagai mahluk seksual, dan Dia menciptakan seks untuk suami istri”. Alkitab mencatat dalam Kejadian 1:28, bahwa Allah memberkati manusia (Adam dan Hawa) sebelum mereka diperintahkan “beranak cucu dan bertambah banyak”. 

Dengan demikian, peneguhan dan pemberkatan nikah haruslah mendahului penyatuan seksual, bukan sebaliknya. Untuk memenuhi mandat beranak cucu dan bertambah banyak tersebut manusia (suami istri) melakukannya dengan cara bersenggama (bersetubuh atau berhubungan kelamin). 

Allah Sang Pencipta, telah mendesain dan membuat alat reproduksi yang cocok bagi manusia sehingga mampu bereproduksi (menghasilkan keturunan), yaitu: (1) Bagi pria, sperma yang diproduksi seumur hidupnya; dan (2) Bagi wanita sel telur yang siap dibuahi dengan siklus kematangan 1 sel telur setiap bulan.

Sepasang suami istri yang melakukan hubungan seks menggunakan kesempatan untuk menikmati hak istimewa yang merupakan karunia Allah, yakni menciptakan suatu kehidupan baru, seorang manusia lain. Perlu diketahui bahwa di dalam tubuh seorang pria ada triliunan sperma yang diproduksi sepanjang hidupnya. 

Karena itu seorang pria dewasa yang sehat dapat mengeluarkan / melepaskan sekitar 400 juta sel sperma dalam 1 kali ejakulasi. Sedangkan seorang wanita yang telah melewati pubertas telah dilengkapi dengan sekitar 450 ribu bakal sel telur yang akan mengalami kematangan (siap dibuahi) rata-rata 1 sel telur setiap bulannya. 

Pertemuan antara sperma dan sel telur, atau sel telur yang dibuahi inilah yang akan menjadi cikal bakal embrio seorang manusia. Agar sperma dapat bertemu dengan sel telur maka cara yang dirancang oleh Pencipta adalah melalui hubungan seksual. Allah telah membuat organ reproduksi dan kelengkapannya bagi manusia, penis untuk pria dan vagina untuk wanita, sehingga dapat melakukan persetubuhan atau bersenggama (dalam konteks pernikahan) untuk mendapatkan keturunan (prokreasi). 

Alkitab menggambarkan persetubuhan suami istri ini dengan frase “menjadi satu daging” (Kejadian 2:24). Jadi dalam pernikahan seorang laki-laki tidak hanya “meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya” melainkan juga “menjadi satu daging” melalui hubungan dan penyatuan seksual.


BACA JUGA: PRINSIP-PRINSIP ABSOLUT PERNIKAHAN KRISTEN

Jadi di dalam pernikahan pasangan suami istri Kristen atas perkenan Tuhan mendapatkan keturunan ilahi. Nabi Maleakhi mengatakan “Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap istri dari masa mudanya” (Maleakhi 2:15). 

Keturunan ilahi artinya, adalah anak-anak yang memiliki karakter Allah. Keturunan ilahi bukan sekedar hasil dari suatu hubungan seks pasangan suami istri, melainkan juga keturunan yang dihasilkan oleh didikan, bimbingan, dan keteladanan dari orangtua. Untuk menghasilkan anak hanya diperlukan waktu 9 bulan 10 hari, tetapi untuk menghasilkan keturunan diperlukan waktu seumur hidup kita. Tetapi yang perlu diingat, meskipun pernikahan merupakan kesatuan seksual antara suami dan istri untuk menghasilkan keturunan, namun itu bukanlah merupakan satu-satunya tujuan. 

Pernikahan adalah suatu kesatuan relasional persahabatan dan juga kesatuan yang komplementer. Dan hubungan seks lebih dari sekedar perkembangbiakan (prokreasi) saja, tetapi juga untuk dinikmati dalam kesenangan (kreasi).

PILAR 5 # KESATUAN DALAM MENAMPILKAN CITRA ALLAH (REFLEKSI ILAHI)

Pilar kelima dari tujuan pernikahan Kristen adalah kesatuan yang menampilkan citra Allah. Menurut Alkitab, manusia adalah mahluk ciptaan yang berpribadi, yang diciptakan menurut rupa dan gambar Allah (Kejadian 1:26). 

Menurut Charles C. Ryrie dalam bukunya Teologi Dasar, kata Ibrani “gambar” adalah “tsalem” yang berarti gambar yang dihias, suatu bentuk dan figur yang representatif yaitu suatu gambar dalam pengertian yang konkret atau nyata. 

Kata Ibrani “rupa” adalah “demuth” yang mengacu pada arti kesamaan tapi lebih bersifat abstrak atau ideal. Menyatakan bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah berarti menjelaskan bahwa manusia dalam hal tertentu merupakan refleksi yang nyata dari Allah yang hidup, yang cerdas dan bermoral”. Dengan kata lain, manusia memiliki “citra” Allah di dalam dirinya. 

Namun menurut Eugene H. Merrill dalam bukunya Teologi Alkitabiah Perjanjian Lama mengatakan, “sejalan dengan disiplin keilmuan yang muncul belakangan, diyakini di sini bahwa terjemahan dari ‘betsaléménú’ (dalam gambar Kita) dan ‘kiemuthénú ú (menurut rupa Kita) seharusnya berbunyi ‘seperti gambar Kita dan menurut rupa Kita’. Artinya manusia bukanlah diciptakan dalam gambar Allah, dia adalah gambar Allah. 

Sebagaimana pada masyarakat Timur Dekat Kuno, gambar-gambar atau patung-patung mewakili dewa-dewa dan raja-raja, sehingga mereka pada akhirnya dapat saling dipertukarkan, demikian juga manusia sebagai gambar Allah diciptakan untuk mewakili Allah sendiri sebagai penguasa tertinggi atas semua ciptaan.

Dalam menampilkan citra Allah tersebut, manusia yang cerdas dan bermoral itu diberi mandat oleh Tuhan untuk menguasai, memelihara dan melestarikan seluruh ciptaanNya yang ada di bumi ini. Tuhan berfirman kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; Penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. (Kejadian 1:28). 

Sebelumnya dalam keputusan ilahi Tuhan telah berfirman, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi” (Kejadian 1:26). 

Di sini jelas bahwa Tuhan berbagi kekuasaan kepada manusia. Manusia mendapat mandat atau otoritas dari Allah untuk, menguasai, mengelola dan melestarikan ciptaanNya, serta menjalankan hidup mereka. Menurut Kejadian 1:26,28, kata Ibrani yang dipakai untuk kata “berkuasalah” adalah “rãdãh” dan kata “taklukkanlah” adalah “kãbaš” merupakan dua kata kerja bentuk imperatif mengandung arti kekuasaan, yang mengindikasikan bahwa manusia harus menguasai seluruh ciptaan Tuhan sebagaimana para raja Ibrani dikemudian hari menguasai rakyatnya. Raja-raja ini tidak boleh memerintah demi keuntungannya sendiri, melainkan demi kesejahteraan rakyat.

Namun, perlu diingat sebagai mahluk ciptaan, manusia tetaplah bergantung pada Tuhan bagi keberlangsungan hidupnya. Ia tidak bisa berdiri sendiri, hidupnya bergantung pada Allah Pencipta. Di dalam Allah manusia hidup, bergerak, dan bernafas (Kejadian 1:26; 2:7; Kisah Para Rasul 17:28). 

Sebagai mahluk berpribadi, manusia memiliki kemandirian yang relatif (tidak mutlak), dalam pengertian bahwa ia memiliki kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan membuat pilihan-pilihannya sendiri. Inilah yang menyebabkan manusia itu disebut sebagai manusia. Ia adalah satu-satunya mahluk ciptaan yang merefleksikan dan menampilkan citra Allah.

Pernikahan Kristen merupakan lembaga yang dirancang Allah agar manusia menampilkan citra Allah secara berkelanjutan. Sebagaimana Allah menciptakan Adam dan Hawa segambar dengan diriNya, maka keturunan manusia tersebut juga adalah representasi gambar Allah. Melalui lembaga pernikahan dan rumah tangga, manusia dipersiapkan untuk betul-betul menjadi manusia yang seutuhnya. 

Pasangan suami istri seharusnya bukan saja memiliki pengertian bahwa mereka melahirkan anak-anak, tetapi mereka melahirkan manusia yang mampu menampilkan citra Allah. Pengertian “melahirkan anak” dengan “melahirkan manusia” itu tidaklah sama. Melahirkan anak berarti bahwa anak akan terus dalam posisi sebagai anak seumur hidup dan diperlakukan sebagai anak terus menerus sekalipun ia sudah dewasa dan menikah.

Sedangkan melahirkan manusia berarti bahwa anak-anak diperlakukan sebagai manusia sekalipun ia adalah seorang anak. Menyadari akan hal ini maka ketika pria dan wanita menikah dan membentuk keluarga, mereka akan menghargai arti dari memiliki anak dalam keluarga dan mendidik anak mereka dengan benar dan bertanggung jawab. 

Jadi, melalui lembaga pernikahan orangtua dipanggil untuk terlibat dalam proses pendidikan yang paling efektif. Orangtua yang merefleksikan citra Allah, harus mendidik anak-anak mereka menjadi manusia yang juga merefleksikan citra Allah, dengan cara mendidik, mengajar, membimbing, dan memberi keteladanan kepada mereka.

BACA JUGA: ESENSI PERNIKAHAN KRISTEN

Bukan gereja dan bukan juga sekolah atau lembaga pendidikan lainnya yang ditetapkan Allah untuk membentuk manusia menjadi manusia seutuhnya tetapi keluarga. Werren W. Wiersbe dalam bukunya Tafsiran Surat Efesus mengatakan, “Alkitab tidak mengajarkan bahwa pendidikan anak-anak diserahkan kepada lembaga-lembaga lainnya di luar rumah tangga, walau bagaimanapun lembaga-lembaga itu mungkin dapat menolong. Pendidikan anak-anak dipercayakan Allah kepada orangtua”.

Setiap orang menjadi apa adanya diri mereka sekarang ini sebagian besar karena pengaruh keluarga (rumah tangga) yang membesarkannya. Dengan kata lain, keluarga adalah faktor kontribusi terbesar dan terpenting dalam menjadikan seseorang apa adanya orang tersebut. Jati diri dan kepribadian seseorang terbentuk dan dikembangkan oleh orang-orang di mana ia tumbuh bersama mereka. 

Semua orang bertumbuh menjadi dewasa, dan semua orang tumbuh dewasa di suatu tempat dalam lingkungan keluarga. Itu berarti keluarga berperan penting dalam pembentukan seseorang. Ahli pendidikan moral, Robert Coles mengakui bahwa keluarga merupakan lingkungan primer dalam membentuk kecerdasan moral anak. Sebelum anak menerima pengaruh dari teman sebaya dan guru di sekolah, ia sudah lebih dulu dibentuk ibu dan ayahnya, serta dipengaruhi saudara maupun pengasuhnya.https://teologiareformed.blogspot.com/

TUJUAN PERNIKAHAN KRISTEN.