Page 2
Kongres nasional ke- 18 PWI di Samarinda
ndang 2 ukum Sebaga Nasiora
Menurut rencana, Presiden Soeharto akan membuka Kongres ke-18 Persatuan Wartawan Indonesia di Samarinda, 28 November 1988, dan Wakil Presiden Sudharmono akan menutupnya tiga hari kemudian. Lima tahun lalu adalah juga Pak Harto yang membuka kongres nasional PWI di kota Manado, sedang penutupnya dilakukan oleh Pak Umar, waktu itu wakil Presiden. Korps wartawan Indonesia patut mencatat sebagai satu kehormatan besar, yang memiliki tempat dan arti tersendiri, betapa perhatian yang diberikan oleh para pimpinan negara terhadap kedudukan, peranan dan pengembangan wartawan dan kewartawanan di republik tercinta ini. Pengurus Pusat PWI telah menetapkan "Memantapkan Pers Pancasila Untuk Menyukseskan Pelita V" sebagai tema kongres. Para manggala pers nasional dari Aceh hingga Irian Jaya akan berkumpul di kota Kalimantan tersebut untuk menelaah apa kelak yang harus dirumuskan sebagai rancangan tugas-tugas memantapkan Pers Pancasila itu. Landasan-landasan untuk itu, yang bersifat nilai-nilai falsafat maupun normatif, sudah ada, sudah baku, dan tetap menjadi kesepakatan dan kebulatan tekad PWI dalam pola pikir, pola sikap dan pola perilaku serta dalam aktualisasi atau pelaksanaannya sebagai pengamalan Pancasila. Tetapi, karena pembangunan nasional merupakan gerakan besar yang bertahap dan berlanjut, tiap saat tertentu memanggil kita untuk melakukan pengenalan dan penyadaran ulang serta menajamkan fokus. Ibarat melaksanakan mawas diri-lah, Jelas, Pelita V adalah fokus sentral bangsa dan segenap lembaga-lembaganya dalam lima tahun mendatang. Ini merupakan masa konsolidasi sebelum memasuki tahap tinggal landas dalam pembangunan. Berarti, ini pun masa konsolidasi Sistem Pers Pancasila yang menuntut langkah-langkah nyata untuk menjamin bersih-, waspada-dan siaga-diri, kemandirian serta ketangguhannya. Page 3
nyimpangan-penyimpangan dapat diketahui sedini mungkin. Dengan membudayanya pengawasan diharapkan programprogram dapat berjalan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan. Sebab tanpa pengawasan kemungkinan terjadi penyimpangan-penyimpangan. Oleh karena itu masalah pengawasan mendapat perhatian yang cukup tinggi dalam Kabinet Pembangunan V. Untuk itu pers dituntut untuk ikut memasyarakatkan serta membudayakan pengawasan, baik pengawasan fungsional maupun pengawasan melekat. Pengertian dan kesadaran pengawasan di kalangan masyarakat perlu terus ditingkatkan. Karena dengan memasyarakatkan pengertian dan kesadaran pengawasan, akan berdampak positif, yakni dapat mendorong berkembangnya partisipasi aparatur pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Pengertian dan kesadaran tersebut diharapkan juga akan memulihkan kembali serta memperkuat nilai-nilai yang lemah dalam pemerintahan dan masyarakat sehingga jangan sampai perilaku penyimpangan menjalar menjadi realitas sosial yang seolah-olah justru menganggap penyimpangan merupakan suatu kelumrahan. Pengawasan melekat dengan sendirinya berlaku juga bagi masyarakat pers sendiri. Di dalam tubuh perusahaan penerbitan pers, yang mencakup wartawan dan karyawan umumnya, mulai dari eselon yang tertinggi, yaitu Pimpinan Umum dan Pemimpin Redaksi sampai kepada eselon yang terendah, pengawasan melekat perlu ditanamkan dan dimantapkan. Dalam hal ini norma-norma yang berlaku termasuk dalam pengawasan melekat itu tentu sudah dipahami dengan baik oleh masyarakat pers sendiri, yaitu etika pers nasional termasuk Kode Etik Jurnalistik dan semua ketentuan perundangundangan yang berlaku di negara kita mengenai pers nasional kita. Kita telah memiliki Etika Pers. Maka masalah "Etika Pers” adalah juga perlu mendapatkan perhatian kita bersama untuk dilaksanakan. Batasan Etika Pers, berhubungan erat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam falsafah Pancasila. Mengingat pentingnya peranan pers dalam melaksanakan fungsinya sebagai
Proses peningkatan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah bagian dari sasaran pesan-pesan pers yang disampaikan kepada khalayak, dengan berpedoman pada prioritas kepentingan nasional. Bersih Lingkungan Termasuk di dalam pengawasan melekat bagi masyarakat pers dan oleh masyarakat pers sendiri adalah bersihnya pers nasional dari unsur-unsur atau pengaruh-pengaruh yang bertentangan dengan falsafah bangsa kita, Pancasila. Mengingat pentingnya fungsi pers sebagai pembentuk opini masyarakat, maka kedudukan pers tidak kalah strategisnya dibanding dengan tanggung jawab aparat lainnya. Kedudukan yang strategis dan saling melengkapi, dalam arti dari segi negatifnya, pers dapat merusak, meracuni dan menghasut opini pribadi warga negara Indonesia secara individu dan masyarakat atau kelompok masyarakat secara kolektif, sehingga dapat mengakibatkan gangguan stabilitas keamanan, pada gilirannya terpaksa merepotkan aparat keamanan. Sebaiknya dari segi positifnya, pers dapat membina, mendidik dan membangun opini warganegara dan masyarakat
kita secara konstruktif dan dinamis, sehingga memperkuat atau memelihara bahkan memantapkan stabilitas nasional pada umumnya termasuk kestabilan di bidang keamanan. Oleh karena itu, pers nasional sebagai lembaga yang kadar strategisnya juga tinggi bobotnya, maka wajib menegaskan syarat mutlak "bersih lingkungan" bagi seluruh jajaran pers nasional dan keluarga besar pers nasional, termasuk lingkungan perusahaan percetakan pers, dan lain-lain yang langsung terkait. "Bersih lingkungan" yang kita maksudkan, yaitu bersih dari pengaruh dan kecenderungan berfaham ideologi Komunis. Jadi bukan saja bersih lingkungan dalam arti tidak boleh mempekerjakan sisa-sisa G.30.S/PKI di lingkungan media massa dan keluarga besar pers nasional, tetapi bersih lingkungan dari orang-orang yang condong berfaham atau mendukung faham Komunis. Di samping itu, sejalan dengan pentingnya "bersih lingkungan" dalam keluarga besar pers nasional kita, maka pers nasional hendaklah lebih aktif mendorong pelaksanaan krida yang langsung menyentuh sendi kemantapan ideologi bangsa kita, yaitu krida ketiga Kabinet Pemba
ngunan V, yang berbunyi sebagai berikut : "Membudayakan Ideologi Pancasila, Demokrasi Pancasila dan P4 (Eka Prasetia Pancakarsa) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara", Jadi pesan krida ketiga ini jelas, yaitu "membudayakan" Pancasila, jadi bukan menghayati dan mengamalkan saja tetapi "membudayakan” Pancasila, Demokrasi Pancasila dan P4 (Eka Prasetia Pancakarsa). Ada sejumlah 36 butir-butir dari Pedo Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), yang tercantum dalam TAP MPR No. Il Tahun 1978. Pers kita tidak boleh alpa dan kendor dalam mendorong peningkatan pelaksanaan TAP MPR tentang P4 tersebut. Panca Krida Kabinet Pembangunan V secara khusus menetapkan pentingnya membudayakan ideologi Pancasila yang perincian butir-butirnya terdapat dalam P4 tersebut. Karena itu sekali lagi saya menghimbau, agar sejalan dengan upaya kita bersama agar keluarga besar pers nasional itu benar-benar "bersih lingkungan”, maka tugas nasional dalam membudayakan ideologi Pancasila, Demokrasi Pancasila
SISTEM PERS PANCASILA DIPANDANG DARI SUDUT
Ceramah ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pers di Kota Padang
Tiap negara memiliki sistem pers sendiri-sendiri. Sistem itu sejalan dengan sistem ketatanegaraan yang merupakan cerminan dari falsafah atau ideologi yang . dianut oleh sesuatu bangsa. Penjabaran sistem pers tersebut diatur melalui hukum dan ketentuan-ketentuan yang membuat sistem tersebut dapat berjalan sesuai dengan fungsi dan peranannya pada masyarakat di mana pers itu berada. Bagaimanapun juga sistem politik dari suatu lingkungan sosial tertentu atau negara tertentu dengan sendirinya pula menentukan corak fungsi dan peranan persnya. Bahkan falsafah atau ideologi dan sistem ketatanegaraan dari suatu negara menentukan fungsi dan peranan persnya.
emikiran ini juga menyangkut ma salah tanggung jawab sosial pers. Tanggung jawab sosial pers bagi tiap negara selalu merupakan buah dari pandangan hidup, ideologi, dan falsafah bangsanya. Di kalangan pemikir pers atau ahli komunikasi massa di negara liberal atau Barat umumnya, teori tanggung jawab sosial pers (''social responsibility of the press'') selalu diartikan bahwa setiap sistem pers merupakan bentuk tanggung jawab sosial pers di negara bersangkutan. John C. Merrill, dari Universitas Missouri (A.S) dalam sebuah buku anthology yang disuntingnya bersama Heinz Deitrich Fischer dari Universitas Bochum dan Cologne (Jerman Barat) yang berjudul ''International Communication" mengatakan bahwa : "... all press systems conceiving of themselves as socially responsible". Artinya ialah bahwa semua sistem pers menganggap dirinya sebagai mempunyai tanggung jawab sosial Kalau kita mengikuti jalan pikiran di atas, dengan sendirinya pula tiap negara mempunyai perbedaan yang hakiki de
ngan negara lainnya dalam sistem pers yang dimilikinya. Bahwa perbedaan-perbedaan itu ada, itu sudah lumrah, tanpa menganggap bahwa yang satu lebih baik dari yang lain. Dalam buku karangan Fred S. Siebert, Theodore B. Petersen, dan Wilbur Schramm berjudul "Four Theories of the Press" yang terbit tahun 1956 dan telah menjadi salah satu buku yang terhitung klasik di bidang komunikasi massa disebutkan ada empat konsep atau teori pers di dunia ini, yakni; 1) pers otoriter, 2) pers liberal, 3) pers komunis, dan 4) pers bertanggung jawab sosial. William A. Hachten dalam bukunya "'The World News Prism" (1981) membagi pers dunia atas lima kategori yaitu : 1) pers otoriter, 2) pers liberal, 3) pers komunis, 4) pers revolusioner, dan 5) pers pembangunan atau disebut juga pers negara dunia ketiga. Dewasa ini kalangan ahli maupun praktisi di bidang komunikasi massa cenderung membedakan hanya tiga sistem atau
mutlak pers sebagai hak asasi manusia dengan fungsi sebagai alat kontrol sosial, alat mana tidak perlu dikontrol. Mengenai pers dunia ketiga sendiri, pada hakikatnya masih merupakan wiayah perdebatan yang sengit dan belum dapat dirumuskan secara jelas. Sebab masing-masing negara dunia ketiga, kecuali adanya satu persamaan dalam hal sedang berkembangnya", memiliki banyak perbedaan warna dan corak masyarakat, ideologi sosial-budaya, politik, nilai-nilai budaya dan beberapa hal yang esensial lainnya. Makalah ini tidaklah bermaksud membahas masing-masing konsep, teori, dan sistem pers seperti sudah disinggung di muka atau membandingkannya dengan Sistem Pers Pancasila, tetapi menjelaskan bagaimana sesungguhnya sistem Pers Pancasila itu dilaksanakan dipandang dari sudut ketatanegaraan dan hukum yang mengaturnya. Dalam hubungan ini ada baiknya kita telaah sejenak Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.
ada pada rakyat dan dilaksanakan oleh suatu lembaga yang mewakili rakyat (MPR, DPR) dan merumuskan kehendak rakyat dalam bentuk produk hukum. Jalan pikiran para pendiri negara Republik Indonesia mengenai negara termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pada pokoknya Pembukaan UUD 1945 menunjukkan adanya : 1. Negara persatuan yang melindungi se genap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan mengatasi segala pa ham golongan maupun perseorangan. 2. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. 3. Sesuai dengan sifat masyarakat Indo nesia, negara haruslah yang berkedaulatan rakyat berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan per wakilan 4. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Mahaesa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Empat pokok pikiran di atas jelas menunjukkan, para pendiri Negara Indonesia mengambil proses berpikir yang bersifat "integralistik" tentang Negara. Teori Negara yang dipilih ialah "teori integralistik" dengan mengambil pelajaran dari praktekpraktek kenegaraan yang ada, baik dari negara yang menganut sistem liberal maupun sosialis dengan mengutamakan
unsur-unsur yang ada di dalam kebudayaan dan sejarah bangsa Indonesia sendiri. Hasil final proses pemikiran tersebut dapat dikatakan merupakan kristalisasi dari upaya penyingkiran unsur-unsur negatif dan penyerapan unsur-unsur yang positif baik menyangkut aspek substansinya maupun aspek operasionalnya sejalan dengan suasana kebatinan bangsa Indonesia ketika itu. Rumusan yang lahir dari dialog nasional, yang diperoleh melalui perdebatan yang sengit, adalah amat penting dalam menjabarkan hal yang sifatnya fundamental yaitu falsafah atau ideologi Negara. Keempat pokok pikiran yang telah disebut terdahulu pada dasarnya merupakan penjabaran dari Pancasila seperti tertuang dalam alinea keempat dari UUD 1945. Masing-masing komponen saling berkait secara fungsional dalam proses menciptakan suatu sistem ketatanegaraan. Dalam UUD 1945 antara lain disebutkan : ...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar : 1) Ketuhanan Yang Mahaesa, 2) Kemanusian yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, dan 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pokok pikiran tersebut yang juga merupakan suatu pedoman mengenai pembentukan sistem pemerintahan negara yang dianut oleh pendiri Negara Republik Indonesia, menurut Penjelasan UUD 1945 meliputi tujuh aturan pokok yakni:
II. SISTEM KETATANEGARAAN RI Sistem ketatanegaraan yang dianut oleh Indonesia didasarkan atas teori negara modern dengan kekuasaan tertinggi ber
Undang Dasar 1945 itu. Demikian juga yang berkaitan dengan sistem pers nasional; ia harus dikembalikan kepada landasan konstitusional yaitu Pancasila itu sendiri.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Ia bukan seorang diktator walaupun ia bukan bertanggung jawab kepada Dewan. Bahkan ia harus memperhatikan suara Dewan. Kedudukan Dewan adalah kuat dan tidak dapat dibubarkan oleh Presiden seperti lazim-nya dalam sistem parlementer. Dewan senantiasa mengamat-amati tindakan Presiden dan apabila Presiden dianggap sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara, maka Majelis · dapat diundang untuk mengadakan sidang istimewa agar bisa meminta pertanggungjawaban kepada Presiden. Dari ketujuh aturan pokok tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pada prinsipnya Indonesia menolak sistem absolut atau sistem kediktatoran. Karenanya, meskipun dalam Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya tidak pernah disebut istilah demokrasi tetapi sistem pemerintahan negara Indonesia pada hakikatnya menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Penjelasan UUD 1945 1945 menyebutkan bahwa seluruh aturan pokok di atas tadi berlaku pula bagi aturan-aturan dasar tidak tertulis yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggara negara. Perspektif ketatanegaraan ini perlu dipahami secara mantap untuk dapat memahami secara tepat korelasinya dengan sistem pers, yang dianut oleh bangsa Indonesia. Karena sistem ketatanegaraan pada dasarnya menentukan sifat dan corak sistem pers yang dianut.
kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara dalam mencapai cita-cita nasional. 3. Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Segala keinginan rakyat haruslah dirumuskan oleh pemegang kedaulatan yang merupakan penjelmaan rakyat Indonesia, baik dalam bentuk Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan Majelis. 4. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawah Majelis. Jabatan Presiden sebagai Kepala Negara tidak diperoleh secara langsung dari rakyat sebagai sumber kewenangannya. Presiden merupakan Mandataris dari Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga pertanggungjawaban. 5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Di samping Presiden ada Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden selaku pemegang mandat dari Mejelis memegang kewenangan pembentukan Undang-undang dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara. Majelis selaku pemegang kedaulatan rakyat ikut menentukan pula tentang jalannya pemerintahan yang dalam hal ini dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden sebagai Mandataris tidak bertanggung jawab kepada Dewan dan tidak dapat diberhentikan oleh Dewan melainkan kepada Majelis yang menentukan kedudukannya. Sebaliknya Presiden juga tidak dapat membubarkan Dewan. Oleh sebab itu Presiden harus bekerja sama dengan Dewan di dalam menjalankan kewenangan membuat Undang-undang dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara. 6. Menteri negara ialah pembantu Presiden. Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kedudukannya tidak tergantung kepada Dewan sebagaimana lazimnya dalam sistem parlementer, tapi menteri adalah pembantu Presiden sebagaimana lazim dalam sistem Presidentil. Dewan bukannya lembaga yang berhak meminta pertanggungjawaban baik kepada Presiden maupun kepada Menteri.
Jadi Sistem Pers Pancasila sebagai subsistem dari sistem ketatanegaraan RI atau sistem nasional, sewajarnya mendukung berlangsungnya mekanisme sistem nasional tersebut. Penyimpangan (deviasi) yang terjadi dalam salah satu sistem maupun subsistem nasional lang. sung atau tidak langsung, akan mempengaruhi mekanisine sistem nasional secara keseluruhan. Dengan demikian Sistem Pers Pancasila haruslah pertama-tama disusun sejalan dengan sistem nasional dimaksud yang juga berarti tunduk kepada jalan pikiran pembentukan Undang-Undang Dasar 1945. Jelasnya jalan pikiran pembentukan sistem Pers Pancasila itu harus pula dikembalikan kepada jalan pikiran pembentukan Negara RI yang pada pokoknya ialah PANCASILA, yaitu : Pers yang dalam melaksanakan peranan dan fungsi kemasyarakatannya dalam mendukung sistem nasional memiliki rasa ketuhanan Yang Mahaesa, berkemanusian yang adil dan beradab, menjunjung tinggi rasa persatuan, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Seluruh pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyangkut 11 sistem yang meliputi 1) sistem
III. SISTEM PERS PANCASILA SEBAGAI BAGIAN SISTEM NASIONAL
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan pedoman bahwa pasal-pasal dalam UUD ialah penjabaran lebih lanjut dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, dan yang terutama adalah kelima sila dari Pancasila. PANCASILA bukanlah sekadar pemikiran yang tematis tetapi juga operatif. Bukan hanya sekadar isi dan wadah maupun alat mencapai tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara tetapi merupakan dasar negara, ideologi negara dan sekaligus tujuan nasional. Oleh sebab itu seluruh pasal-pasal dari Undang-Undang Dasar harus senantiasa dikembalikan pada hakikatnya yakni PANCASILA yang digariskan dalam Pembukaan Undang
Mewakili Menteri Penerangan, memberkan sambutan pada Lokakarya PWI Pusat di Palembang, April 1988. Page 4
Pengalaman-pengalaman pahit dalam sejarah bangsa kita di zaman Orde Lama lalu melandasi tekad Pemerintah Orde Baru untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Di bidang pembinaan dan pengembangan pers tekad tersebut tercermin pada perangkat hukum yang mengatur perikehidupan pers nasional, baik yang menyangkut idiil, profesional maupun pengusahaannya.
IV. ASPEK HUKUM SISTEM PERS PANCSILA
Undang-undang, 2) sistem negara, 3) sistem keuangan, 4) sistem pemerintahan, 5) sistem kehakiman, 6) sistem kewarganegaraan, 7) sistem kehidupan keagamaan, 8) sistem pertahanan negara, 9) sistem pendidikan dan kebudayaan, 10) sistem kesejahteraan sosial yang meliputi perekonomian, dan 11) sistem integrasi. Kesebelas sistem ini dapat disebutkan sebagai sistem nasional karena meliputi seluruh aspek kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan demikian, maka sistem nasional ialah seluruh totalitas kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang disusun berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Sistem Pers Pancasila sebagai salah satu unsur atau komponen kehidupan bermasyarakat dalam konteks sistem nasional, di dalam Undang-Undang Dasar 1945 termasuk dalam sistem kewarganegaraan yang diatur melalui Pasal 26, 27 dan 28. Pasal 28 menyebutkan : "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang". Kemudian di dalam Penjelasan UUD 45 yang menyangkut hal ini ditegaskan, "Pasal-pasal baik yang hanya mengenai warganegara maupun yang mengenai seluruh penduduk memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan". Berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, maka sistem pers di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang Pokok Pers No. 11 Tahun 1966, yang kemudian diamendir dengan Undangundang No. 4 Tahun 1967 dan disempurnakan dalam Undang-undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982. Agar jangan salah tafsir mengenai prinsip kebebasan pers yang dianut oleh Indonesia, pasal ini tidak boleh dilihat sebagai berdiri sendiri tetapi harus dikembalikan pada korelasi keseluruhan pasal dengan Pembukaan UUD 1945 maupun Penjelasan UUD tersebut. Dengan demikian sistem pers harus dikembalikan pada pokok-pokok pikiran yang termuat dalam seluruh pembentukan konstitusi
A. LANDASAN-LANDASAN Berbicara mengenai aspek hukum Sistem Pers Pancasila, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari beberapa persoalan yang menyangkut aspek-aspek yuridis mengenai pers. Aspek-aspek tersebut menyangkut kebebasan pers beserta pembatasan-pembatasan yang dipandang sah dan konstitusional. Aspek lainnya adalah persoalan pertanggung jawaban pidana atas isi dari tulisan dalam pers. Hak Jawab pembaca dan Hak Tolak wartawan. Demikian pula peraturan-peraturan tentang perusahaan penerbitan pers.
Aspek-aspek hukum pers tersebut tidaklah sempit sifatnya yang hanya dihubungkan dengan peraturan-peraturan hukum, melainkan mempunyai pengertian yang lebih luas, baik yang menyangkut peraturan-peraturan yang dituangkan dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis.
Pembinaan pers nasional Indonesia, dalam Sistem Pers Pancasila, dalam penjabarannya mempunyai beberapa landasan pokok yang dipakai sebagai pedoman, yaitu : 1. Landasan Idiil : Pancasila. 2. Landasan Konstitusional : Undang Undang Dasar 1945. 3. Landasan Strategis : Ketetapan MPR,
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka Pancasila dapat dikatakan mempunyai kedudukan tertinggi dalam tata urutan perundangan di negara kita, meskipun di dalamnya tidak terdapat pasal-pasal maupun ayat-ayat seperti lazimnya dalam suatu perundang-undangan. Pancasila sebagai landasan idiil dalam pembinaan pers nasional, sekaligus merupakan sumber hukum dari aspek-aspek hukum Sistem Pers Pancasila. Dengan kata lain, aspek-aspek hukum yang berlaku dalam Sistem Pers Pancasila bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yakni : 1. Ketuhanan Yang Mahaesa; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawarat an/Perwakilan; 5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan konstitusional pers nasional merupakan hukum dasar tertulis, yang juga merupakan sumber hukum tertinggi bagi seluruh hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk hukum mengenai pers. Sebagai hukum dasar tertulis, Undang-Undang Dasar 1945 mengakui adanya hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara. Hukum dasar yang tidak tertulis tersebut lazim disebut sebagai konvensi-konvensi dalam hukum ketatanegaraan Indonesia. GBHN dan Sistem Pers Pancasila Aspek hukum lain dari Sistem Pers Pancasila adalah Garis-garis Besar Haluan Negara yang merupakan landasan strategis dari pers nasional. Garis-garis Besar Haluan Negara mengatakan tentang penerangan dan media massa yang dengan sendirinya mencakup aspek pers sebagai berikut : "Pembinaan dan pengembangan media massa nasional harus berdasarkan semangat dan jiwa Pancasila, agar media
massa mampu menunjang pembangunan masyarakat Pancasila". Selanjutnya GBHN menegaskan sebagai berikut : "Penerangan dan media massa sebagai sarana penghubung bangsa, harus dapat membudayakan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 dalam semua segi kehidupan masyarakat dan meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara seluruh rakyat Indonesia. Dalam rangka ini peranan penerangan dan media massa dalam memasyarakatkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) perlu lebih ditingkatkan". Lebih lanjut GBHN mengatakan : "Dalam rangka meningkatkan peranan pers dalam pembangunan perlu ditingkatkan usaha pengembangan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab, yaitu pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif, melakukan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat. Dalam hal itu maka perlu dikembangkan interaksi positif antara pers, Pemerintah dan masyarakat". GBHN sebagai landasan strategis dari pers nasional merupakan dasar hukum yang dijabarkan dalam bentuk Undangundang dan ketentuan-ketentuan hukum lainnya. Undang-undang Pokok Pers Aspek hukum Sistem Pers Pancasila yang menyangkut Undang-undang Pokok Pers tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang merupakan penyempurnaan atas Undang-undang No. 11 Tahun 1966. Satu pasal yang amat penting dalam Undang-undang No. 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers karena sifatnya yang fundamental yang menyangkut fungsi, kewajiban dan hak pers ialah dalam Bab II, pasal 2 ayat 2 dan 3, yang wajib dipahami, dihayati dan ditaati oleh setiap wartawan Indonesia dari reporter di lapangan sampai ke Pimpinan Redaksi dan Pimpinan Umum. Pasal 2 ayat 2 dari Undang-undang No. 21 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers berbunyi sebagai berikut :
"Pers nasional bertugas dan berkewajiban : a. Melestarikan dan memasyarakatkan Pancasila sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pedoman Peng hayatan dan Pengamalan Pancasila; b. Memperjuangkan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat berlandaskan Demokrasi Pancasila; c. Memperjuangkan kebenaran dan ke adilan atas dasar kebebasan pers yang bertanggung jawab; d. Menggelorakan semangat pengabdian perjuangan bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional, mempertebal rasa tanggung jawab dan disiplin nasional, membantu meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa serta menggairahkan partisipasi rakyat dalam pembangunan; e. Memperjuangkan terwujudnya internasional baru di bidang informasi dan komunikasi atas dasar kepentingan nasional dan percaya pada kekuatan diri sendiri dalam menjalin kerja sama regional, antar-regional dan internasional khususnya di bidang pers".
Pasal 2 ayat 3 dari Undang-undang No. 21 Tahun 1982 bersumber dari isi GBHN yang tadi telah dikutip, dan merupakan ayat yang penting karena meletakkan atau mendefinisikan peranan dan fungsi pers, yaitu sebagai berikut : "Dalam rangka meningkatkan peranannya dalam pembangunan, pers berfungsi sebagai penyebar informasi yang obyektif, menyalurkan aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara Pemerintah, pers dan masyarakat”.
Pasal 3 dari Undang-undang No. 21 Tahun 1982 merumuskan hak pers sebagai berikut : "Pers mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat konstruktif".
Pasal 2 ayat 2 dan 3 serta pasal 3 di atas menjadi sangat penting, karena dalam Undang-undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, khususnya pasal 14 ayat (4) ditegaskan sebagai berikut :
Dalam pasal ini terdapat 8 ayat yang menarik tentang cara pemberitaan dan menyatakan pendapat. Pasal-pasal lain dari Kode Etik Jurnalistik antara lain yang mengatur tentang Hak Jawab (pasal 4), Sumber Berita (pasal 5), dan yang terakhir, pasal 6, memuat tentang Kekuatan Kode Etik. Apabila semua anggota PWI benarbenar memahami, menghayati dan mengamalkan Kode Etik Jurnalistik sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia sendiri maka rasanya tidak perlu timbul persoal an-persoalan yang tidak dikehendaki, baik oleh wartawan itu sendiri, masyarakat yang kebetulan menjadi objek berita, maupun Pemerintah.
"Pimpinan umum, Pimpinan Redaksi dan Pimpinan Perusahaan harus memahami benar-benar kedudukan dan fungsi pers seperti yang dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang ini". Dan pasal 16 ayat (1) b dari Undangundang No. 11 Tahun 1966 itu menentukan syarat-syarat untuk menjadi wartawan sebagai berikut : "Memahami sepenuhnya kedudukan, fungsi dan kewajiban pers sebagai tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang ini". Jadi kalau Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi, Pimpinan Perusahaan dan wartawan tidak "memahami benar-benar kedudukan dan fungsi pers seperti yang dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang ini" maka menurut ketentuan di atas itu bertentangan dengan Undang-undang Nilai-nilai Kemasyarakatan Sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat bangsa Indonesia dapat dipandang sebagai aspek hukum tak tertulis dari Sistem Pers Pancasila, yang dalam pembinaan pers nasional, nilai-nilai tersebut merupakan landasan kemasyarakatan dari pers. Falsafah Pancasila yang menjadi dasar sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat juga menentukan corak, sifat dan kedudukan persnya. Nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang berlaku di dunia Barat misalnya secara alamiah berbeda dengan nilai-nilai yang berlaku di Indonesia. Namun demikian tidak dapat dihindarkan bahwa nilainilai yang berlaku di negara yang satu memperoleh masukan atau pengaruh dari bangsa lain dalam proses hubungan antarmanusia dan antarbangsa. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang sangat pesat, yang membuat hubungan antarbangsa yang semakin intensif dengan berbagai kemudahan, sehingga dunia ini terasa semakin kecil dan interaksi serta interdependensi antarbangsa semakin terasa. Apabila ada aspek-aspek positif pengaruh nilai budaya luar, biasanya ia tersaring dan tersesuaikan secara alamiah dengan kondisi setempat. Namun ini tidak berarti bahwa aspek-aspek negatif dari budaya luar itu tidak bisa menembus ke Budaya kita. Justru aspek-aspek negatif inilah yang harus dihindari.
B. BIDANG PENGUSAHAAN PERS Pada uraian terdahulu telah dikemukakan berbagai aspek hukum Sistem Pers Pancasila di bidang idil dan profesional. Maka pada uraian ini akan kita bahas mengenai aspek hukum sistem pers yang menyangkut bidang pengusahaannya. Aspek hukum segi pengusahaan yang menjadi dasar Sistem Pers Pancasila adalah pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut : "'Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Kemudian dalam penjelasan Pasal 33 dari UUD 1945 disebutkan sebagai berikut : "'Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasai atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi". Dari pasal 33 beserta penjelasannya ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam mengelola ekonomi bentuk perusahaan yang paling sesuai adalah Koperasi, atau setidak-tidaknya yang didasari kekeluargaan dan kebersamaan yang sesungguhnya merupakan hakikat koperasi itu sendiri. Demikianlah pula dalam pengusahaan pers, segi pengusahaannya yang paling sesuai adalah yang mencerminkan usaha bersama dan berdasar atas asas kekeluargaan, karena dengan asas ini
Pokok Pers memiliki ciri-ciri yang positif dalam rangka mendorong tumbụh dan berkembangnya perusahaan pers yakni adanya ketentuan yang berlaku bagi perusahaan pers yang tadinya memerlukan SIT (Surat Izin Terbit) dan telah diubah menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Pada dasarnya hakikat SIUPP adalah untuk mewujudkan kehidupan pers yang dalam segi idiil berjiwakan pasal 28 UUD 1945 dan segi manajemennya berdasarkan pasal 33 UUD 1945. Sedangkan media periklanan pada prinsipnya merupakan hal yang positif, karena iklan selain menunjang kehidupan perusahaan pers, juga bagi masyarakat merupakan sarana komunikasi yang praktis antara produsen dan konsumen. Bahkan dalam Undang-undang Pokok Pers ditegaskan bahwa adanya iklan memang sangat diperlukan oleh perusahaan pers. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan Usaha Bersama Aspek hukum yang menyangkut SIUPP seperti tercantum dalam Undang-undang No. 21 Tahun 1982 lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Penerangan RI
No. 01/PER/MENPEN/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Diberlakukannya Peraturan Menteri Penerangan RI No. 01/PER/MENPEN 1984 tentang SIUPP tersebut seperti disebutkan tadi mencerminkan pasal 33 UUD 1945 dalam rangka mewujudkan Sistem Pers Pancasila dalam bidang pengusahaannya. Pasal-pasal yang menggambarkan pencerminan dari jiwa dengan asas usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan tersebut adalah pasal 16, yang uraiannya adalah sebagai berikut : (1) Perusahaan/penerbit
perusahaan tidak semata-mata mencari keuntungan akan tetapi lebih mencerminkan kebersamaan, termasuk kebersamaan dalam rasa memiliki perusahaan pers tersebut. Meskipun dalam kenyataan banyak perusahaan pers nasional berbeniuk hukum Perseroan Terbatas (P.T.) hal ini disebabkan oleh alasan bahwa bentuk perusahaan tersebut lebih lugas dan mudah dikendalikan dari segi manajemennya. Namun demikian, bentuk-bentuk badan usaha lain di luar koperasi pun dapat diselenggarakan sesuai dengan jiwa pasal 33 UUD 1945, karena yang terpenting disini bukan bentuknya saja, tetapi jiwa penjabarannya. Dalam hubungan ini, adanya ketentuan tentang diperuntukkannya sekurangkurangnya 20% dari modal perusahaan bagi seluruh wartawan/karyawan secara kolektif sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Penerangan RI No. 01/PER/MENPEN/1984, pasal 16 a mencerminkan asas gotong-royong dan koperasi sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUD 1945. Hal ini dilaksanakan oleh penerbitanpenerbitan pers, namun belum semua penerbitan pers di seluruh Indonesia, karena kondisi intern perusahaan pers yang bersangkutan. Namun asas gotongroyong dan kebersamaan ini telah menjadi ketentuan yang harus dilaksanakan oleh semua perusahaan penerbitan pers. Undang-undang No. 11 Tahun 1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1967 dan disempurnakan dengan Undang-undang No. 21 Tahun 1982, memberikan jaminan hukum kepada pers nasional agar dapat menjalankan fungsinya dengan sebaikbaiknya, dapat melaksanakan tugas kewajibannya dan menggunakan hak-haknya serta menyongsong perkembangan di masa mendatang akibat kemajuan ilmu dan teknologi di segala bidang, khususnya bidang pers. Dalam Undang-undang Pokok Pers terdapat Bab yang mengatur mengenai perusahaan pers, karena pers juga harus didukung secara finansial dan materiil agar dapat tetap bertahan hidup, bahkan diharapkan dapat semakin tumbuh dan berkembang. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan justru Undang-undang
memperoleh kesempatan diikutsertakan dalam pemilikan tidak le bih dari 10 (sepuluh) tahun; c. Saham atau bentuk pemilikan lain nya sebagaimana dimaksud ayat (1) a pasal ini tidak boleh jatuh ke tangan orang yang bukan karyawan perusahaan/penerbit pers yang bersangkutan, dan oleh karenanya pemilikan saham atau bentuk pemilikan lainnya oleh wartawan dan karyawan pers ber sifat kolektif. Dengan adanya ketentuan tentang saham atau bentuk pemilikan lainnya tersebut, hubungan pengusaha dan karyawan bukan lagi sekadar hubungan antara pengusaha yang memberi upah dengan buruh yang mendapat upah, melainkan telah meningkat menjadi semacam usaha bersama karena karyawan juga merasa turut memiliki perusahaan tempatnya bekerja.
7. Sistem Pers Pancasila, sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara menganut prinsip pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab. Sehat isi dan pengusahaannya dan bebas disertai tanggung jawab dalam pemberitaannya. 8. Di samping Undang-undang dan peraturan peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan pers, keputusan-keputusan lembaga yang ditetapkan oleh Undang-undang, yaitu Dewan Pers dan ketentuan-ketentuan pokok yang ditentukan oleh masyarakat pers sendiri, seperti Kode Etik Jurnalistik merupakan pedoman-pedoman yang patut diperhatikan dan ditaati oleh masyarakat pers. 9. Mekanisme interaksi positif antara Pemerintah, pers dan masyarakat merupakan sarana yang dampaknya saling menguntungkan dan saling mengisi antara tiga komponen utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana Pemerintah memerlukan pers, pers juga memerlukan Pemerintah, sedangkan Pemerintah bersama pers berfungsi melayani masyarakat yang memerlukan baik Pemerintah maupun pers. Ketiga unsur tersebut dalam interaksi positifnya bahu-membahu melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
V. BEBERAPA KESIMPULAN Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan pokok-pokok sebagai berikut : 1. Sistem Pers Pancasila adalah sistem pers yang didasarkan kepada lima sila seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu : Ketuhanan Yang Mahaesa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Sistem Pers Pancasila merupakan subsistem dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, yaitu sistem nasional yang didasarkan pada Ideologi Pancasila. 3. Sistem Pers Pancasila tidak berada di luar sistem nasional, tetapi merupakan bagian integral dari pada sistem nasional. Dengan demikian Sistem Pers Pancasila tersebut turut mendukung dan menyukseskan sistem nasional melalui pembangunan nasional, karena pembangunan nasional adalah pengamalan Pancasila. 4. Perintah pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undangundang" dalam kaitannya dengan pers
Page 5
PENDEKATAN KELEMBAGAAN SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN DISIPLIN NASIONAL
Disiplin adalah sesuatu yang mengikat, meskipun di dalam banyak hal ikatan itu tidak mempunyai sanksi-sanski, terkecuali untuk lingkungan-lingkungan di mana disiplin itu dianggap sebagai satu aturan. Di dalam pengalamannya disiplin dapat dilihat di dalam 2 kaitan, yakni kaitan extern 'dan kaitan intern.
Dalam kaitan extern disiplin biasanya
peranan Pers dalam menumbuhkan di- Dalam kaitan tersebut tolok ukur yang siplin nasional" berarti membahas digunakan tentulah tolok ukur pembangunlingkup masyarakat yang khusus, sedang- peranan-peranan perangkat pembangun- an itu sendiri, yakni Pancasila dan UUD 45 kan dalam lingkup pengertian intern di- an nasional yang berstatus supra struktur sebagai kaidah-kaidah pokok dengan kesiplin lebih banyak mencerminkan sifat di satu pihak dan infra struktur di lain bhineka tunggal ikaan sebagai rujukan. dan watak pribadi sebagai manifestasi dari pihak. Dengan kaidah pokok dan rujukan sesikap mental dan perilaku. Menjadikan disiplin nasional sebagai perti itu, kerancuan dalam interaksi antar Disiplin juga dapat dilihat dalam kaitan tolok ukur pengembangan kedua perang- perangkat pembangunan yang hendak dikebudayaan dan adat istiadat sebagai kat pembangunan nasional itu, tentulah kaji dalam kaitan disiplin nasional, dapat pencerminan konsensus ataupun tata pula tidak luput dari pengkajian interaksi dihindarkan. Bahkan dengan tolok ukur se norma yang diciptakan oleh lingkungan peranan-peranan kedua perangkat pem- perti itu sentuhan pembahasan dapat dikem masyarakat tertentu. bangunan nasional tersebut. bangkan dalam pendekatan tata ke sisteman. Di dalam kerangka disi Dengan pendekatan ke plin nasional kiranya yang sisteman kita maksudkan hendak diupayakan adalah memperjelas output positif tumbuhnya peran serta ma dari interaksi antara supra syarakat untuk menertib dan infrastruktur, untuk kan dan mengendalikan di dan sebagai mekanisme ri sebagai keluarga masya pembangunan yang berrakat, bangsa dan negara. jalan serentak antara sekDalam kaitan itu tidaklah tor Pemerintah dan sektor mungkin dilepaskan faktor Masyarakat penalaran terhadap tujuan Page 6
Pada pihak lain, kita mencatat adanya pandangan yang hanya mengandalkan segi idiil pers tanpa dukungan kemampuan manajemen dan industrinya. Hal ini menimbulkan kelemahan-kelemahan yang mendasar, dan cukup parah, dalam pengelolaan penerbitan. Pers yang mengalami keadaan seperti ini akan sukar bahkan tidak akan mampu berkembang lebih jauh.
Pada satu pihak, segi industri pers nasional lebih dititik beratkan kepada kehadiran dan kedudukan pers sebagai komoditi pasar. Atau, segi industri pers dianggap sederajat atau identik dengan segi komersial. Sebagai implikasinya, pers harus memenuhi tuntutan pasar atau selera pembeli. Pola pikir ini merumuskan konsep berita sebagai informasi yang harus menarik bagi pembaca sehingga mampu menumbuhka minat beli. Dalam bentuk ekstrimnya, berita buruk ialah berita baik karena dapat dijual di pasaran, sedangkan sebaliknya berita baik tidak akan laku. Ini berarti bahwa hubungan antara pengelola penerbitan dengan masyarakat pembaca menjadi suatu hubungan produsen-konsumen semata. Penyimpangan keberadaan pers nasional sebagai suatu industri ke arah yang tidak diinginkan masih dapat dikendalikan - dengan kebijakan-kebijakan politik, seperti yang sudah sejak lama dilaksanakan di Barat sendiri. Juga di Indonesia pola hubungan produsen-konsumen dalam perkembangan pers nasional belum lagi merupakan gejala umum. Namun langkah pembatasan yang diambil telah menimbulkan usaha-usaha diversifikasi modal dari pers ke bidang non-pers. Bersamaan dengan itu, sukses sebagian pers rupanya telah menjadi satu daya pikat tersendiri bagi pemodal non-pers untuk melakukan investasi di bidang pers.
Ringkasnya, penerbitan besar (yang juga selalu disebut pers kuat), penerbitan berukuran menengah maupun yang kecil sama-sama harus mawas diri dan menjaga diri untuk dapat bertahan lama. Memang, kita tidak dapat menyangkal adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi perbedaan dalam perkembangan pers nasional selama kurun waktu dua dasawarsa belakangan ini. Pada dasarnya suatu penerbitan mampu mencapai kemajuan pesat karena berhasil memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia maupun yang potensial. Misalnya, letak geografis, jumlah penduduk, jaringan transportasi (termasuk jadual penerbangan yang menguntungkan), pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Faktor-faktor ini jelas tidak sama untuk semua wilayah atau provinsi. Perbedaan peluang pada gilirannya mengakibatkan perbedaan perkembangan. 3. Daerah padat-daerah senggang Perbedaan kondisi geografis dan ekonomi yang menimbulkan perbedaan peluang dan potensi antara satu wilayah atau provinsi dengan yang lain juga merupakan salah satu penyebab yang logis dari adanya daerah yang padat dengan media, walaupun tidak semuanya sehat, dan daerah yang tertinggal dalam pembangunan persnya. Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin dan Ujung Pandang merupakan sentra-sentra pertumbuhan pers yang relatif mapan. Pada posisi di bawahnya ialah Bandar Lampung, Pontianak, Samarinda dan Manado. Penerbitan-penerbitan dari Medan sampai Manado tersebut mendapat sambutan positif dari masyarakat pembaca. Indikatornya antara lainnya ialah minat beli pembaca dan dukungan dunia bisnis melalui periklanan. Ibukota-ibukota provinsi lain, karena berbagai kendala yang dihadapi, agaknya masih bergulat untuk mendirikan pers yang stabil. Strategi pembangunan pers. Sebagaiman semua kita mengetahui pola dasar pembangunan pers nasional tercantum dalam GBHN. Dalam GBHN tahun 1983, asas "pemerataan informasi" dikaitkan dengan peningkatan pelaksanaan Koran Masuk Desa (KMD). Dalam Dipindahkan ke halaman 39. Page 7
Untuk meningkatkan I DLULAKKE Kepala Redaksi Interarus pertukaran berita, nasional (dulu namanya para juru bicara kantor 7TH OANA GENERAL ASSEMBLY Kepala Redaksi Inggeberita dalam pertemuan ris. itu lebih mengarah imJULY 27-29 1988 Sementara itu, urusan bauan mereka bagi JAKARTA INDONESIA penyiaran di dalam nepenurunan tarif teleko geri ditangani oleh meja munikasi kepada pemerintah masing-masing. OPENED sunting luar-negeri in donesia di bawah keSuasana konfrontasi pala Redaksi Umum dengan pers negara untuk yang berbahasa Indonesia, sedangkan negara maju hampir tak terasakan dalam peter yang berbahasa Inggemuan-pertemuan itu. ris ditangan meja sunKata "confrontation" ting luar-negeri Inggeris (konfrontasi) telah se (Foreign News Desk) di makin digantikan oleh bawah Kepala Redaksi kata ''competition" (per Internasional. saingan) bahkan "CO Sekalipun masih seoperation" (kerjasama). ring terdengar keluhan dari end-users, terutaUsaha nyata ASEAN ma yang menyangkut Pertemuan Redaktur masalah kwalitas berita ASEAN di Bali itu ada dan kecepatan penyamlah pertemuan tukar paiannya, ANEX telah pendapat antara kantor memberikan sumbangberita ASEAN dengan Usai membuka Sidang OANA (Organization of ASIA-Fasific News Agencies) ke-7, an penting bagi usaha para endusers (Peng Menteri Penerangan H. Harmoko memberikan ucapan selamat kepada Sekretaris peliputan kawasan ASEguna jasa terakhir me Jenderal OANA, P.K. Bandyopadhayay dan Presiden OANA P. Unni Krishnan (tidak AN. Ini terbukti dengan reka, yakni media mas tampak) dan Ketua Delegasi LKBN. ANTARA Handjoyo Nitimihardjo (tengah) diadakannya rubrik ASEsa, baik cetak maupun (ANTARA) AN oleh hampir media elektronik. massa anggota ASEAN. Seperti biasanya, pertemuan itu menjadi akhir), yakni surat kabar, majalah, radio Khusus untuk ANTARA, kelemahan ajang bagi penyampaian keluhan dan dan televisi. dalam pelayanan ke luar negeri terutama saran-saran para end-users kepada ke disebabkan sedikitnya jumlah tenaga ANEX ini berfungsi sebagai pool dengan empat kantor berita ASEAN, yakni ANseorang koordinator regional kini berke yang mampu membuat berita sekaligus TARA, Bernama (Malaysia), TNA (Thai dalam bahasa Inggeris untuk kemudian dudukan di Bernama, Kuala Lumpur. Maland) dan PNA (Filipina). Singapura dan dikirim langsung kepada pusat redistribusi Brunei Darussalam belum mempunyai sing-masing anggota ANEX mengirim be ANEX. Berita-berita tentang ASEAN yang rita-beritanya (dalam bahasa Inggeris) ke kantor berita sendiri, tetapi mereka diwakili dihasilkan wartawan ANTARA selama ini pusat redistribusi di Bernama yang kedalam pertemuan itu. ditulis dalam bahasa Indonesia dan baru mudian secara otomatis lewat komputer Untuk memenuhi permintaan para end- diteruskan kepada anggota lainnya. kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa user, keempat kantor berita itu melancar Inggeris. Ini jelas memakan waktu, yang Page 8
(ii) Pengolahan Data (Data Processing) (iii) Grafika Dengan Komputer (Computer
Situasi di atas menyebabkan fungsi grafika pers akan lebih banyak pada teknik-teknik distribusi informasi daripada grafika pers konvensional. Sedang 'pembaca' pers 'narrowcasting' ini menjadi makin sulit diajak melihat iklan. Grafika periklanan melalui media ini pun perlu mengalami perubahan drastis. Kegiatan pro duksi berkurang, tetapi frekuensi eksposur ir meningkat sekali. Teknologi informasi juga melahirkan media-media baru, yang semuanya berebut memperoleh waktu dan perhatian khalayaknya, sejalan dengan dipaksanya para komunikator (termasuk pemerintah) untuk menggunakan sebanyak mungkin media agar tetap efektif. Jika kecenderungan peningkatan anggaran periklanan di Indonesia tetap seperti sekarang (ratarata 11.9 % pertahun pada 1975 = 1985), maka pasar massa akan lebih cepat bergeser ke pasar spesialis. Kecenderungan ini dapat kita lihat pula dari kenyataan di Amerika Serikat saat ini, di mana DRA (Direct Response Advertising) merupakan media yang paling cepat pertumbuhannya dalam 5 tahun terakhir ini. Pengaruh Teknologi Informasi Terhadap Usaha Periklanan Lompatan teknologi informasi yang terjadi dan telah memberi dampak pada banyak bidang usaha, juga mempengaruhi usaha periklanan. Seperti juga usaha-usaha lain, terdapat 4 hal terpadu yang selalu berkaitan dengan teknologi informasi ini, yaitu : (i) tomatisasi Kantor (Office Automation)
Implikasi dari kecenderungan pada butir 8 di atas terhadap perencanaan kampanye periklanan adalah : (i) Dari segi media, diperlukan : a) Sentralisasi terhadap semua pe ngelolaan kampanye di media. b) Paduan media (media mix) yang 'lebih nasional dan atau 'lebih in ternasional'. (ii) Dari segi kreatif, diperlukan : a) Lebih beragam perangkat-benak untuk menciptakan pesan iklan yang pas dengan media yang luas, tetapi memiliki khalayak sasaran yang re latif sempit b) Tema kampanye yang 'lebih na sional' dan atau 'lebih internasional'. Kekhasan lokal menjadi pelengkap. (iii) Dari segi media dan kreatif : Mengetahui siapa khalayak sasaran sesuatu produk akan makin sulit, karena sikap dan tingkah-laku manusia menjadi tugas yang lebih daripada tugas mengatasi masalah-masalah fisik lainnya. Masalah ini pun akan tetap menjadi masalah terbesar dalam sektor komunikasi nanti.
Penetapan Kebijaksanaan Perkembangan makro di bidang teknologi dan ekonomi, di seluruh dunia, telah menjadi dilema bagi pemerintah negara masing-masing dalam menetapkan kebijaksanaan di bidang komunikasi. Hal ini bukan saja karena ditembusnya batas-batas kedaulatan negara oleh berbagai media (terutama media elektronik),
nya masing-masing. Bagi dalam kaitan perangkat keras dengan perangkat lunak; jaringan dengan isi; maupun antara sistem dengan media.
tetapi yang lebih serius lagi adalah, tereksposnya masyarakat negara-negara tersebut pada nilai-nilai kultural yang tidak selalu sama dengan yang mereka miliki. Belum lagi jika kita perhitungkan dampak ekonominya dari situasi ini bagi penghasilan negara dan masyarakat. Di Indonesia, saat ini pun kita telah menyaksikan banyaknya antena DBS yang dapat menangkap siaran-siaran TV luar negeri, dan kita diekspos dengan iklan-iklan dari Malaysia dan Muangthai. Dan sebentar lagi makin banyak pula orang yang senang produk-produk Singapura, Filipina, Jepang dan Australia. Mudah-mudahan tidak ada
produsen yang berfikir untuk memasang iklan di negara-negara ini. Ahli-ahli media dunia dalam menduga penetapan kebijakan di bidang media komunikasi ini berpendapat: (i) Masalah terbesar adalah pada upaya penetapan kebijakan itu sendiri, bukan pada upaya penguasaan tekno loginya. (ii) Meskipun kelihatannya tidak demi kian, tetapi sebenarnya hampir semua negara masih mencari-cari, cara terbaik dalam menetapkan kebijakan komunikasi yang sesuai bagi negara
(iii) Amerika Serikat akan tetap menjadi contoh bagi pengambilan kebijaksanaan sistem komunikasi di masingmasing negara. Bukan hanya karena Amerika Serikat merupakan negara termaju dalam teknologi ini, tetapi terutama karena, separuh dari ahli komunikasi dan badan-badan penguasa komunikasi dunia berkumpul di sana.
THE 13th JAKARTA
Menteri Penerangan H. Harmoko ketika membuka Pertemuan Komite Koordinasi Pool Kantor Berita Non-Blok ke-13 di Hotel Horison, Jakarta, Rabu malam 28 September 1988. (ANTARA)
Jumlah pembicara Indonesia, yang bisa kita sebut sebagai "diplomat pers Indonesia", sangat perlu diperbanyak. Selama ini, kebanyakan pembicaraan adalah dari kalangan generasi tua. Wartawan muda Indonesia, mungkin karena jenjang kepangkatan dan senioritas, belum banyak muncul. Hal ini perlu kita rombak, kalau kita sepakat untuk mendukung "diplomasi perjuangan" yang mensyaratkan para pelakunya harus bertindak aktif dan tidak pasif menunggu. Orang muda, secara alamiah, umumnya lebih memiliki dinamika dan keberanian untuk bertindak, sementara yang tua perlu membimbing dengan kearifan yang mereka petik berdasarkan pengalaman. Kiranya, kini adalah saatnya yang tepat untuk mengikutsertakan wartawan-wartawan muda untuk turut serta dalam pertemuan-pertemuan pers internasional, kalau belum bisa menjadi pembicara paling tidak sebagai peninjau. Ini penting agar wartawan muda Indonesia bersikap "Outward looking", bukan "inward looking" atau bak katak di bawah tempurung, merasa sudah besar dan mapan tanpa pernah memperbandingkan dirinya dengan dunia luar. Dasar pendidikan rata-rata wartawan Indonesia kini lebih baik, kesempatan belajar bahasa asing pun lebih terbuka, baik yang harus membayar sendiri maupun atas biaya sponsor yang bisa diusahakan PWI. Sama sekali tidak alasan bagi Indonesia untuk tidak bisa melahirkan "diplomatdiplomat pers" untuk mendukung diplomasi perjuangan yang telah dicanangkan Pemerintah RI.
Sesuai dengan namanya, Gerakan Non Blok, pada dasarnya setiap kegiatan gerakan ini bersifat politik. Namun, pembicaraan-pembicaraan dalam pertemuan di Jakarta ini berlangsung secara business like dan realistis. Presiden NANAP, Pedro Margolles Villanueva, yang juga direktur jenderal kantor Berita Kuba, Prensa Latina, sendiri dalam konferensi persnya menjelang sidang mengatakan bahwa kantor-kantor berita Non Blok tidak menginginkan konfrontasi dengan kantor-kantor berita yang sudah lebih maju, melainkan kompetisi. Untuk menunjukkan solidaritas bangsa Indonesia kepada perjuangan bangsa Namibia seusai sidang ini LKBN ANTARA menyerahkan sejumlah peralatan wartawan untuk kantor berita SWAPO, NAMPA,
KESIMPULAN : Terselenggaranya keempat pertemuan, yang masing-masing diikuti sekitar 100 orang peserta itu kecuali konsultasi sistem pers ASEAN dengan hasil-hasil yang kongkrit dan pernyataan-pernyataan yang realistis yang mendukung pembangunan nasional Indonesia menunjukkan bahwa pers Indonesia mampu menjadi penyelenggara dan berperan serta secara aktif dalam pertemuan pers internasional. Sekalipun demikian, patut diakui bahwa peranan pers Indonesia, terutama dalam diskusi-diskusi yang memakai bahasa asing, masih harus ditingkatkan lagi. Sekalipun "berbicara banyak" belum tentu menghasilkan banyak, betapapun harus kita akui bahwa penampilan sangat menentukan citra pers Indonesia ke luar.
DOKUMENTASI & PERUNDANG-UNDANGAN
GBHN 1988 Pola Umum Pelita Kelima
Penerangan dan Media Massa a. Penerangan dan media massa sebagai sarana pembangunan bangsa harus dapat membudayakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam semua segi kehidupan masyarakat dan meningkatkan kesadaran seluruh rakyat dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara, memperkokoh ketahanan nasional dan memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. b. Pembangunan penerangan dan media massa nasional harus berdasarkan semangat dan jiwa Pancasila, agar penerangan dan media massa mampu menunjang pembangunan masyarakat Pancasila. Peranan penerangan dan media massa dalam memasyarakatkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) perlu lebih di tingkatkan c. Pembangunan penerangan dan media massa ditujukan untuk menciptakan iklim yang mendorong tumbuhnya peranan, partisipasi dan tanggung jawab masyarakat dalam pembangunan nasional.
DOKUMENTASI & PERUNDANG-UNDANGAN
SURAT EDARAN BERSAMA PWI PUSAT - SPS PUSAT DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN PERS DAN GRAFIKA, DEPARTEMEN PENERANGAN
orang yang melalui tulisannya condong berfaham atau pro-Komunis.
2. Agar pers nasional benar-benar mentaati Instruksi Menten Dalam Negeri No. 32 Tahun 1981 untuk tidak mempekerjakan unsur-unsur bekas G-30-S/PKI di bidang pers dan media massa umumnya.
3. Agar pers nasional dan media massa umumnya dijaga supaya benar-benar bersih lingkungan, artinya bersih dari sisa-sisa G-30-S/PKI maupun dari faham/idiologi Komunis. Di samping itu pers nasional hendaklah senantiasa mencegah dan menolak ;
1. pemberitaan yang melanggar kode etik jurnalistik Indo nesia: 2. pemberitaan yang bersifat sinisme dan skeptisisme: 3. pemberitaan dan segala bentuk tulisan, gambar/ilustrasi yang bersifat naluri rendah; 4. dan segala pemberitaan yang bersifat menyesatkan masyarakat.
Untuk memantapkan kedudukan pers nasional sebagai lembaga masyarakat hendaklah pers nasional secara terus me. nerus melakukan konsolidasi ke dalam dengan meningkatkan kwalitas dan ketrampilan para wartawannya serta meningkatkan pula kebersamaan dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya dalam rangka pemantapan Sistem Pers PANCASILA. baik di bidang isi maupun di bidang pengusahaan pers dan media massa umumnya. Demikianlah Surat Edaran Bersama ini disampaikan dengan harapan yang sungguh-sungguh agar mendapat perhatian sepenuhnya dari para pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan Pemimpin Perusahaan penerbitan pers nasional di seluruh Indonesia. (Jakarta. 27 Juni 1988).
DOKUMENTASI & PERUNDANG-UNDANGAN
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN PERS & GRAFIKA DEPARTEMEN PENERANGAN NO. 01/SE/DITJEN-PPG/K/1988
sunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Penerangan; 7. Instruksi Menteri Dalam Negeri RI No. 32 Tahun 1981 tentang Pembinaan dan Pengawasan Terhadap eks Tahanan dan eks Nara Pidana G.30.S/PKI; 8. Keputusan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban No. KEP-03/KOPKAM/VIII/1975 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI No. 28 Tahun 1975. III. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka seluruh Page 9
DOKUMENTASI & PERUNDANG-UNDANGAN
nasional dan memelihara stabilitas na- modern yang dapat ditangani dengan sional yang dinamis. baik. Peranan penerangan dan media massa h. Dalam rangka ikut serta mewujudkan Tata untuk memasyarakatkan Pedoman Peng. Informasi dan Komunikasi Dunia Baru, kerja hayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sama regional dan internasional di bidang perlu lebih ditingkatkan. informasi dan komunikasi terutama dengan negara non blok dan negara berkembang c. Kebijaksanaan pembangunan penerangan lainnya perlu lebih ditingkatkan dan ditujukan dan media massa sebagai wahana infor untuk kepentingan nasional, termasuk kemasi dan komunikasi timbal balik antara pentingan pembangunan. masyarakat dan pemerintah, diarahkan untuk menggelorakan semangat pengabdian X. PENINGKATAN DI BIDANG USAHA dan perjuangan bangsa, memperkokoh per- 1. Untuk membina iklim usaha yang sehat di satuan dan kesatuan nasional, mempertebal dalam industri media cetak, perlu dikembangrasa tanggung jawab dan disiplin nasional, kan sarana konsultasi yang teratur antara memantapkan penghayatan dan pengamalan PWI, SPS, SGP dan PPPI yang meliputi kebudayaan Indonesia untuk mempertebal masalah persaingan tidak sehat serta masakepribadian Indonesia, mencerdaskan ke- lah lain yang mungkin mengganggu perhidupan bangsa, menyalurkan aspirasi kembangan kemajuan industri media cetak. dan menggairahkan partisipasi masyarakat 2. Organisasi perusahaan pers diminta untuk dalam pembangunan dan untuk mening- melakukan kajian terhadap dampak pengkatkan kemampuan baik profesi, pra gunaan VDT di dalam proses ''pracetak" baik sarana maupun sarana penerangan dan ditinjau dari segi kesejahteraan wartawan media massa. (gaji dan waktu kerja) maupun akibat terd. Pembinaan dan pengembangan media mas- hadap kesehatan kerja. sa nasional harus berdasarkan semangat XI. PENERBITAN BUKU dan jiwa Pancasila, agar media massa mampu menunjang pembangunan masyarakat 1. Melanjutkan usaha penerbitan buku di bidang Pancasila. pers. 2. Untuk mendorong kreativitas profesionalisme e. Dalam rangka meningkatkan peranan dalam perlu diciptakan wadah yang dapat mempembangunan perlu ditingkatkan usaha pe bantu wartawan yang berhasrat menulis buku ngembangan pers yang sehat, pers yang jurnalistik, baik di dalam negeri maupun di bebas dan bertanggung jawab, yaitu pers luar negeri. yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif, melakukan XII. TEMPAT SIDANG PLENO XXX DEWAN kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan PERS aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi Sidang Pleno XXX Dewan Pers akan dilakdan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini sanakan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Waktuperlu terus dikembangkan interaksi positif nya ditentukan oleh Pelaksanaan Harian Dewan antara pers, pemerintah dan masyarakat. Pers. f. Dalam rangka meningkatkan dan memper XIII. TANDA PENGHARGAAN KEPADA luas kegiatan penerangan di seluruh pelosok LKBN "ANTARA" tanah air, perlu ditingkatkan pemanfaatan media penerangan seperti pers, radio, tele Mengingat perkembangan LKBN "Antara" visi, film, kantor berita, video, media massa yang pada tanggal 13 Desember 1987 genap berusia 50 tahun, Dewan Pers memutuskan tradisional, pusat informasi dan forum untuk menganugerahkan tanda penghargaan komunikasi yang mampu menjangkau pe Dharma Bhakti Kalam Kencana. desaan. Selanjutnya program dan pelaksanaan koran masuk desa perlu lebih di- XIV. UCAPAN TERIMA KASIH kembangkan dan ditingkatkan Pelaksana Harian Dewan Pers agar menyamg. Agar kegiatan penerangan dan peranan me- paikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah dia massa dapat makin efektif, perlu diting. Daerah dan Masyarakat Propinsi Daerah Tingkatkan kemampuan sumber daya manusia, kat | Bali atas partisipasinya yang telah meprasarana dan sarana penerangan dan me- mungkinkan Sidang Pleno XXIX Dewan Pers dia massa, termasuk pendidikan dan latihan berlangsung dengan Sukses. (Denpasar, 18 Juli serta pemantapan teknologi komunikasi 1987). Page 10
DOKUMENTASI & PERUNDANG-UNDANGAN
3. Periklanan, untuk disampaikan kepada VIII. Ucapan Terima Kasih. Pemerintah. Pelaksana Harian agar menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Tingkat | Propinsi Sumatera Barat atas keikutVII. Tempat Sidang Pleno. sertaannya yang telah memungkinkan Sidang Menetapkan Sidang Pleno XXXI Dewan Pers Pleno XXX Dewan Pers berlangsung dan berdiadakan di Pulau Batam. Penentuan waktunya kesudahan dengan sukses. (Bukittinggi, 11 diserahkan kepada Pelaksana Harian. Februari 1988).
Pindahan dari halaman 19.
laksana kritik dan pengawasan sosial yang konstruktif.
Bertolak dari pendekatan kontekstual dan kesisteman, pembangunan meliputi berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang saling mengait. Salah satu bidang tersebut ialah pers. Dengan kata lain, pembangunan sebagai tanggung jawab masyarakat meliputi pembangunan pers. Pembangunan pers yang mampu melaksanakan fungsifungsinya mengait erat dengan dukungan nyata masyarakat terhadap pembangunan pers itu sendiri.
GBHN 1988, aspek pemerataan tersebut tidak dicantumkan lagi. Tetapi pemerintah masih meneruskan program KMD. Sepanjang menyangkut pemerataan pembangunan pers nasional, panduan dalam GBHN tercakup dalam asas-asas pembangunan nasional dan pada interaksi positif antara pers dengan komponenkomponen lainnya. Khususnya mekanisme interaksi positif diharapkan kita semua dapat menalarkan dan meneguhkan prinsip umum kebersamaan dan kekeluargaan dalam kehidupan pers nasional. Dari pengamatan sepintas kita dapat mencatat bahwa pihak eksekutif, termasuk di tingkat provinsi, menyadari perlunya pengembangan pers di seluruh Indonesia, berarti termasuk di daerah-daerah yang kini mengalami kesenggangan penerbitan sendiri. Malahan Pemerintah Pusat dan sejumlah Pemerintah Daerah memang sudah berusaha untuk menunjang pengembangan pers nasional di daerahdaerah yang senggang pers. Tiap ibukota provinsi memang selayaknya menerbitkan dan mengembangkan minimal satu suratkabar harian setempat mengingat kepentingan umum maupun ditinjau dari dasar-dasar ekonomi mikro. Kalau kebutuhan minimal ini belum tercapai, faktor penghambatnya tentu berada pada provinsi-provinsi bersangkutan. Umpamanya, seberapa kuat komitmen Pemerintah Daerah dan masyarakatnya untuk mendorong kehadiran pers setempat. Seberapa jauh apresiasi dan daya nalarnya tentang interaksi positif dengan pers. Hal serupa tentu harus kita pertanyakan pada kalangan pers sendiri. Seberapa jauh motivasi dan perilaku kalangan pers menunjang pengembangan pers nasional di daerahnya. Apresiasi masing-masing daerah terhadap hal-hal tersebut haruslah dilandasi
Pembangunan pers nasional dalam rangka mengembangkan Sistem Pers Pancasila menghadapi masalah-masalah nyata yang bersumber pada kondisi internal pers dan kondisi eksternal. Kecenderungan menempuh dua ekstrimitas idealisme tanpa landasan industri yang kuat atau pers sebagai komoditi pasar semata harus dapat dikendalikan untuk memungkinkan tumbuhnya pola pembangunan pers nasional berdasarkan keseimbangan antara aspek idiil dan aspek industrinya. Sasaran yang hendak dicapai melalui pola keseimbangan ini ialah pers besar dan kecil yang sehat demi kesinambungan keberadaannya secara mantap dan mapan. Dalam kerangka ini pula pembangunan pers nasional tetap perlu mengacu pada asas demokratisasi di bidang komunikasi informasi, opini dan pengawasan sosial. Dengan asas inilah kita menumbuhkan dan mempertahankan kebhinnekaan dan keseimbangan media komunikasi massa tidak saja secara nasional tetapi juga antar-daerah. Page 11
Kegiatan Pendidikan PWI Yang Unik :
LOKAKARYA DI BATAM, WIDYA WISATA DI SINGAPURA
Pada tanggal 18 sampai 23 September 1988 lalu, Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berkerja sama dengan Departemen Penerangan R.I. mengadakan satu kegiatan pendidikan untuk wartawan yang cukup unik Kegiatan unik tersebut adalah penyelenggaraan Lokakarya tingkat Nasional mengenai "Studi Kawasan dan Peliputan ASEAN” di Pulau Batam yang diisi dengan acara widya wisata ke negara tetangga Singapura.
alam pelaksanaan kegiatan PWI Pusat tersebut, dukung- untuk meningkatkan peran pers nasional sebagai pers pem an juga diperoleh dari, Menteri Riset dan Teknologi Prof. bangunan. Dan seiring dengan itu, guna mempertajam cara Habibie, Ketua Badan Otorita Pengembangan Daerah Industri pandang nasionalnya, atau dengan kata lain Wawasan NusanPulau Batam, dan Kepala Badan Pelaksananya, Mayjen (Pur) tara-nya. D. Soedarsono. Sedang realisasi acara widya wisata adalah Kecuali sebagai upaya memantapkan Wawasan Nusantara berkat sambutan positif dari Pemerintah Republik Singapura para peserta, Lokakarya PWI Pusat di Pulau Batam merupakan dan kedutaan besarnya di Jakarta. pula langkah awal dalam menumbuhkan "wawasan regional" Sejak lama penyelenggaraan program-program pendidikan para wartawan Indonesia. Seperti bunyi pepatah – Tak kenal dan latihan bagi wartawan anggota PWI sejauh mungkin maka tak sayang - maka Batam memang harus dilihat untuk diupayakan berpindah-pindah dari satu tempat ke lain tempat. meyakinkan diri betapa jauh prestasi yang berhasil diraih di Hal ini tidak saja untuk menciptakan kesempatan ikut serta bagi pulau tersebut. Pendek kata, pusat industri dan ekonomi baru ini sebanyak-banyaknya wartawan di luar Ibukota dalam kegiatan bukan mustahil akan menjadi salah satu kisah sukses penting PWI Pusat yang bertujuan dan andalan. Letaknya yang mengembangkan wawasan dekat dengan Singapura dan pengetahuan para ang (sekitar 30 menit dengan kagotanya, tetapi lebih dari itu pal ferry cepat) secara gampola seperti ini diharapkan blang mengisyaratkan posisemakin meneguhkan kesa sinya yang strategis sekalidaran dan daya nalar korps gus ideal. pers nasional tentang Wawasan Nusantara. Antara lain dari su dut kewartawanan, dan Melalui kesempatan melaksanakan lokakarya maupun dengan asumsi sang warta wan memperoleh fasilitas pertemuan-pertemuan PWI tingkat nasional lainnya yang sama dengan penduduk se tempat, Batam sebagai pos berpindah-pindah tersebut, maka dalam lima tahun be tugas seorang koresponden surat kabar atau majalah lakangan ini tercatat lebih em yang terbit di Medan, pat ratus wartawan memper Padang, Palembang, dan oleh ekspose tentang berbagai Jakarta, dapat hasil-hasil merangpembangunan, BG Lee (kanan) menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta Lokakarya kap sebagai jembatan baik yang merupakan tang- PWI yang menemuinya di Singapura 22 September lalu. praktis untuk menjang. gung jawab aparat peme kau Singapura, yang nota rintah maupun yang dilaksa nakan oleh kalangan swasta. Kecuali melihat kemajuan bene memang merupakan entiti sangat penting di bidang kemajuan yang dicapai, kegiatan-kegiatan ini tentunya juga perdagangan, perbankan, dan sebagainya. Di samping itu, memberi peluang bagi wartawan dari berbagai kota untuk ikut Singapura berbatasan pula dengan Johor Bahru, selatan memperhatikan masalah-masalah berkenaan dengan proses Page 12
dalam upaya memasyarakatkan ASEAN. Peserta lokakarya menginginkan adanya wadah di bawah naungan dan bimbingan PWI bagi wartawan yang membidangi masalah luar negeri dan perlunya meningkatkan kerjasama antara lembaga-lembaga pers dan wartawan di negara-negara anggota ASEAN. Para peserta juga mengharapkan agar PWI mengadakan lokakarya serupa secara berkelanjutan dan Konfederasi Wartawan ASEAN agar meningkatkan fungsinya dalam mendukung dan memperlancar tugas para wartawan ASEAN. Pembaruan wawasan regional wartawan Kunjungan ke Singapura dalam rangka memperoleh ekspose banding dilakukan sehari penuh. Peserta berangkat dari terminal ferry Sekupang di Batam tanggal 22 September pagi dan kembali pada malam harinya. Rombongan dilepas di dermaga oleh Kepala Badan Pelaksana Otorita Batam dan staf. Acara di Singapura diatur oleh pengurus Singapura National Union of Journalists (SNUJ) berkerjasama dengan para pejabat teras Bagian Pers, Kementerian Perhubungan dan Penerangan Singapura. Pertama, diskusi panel di Pusat Berita (News Centre) dengan panelis terdiri dari redaktur regional harian Cina Singapura, Sia Boon So; wakil pemimpin redaksi Berita Harian, Mohammad Guntor Sadali; pengurus SNUJ dan wartawan Straits Times Haron Abdul Rahman dan ketua Institute of Policy Studies Singapura, Prof. Ny. Chan Heng Chee. Mengenai peningkatan pemberitaan media massa ASEAN tentang ASEAN, Prof. Chan menyimpulkan empat kendala pokok. Pertama, masih kurangnya kesadaran untuk meliput masalah ASEAN. Kedua, biaya yang tinggi untuk dapat menugaskan wartawan ke berbagai negara anggota. Ketiga, kemampuan wartawan yang belum memadai. Dan keempat, masih kurangnya interaksi di antara bangsa-bangsa ASEAN sendiri. Acara puncak di Singapura tidak ayal lagi adalah peluang bertemu wicara dengan Brigjen (Cadangan), atau BG, Lee Hsien Loong, putera Perdana Menteri Lee Kuang Yew, yang
pernah mendapat julukan "putera mahkota" Singapura itu. Dia sendiri kini adalah menteri perdagangan dan industri Singapura, serta wakil menteri pertahanan. Dalam temu wicara dengan peserta lokakarya di gedung kementeriannya, Lee Hsien Loong didampingi beberapa orang staf, termasuk seorang berkedudukan menteri negara. Wartawan yang belum pernah berhadapan dengannya menilai pengalaman tersebut cukup mengasyikkan. Pertemuan diawali tanpa pengantar yang basabasi, tetapi langsung kepada permasalahan. Semua pertanyaan dijawab dengan jelas dan lugas. BG Lee membanggakan dan menilai sangat penting hubungan yang sudah terjalin antara Lee Kuan Yew dengan Presiden Soeharto maupun PM Malaysia Mahathir Mohammad. Menurutnya, pemimpin ASEAN dari generasi muda harus dapat mengambil manfaat dari hubungan erat tersebut, namun dia menyadari bahwa untuk mencapai tingkat seakrab Lee Kuan Yew-Soeharto akan memerlukan waktu lama. Tentang investasi pengusaha Singapura di Batam yang relatif masih kecil, BG Lee mengatakan bahwa dia sudah memberi dorongan, tetapi tiap pengusaha dengan sendirinya akan mengutamakan prospek keuntungan dalam mengambil keputusan penanaman modal. Tentang peluangnya untuk menjadi kepala pemerintahan, BG Lee mengemukakan bahwa dalam hal ini Singapura mempunyai prosedur demokrasi sendiri untuk memilih pemimpinpemimpinnya secara mufakat. Untuk menjadi perdana menteri diperlukan syarat-syarat kemampuan dan dukungan masyarakat. Setelah sekitar satu jam bersama BG Lee, rombongan menuju ke kantor Grup Stratis Times dan setelah itu meninjau Lembaga Komputer Nasional di Taman Sains (Science Park). Setelah makan siang di kantin penerbitan Grup Stratis Times, peserta melihat-lihat ruangan redaksi koran berbahasa Inggris tersebut, harian Melayu Berita Harian dan koran sore baru berwarna dan berukuran tabloid, The New Paper. Peninjauan ke Singapura memang singkat, tetapi padat dan memang berkesan dalam. Untuk lokakarya serupa berikutnya,
HARGA KERTAS KORAN DALAM FORMULA HARGA SURATKABAR
Dalam nomor ini kami turunkan Hasil Kajian SPS Pusat Tentang Kemungkinan Kenaikan Harga Kertas Koran. Kajian tersebut dibuat berdasarkan kalkulasi produsen kertas koran bulan Juni 1998. Pada prinsipnya industri kertas koran dibangun untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan Pers Nasional. Tapi persoalan yang rumit dalam produksi kertas koran, mengakibatkan kenaikan harga kertas koran tidak terhindarkan lagi.
Hadiah ulang tahun sangat mengejutkan bagi SPS, yang pada tanggal 8 Juni 1988 memperingati ulang tahunnya yang ke 42, ketika tanggal 2 Juni 1988 menerima berita (Dari TV & koran) serta pertemuan 3 Departemen di DEPPEN tanggal 3 Juni 1988 tentang kemungkinan kenaikan harga kertas koran. Sangat mengejutkan dan prihatin karena kenaikan tersebut akan terasa sebagai "bencana" bagi perjuangan dan pengembangan pers, terutama dalam upaya SPS bersama-sama PWI yang sedang menggalakkan program untuk memantapkan kelembagaan Pers Nasional sesuai dengan ketentuan SIUPP. Masalah yang dihadapi dan dikerjakan oleh SPS dan PWI antara lain : 1. Kondisi struktural yang sejak lama menjadi persoalan pokok adalah, dalam gaung program pemerataan, sebagian besar penerbitan pers terhambat oleh lemahnya modal. Ketentuan SIUPP secara tegas mewajibkan tersedia modal untuk penerbit atau calon penerbit yang akan diberi SIUPP. SPS, PWI dan DEP. PEN berusaha mencari jalan terobosan menghadapi tantangan ini, khususnya untuk perkembangan pers di daerah. 2. Pemantapan kelembagaan pers, baik dari segi isi redaksional maupun kelembagaan usana, masih sedang digiatkan oleh PWI dan SPS Pusat. 2.1. PWI secara berkesinambungan me laksanakan penertiban wartawan dan sekaligus meningkatkan wawasan dan keterampilan manajemen daksional.
menyempurnakan manajemen, yang memungkinkan meningkatkan daya guna dan hasil guna atas modal dan sarana produksinya.
2. Kertas koran dalam penghitungan PA HALA menempati posisi pokok yang mengambil bagian 30 s/d 40% dari seluruh biaya produksi. Oleh karena itu harga yang terjangkau dan pemanfaatnya yang efisien sangat menentukan.
dang penerbit, maupun tanggal 15 Oktober 1987 yang menetapkan harga Rp. 850,00 af pabrik belum termasuk biaya tata niaga Rp. 30,00; ditetapkan di bawah kalkulasi biaya produksi dari kedua produsen. 2. Kenaikan yang diusulkan oleh Menteri Perindustrian adalah Rp. 300,00 atau 35,29% dari harga yang sedang berlaku Rp. 850,00 af pabrik menjadi Rp. 1.150,00. Konon harga ini di bawah kalkulasi produksi yang diperhitungkan Rp. 1.378,54 per kg, tetapi ternyata jauh dari jangkauan penerbit. 3. SPS dan masyarakat pers mencoba menghitung alternatif harga, dari mulai tingkat harga yang diusulkan oleh Menteri Perindustrian, sampai pada harga yang diperhitungkan masih dalam jangkauan penerbit pers berdasarkan hasil perhitungan Patokan Harga Langgan an (PAHALA). 4. Alternatif kenaikan tersebut bertolak dari asumsi bahwa biaya tata niaga tidak dinaikkan dan menjadi beban SPS/PT. INPERS untuk mengembangkan inisiatif dan efisiensi, tetapi menjamin prinsip tersebut pada 1.5. tetap dilaksanakan. Alternatif tingkat kenaikan tersebut tersusun pada tabel berikut :
3. Menghitung jumlah kebutuhan kertas koran didasarkan pada jumlah oplah, koran rol ukuran 84 cm dan gramatur 48,8 g/m2 yang per kg, menghasilkan 42 eks. koran 4 halaman atau 14 eks. koran 12 halaman. Dalam menghitung kebutuhan kertas koran ini dimasukan "waste paper" yang keadaannya ber- beda antara koran beroplah kecildengan yang beroplah besar. Hasil pemantauan membuahkan klasifikasi "waste paper" berdasarkan oplah se- bagai berikut : - oplah 20.000 waste paper & pe-nyusutan : 10 % - oplah 50.000 ---id 8 %
4. Dalam menghitung biaya kertas koran sebagai komponen produksi, di samping harga, masih harus diperhitungkan bunga bank. Hal ini perlu, karena dasar harga yang ditetapkan adalah harga kontan dan pada umumnya penerbit harus selalu memelihara stock untuk keperluan sekurang-kurangnya satu minggu bahkan sampai 3 bulan; yang disimpan digudangnya sendiri, gudang percetakan ataupun pada gudang suplayer. Standar bunga bank yang lazim adalah 2% per bulan. 5. Berdasarkan catatan-catatan tersebut 3 dan 4 di atas, maka untuk sampai dapat menghitung beban harga kertas koran dan tambahan beban karena kenaikan diperoleh cara penghitungan : 5.1. Kebutuhan kertas koran : jumlah oplah dibagi jumlah eksemplar per kg (sesuai dengan jumlah halaman) ditambah prosentase waste paper dan penyusutan berdasarkan jumlah oplahnya (IV. 3). Kebutuhan kertas koran 12 halaman beroplah 500.000 eks. waste paper 2% dapat dihitung sebagai berikut :
35,29% 30,00% 25,00% 20.00% 15.00% 12.50% 10,00% 4,00%
300.00 255.00 212,50 170,00 127,50 106,25 85,00 40.00
850,00 850,00 850,00 850,00 850,00 850,00 850.00 850.00
1.150,00 1.105,00 1.062,00 1.020,00 977,50 956,25 935,00 890,00
30,00 30,00 30,00 30,00 30,00 30.00 30,00 30,00
1.180,00 1.135,00 1.092,00 1.050 1.007,50 986,25 965,00 920,00
Bila penerbitan bersangkutan terbit 7 x seminggu, maka kebutuhan per bulan dihitung 30 x 36.428,58 kg 1.092.857,40. 5.2. Menghitung biaya per eksemplar
oplah 100.000 ---id ---: 6% - oplah 300.000 --- id : 4 % - oplah 500.000 --- id -: 2 %
III. HARGA KERTAS KORAN DALAM PERHITUNGAN PAHALA 1. Perhitungan PAHALA adalah salah sa
Perhitungan "waste paper" ini akan mempengaruhi perhitungan beban biaya kertas koran secara keseluruhan maupun per eksemplar.
Beban biaya kertas koran setiap kali terbit adalah hasil perkalian tersebut di atas tanpa dibagi jumlah oplah, atau :
c. Beban nilai tambah karena kenaikan kertas koran : Rp. 87,69 – Rp. 65,37 Rp. 22.32 6. Terlampir daftar biaya komponen ker
5.3. Beban nilai tambah atas kenaikan harga kertas koran dari Rp. 880,00 menjadi Rp. 1.150,00 + Rp. 30,00 biaya tata niaga, bagi suratkabar
DAFTAR BEBAN BIAYA TAMBAH PER EKS. KARENA KENAIKAN HARGA KERTAS KORAN
Oplah, Jmi. Hal & Waste Paper
yang lalu Harian KOMPAS menaikkan harga langganan sesuai dengan kalkulasi berdasarkan efisiensi yang dihasilkan karena oplahnya menjadi Rp. 6.500.00 dari sebelumnya Rp. 6.300,00. Harian POS KOTA KOran Jakarta bersekala lokal daerah Metropolitan dengan kwalitas kontrol tidak menjadi prioritas, bahkan dapat memasang tarif langganan Rp. 5.000,00/bulan. Penetapan harga dari "price leader" di atas, menyebabkan suratkabar di bahwa 100.000 eksemplar, harus menahan diri dan meningkatkan efisiensinya secara maksimal agar tidak memakan modal.
mendapat teguran itu terdiri atas penerbit pers oplah kecil di daerah yang tidak memiliki cadangan modal untuk meme lihara kesinambungan terbitnya. 4. Dikaitkan dengan usaha pemerataan pembangunan pers nasional, kiranya dapat disimak data oplah penerbitan pers. Data ini diambil dan data IPPBN tahun 1986/1987 sebagai pedoman jatuh kertas koran tahun 1987/1988 dan 1988/1989. Data ini mencatat semua suratkabar harian dan mingguan yang sepenuhnya menggunakan kertas koran. Jumlah ini meliputi 148 penerbitan dari 253 SIUPP yang dikeluarkan dan masih berlaku.
Rp. 255,19 Rp. 253,34 Rp. 279,31 Rp. 249,60 Rp. 216,08
Tabulasi di atas jelas memberikan gambaran tentang jumlah penerbit surat-kabar di bawah 100.000 eksemplar, yang dengan harga kertas koran Rp. 880,00/kg fo gudang penerbit sekarang ini sedang menghadapi kesulitan. Sudah dapat diperkirakan teguran DEPPEN terhadap penerbit yang sudah tidak dapat memelihara kesinambungan terbitnya, akan jatuh pada surat-kabar di antara harian dan mingguan beroplah 50.000 ke bawah yang jumlahnya meliputi 120 buah penerbitan. Dapat dibayangkan suratkabar harian & mingguan beroplan 20.000 eksemplar ke bawah bagaimana kehidupannya pada saat sekarang.
3. Gambaran kesulitan, khususnya bagi penerbit pers 100.000 eksemplar ke bawah sudah tampak jelas. Terutama bagi kehidupan dan kesinambungan penerbit pers di daerah. Tolok ukur dari kesulitan yang dihadapi, kiranya dapat disimak dari jumlah teguran DEPPEN tentang pelaksanaan periode terbit, yang harus ditaati sebagaimana ketentuan SIUPPnya. Pada umumnya yang
5. Untuk lebih memperjelas dampak ke naikan harga kertas koran terhadap pembentukan harga langganan dan eceran, di sini disajikan kemungkinankemungkinan harga langganan dan
Mingguan Mingguan 2 ximg. 1 x/mg.
1. 5.000 eks. ke bawah 2. 5.001 s/d 10.000 eks. 3. 10.001 s/d 20.000 eks. 4. 20.001 s/d 50.000 eks. 5. 50.001 s/d 100.000 eks. 6. 100.001 s/d 300.000 eks. 7. 300.001 s/d 500.000 eks. Page 13
eceran berdasarkan alternatif kenaikan harga kertas koran. Sekaligus kalkulasi ini untuk melihat sejauh mana kenaikan dapat ditolerir demi kesinambungan pertumbuhan pabrik kertas koran produksi dalam negeri. Gambaran tersebut tentunya dengan catatan kita membiarkan proses pengurangan jumlah penerbit yang sekarang sedang berlangsung atas dasar perhitungan harga langganan dari harga kertas Rp. 850,00 af pabrik.
Akibatnya harga suratkabar dengan harga kertas koran yang dinaikan lebih dari 10% mendorong kenaikan patokan harga eceran menjadi Rp. 300,00 dan akan mencapai harga Rp. 400,00 untuk diperoleh konsumen pembaca.
Pada perhitungan harga langganan dan eceran, sesungguhnya sudah termasuk "komisi agen dan pengecer" sebesar 20%. Realisasi penjualan kepada konsumen, biasanya oleh agen diambil kebijaksanaan : – untuk harga langganan, ditambahkan biaya loper dan pengiriman - untuk eceran, pada pagi hari dijual dengan harga melampaui patokan, pada siang hari diturunkan sampai di bawah harga patokan.
HARGA LANGGANAN DENGAN ALTERNATIF KENAIKAN HARGA KERTAS KORAN
4,71 % 10,00 % 12,50 % 15,00 % 20,00 % 25,00 % 30,00 % 35,29 %
920,00 965,00 986,25 1.007,50 1.050,00 1.092,00 1.135,00 1.180,00
7.984,00 8.172,00 8.245,00 8.319,00 8.466,00 8.612,00 8.760,00 8.902,00
7.903.00 8.055,00 8.128,00 8.200,00 8.345,00 8.487,00 8.634,00 8.787,00
V. KESIMPULAN DAN SARAN suratkabar pada bulan April dan Mei koran dan devaluasi September 1987. 1.1. Kenaikan tersebut belum meme-nuhi hasil kalkulasi PAHALA yang didalamnya mengandung maksud usaha pemerataan pertumbuhan dan perkembangan. 1.2. Kenaikan tersebut baru dapat membantu stabilitas usaha penerbit pers yang beroplah 100.000 eksemplar ke atas, sedangkan untuk 100.000 eksemplar ke bawah, khususnya bagi penerbit beroplah 20.000 ke bawah, sedang dalam proses memper tahankan untuk tidak gulung tikar 2. SPS/PT. INPRES dan masyarakat pers
HARGA ECERAN DENGAN ALTERNATIF KENAIKAN HARGA KERTAS KORAN
bangsa dan negara kita yang selama ini dilakukan, termasuk dukungan dan kebersamaan masyarakat pers menanggulangi berbagai kesulitan :
koran 12 halaman, bagi suratkabar beroplah 500.000 eksemplar. Tingkat kenaikan inipun nantinya akan terasa sangat berat bagi penerbit beroplah 20.000 eksemplar ke bawah (menjadi Rp. 8,36). Dengan demikian toleransi yang paling memungkinkan adalah kenaikan Rp. 40,-/kg dengan harga baru Rp. 920,- fo. gudang penerbitan.
lalui usaha efisiensi dan pemerataan beban sesana anggota SPS, dapat diatasi. Diyakini bahwa dengan prinsip kebersamaan, tanpa kenaikan biaya tata niaga kelancaran pengiriman tidak terganggu dan harga sama di seluruh tanah air dapat diper tahankan. 2.3. Sementara itu usaha efisiensi da lam handling pengiriman, dengan memperpendek jalur (dari gudang produsen langsung gudang penerbit/percetakan), telah mengurangi beban risiko karena kerusakan dalam pengangkutan. Karenanya waste paper semata-mata ha nya disebabkan oleh proses cetak. 3. Pemerintah dan pihak produsen kertas koran, kiranya dapat mengapresiir tekad dan konsistensi masyarakat pers terhadap perjuangan untuk fungsi dan peranannya dalam pembangunan
a. Cross subsidi yang dapat menjamin prinsip harga sama di seluruh Indonesia, pada hakekatnya adalah pengorbanan penerbitan pers yang dekat dengan gudang produsen yang sesungguhnya mereka dapat memperoleh kertas dengan harga yang lebih murah.
2.2. Untuk tidak lebih membebani har ga, PT INPRES sebagai distributor tunggal, bertekad tidak ikut menaikkan biaya tata niaga yang Rp. 30,- Selama ini PT. INPRES telah berhasil menekan kerugian dari penetapan biaya tata niaga Rp. 25,-/kg. Kerugian yang dulu diperhitungkan akan mencapai + Rp. 500.000.000,per tahun, atas dukungan KONKERNAS SPS Februari 1987 me
b. Dalam tantangan yang sekarang dihadapi, masyarakat pers bertekad untuk tidak menaikkan harga langganan dan eceran yang akan memberatkan konsumen. Yang masih akan dilakukan adalah pemantapan konsep penentuan harga langganan berdasarkan sistim PAHALA yang sudah dikembangkan secara efisien. (S).
LE. Manuhua, Ketua Komisi Konkernas SPS di Jakarta, Februari 1987, membacakan rumusan keputusan tentang ketentuan tata laksana penyaluran kertas koran.
PENGADAAN DAN TATA NIAGA KERTAS KORAN "SUATU KEBIJAKAN PEMERATAAN”
Tak ada surat kabar, tanpa kertas koran. Dalam sejarah Pers Indonesia, persoalan kertas koran mendahului terbentuknya organisasi Serikat Penerbit Suratkabar. "Panitia Pengurusan Bahan-bahan Pers”, yang dibentuk dalam pertemuan kaum wartawan tanggal 9 Februari 1946, ditugasi terutama untuk mencari dan mengusahakan kertas koran, di samping bahan baku cetak lainnya.
B dekatan ditujukan pada perusahaan
PT KERTAS LECES dengan investasi 217 juta US $, berkapasitas produksi terpasang 90.000 ton per tahun. Bahan baku utama bagase (ampas tebu), dengan mesin didatangkan dari Prancis. Adapun PT ASPEX PAPER dengan investasi lebih kurang 70 juta US $ dengan kapasitas produksi terpasang 70.000 ton per tahun. Bahan baku kertas "koran bekas" yang diimpor, dengan didatangkan dari Jepang Ternyata kualitas yang dihasilkan produksi dalam negeri tidak serta merta memenuhi kebutuhan mesin cetak yang digunakan oleh pers nasional. Sementara itu kalkulasi produksi jauh di atas harga kertas koran eks impor waktu itu. Hanya karena dorongan untuk memanfaatkan produksi dalam negeri, dalam rangka menghemat devisa negara, SPS dan PT INPERS, berusaha menyakinkan penerbit untuk menggunakannya. Serangkaian percobaan dilakukan dibeberapa percetakan di pulau Jawa. Mula-mula pada bulan Mei dan Juni 1985 dengan kertas koran produksi PT ASPEX PAPER dan pada awal tahun 1986 dengan kertas koran produksi PT KERTAS LECES. Masyarakat pers memahami prioritas tersebut. Demikian pula dalam penentuan harga. Pada saat kecenderungan harga di luar negeri menurun, masyarakat pers dapat menyetujui penetapan zero quota impor kertas koran per 8 Maret 1986. Kebutuhan sepenuhnya dipasok produksi dalam negeri. Masyarakat pers berhasil mengambil sikap melepaskan ketergantungan pada kertas koran impor, yang sekaligus menyerahkan ketergantungan pada kertas koran produksi dalam negeri.
TATA NIAGA UNTUK MENCAPAI KESAMAAN HARGA
Penerbit pers tersebar di seluruh ibukota provinsi Indonesia, padahal pabrik kertas koran berlokasi di pulau Jawa. Tanpa koordinasi dan pengendalian, sudah tentu penerbit pers yang jauh dari lokasi pabrik harus membayar harga kertas koran lebih tinggi. Pihak Departemen Perdagangan menyarankan agar koordinasi penyaluran dilakukan oleh distributor tunggal. Dalam pelaksanaannya harus diberlakukan sistim subsidi silang, dalam arti penerbit yang dekat dengan lokasi pabrik ikut iuran membantu ongkos angkut bagi penerbit yang berlokasi jauh dari lokasi pabrik, agar dapat diberlakukan harga sama di seluruh tahan air. Dana untuk subsidi silang itulah yang disebut biaya Tata Niaga. Tahun 1986 Pemerintah cq. Departemen Perdagangan telah mencoba bersama-sama eks importir PT PANTJA NIAGA, PT INPERS dan PT DUP membuat perhitungan untuk penetapan biaya Tata Niaga tersebut, PT PANTJA NIAGA ke luar dengan biaya Rp. 83,00 per kg. PT DUP yang hampir sejalan dengan perhitungan Departemen Perdagangan mengajukan Rp. 46,00. Sedangkan PT INPERS ke luar dengan perhitungan Rp. 33,00. Sementara itu sedang diperhitungkan pula harga patokan kertas koran dari gudang produsen.
Tanggal 17 Oktober 1986, Pengurus SPS, PWI dan SGP dipanggil oleh Menteri Penerangan. Pada kesempatan itu Menteri menjelaskan :
1. Harga kertas koran of gudang produ sen Rp. 675,00 per kg. dan fo di gudang konsumen Rp. 700,00 per kg. untuk pembayaran tunai. 2. Sudah ada persetujuan prinsip untuk PPN atas penyerahan kertas koran ditanggung Pemerintah. 3. Jika SPS/PT INPERS sanggup menge lola dana Rp. 25,00 per kg. sebagai biaya Tata Niaga (selisih harga of pabrik dan fo gudang konsumen), PT INPERS akan ditunjuk sebagai Distributor Tunggal.
Tantangan tersebut dijawab oleh SPS dengan penuh keraguan, pada tanggal 18 Oktober 1986.
Keraguan yang dihadapi, terutama sekali setelah menghitung ongkos angkut
tas koran produksi dalam negeri Rp. 550.00 per kg. pada tahun 1985, sampai sekarang sudah mengalami tiga kali kenaikan, yaitu dari Rp. 550,00 menjadi Rp. 650,00 – Rp. 850,00 dan Rp. 1.050,00 per kilogram.
guna mengimbangi tuntutan masyarakat pembaca dan pemasang iklan. Kualitas kertas kóran yang stabil sangat diperlukan, yang kenyataannya sampai sekarang belum terwujud. Lagipula perbedaan kualitas yang mencolok antara kedua pabrik, menyebabkan penerbit yang menggunakannya memilih-milih demi perkembangan penerbitannya. Memang dipahami, perbedaan tersebut timbul karena bahan baku yang digunakan, yang satu bagase yang lain kertas koran bekas; tapi juga disebabkan oleh tingkat keterampilan manusianya.
5. Timbul pertanyaan mendasar dari ga gasan semula dalam perjuangan SPS dan masyarakat pers yang mendambakan kehadiran kertas koran produksi dalam negeri, guna melepaskan diri dari ketergantungan impor, dengan kenyataannya sekarang, apakah sudah dapat dilaksanakan produksi kertas koran dalam negeri sebagai penunjang pembangunan dan pengembangan Pers Nasional, atau justru sebaliknya.
2. Ada kecenderungan lepasnya keter gantungan pers nasional dari kertas impor, manjadi sangat tergantung pada kertas koran produksi dalam negeri. Karena hanya ada dua produsen, terasa kedua produsen tersebut menguasai monopoli pengadaan
menganjurkan agar masing-masing penerbit atau melalui koordinasi SPS Cabang mengadakan pendekatan dengan pihak Bank yang dapat memberikan kredit dengan jaminan kertas koran yang diterima, atau dengan PEMDA setempat guna memanfaatkan bantuan PEMDA untuk Pembinaan Pers sebagai jaminan pembelian dan pemeliharaan stock tersebut kepada Bank. Penunjukan sub distributor ternyata merupakan pilihan beberapa SPS Cabang. Hal ini telah dicoba di Surabaya dan Medan. Tapi yang berjalan sampai sekarang hanya di Medan. Dalam prinsip ini, SPS Cabang mendapat kuasa dari sebagian besar penerbit pers setempat untuk mengkoordinasikan pengadaan. SPS Cabang bekerjasama berdasarkan kontrak tertulis dengan suatu perusahaan swasta yang ditunjuknya sebagai sub distributor PT INPERS. Untuk itu kertas koran yang diambil berdasarkan masing-masing penerbit di Medan, ditebus/dibayar dulu oleh sub distributor. Penerbit dapat mengambil sewaktu-waktu bila diperlukan dengan biaya tambah atas bunga bank, sewa gudang, asuransi dan lain-lain. Tingkat biaya yang menjadi beban tambah ini, dikonsultasikan kepada SPS/ PT INPERS yang kemudian menyetujuinya maksimal tambahan biaya Rp. 35,00 per kilogram untuk pemeliharaan stock satu bulan sebelum diambil/direalisasikan oleh penerbit bersangkutan. Kelebihan biaya ini tidak mungkin dimasukkan dalam dana subsidi silang dan oleh karenanya menjadi tanggunjawab penerbit pemegang SPJ secara bersama dengan koordinasi Pengurus SPS Cabang. Tapi dengan itu, bila di daerah setempat ada penerbit yang bersanggupan memesan langsung ke PT INPERS dengan memenuhi ketentuan cash & carry, PT INPERS melayani dengan harga sebagaimana ditentukan fo gudang penerbit.
3. Bila dilihat dari kapasitas produksi ter pasang, setelah lebih dari dua tahun berproduksi, harus sudah ada jaminan bahwa pengadaan kertas sepenuhnya dapat terpenuhi, di samping kedua produsen mempunyai kesempatan untuk ekspor. Karena berdasarkan kapasitas produksi terpasang dari kedua pabrik, seharusnya setiap tahun diproduksi 160.000 ton, padahal kebutuhan pers nasional baru 120.000 ton. Kenyataannya, PT ASPEX PAPER sudah berproduksi di atas kapasitas terpasang dari 70.000 ton per tahun menjadi 90.000 ton per tahun, sedangkan PT KERTAS LECES belum sampai pada kapasitasnya. Belakangan, dengan tingginya harga di luar negeri, ada kecenderungan yang kuat kedua produsen menggalakkan ekspornya dengan mengabaikan prioritas menutup kebutuhan nasional.
6. Semangat deregulasi disadari memang merupakan perkembangan yang harus yang baru mungkin, bahwa bagai- manapun hubungan produsen dan I konsumen adalah hubungan pasar dengan segala wataknya. Jika masya- rakat pers mendambakan industri ker- tas koran menjadi pendukung pem- bangunan "Industri Pers", maka pro- duksi kertas koran di dalam negeri haruslah ditanganinya sendiri. Konsoli- dasi modal dan kebersamaan mana- jemen di antara masyarakat pers kira-nya dapat menjadi modal dan pen- dorong untuk mewujudkan sebagai ci-ta-cita dan harapan tersebut sesuai dengan realitas perkembangan eko- nomi kita. (S.L. Batubara).
TANTANGAN, HARAPAN DAN PROSPEKNYA 1. Perkembangan Pers Nasional me manfaatkan secara maksimal teknologi
4. Kondisi harga di luar negeri tersebut berpengaruh pula pada sikap produsen untuk menaikkan harga. Sejak Mei 1988, sudah ada permintaan kenaikan harga. Dan sejak ketentuan harga ker Page 14
INVENTARISASI PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PERS NASIONAL
Investrisasi Pertumbuhan dan Perkembangan Pers Nasional (selanjutnya disebut IPPPN) yang sekarang ini telah mentradisi dan wajib diikuti oleh seluruh penerbit pers, sesungguhnya merupakan lahan informasi yang menyajikan seluk beluk kehidupan pers nasional. Peranan IPPPN akan menjadi teramat penting artinya, terutama bila dikaitkan dengan upaya memperoleh data lengkap dan akurat yang pada gilirannya sangat berguna untuk usaha peningkatan pembinaan serta pengembangan pers secara menyeluruh.
erlunya pelaksanaan IPPPN ter
Daerah Istimewa Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau ambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Daerah Khusus Ibukota Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Daerah Istimewa Yogyakarta Jawa Timur Ваті Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Maluku Irian Jaya Timor Timur
211 82 12 29 10 87 24 1.723 138 149 134 263 60 12 16 39 20 44 75 62 42
1.28 6,15 2,39 0,35 0,85 0,30 2,53 0,70 50.16 4,03 4,34 3.90 7.65 1,74 0.34 0.46 1,13 0,59 1,28 2,18 1,80 1,23 0,12 3,43 0,69 0,29 0,08
Daerah Istimewa Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Daerah Khusus Ibukota Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Daerah Istimewa Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Maluku Irian Jaya Timor Timur Luar Negeri Lain-lain
101.662 514.254 176.874 123.916 85.032 42 325 284.962
1,04 5,27 1,81 1,27 0,87 0,43 2,92
TABEL VII PEMAKAIAN KERTAS MENURUT DAERAH
D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung D.K.I. Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Maluku Irian Jaya Timor Timur
KORAN MASUK DESA SALAH SATU MEDIA MASSA PEDESAAN PENGGERAK PEMBANGUNAN NASIONAL
Kehadiran dan keberadaan Koran Masuk Desa (KMD) adalah sebagai sarana informasi dan komunikasi di pedesaan yang bertugas memberikan motivasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, merubah sikap mental, mendorong tekad melaksanakan pembangunan nasional sebagai satu-satunya upaya untuk menciptakan kemandirian dan kekenyalan masyarakat pedesaan dalam menghadapi setiap tantangan dan perubahan.
MD melalui berbagai tulisan/ulasan
Maksud dan Tujuan KMD : Pelaksana program Koran Masuk Desa adalah penerbit pers daerah yang ditunjuk oleh Pemerintah berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama yang ditetapkan setiap tahun dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan RI. Sedangkan penerbit pers daerah yang ditetapkan sebagai pelaksana program Koran Masuk Desa itu berdasarkan usulan organisasi pers (PWI dan SPS cabang) dan direkomenasikan Pemerintah Daerah Tingkat I dalam hal ini oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi setempat, PWI dan SPS Pusat. Program Koran Masuk Desa (KMD) ini mulai dilaksanakan pada awal Pelita III yakni pada tahun 1979/1980. Sebelum dimulainya program KMD, telah dirintis dengan program PKUDP (Penerbitan Khusus Untuk Daerah Pedesaan) di 5 Kanwil Deppen, yakni : Mingguan Tandang untuk Daerah Jawa Barat, Mingguan Tinarbuka untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, Mingguan Makarya untuk Daerah Jawa Tengah, Mingguan Harapan untuk Daerah Jawa Timur serta Mingguan Diantara untuk Daerah Sulawesi Selatan. Tujuan penerbitan Mingguan PKUDP ini, yakni meningkatkan kegemaran membaca; membantu usaha pemberantasan buta huruf gaya baru yang mencakup buta aksara, buta bahasa Indonesia dan buta pendidikan dasar; mempelajari jalur distribusi yang efektif yang dapat menjangkau daerah pedesaan serta meningkatkan kegairahan berpartisipasi masyarakat pedesaan dalam pembangunan. Page 15
peroleh pendidikan (non formal melalui pers, mudah, murah dan efektif) dan kesempatan kerja. Apabila kegiatan tersebut berkembang, pasti memerlukan petugas-petugas tetap/tidak tetap sebagai tenaga pengisi dan penyalur penerbitan di kabupaten, kecamatan dan desa.
dan memperluas kegiatan penerangan di seluruh pelosok tanah air, perlu dilanjutkan dan ditingkatkan kegiatan serta jangkauan Koran Masuk Desa di samping sarana-sarana media massa lainnya. Dengan program KMD diharapkan pers nasional di daerah dapat berkembang dan tumbuh mandiri menjadi pers yang sehat, yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Penerangan/Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika cq. Proyek Pembinaan Pers. Dilihat dari segi biaya produksi penerbitan pers, besarnya bantuan tersebut belumlah memadai untuk membiayai ongkos cetak. Apalagi untuk biaya distribusi penerbitan pers. Namun jika dilihat dari kondisi anggaran sekarang ini, maka bantuan tersebut membuktikan besarnya perhatian Pemerintah terhadap pembangunan pers nasional. Sebab besar kecilnya bantuan Pemerintah sangat tergantung kepada kondisi ekonomi nasional/ APBN. Guna memberikan gambaran yang jelas mengenai perkembangan anggaran/ biaya bantuan, oplah kontrak dan realitas, jumlah pelaksana dan jumlah propinsi sebagaimana tercermin pada Tabel I di bawah ini :
Dalam pelaksanaannya selama ini ternyata kehadiran program Koran Masuk Desa semakin dirasakan peranannya sebagai sarana penyalur pesan-pesan pembangunan dalam rangka melaksanakan komunikasi dua arah antara masyarakat dengan Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan MPR No. Il Tahun 1988 bahwa dalam rangka meningkatkan
Bentuk bantuan : Program KMD tersebut dilaksanakan dalam bentuk bantuan Pemerintah berupa bantuan biaya produksi untuk biaya cetak dan distribusi serta penyebaran sebesar Rp. 43,- per eksemplar kepada penerbit pelaksana untuk menerbitkan KMD berdasarkan kontrak antara Departemen
Keterangan : Ĥ belum dilakukan pendataan ☆ * data belum ada, karena berada dalam tahun berjalan
lain ditetapkan bahwa kegiatan KMD perlu dilanjutkan, ditingkatkan dan diperluas jangkauannya. Selanjutnya kehadiran KMD sebagai sub sistem pers nasional juga untuk memantapkan dan memperkokoh kehidupan pers nasional di daerah yang umumnya masih lemah agar dalam Pelita V dalam bidang pers secara keseluruhan tercipta pula kerangka landasan yang kokoh kuat untuk siap tolak landas bersama-sama dengan semua kegiatan pembangunan nasional dalam Pelita VI. Pembangunan nasional jangka panjang yang mantap yang didukung partisipasi masyarakat disebabkan oleh motivasi pers termasuk KMD didalamnya pada gilirannya akan memberikan akibat positif bagi pertumbuhan dan perkembangan pers itu sendiri. (WL).
SEDANG BERKEMBANG BELUM BERHASIL (PAS-PASAN) (LEMAH)
Suratkabar Harian Suratkabar Mingguan Majalah Mingguan Majalah Tengah Bulanan Majalah Bulanan Majalah Triwulanan Bulletin
28.92 37,90 35,29 20,44 14,93 40 17.44
11,47 7,71 10.05 7,71 2.09 10 9,41
16.90 11.73 15,54 27,62 16,61
9.79 10,61 12,96 20,52 53,14
DUA BELAS WARTAWAN MENDAPAT PENGHARGAAN PIAGAM PENEGAK PERS PANCASILA
Untuk kedua kalinya Pemerintah cq Departemen Penerangan RI menyerahkan Piagam Penghargaan Penegak Pers Pancasila - setelah yang pertama berlangsung di tahun 1982 - kepada 12 orang tokoh/eksponen pers di Gedung Dewan Pers, Rabu 28 September 1988. Jika yang pertama, cukup dengan predikat "Satya Penegak Pers", kepada 10 Patriot Pers Pancasila yang dianggap aktif melawan G-30-S/PKI maka kali ini predikatnya mendapat tambahan "Penegak Pers Pancasila", dengan konotasi yang sama, yaitu para eksponen pers yang secara patriotik berani menghadapi dan menentang gerakan komunis/PKI. Ke-12 orang tokoh pers yang mendapat Piagam dan Medali Penegak Pers Pancasila disertai uang tunai Rp. 750.000,- itu adalah :
2. Soekarno Hadi Wibowo (61), Pemimpin Umum/Pemred Hr. BERITA BUANA, Jakarta. 3. Wienaktoe S.A. (68), Pemimpin Umum/Pemred Mingguan BINTANG INDONESIA, Jakarta. 4. Joenoes Loebis (56), mantan Pemimpin Redaksi Hr. WARTA BERITA, Jakarta (sekarang bersama B.M. Diah mengelola tambak udang di Pulau Bangka). 5. Hidayat Rahardjo (59) mantan Pem. Umum/Pemred Hr. REVOLUSIONER, Jakarta. 6. Soegiarso Soerojo (67), Pem. Umum/Pemred Majalah SARINAH, Jakarta. 7. Alm. Sakti Alamsjah mantan Pem. Umum/Pemred Hr. PIKIRAN RAKYAT, Bandung. 8. Alm. H. Hetami, mantan Pem. Umum/Pemred Hr. SUARA MERDEKA, Semarang.
1. Hajjah Ani Idrus (69), Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian WASPADA, Medan.
Keduabelas wartawan/ahli waris penerima Penegak Pers Pancasila bergambar bersama Menteri Penerangan, H. Harmoko. Dari kiri : Hajjah Ani Idrus, Soekarno Hadi Wibowo, Wienaktoe, Soegiarso Soeroyo, Joenoes Loebis, Hidayat Rahardjo, Menteri Penerangan. Mengapit Ketua Umum PWI Pusat, Zulharmans, masing-masing Ny. Sakti Alamsyah, Ny. H. Hetami, Ny. M. Wonohito, Ny. Toety Azis mewakili almarhum suaminya dan para ahli waris almarhum Sjamsuddin DL serta almarhum AS. Musaffa, S.H. diwakili oleh puteranya. (Foto : Yudha R-33).
Kelengahan yang paling fatal menurut Menteri, terjadi pada tahun 1958-1960 di mana PWI kemasukan sisa-sisa PKI Madiun yang akhirnya berhasil memporakporandakan organisasi PWI termasuk para wartawan dan penerbitan-penerbitan yang menegakkan Pancasila.
Akhirnya Menpen meminta kepada segenap jajaran Pers Nasional agar pengalaman di masa lalu itu dapat dijadikan tekad, untuk tetap teguh dalam sikap dan tekad menutup secara total terhadap segala luang dan segala sarana yang kemungkinan dapat dipakai menghidupkan kembali PKI dalam segala bentuk dan manifestasinya.
9. Alm. M. Wonohito, mantan Pem. Umum/Pemred Hr. KE DAULATAN RAKYAT, Yogyakarta. 10. Alm. A. Aziz, mantan Pem. Umum/Pemred Hr. SUARA BAYA POST, Surabaya. 11. Alm. Sjamsoeddin D.L., mantan Pem. Umum/Pemred Hr. TEGAS, Ujungpandang. 12. A.S. Musaffa, SH., mantan Pem. Umum/Pemred Hr. INDONESIA BERJUANG, Banjarmasin. Keharuan pada upacara penganugerahan tersebut yang dilakukan oleh Menteri Penerangan H. Harmoko, antara lain disebabkan separuh dari nama-nama penerima piagam tersebut sudah mendahului kita, sehingga diwakili oleh para anggota keluarga almarhum, yang tidak sedikit yang menahan linangan air mata mengenang masa lalu mereka. Pidato Menteri Harmoko Dalam sambutannya Menteri Penerangan mengatakan, kalangan pers harus senantiasa berperan aktif dalam mencegah terulangnya G-30-S/PKI. Sebab itu pers perlu secara terusmenerus meningkatkan kewaspadaan nasional dalam rangka menghadapi nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Pancasila. Menteri mengingatkan, bahwa secara konstitusional kita perpegang pada Tap MPR XXV Tahun 1966 yang isinya antara lain menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunis/ marxisme-leninisme. Mengingat pentingnya peranan pers di masyarakat, kalangan pers tidak boleh mempekerjakan sisasisa G-30-S/PKI ataupun insan pers yang berkecenderungan i komunis. Kepada kalangan pers Menteri dengan tegas memperingat· kan, yang memperkerjakan sisa-sisa G.30.S/PKI, SIUPP-nya , akan dibatalkan. "Pemerintah tidak akan segan-segan mem
Sambutan Ketua Umum PWI Pusat Dalam sembutannya, Ketua Umum PWI Pusat, Zulharmans mengatakan, dipilihnya momentum Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 1988, sebagai hari penganugerahan Piagam dan penghargaan Penegak Pers Pancasila, adalah untuk menyatakan penghormatan dan sekaligus pula menghargaan PWI kepada tokoh-tokoh dan eksponen Pers Nasional yang telah menampilkan sosok keberanian yang heroik dan patriotik dalam menghadapi suasana penindasan yang penuh intrik dan intimidasi, bahkan provokasi dan teror mental yang ditujukan kepada tokoh-tokoh wartawan dan pers nasional yang menentang otoriterisme komunis/PKI.
Sambil mengingatkan, penghargaan serupa sebelumnya pernah diberikan PWI (1982) berupa Satya Penegak/Pers kepada 10 patriot Pers Pancasila yang dianggap aktif melawan komunis G.30.S/PKI. PWI akan melestarikan tradisi pemberian penghargaan tersebut untuk masa-masa mendatang.
Seperti diketahui, ke-10 tokoh Pers yang pernah menerima Satya Penegak Pers di tahun 1982, adalah : Alm. Sumantoro, Alm. Asnawi Idris, Alm. Suhartono, Alm. Sutomo Satiman, Alm. H. Achmad Dahlan, Alm. Tengku Syahril, Alm. Arif Lubis, Alm. Zein Effendi, SH dan Sayuti Melik.
Upacara penganugerahan Piagam Penegak Pers Pancasila di Gedung Dewan Pers dan yang dihadiri oleh para tokoh pers, al. Jakob Oetama, Goenawan Mohamad, Ketua PWI Jaya H. Sofyan Lubis itu, didasarkan pada SK PWI Pusat No. 11/PPPWI/1988 tanggal 28 September 1988 setelah memperhatikan keputusan Sidang Pleno Dewan Pers ke-31 tanggal 20-21 September yang lalu di Pulau Batam.
Sekretaris Tetap Asian Agricultural Journalists and Writers Association (AAJWA).
Dr. JANNER SINAGA Ph.D. (Doktor) dalam bidang Intemasional Relations, Master of Art (M.A.) in Comparative Government dari George Washington University. Ketika Mahasiswa, ia pelopor dan pendiri Persatuan Mahasiswa Indonesia di A.S. (PERMIAS). Pengalaman pekerjaan, Koordinator Penelitian masalah IPOLEKSOSBUDMIL di Staf Ketua Atase Pertahanan di Kedutaan Besar R.I. di Washington D.C. (1966-1974), merangkap Kepala Perwakilan Harian Angkatan Bersenjata dan Pusat Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB) untuk Amerika Serikat. Staf Pribadi Menhankam/Pangab urusan Hubungan Internasional (1974), Asisten Politik Luar Negeri Menko Polkam kemudian Staf Ahli Bidang Politik dan Keamanan Menko Polkam (1978), dan pernah menjadi Dosen masalah-masalah internasional dan regional di Sekolah Staf Komando Gabungan Angkatan Bersenjata (Seskogab), dan Sekolah Staf & Komando Angkatan Laut (Seskoal) serta Lemhannas. Kini Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan.
Drs. D.H. ASSEGAFF - Sarjana Publisistik Universitas Indonesia (1963). Lahir di Tanjungkarang Bandar Lampung 12 Desmber 1932. Selama 7 tahun menjadi Ketua Jurusan Pub'rsistik U.I. Kini masih tenaga pengajar tetap untuk Komunikasi dan Pembangunan pada FIS-Ul. Terjun ke dunia kewartawanar sejak tahun 1953. Ia adalah alumnus dan anggota Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Jakarta sejak akhir tahun 1979. Jabatan di PWI Pusat sebagai Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri, Sekretaris Eksekutif Confederation of ASEAN Journalists, dan Direktur Lembaga Pers Dr Soetomo.
ZULHARMANS SAID - lahir di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 14 Desember 1933. Pendidikan Umum Sarjana I, FH. UI tahun 1964. Alumnus KRA-XI Lemhannas 1978/79. Karir di pers sejak 1954 di Mj. Dunia Film, redaksi Mil. Merdeka (1955-1956), Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Skh. Minggu (1958-1960), Wk. Pemred/Penjab. Hr. KAMI (1966-1972), Penjab Mil. Berita Minggu & Film, kini Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Skh. Neraca. Ketua Umum PWI Pusat, dan Direktur Utama P.T. Industri $ Perbekalan Pers, Ketua Dewan Pertimbangan SPS.
PARNI HADI lahir 13 Agustus 1948. Masuk ANTARA • Januari 1973 sebagai Redaktur Inggeris sampai 1977. Reporter Istana Presiden (1977-1979). Tugas belajar tentang Science Writing di Jerman Barat (1979-1980), Kepala Perwakilan ANTARA Eropa di Hamburg (1981-1986), Kepala Redaksi Inggeris (1987) dan Kepala Redaksi Umum mulai 1 Januari 1988 Di OANA sebagai Sekretaris Jenderal untuk periode 1988-1991. Mengikuti International Visitor Program di Amerika Serikat untuk diskusi tentang "US Foreign Policy Decision Making bersama wartawan, politisi dan diplomat dari Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Latin dari tanggal 7 November hingga 2 Desember 1988.
TRIBUANA SAID - lahir di Medan, 6 Agustus 1940. Pada tahun 1973-74 mendapat Professional Journalism Fellowship dari University of Michigan, Ann Arbor, AS. Tahun 1981, memperroleh gelar Master dalam studi pembangunan dari Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda. Sebelumnya, dari institute yang sama ia memperoleh diploma pasca-sarjana dalam hubungan internasional dan pembangunan. Alumnus dan anggota Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) Jakarta sejak akhir 1984. Kini Direktur Redaksi harian Waspada Medan, Wakil Sekretaris Jenderal merangkap Direktur Program Pendidikan PWI Pusat, Direktur Confedaration of ASEAN Journalists, dan
BATY SUBAKTI - lahir 15 Oktober 1946. Pendidikan Hotel Š Restaurant Management dan berbagai pendidikan management, marketing dan advertising di Jakarta, Singapura. Kua a Lumpur, London dan Sidney. Pengalaman di bidang periklanan/pers sejak 1971 hingga 1980, diantaranya Managing Director B & B Advertising (1980) Anggota Presidium Komisi Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (1981 sampai sekarang), Anggota Dewan Direksi dan Dewan Pengawas Badan Penyalur dan Pemerataan Per. iklanan (1984 sampai sekarang), Anggota Board Council of AFAA (Asian Federation of Advertising Association), Anggota Dewan Pers (1987 sampai Sekarang) dan Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI).
Pindahan dari halaman 42.
Sebagai bukti diterangkan bahwa sekian jauh Departemen Penerangan telah mengeluarkan sejumlah 134 buah izin terbit bagi penerbitan kampus di dalam berbagai bidang di berbagai kampus di seluruh Indonesia. Diingatkan pentingnya memperhatikan salah satu kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemerintah yaitu bahwa pers kampus tidak Page 16 |