Rasulullah melarang laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari

Laki-laki Muslim dilarang menggunakan pakaian dari sutra. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن لبِس الحريرَ في الدُّنيا لم يلبَسْه في الآخرةِ وإنْ دخَل الجنَّةَ لبِسه أهلُ الجنَّةِ ولم يلبَسْه هو

“Barangsiapa yang memakai pakaian dari sutra di dunia, dia tidak akan memakainya di akhirat. Walaupun ia masuk surga dan penduduk surga yang lain memakainya, namun ia tidak memakainya” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, no. 5437, dishahihkan oleh Al Aini dalam Nukhabul Afkar 13/277).

Ath Thahawi rahimahullah mengatakan:

الآثار متواترة بذلك

“Hadits-hadits tentang ini (larangan memakai sutra) mutawatir” (Syarah Ma’anil Atsar, 4/246).

Mutawatir artinya hadits tentang ini sangat banyak dan shahih sehingga mencapai tingkat yakin.

Wanita boleh menggunakan sutra

Dan larangan ini berlaku untuk laki-laki. Adapun wanita dibolehkan menggunakan pakaian sutra. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

أُحلَّ الذهبُ والحريرُ لإناثِ أُمتي، وحُرِّم على ذكورِها

“Dihalalkan emas dan sutra bagi wanita dari kalangan umatku, dan diharamkan bagi kaum laki-lakinya” (HR. An Nasa’i no. 5163, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ mengatakan:

لبس الحرير حلال للنساء مطلقا، أما الرجال فلبسه حرام عليهم إلا للضرورة؛ كمن بجلده حكة لجرب ونحوه، فيجوز له لبسه حتى تزول الضرورة.

“Penggunaan sutra bagi wanita hukumnya halal secara mutlak. Adapun laki-laki, maka haram memakainya kecuali jika darurat. Semisal jika di kulitnya ada penyakit gatal karena kudis atau semacamnya. Dalam keadaan demikian maka boleh menggunakannya hingga hilangnya kondisi darurat” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, pertanyaan ke-2 dari fatwa no. 8434).

Penggunaan sutra untuk selain pakaian

Perlu diketahui bahwa laki-laki tidak hanya dilarang menggunakan sutra, namun juga dilarang sengaja duduk di atas sutra. Dari Hudzaifah radhiallahu’anhu beliau berkata:

نَهَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ وَأَنْ نَجْلِسَ عَلَيْهِ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang kami memakai pakaian sutra dan dibaj (sutra yang bergambar), dan melarang kami duduk di atasnya” (HR. Bukhari no. 5837).

Imam An Nawawi mengatakan:

يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ اسْتِعْمَالُ الدِّيبَاجِ وَالْحَرِيرِ فِي اللُّبْسِ وَالْجُلُوسُ عَلَيْهِ وَالِاسْتِنَادُ إلَيْهِ وَالتَّغَطِّي بِهِ وَاِتِّخَاذُهُ سَتْرًا وَسَائِرُ وُجُوهِ اسْتِعْمَالِهِ , وَلَا خِلَافَ فِي شَيْءٍ مِنْ هَذَا إلَّا وَجْهًا مُنْكَرًا حَكَاهُ الرَّافِعِيُّ أَنَّهُ يَجُوزُ لِلرِّجَالِ الْجُلُوسُ عَلَيْهِ , وَهَذَا الْوَجْهُ بَاطِلٌ وَغَلَطٌ صَرِيحٌ مُنَابِذٌ لِهَذَا الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ , هَذَا مَذْهَبُنَا , فَأَمَّا اللُّبْسُ فَمُجْمَعٌ عَلَيْهِ , وَأَمَّا مَا سِوَاهُ فَجَوَّزَهُ أَبُو حَنِيفَةَ ، وَوَافَقَنَا عَلَى تَحْرِيمِهِ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَمُحَمَّدٌ وَدَاوُد وَغَيْرُهُمْ . دَلِيلُنَا حَدِيثُ حُذَيْفَةَ , وَلِأَنَّ سَبَبَ تَحْرِيمِ اللُّبْسِ مَوْجُودٌ فِي الْبَاقِي

“Lelaki diharamkan menggunakan sutra untuk pakaian, atau untuk dijadikan alas duduk, atau alas sandaran, atau untuk menyelimuti diri, atau sebagai penutup sesuatu, atau segala bentuk penggunaan. Tidak ada khilaf dalam masalah ini kecuali satu pendapat yang munkar yang disebutkan oleh Ar Raf’i bahwa laki-laki dibolehkan duduk di atas sutra. Ini pendapat yang batil dan sangat jelas kelirunya, tidak boleh dipegang, karena hadits shahih di atas. Ini adalah madzhab kami. Adapun memakai pakaian sutra, maka ini disepakati haramnya. Adapun penggunaan selain pakaian, Abu Hanifah membolehkannya. Adapun Malik, Ahmad, Muhammad, Daud dan selainnya sepakat dengan kami akan keharamannya. Dalil kami adalah hadits Hudzaifah. Dan karena sebab pelarangan menggunakan pakaian sutra, ini juga terdapat pada penggunaan sutra untuk selain pakaian” (Al Majmu’, 4/321).

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya: “apa hukum menggunakan selimut, bed cover atau sprei dari sutra”? Beliau menjawab:

لا يجوز للرجل استعمال الأغطية والفرش من الحرير ؛ لأن الله حرمه على الرجال

“tidak diperbolehkan laki-laki menggunakan selimut atau sprei dari sutra, karena Allah telah haramkan sutra bagi laki-laki” (Muntaqa Fatawa Al Fauzan, 7/95).

Dibolehkan menggunakan sutra untuk pengobatan

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memberikan kelonggaran bagi laki-laki untuk menggunakan sutra dalam pengobatan. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu beliau berkata:

رَخَّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلزُّبَيْرِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ لِحِكَّةٍ بِهِمَا

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memberikan kelonggaran untuk Zubair dan Abdurrahman untuk memakai sutra karena penyakit gatal yang mereka derita” (HR. Bukhari no. 5839, Muslim no. 2076).

Ibnu Hajar mengatakan:

Rasulullah melarang laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari
Rasulullah melarang laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari

قَالَ الطَّبَرِيُّ : فِيهِ دَلَالَة عَلَى أَنَّ النَّهْي عَنْ لُبْس الْحَرِير لَا يَدْخُل فِيهِ مَنْ كَانَتْ بِهِ عِلَّة يُخَفِّفهَا لُبْس الْحَرِير

“Ath Thabari menjelaskan: dalam hadits ini terdapat dalil bahwa larangan menggunakan sutra tidak termasuk di dalamnya orang yang memiliki penyakit yang bisa diringankan dengam memakai sutra” (Fathul Baari, 16/400).

Sehingga dibolehkan menggunakan sutra jika ada kebutuhan untuk menyembuhkan penyakit atau kondisi darurat.

Demikian uraian ringkas mengenai penggunaan sutra. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lamu bis shawab.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id

🔍 Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, Ilmu Terawang Menurut Islam, Menjauhi Dosa Besar, Hukum Berhubungan Badan Setelah Haid Berhenti Tetapi Belum Mandi Wajib, Waktu Sholat Dzuhur Hari Ini

Memakai pakaian berwarna merah termasuk perkara yang diperselisihkan oleh para ulama. Hal ini karena adanya hadits-hadits yang membolehkan dan di sisi lain ada hadits-hadits yang melarangnya. Oleh karena itu, kami sebutkan terlebih dahulu hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini.

Hadits-hadits tentang memakai pakaian berwarna merah

Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan larangan memakai pakaian berwarna merah. Di antaranya adalah diceritakan dari Al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ: عَنْ لُبْسِ الحَرِيرِ، وَالدِّيبَاجِ، وَالقَسِّيِّ، وَالإِسْتَبْرَقِ، وَالمَيَاثِرِ الحُمْرِ

“ … Dan (Nabi) melarang tujuh perkara, yaitu memakai kain sutra, dibaj, qasiy (pakaian yang bercorak sutera), istabraq, mayatsir al-humr.” (HR. Bukhari no. 5849)

Al-Bukhari membawakan hadits ini dalam Kitaabul Libaas (kitab masalah pakaian), bab pakaian berwarna merah. 

Ath-Thabari rahimahullah berkata menafsirkan “mayatsir al-humr”,

قال الطبرى‏:‏ المثيرة‏:‏ وطأ كان النساء يوطئه لأزواجهن من الأرجوان الأحمر على سروج خيلهم أو من الديباج والحرير، وكان ذلك من مراكب العجم‏

“Ath-Thabari mengatakan, “Al-mitsarah artinya alas yang biasanya para wanita dahulu meletakkannya pada pelana tunggangan suami mereka. Terbuat dari kain merah, atau terbuat dari kain dibaj (brokat) atau kain sutra. Ini berasal dari kebiasaan orang-orang ‘ajam (non Arab).” (Syarah Shahih Bukhari li Ibni Bathal, 9: 123)

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ، وَعَنِ الْقَسِّيِّ، وَعَنِ الْمَيَاثِرِ الْحُمْرِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memakai cincin emas, qasiy, dan mayatsir al-humr.” (HR. An-Nasa’i no. 5166, dinilai shahih oleh Al-Albani) .

Juga diceritakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

نُهِيتُ عَنِ الثَّوْبِ الْأَحْمَرِ، وَخَاتَمِ الذَّهَبِ، وَأَنْ أَقْرَأَ وَأَنَا رَاكِعٌ

“Saya dilarang untuk memakai pakaian berwarna merah, cincin emas, dan membaca Al-Qur’an ketika rukuk.” (HR. An-Nasa’i no. 5266 dan sanadnya dinilai shahih oleh Al-Albani).

Adapun hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya memakai pakaian berwarna merah di antaranya dari sahabat Al-Barra’ radhiyallahu ‘anu, beliau menceritakan,

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَحْسَنَ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih bagus dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengenakan baju berwarna merah” (HR. Bukhari no. 5901 dan Muslim no. 2337)

Juga dari sahabat Al-Barra’ radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْبُوعًا، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ، مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang (tidak tinggi dan tidak pendek). Saya melihat beliau mengenakan pakaian merah, dan saya tidak pernah melihat orang yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari no. 5848).

Baca Juga: Pakaian Tampil Beda (Syuhroh)

Pendapat para ulama dalam menyikapi hadits tentang memakai pakaian berwarna merah

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hadits-hadits tersebut menjadi beberapa pendapat. 

Pendapat pertama, menyatakan terlarangnya memakai pakaian berwarna merah secara mutlak, dalam rangka kehati-hatian dan memenangkan hadits-hadits yang berisi larangan memakai pakaian berwarna merah secara mutlak. 

Pendapat kedua, menyatakan boleh memakai pakaian berwarna merah secara mutlak. Pendapat ini adalah kebalikan dari pendapat yang pertama.

Pendapat ketiga, menyatakan makruh memakai pakaian yang dicelup dengan warna merah secara penuh, namun jika warna merahnya itu ringan (tidak penuh), diperbolehkan. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid. 

Pendapat keempat, menyatakan makruh memakai pakaian merah secara mutlak jika bertujuan untuk perhiasan dan ketenaran. Namun boleh jika dipakai di dalam rumah atau di tempat kerja. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dan juga pendapat yang dipilih oleh Imam Malik.

Pendapat kelima, larangan tersebut berlaku jika warna merah tersebut adalah warna merah murni (polos berwarna merah). Sehingga diperbolehkan jika terdapat garis-garis. Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. 

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, 

كان بعض العلماء يلبس ثوبا مشبعا بالحمرة يزعم أنه يتبع السنة وهو غلط فإن الحلة الحمراء من برود اليمن والبرد لا يصبغ أحمر صرفا

“Ada ulama yang mengenakan kain berwarna merah polos dengan anggapan bahwa itu mengikuti sunnah. Padahal itu adalah sebuah kekeliruan. Karena kain merah yang Nabi kenakan itu tenunan Yaman, sedangkan tenunan Yaman itu tidak berwarna merah polos.” (Fathul Bari, 10: 319)

Syaikh ‘Abdul Aziz Ar-Rajihi hafidzahullah mengatakan, “Ini adalah pendapat yang dipilih oleh guru kami (yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah).”

Rasulullah melarang laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari
Rasulullah melarang laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari

Pendapat Ibnul Qayyim rahimahullah tersebut juga dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata,

هذه الحلة الحمراء ليس معناها أنها كلها حمراء لكن معناها أن أعلامها حمر مثل ما تقول الشماغ أحمر وليس هو كله أحمر بل فيه بياض كثير لكن نقطه ووشمه الذي فيه أحمر كذلك الحلة الحمراء يعني أن أعلامها حمر أما أن يلبس الرجل أحمرا خالصا ليس فيه شيء من البياض فإن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ذلك

“Kain berwarna merah yang Nabi pakai tidaklah berwarna merah polos. Akan tetapi, kain yang memiliki garis-garis berwarna merah. Hal ini sejenis dengan istilah “kain sorban merah”, padahal tidaklah seluruhnya berwarna merah polos, bahkan banyak memiliki warna putih. Disebut demikian karena titik dan coraknya didominasi oleh warna merah. Demikian pula sebutan “kain tenun berwarna merah” maksudnya kain yang memiliki garis-garis berwarna merah. Adapun seorang laki-laki yang memakai kain berwarna merah polos tanpa ada warna putihnya sama sekali, itu adalah perkara yang dilarang oleh Nabi.” (Syarah Riyadhus Shalihin, Maktabah Syamilah)

Pendapat keenam, larangan tersebut dimaknai sebagai makruh tanzih (dibolehkan). Dalil yang memalingkan larangan tersebut dari hukum haram adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memakai pakaian berwarna merah (sehingga menyelisihi larangan). Ini adalah kaidah yang sudah dikenal (dalam ushul fiqh). Yaitu, jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan suatu perkara, kemudian beliau melakukan perkara kebalikannya atau meninggalkan perintah tersebut, maka perbuatan Nabi tersebut menunjukkan bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan. Adapun perintah Nabi tersebut menunjukkan hukum sunnah (tidak sampai derajat wajib, pent.), sedangkan larangan Nabi dimaknai sebagai larangan tanzih (tidak sampai derajat haram, pent.). 

Dalil yang memalingkan larangan Nabi dari hukum haram menjadi larangan tanzih adalah perbuatan Nabi itu sendiri. Sebagaimana jika Nabi memerintahkan sesuatu, kemudian Nabi meninggalkan perintah tersebut, maka perbuatan Nabi yang meninggalkan perintah tersebut adalah dalil bahwa perintah tersebut hukumnya sunnah (tidak sampai derajat wajib, pent.). Sedangkan perbuatan Nabi menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.

Kesimpulan

Setelah menyebutkan pendapat para ulama tersebut, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rajihi hafidzahullah mengatakan,

“Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang kelima dan keenam. Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi”. 

Meskipun demikian, dalam rangka kehati-hatian, agar seorang laki-laki tidak memakai pakaian berwarna merah polos dalam rangka keluar dari khilaf (perselisihan para ulama). Andaikan ingin memakai pakaian yang berwarna merah, hendaknya pakaian tersebut memiliki garis-garis dan tidak polos. Wallahu Ta’ala a’alam.

[Selesai]

Baca Juga:

Referensi:

Taqyiidusy Syawaarid minal Qawaa’id wal Fawaaid, karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Ar-Rajihi, hal. 390-392.

@Kantor YPIA, 23 Syawal 1441/ 15 Juni 2020

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

🔍 Hadist Sombong, Tentang Karma, Jual Beli Lelang, Halalkah Bekerja Di Bank, Dimana Letak Surga