Perilaku yang berdasarkan ilmu pengetahuan sungguh tidak akan mendatangkan

Jakarta -

Keutamaan ilmu, belajar dan mengajarkan ilmu sangat penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur'an juga disebutkan beberapa keutamaan ilmu. Apa saja?

Rasulullah SAW bersabda,

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Artinya: "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim." (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir no. 3913)

Berikut beberapa keutamaan dalam Islam berikut dalilnya dari Al Qur'an:

1. Orang Berilmu Diangkat Derajatnya

Allah SWT berfirman:

"...Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat..." (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).

Dan Allah SWT berfirman:

"Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. Al-Mulk : 10).

Allah SWT sudah memberikan banyak kenikmatan. Jika kita tidak gunakan dengan baik, maka kita akan menjadi salah satu orang yang merugi. Seperti tercantum dalam surat Al-Mulk ayat 10.

Perilaku yang berdasarkan ilmu pengetahuan sungguh tidak akan mendatangkan
Keutamaan ilmu dalam Islam. Foto: iStock

2. Orang Berilmu Takut Kepada Allah SWT

Dalam surat Fatir ayat 28, Allah SWT berfirman:

"Dan demikian pula diantara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya dan jenisnya. Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun."

Ayat ini menjelaskan tentang, dengan ilmu, seseorang akan lebih memahami bagaimana kehidupan ini diciptakan dan mendalami pengetahuan tentang kuasa Allah SWT sebagai sang maha pencipta. Orang berilmu akan takut melakukan hal-hal yang mengandung dosa karena ia memiliki pengetahuan akan kekuasaan dan juga kebesaran Allah SWT.

3. Orang Berilmu akan Diberi Kebaikan Dunia dan Akhirat

Dalam surat Al-Baqarah [2]: 269, Allah SWT berfirman:

"Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)."

4. Orang Berilmu Dimudahkan Jalannya ke Surga

Dalam sebuah hadist tentang keutamaan ilmu pengetahuan dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda:

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Artinya: "Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim, no. 2699)

Perilaku yang berdasarkan ilmu pengetahuan sungguh tidak akan mendatangkan
Keutamaan ilmu dalam Islam. Foto: iStock

5. Orang Berilmu Memiliki Pahala yang Kekal

Ilmu akan kekal dan bermanfaat bagi pemiliknya walaupun ia telah meninggal. Disebutkan dalam sebuah hadist tentang keutamaan ilmu dalam Islam:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia berkata kepada Rasullullah shallallahu'alaihi wa sallam:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Artinya: "Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do'a anak yang sholeh" (HR. Muslim no. 1631)

(lus/erd)

Semua orang menginginkan perilaku dirinya menjadi semakin baik. Akan tetapi ternyata menjadi orang baik tidak selalu mudah. Setiap orang menginginkan agar dirinya menjadi sabar, ikhlas, istiqomah dalam melakukan sesuatu, adil, jujur, banyak bersyukur, dan seterusnya. Akan tetapi, hal demikian itu tidak selalu mudah dilakukan. Seseorang menginginkan agar ikhlas dalam menerima berbagai kenyataan hidup, tetapi untuk memiliki sifat terpuji itu juga tidak mudah.

Sifat-sifat terpuji itu tidak akan tumbuh pada diri seseorang hanya atas nasehat orang lain. Umpama hanya dengan jalan dinasehati, sifat terpuji menjadi milik seseorang, maka betapa banyak orang baik. Namun jangankan mereka yang dinasehati, sementara itu orang yang memberi nasehat saja tidak selalu mampu menjalankannya sendiri. Seseorang yang memberi nasehat agar orang lain sabar, banyak bersyukur, ikhlas, dan lain-lain, ternyata dirinya sendiri saja tidak selalu mampu menjalankannya.

JIka demikian tersebut keadaannya, maka pertanyaannya adalah apa sebenarnya yang menjadikan seseorang semakin baik. Apakah perilaku baik itu tidak bisa diusahakan, termasuk oleh yang bersangkutan sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, siapa saja pasti tidak akan mau menjadi pencuri, koruptor, penipu. penghasut, dan sejenisnya. Mereka tahu bahwa perbuatan tersebut adalah buruk atau tercela. Akan tetapi ternyata masih dilakukan. Padahal, mereka pasti tahu terhadap resiko perilaku tidak terpuji itu.

Perbuatan tidak baik atau tercela sebagaimana contoh di muka, ternyata tidak berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Artinya orang yang berpendidikan semakin tinggi juga pasti memiliki kemampuan menahan dirinya untuk tidak melakukan perbuatan tercela. Pada kenyataan tidak sedikit orang yang berpendidikan tinggi ternyata juga masih melakukan perbuatan tercela, seperti korupsi, menipu, menghasut, saling memfitnah, dan sejenisnya.

Demikian pula juga tidak ada korelasi antara perbuatan baik dengan posisi atau jabatan seseorang. Seseorang yang jabatannya rendah atau bahkan pegawai biasa tidak selalu menyimpang dan sebaliknya, orang yang memiliki posisi penting atau pejabat tinggi selalu jujur dan benar. Pada kenyataannya tidak demikian itu yang terjadi. Tidak sedikit ditemukan pejabat tinggi justru menyimpang dan sebaliknya, pegawai biasa memilii loyalitas dan tingkat kejujuran yang tinggi. Perilaku baik tidak ada kaitannya dengan latar belakang pendidikan dan bahkan juga jabatan seseorang.

Kebaikan adalah selalu tumbuh dari hati. Seseorang yang berhati jernih dan sehat maka akan mampu mengendalikan dirinya. Segala tindakannya tidak dikendalikan oleh nafsunya, melainkan oleh suara hatinya. Hati yang bersih dan sehat selalu mengajak kepada kebaikan. Sebaliknya, hati yang dikendalikan oleh hawa nafsu, maka cenderung akan melakukan hal-hal yang tidak baik. Seseorang yang dikendalikan oleh hawa nafsunya, maka akan melakukan sesuatu yang dipandang akan segera mendatangkan kesenangan tanpa memperhitungkan resikonya.

Persoalannya adalah bagaimana menjadikan hati seseorang semakin jernih dan sehat. Menyangkut apa yang ada di dalam hati atau ruh adalah urusan Tuhan dan Rasul-Nya. Ruh akan menjadi baik manakala dibimbing atau dididik oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan cara mendidiknya ternyata sederhana, yaitu melalui shalat. Disebutkan di dalam al Qur'an bahwa shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Selain itu juga disebutkan pula bahwa, 'beruntung orang yang mensucikan dirinya dan yang mengingat nama Tuhannya lalu dia shalat".

Maka, agar seseorang menjadi baik ternyata harus melalui shalat. Namun shalat yang dimaksud adalah shalat yang khusu' dan bukan sembarang shalat. Shalat yang khusu' adalah ketika dalam menjalankannya yang bersangkutan merasa benar-benar bertemu dengan Tuhannya. Shalat yang demikian itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, bukan saja sebatas memenuhi syarat dan rukunnya, melainkan hatinya benar-benar hadir untuk mempersembahkan sebagaimana yang seharusnya dilakukannya. Jika demikian itu telah dikerjakan maka hati yang bersanhkutan akan menjadi baik. Wallahu a'lam

Sārañ ca sārato ñatvā asārañ ca asārato, te sāram adhigacchanti sammāsaṅkappagocarā. Mereka yang mengetahui kebenaran sebagai kebenaran dan ketidak-benaran sebagai ketidak-benaran, maka mereka yang mempunyai pikiran benar seperti itu akan dapat menyelami kebenaran. (Dhammapada, Syair 12)

Hidup yang kita jalani saat ini merupakan hasil dari keputusan yang pernah kita ambil sebelumnya. Apapun keputusan yang telah diambil, maka kita harus siap untuk menerima dan melaksanakan konsekuensi dari hasil keputusan tersebut.

Keputusan adalah salah satu bagian penting yang pasti akan selalu ada dalam kehidupan kita yang terus mengalami perubahan ini. Saat seseorang dihadapkan pada berbagai pilihan ataupun permasalahan, diperlukan suatu ketetapan hati untuk memutuskan pilihan terbaik ataupun solusi terbaik dari permasalahan yang dihadapinya.

Proses pikiran dan mental untuk menentukan pilihan terbaik ataupun solusi terbaik akan memberikan satu hasil final yang disebut keputusan. Keputusan yang diambil akan berperan penting menentukan langkah selanjutnya guna mencapai tujuan yang akan dicapai.

Selama seseorang masih menjalani kehidupan, berbagai pilihan ataupun permasalahan akan selalu datang silih berganti dan keputusan pun akan senantiasa dibutuhkan seiring datangnya berbagai pilihan ataupun permasalahan yang harus dihadapi.

Untuk mengambil satu keputusan bukanlah hal yang mudah. Faktor pertimbangan yang melandasi pengambilan keputusan menjadi salah satu hal penting yang hendaknya menjadi pegangan; selain tentunya hasil dari keputusan itu sendiri.

Ada tiga macam pertimbangan yang sering digunakan dalam mengambil keputusan. Pertama, Attadhipateyya yaitu mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan dan pengalaman diri sendiri di mana hasil keputusan itu kadang-kadang benar tetapi juga kadang-kadang salah.

Kedua, Lokadhipateyya yaitu mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan dari orang banyak atau masyarakat luas dimana hasil keputusannya bisa benar tetapi bisa juga salah.

Terakhir, Dhammadhipateyya yaitu mengambil keputusan dengan menjadikan Dhamma sebagai petunjuk, maka hasil keputusannya pasti benar dan tidak mungkin salah. Menurut Dhamma, keputusan dikatakan benar jika keputusan itu tidak hanya bermanfaat dan berguna bagi diri sendiri, tetapi juga dapat bermanfaat dan berguna untuk orang banyak.

Untuk itu, sebagai makhluk sosial yang senantiasa menjalin komunikasi dan berinteraksi dengan orang banyak, kita hendaknya tidak mengambil keputusan yang hanya menyenangkan diri sendiri tetapi merugikan orang banyak. Karena mengambil keputusan untuk menyenangkan diri sendiri hanya akan memberikan beragam penderitaan.

Marilah sebagai umat Buddha kita menjadikan Dhamma yang merupakan kebenaran universal sebagai pedoman bagi kita dalam menjalani kehidupan ini. Termasuk menjadikan Dhamma sebagai petunjuk dalam mengambil keputusan. 

Dengan memahami dan mempraktikkan Dhamma serta memiliki keteguhan pikiran yang sadar setiap saat dan berkesadaran penuh dalam setiap aspek kehidupan akan sangat membantu kita membuat keputusan yang rasional dan benar yang akan bermanfaat untuk diri sendiri dan bermanfaat untuk orang banyak serta akan mendatangkan kebahagiaan.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

Caliadi (Dirjen Bimas Buddha)