Jelaskan PERKEMBANGAN moral dan agama pada anak usia 4 6 tahun

a. Perkembangan moral

Syamsu Yusuf LN (2000:176-177) menyatakan bahwa anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok sosialnya (orang tua, saudara, dan teman sebaya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain, anak belajar memahami tentang kegiatan atau perilaku yang baik dan yang buruk. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka anak harus dibiasakan bertingkah laku seperti mencuci tangan sebelum makan, menggosok gigi sebelum tidur, dan membaca doa sebelum makan. Orang tua maupun guru dalam mengenalkan konsep baik-buruk, benar-salah atau menanamkan disiplin sebaiknya memberikan

penjelasan tentang alasannya. Dengan pemberian alasan diharapkan anak akan mengembangkan self-control atau self-discipline (kemampuan mengendalikan diri atau mendisiplinkan diri berdasarkan kesadaran sendiri) pada anak. Lebih lanjut akan diuraikan mengenai perkembangan moral pada anak usia 5-6 tahun.

1) Perkembangan moral menurut Jean Piaget

Piaget (dalam Elizabeth B. Hurlock, 1978: 79-80), perkembangan moral terjadi dalam dua tahapan yang jelas. Tahap pertama disebut tahap realism moral atau moralitas oleh pembatasan, kemudian tahap kedua disebut tahap moralitas otonomi atau moralitas kerja sama atau hubungan timbal balik. Anak usia 5-6 tahun berada pada tahap pertama yaitu tahap realisme moral (5-7 tahun). Pada tahap ini perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap bahwa orang tua dan semua orang dewasa berwenang dan membuat peraturan, dan mereka harus mengikuti aturan yang diberikan tersebut tanpa mempertanyakan kebenarannya. Dalam tahap ini, anak memilai suatu perbuatan itu benar atau salah berdasarkan konsekuensi dari perbuatan tersebut, bukan karena motivasi yang melatarbelakangi perbuatan tersebut. Sebagai contoh: suatu tindakan dianggap “salah” karena mengakibatkan hukuman dari orang lain.

2) Perkembangan moral dari perspektif teori Sigmund Freud

Teori psikoanalisis Freud (dalam Maria J. Wantah, 2005: 65) menjelaskan bahwa perkembangan sosio-moral berjalan seiring dengan perkembangan seksualitas. Menurut teori ini terdapat beberapa fase perkembangan moral dengan penggolongan usia tertentu pada setiap fase. Berdasarkan penggolongan usia

tersebut, anak usia 5-6 tahun berada pada fase phalis (4-6 tahun). Pada fase ini anak mendapat kepuasan dari suatu yang menyentuh alat kelaminnya. Melalui kegiatan bermain anak mulai membangun hubungan-hubungan sosial yang diferensial, berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Hubungan sosial yang berbasis perbedaan jenis kelamin ini juga mempunyai peran penting terhadap perkembangan kesadaran moral.

3) Perkembangan moral dari perspektif teori Erik Erikson

Erik Erikson, seorang ahli psikososial mengemukakan tiga periode perkembangan psikososial pada anak usia dini. Salah satu periode dalam perkembangan psikososial tersebut yaitu initiative vs guilt (usia 3-6 tahun). Pada periode ini anak akan mengembangkan kemampuan inisiatif. Apabila anak mengalami kegagalan dalam periode ini, rasa bersalah yang akan tumbuh sehingga mengakibatkan tidak adanya spontanitas, dengki, curiga, menghindar, mengalami hambatan dalam memperoleh peran sosial.

4) Perkembangan moral Lawrence Kohlberg

Kohlberg menggunakan pendekatan dasar Piaget dalam meneliti tentang perkembangan moral pada anak. Kohlberg memfokuskan risetnya kepada perkembangan moral dan menyediakan sebuah teori pentahapan pemikiran moral yang menyempurnakan rumusan awal Piaget (William Crain, 2007: 227). Berdasarkan hasil penelitiannya, Kohlberg (dalam Muhibbin Syah, 2007: 40) menjelaskan tiga tingkat perkembangan moral, masing-masing tingkat memiliki dua tahap sehingga secara keseluruhan perkembangan moral manusia terdiri dari enam tahap. Salah satu tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg ialah

tingkat I, dengan tahap memperhatikan ketaatan hukum dan memperhatikan pemuasan kebutuhan. Anak usia 5-6 tahun termasuk dalam tahap moralitas Prakonvensional.

Tabel 1. Tahap Perkembangan Moral Versi Kohlberg

Tingkat Tahap Konsep Moral

Tingkat I Moralitas Prakonvensional (usia 4-10 tahun)

1)Tahap 1. Memperhatikan ketaatan dan hokum 2)Tahap 2. Memperhatikan

pemuasan kebutuhan

a)Anak menentukan keburukan berdasarkan akibat (konsekuensi) keburukan tersebut.

b)Perilaku baik dihubungkan dengan terhindarnya dari hukuman.

c)Perilaku baik dikaitkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.

Sumber: Muhibbin Syah (2007: 41-42) b. Perkembangan kesadaran beragama

Abin Syamsuddin Makmun (dalam Syamsu Yusuf LN, 2000: 176-177) menyatakan bahwa kesadaran beragama pada anak ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut.

1) Sikap kegamaannya masih bersifat reseptif (menerima) meskipun banyak bertanya.

2) Pandangan ketuhanannya ersifat anthropormorph (dipersonifikasikan).

3) Penghayatan rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ritual.

4) Hal ketuhanan dipahamkan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf berpikirnya yang masih bersifat egosentrik (memandang segala sesuaitu dari sudut dirinya)

Pengetahuan anak tentang agama terus berkembang karena mendengarkan ucapan-ucapan orang tua, melihat sikap dan perilaku orang tua dalam mengamalkan ibadah, dan pengalaman dan meniru ucapan dan perbuatan orang tuanya. Sesuai dengan perkembangan intelektualnya (berpikirnya) yang terungkap dalam kemampuan berbahasa, yaitu sudah dapat membentuk kalimat, mengajukan

pertanyaan dengan kata-kata: apa, siapa, dimana, dari mana, dan kemana, maka anak sudah dapat diajarkan syahadat, bacaan dan gerakan shalat, doa-doa dan Al- Qur‟an (Syamsu Yusuf LN, 2000: 177). Pentingnya mengajarkan shalat ialah dalam rangka memenuhi tuntutan Rasulullah, yaitu bahwa orang tua harus menyuruh anaknya shalat pada usia tujuh tahun, “muruu auladakum bisholaat sab’usiniin” (suruhlah anak-anakmu shalat pada usia tujuh tahun). Dengan demikian, mengajarkan bacaan dan gerakan shalat pada anak ialah dalam rangka mempersiapkan anak untuk dapat melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun. Berikut pemaparan tentang perkembangan nilai agama pada anak usia 5-6 tahun. 1) Perkembangan keagamaan menurut David Elkind

Elkind mengembangkan teori Piaget ke dalam pola perkembangan keagamaan pada anak. Elkind (dalam Suyadi, 2010: 133) menyatakan bahwa ketika anak tumbuh dewasa muncul empat tipe kebutuhan mental, yaitu:

(a) Pencarian untuk konservasi, pada tahap ini anak-anak menganggap bahwa hidup adalah abadi.

(b) Pencarian representasi (masa pra-sekolah). Hal penting penting pada masa ini adalah gambaran mental dan perkembangan bahasa.

(c) Pencarian relasi (pertengahan kanak-kanak). Pada tahap ini anak-anak sudah mulai mengalami kematangan mental, sehingga mereka merasakan hubungan dengan Tuhan.

(d) Pencarian tentang pemahaman, selama anak-anak tumbuh dewasa mereka memahami jalinan persahabatan dan perkembangan kemampuan untuk berteori.

Elkind melakukan penelitian pada tahap doa atau ibadah. Ia melakukan studi perkembangan agama dengan mengajukan pertanyaan kepada 160 anak laki- laki dan perempuan berusia 5-12 tahun tentang pengetahuan mereka dalam beribadah. Elkind juga meminta anak-anak untuk mengisi pernyataan tentang ibadah. Dari jawaban anak-anak tersebut, Elkind menyimpulkan tiga tahap perkembangan beribadah atau berdoa pada anak yaitu tahap global (usia 5-7 tahun), tahap konkrit (usia 7-9 tahun), dan tahap abstrak (usia 11-12 tahun). Berdasarkan tiga tahap perkembangan beribadah atau berdoa pada anak menurut Elkind, anak usia 5-6 tahun berada pada tahap pertama yaitu global.

2) Perkembangan keagamaan menurut Harms

Harms menyimpulkan bahwa hanya ada tiga tahapan tentang pemikiran atau perkembangan beragama pada anak. Perkembangan beragama pada anak usia 5-6 tahun menurut pemikiran Harms berada pada tahap firetale (usia 3-6 tahun). Pada tahap ini anak merepresentasikan keadaan Tuhan seperti raksasa, hantu, malaikat bersayap, dan lain sebagainya.

Terkait tentang perkembangan nilai agama dan moral anak usia dini, Suyadi (2004: 137-138) menjelaskan perkembangan nilai-nilai moral-keagamaan pada anak usia 5-6 tahun sebagai berikut.

Tabel 2. Tahap Perkembangan Nilai-nilai Moral-Keagamaan Anak Usia Dini Usia Perkembangan Nilai-Nilai Moral Keagamaan

5-6 tahun

1) Mampu menghafal beberapa surah dalam Al-Qur‟an, seperti Al- Ikhlas, dan An-Naas.

2) Mampu menghafal gerakan shalat secara sempurna. 3) Mampu menyebutkan beberapa sifat Allah.

4) Menghormati orang tua, menghargai teman-temannya, dan menyayangi adik-adiknya atau anak dibawah usianya.

PERKEMBANGAN MORAL DAN AGAMA PADA ANAK USIA 4-6 TAHUN

A.    Perkembangan moral dan agama pada anak usia 4-6 tahun.

1.      Batas perkembangan moral.

Istilah moral atau moralitas mengacu pada suatu kumpulan aturan dasar yang berlaku secara umum mengenai benar dan salah. Yang dimaksud moral adalah bagian dari proses pembelajaran anak atas aturan-aturan dasar.

Lingkungan utama yang mempengaruhi perkembangan moral individu adalah keluarga, sekolah, dan hubungan-hubungan sosial sehingga tugas orang dewasa dalam membantu perkembangan moral  adalah mengalihtugaskan dan memberikan pengertian atas peraturan yang ada di kebudayaan pada anak dan mengembangkan pemahaman agama atau kepercayaan terhadap anak.

Tujuan utama dari pendidikan moral adalah untuk mengembangkan kesadaran akan benar dan salah, atau lebih dikenal dengan hati nurani. Idealnya, individu belajar mengerjakan hal yang baik, bukan karena takut akan akibat atau konsekuensinya apabila ia melanggar aturan, tetapi karena ada aturan dari dalam diri yang ia pelajari dari keluarga dan budaya.

2.      Pendekatan studi terhadap perkembangan moral (sosialisasi, kognisi, dan emosi).

a)      Sosialisasi

Para ahli menitikberatkan pendekatan sosialisasi pada perkembangan moral beranggapan bahwa faktor lingkungan memegang peranan penting dalam perkembangan moral. Perkembangan moral adalah suatu proses internalisasi, di mana anak secara bertahap mengadopsi dan memahami aturan-aturan dan nilai dalam masyarakat yang dianggap sebagai tingkah laku yang dapat diterima.

Internalisasi terjadi karena sosialisasi yang dialami, orang tua dan anggota masyarakat berperan sebagai model atas tingkah laku yang sesuai, memberi penghargaan atas perilaku anak yang sesuai dengan norma dan menghukum atas perilaku yang membahayakan atau tidak dapat diterima.

b)      Kognisi

Anak dan remaja tidak selalu menggunakan standar-standar aturan orang dewasa. Individu yang lebih muda membutuhkan fleksibilitas yang dapat dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan, dimana mereka menerapkan berbagai standar moral dalam berbagai kesempatan.

Para ahli menekankan pada pendekatan kognisi lebih banyak menekankan tanggung jawab dalam perkembangan moral pada diri anak itu sendiri, bukan pada orang dewasa di sekitar anak. Melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebanyanya, anak membuat kepercayaan moral dan ilai mereka sendiri.

c)      Emosi

Para ahli mendasari pendekatan ini adalah anak cenderung bertingkah laku sesuai dengan norma, terutama untuk menghilangkan rasa cemas yang timbul. Ada emosi yang menimbulkan rasa nyaman, seperti rasa sayang, kedekatan, simpati dan empati. Emosi-emosi inilah yang membantu anak untuk bertingkah laku sesuai aturan.

Pendekatan kognisi dan emosi secara bersamaan dalam menjelaskan perkembangan dan perilaku moral bahwa anak memiliki dasar moral melalui keluarga, masyarakat, dan budayanya.

3.      Perkembangan moral dan perkembangan agama.

a)      Perkembangan moral

Antara 4 sampai 6 tahun, anak mulai memahami aturan, namun dalam cara yang sederhana. Mereka beranggapan bahwa aturan bersifat tidak fleksibel, tidak dapat diubah, dan dibuat oleh figur otoritas. Bahkan menurut anak-anak, aturan dalam bermain kelereng dibuat oleh Tuhan. Setiap pelanggaran pasti menghasilkan hukuman, tanpa melihat alasannya.

Untuk dapat bertingkah laku sesuai etika, anak membutuhkan kemampuan khusus untuk berempati terhadap perasaan orang lain, untuk mengantisipasi pernghargaan atau hukuman yang akan ia terima, dan untuk menunda pemuasan keinginan atau perasaannya sendiri. Kohlberg mengelompokkan tahapan-tahapan dalam teorinya menjadi 3 tingkatan moral:


·         Prakonvesional

Penalaran prakonvensional adalah bentuk penalran moral yang paling awal dan paling muda, di mana individu belum mengadopsi atau menginternalisasi kesepakatan masyarakat mengenai benar dan salah. Penilaian individu dalam tingkat prakonvensional mengenai perilaku sesuai aturan ditentukan oleh konsekuensi dari perilaku tersebut. Sesuatu yang ’baik’ adalah perilaku yang konsekuensinya berupa pujian atau hadiah. Sedangkan yang ‘buruk atau ‘salah’ adalah perilaku yang konsekuensinya adalah hukuman.

·         Konvensional

Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau menolong orang lain dan diterima oleh mereka. Tingkah laku sering kali  dinilai berdasarkan niatnya. Ini adalah orientasi berdasarkan otoritas, aturan pasti, dan pemeliharaan atas aturan sosial.

·         Postkonvensional

Perilaku yang benar cenderung didefinisikan sebagai hak umum dan hukum individu, yang sudah diuji dan disetujui oleh masyarakat. Perilaku yang benar didefinisikan sebagai sebuah hati nurani berdasarkan prinsip etik diri yang dipilih.

b)     Perkembangan agama

Pada anak usia dini perkembangan agama identik dengan pemahamannya akan Tuhan, yaitu bagaimana mereka memahami keberadaan Tuhannya. Kita sebagai pengajar dapat memahami dan menyesuaikan metode pengajaran terhadap agama dengan tingkat pemahaman anak. Secara umum, bayangan anak terhadap Tuhan berubah mulai dari yang bersifat fisik, misalnya berbadan besar, menjadi yang sifatnya semi-fisik sampai akhirnya abstrak.

Para ahli membagi perkembangan akan pemahaman konsep Tuhan dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:

a)      Tahap 1

Berlangsung dalam 2 tahun pertama kehidupan. Pada masa ini, pemahaman anak akan Tuhan masih belum jelas, sering kali diasosiasikan dengan orang tuanya. Mereka cenderung menunjukkan adanya suatu objek sebagai bentuk pemahaman akan Tuhan. Misalnya, rumah ibadah atau perlengkapan ibdaha. Pada masa ini, doa merupakan pengikat antara dirinya, orang tua, dan Tuhan. Meskiun kebanyakan pemahaman anak akan doa adalah suatu ritual sebelum mereka tidur di malam hari.

b)      Tahap 2

Berlangsung pada 10 tahun pertama kehidupan. Ketika anak berusia sekitar 3 tahun, mereka muali bertanya pada orang tuan mengenai hubungan sebab akibat, “Apa ini, Bu? Siapa yang membuatnya? Kenapa? Dari mana asalnya?”, dan orang tua biasanya akan menjawab, “Tuhan yang membuatnya”. Lalu oleh anak, Tuhan dianggap sebagai Pencipta, Maha Pencipta.

Dalam masa pembentukan konsep Tuhan, anak sering memikirkan Tuhan, awalnya dalam bentuk fisik, karena mereka sulit untuk menggambarkannya dalam bentuk nonfisik. Menurut anak-anak, Tuhan memiliki karakter yang menyenangkan. Tuhan selalu tersenyum dan bermain dengan binatang. Selain itu, anak-anak memiliki pendapat terdiri atas pandangan terhadap Tuhan. Jika mereka ditanya alasan mereka percaya bahwa Tuhan itu ada, mereka menjawab “karena Ia menciptakan saya”. Ketika ditanya mengapa menurut mereka Tuhan itu baik “karena Tuhan mengabulkan keinginan-keinginan saya”.

4.      Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral.

a.      Penggunaan alasan.

Orang dewasa (gur, orang tua) membantu perkembangan moral anak ketika mereka melihat bahwa anak berusaha untuk menyakiti dan menekan orang lain dengan perilakunya. Sebagai contoh: “Istana balok yang baru saja kamu ejek, mungkin tidak sebagaus milikmu. Akan tetapitetapi, Ibu tahu bahwa Amir mengerjakannya dengan susah payah dan membutuhkan waktu lama, dan ia cukup bangga akan hasil kerjanya”

b.      Interaksi dengan sebaya.

Anak dapat mempelajari banyak hal mengenai moralitas dalam interaksinya dengan sebaya. Ini terlihat dalam aktivitas kelompok bermain di mana ada isu yang berkaitan dengan kerjasama, berbagi, dan perundingan. Konflik antarsaudara dan teman bermain sering kali timbul sebagai hasil ancaman fisik, ketidakpedulian dengan perasaan orang lain.


c.       Contoh tingkah laku moral dan perilaku sosial.

Anak terlihat lebih mudah menampilkan perilaku moral dan prososial ketika mereka melihat orang lain yang berperilaku sesuai moral. Misalnya, apabila orang tua bersikap ramah dan menunjukkanperhatian pada orang lain, anaknya pun cenderung bersikap sama.

Telivisi berfungsi sebagai model prososial dan antisosial bagi anak. Ketika anak menonton telivisi yang menekankan peilaku prososial, ketika mereka menyaksikan kekerasan dalam televisi, mereka pun menampilkan perilaku kekerasan.

d.      Isu-isu dan dilema moral.

Anak mengembagkan moral ketika mereka dihadapkan pada dilema moral tidak dapat mereka atasi sesuai dengan moral mereka. Oleh karenanya, dibutuhkan penalaran dan pemahaman sampai akhirnya mereka mendapatkan kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan perkembangan moral yang lebih tinggi.

B.     Karakteristik dan kompetensi anak usia 4-6 tahun.

1.      Karakteristik perkembangan moral anak usia 4-6 tahun.

a.      Anak mulai menggunakan standar internal untuk mengevaluasi tingkah laku yang sangat dini.

Anak dapat membedakan apa yang ‘bagus’ dan ‘buruk’, yang ‘baik’ dan ‘nakal’, berdasarkan standar yang sudah ada dalam diri mereka. Aturan/standar ini didapatkan dari reaksi masyarakat atas perilaku yang mereka lakukan. Pada usia ini, diharapkan anak dapat menerapkan aturan-aturan yang selama ini diajarkan oleh orang dewasa, baik orang tua, pengasuh, maupun guru. Misalnya, Ani sudah mengetahui bahwa merebut mainan milik teman adalah perbuatan yang salah sehingga ketika ia melihat Budimengambil mobil-mobilan milik Tono, Ani melaporkan hal tersebut kepada ibu guru.

b.      Anak mulai membedakan antara transgresi moral dan transgresi konvensional.

Maksud dari transgresi moral adalah aksi-aksi yang menyebabkan kerusakan atau bahaya yang mengancam kebutuhan dan hak orang lain. Contohnya, perilaku Budi yang mengambil mainan mobil milik Tono termasuk dalam transgresi, di mana Budi telah merampas hak Tono atas mainan mobilnya. Perilakun Budi tentu saja merugikan Tono.

Sedangkan transgresi konvensional, yaitu aksi-aksi yang melanggar aturan umum masyarakat, biasanya tidak tertulis, mengenai tingkah laku yang diterima oleh masyarakat, misalnya etika. Sejak kecil anak diajarkan untuk bertingkah laku sopan. Perilaku ‘sopan’ menurut masyarakat umum, seperti mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan, tidak berbicara ketika sedang menguyah makanan.

c.       Pemahaman anak mengenai keadilan berlangsung selama masa anak awal.

Kemampuan anak untuk berbagi dengan orang lain tergantung pada kepercayaan anak mengenai apa yang mendasari rasa keadilan dari suatu komoditas, seperti makanan, mainan. Pada usia dini, kepercayaan anak mengenai apa yang adil didasari pada kebuthan dan keinginan mereka sendiri, misalnya adil memberi orang lain 3 butir permen, sedangkan untuk dirinya sekantong penuh.

d.      Emosi yang berkaitan dengan perilaku moral yang berkembang di masa usia dini.

Emosi memilki kaitan dengan perilaku moral. Misalnya, rasa malu, dan rasa salah. Emosi ini berkembang ketika anak percaya bahwa ia telah melakukan kesalahan. Sebaliknya, empati menggerakkan perilaku moral dan prososial tanpa ada perasaan bersalah yang terlihat.

Emosi memperkuat pemahaman anak mengenai aturan benar dan salah. Apabila ia melakukan kesalahan maka emosi yang muncul adalah perasaan bersalah dan malu. Sebaliknya, apabila ia melakukan sesuatuhal yang baik/benar maka emosi yang berkembang pada anak adalah perasaan bangga.

e.       Secara bertahap anak mulai memperhatikan variabel-variabel kesempatan dalam evaluasi perilaku mereka.

Pada awalnya anak terpaku pada jumlah atau materi yang nyata dalam mempertimbangkan apakah perilaku mereka benar atau salah, secara bertahap mereka mulai memasukkan variabel-variabel lain, seperti kesempatan untuk berbuat salah atau benar. Secara umum, anak mulai dapat bernalar secxara fleksibel dan abstrak mengenai isu moral sejalan dengan perkembangan usia mereka.

Misalnya, ketika anak dihadapkan pada persoalan Budi menjauhkan gelas yang berada di balik pintu, dalam menentukan benar atau salah tindakan Budi, anak tidak lagi terpaku pada kenyataan bahwa Budi menjatuhkan dan memecahkan gelas. Tetapi, anak mulai dapat berpikir bahwa ada faktor lain, yaitu ketidaktahuan  Budi bahwa di balik pintu terdapat gelas sehingga ketika Budi membuka pintu dan pintu menyenggola gelas hingga pecah, perilakunya masih dapat diterima karena Budi tidak tahu bahwa ada gelas di balik pintu.

2.      Kompetensi perkembangan moral anak usia 4-6 tahun.

Berikut ini pejelasn mengenai kemampuan-kemampuan dalam perkembangan moral anak usia 4-6 tahun.

a)      Mulai mengembangkan kesadaran akan keadaan mental dan emosi orang lain.

b)      Memliki kemampuan yang minimal untuk memahami pandangan orang lain dengan menunjukkan perilaku empati atas kesulitan orang lain.

c)      Terlalu memperhatikan kebutuhan dirinya sendiri dibandingkan kebutuhan orang lain.

d)     memiliki pengetahuan yang minim atau bahkan tidak memiliki sama sekali atas keberadaan institusi sosial.

e)      Mengembangkan kesadaran bahwa ada perilaku yang salah, tetapi meiliki kecenderungan untuk emndefinisikan tingkah laku ‘benar’ atau ‘salah’ berdasarkan konsekuensi terhadap dirinya sendiri.