Pada saat perancangan produk harus mempertimbangkan nilai estetika istilah estetika berarti

tirto.id - Karya kerajinan dituntut memuat mutu seni sekaligus nilai ekonomis. Karena itu, sebuah produk kerajinan perlu memenuhi unsur ergonomis yang meliputi kenyamanan, keamanan, dan estetika. Mengenai yang terakhir, unsur estetika dapat membuat sebuah produk kerajinan memiliki fungsi ganda, yakni fungsi praktis dan hiasan.

Adapun yang dimaksud dengan unsur estetika dalam karya kerajinan adalah keindahan. Unsur estetika ini berguna untuk meningkatkan citra produk sehingga tampak menarik dan enak dipandang.

Karya kerajinan merupakan bagian dari produk seni rupa terapan. Lazimnya, produksi karya kerajinan melibatkan keterampilan manual untuk membuat benda-benda kebutuhan hidup sehari-hari.

Mayoritas produk kerajinan dibuat dengan tujuan utama memenuhi aspek fungsional sehingga ia dapat langsung digunakan untuk memenuhi pelbagai jenis kebutuhan. Sementara itu, unsur estetika bisa menambah daya tarik produk kerajinan, demikian mengutip Modul PKWU Kerajinan Kelas XI KD 3.7 (2020) terbitan Kemdikbud.

Umumnya, karya kerajinan dibuat dengan empat fungsi, yaitu sebagai fungsi penghias, benda pakai sehari-hari, benda ritual tertentu (misalnya, kain ulos khusus untuk pernikahan), dan fungsi simbolik (misalnya kain tenun motif sinde lio sebagai lambang penolak bala).

Baca juga:

  • Contoh dan Teknik Buat Kerajinan Bahan Limbah Lunak dari Kertas
  • Macam-Macam Produk Kerajinan dari Bahan Serat Alam Tumbuhan & Hewan

Contoh karya kerajinan adalah produk kain batik yang merupakan kerajinan asli Indonesia. Kain batik dibuat untuk berbagai kebutuhan, mulai dari pakaian, tas, alat hias, dan lain sebagainya, tetapi tetap memiliki unsur estetika.

Jika suatu karya kerajinan memiliki unsur estetika, kualitasnya akan dipandang meningkat, dan nilai ekonomisnya bertambah tinggi, demikian dikutip dari buku Prakarya (2017) yang ditulis Suci Paresti, dkk.

Prinsip-Prinsip Estetika dalam Karya Kerajinan

Secara umum, prinsip-prinsip estetika dalam karya kerajinan terdiri dari empat hal, yaitu prinsip kesatuan (unity), keselarasan (harmony), keseimbangan (balance), dan kontras (contrast). Penjelasan empat prinsip estetika itu adalah sebagai berikut.

1. Kesatuan (Unity)

Prinsip kesatuan adalah aspek yang menekankan pada keselarasan unsur-unsur penyusun karya kerajinan. Suatu karya dapat dikatakan memiliki kesatuan apabila secara keseluruhan tampak serasi.

2. Keselarasan (Harmony)

Suatu karya kerajinan dianggap selaras apabila tatanan penyusunnya tampak teratur. Keselarasan dalam suatu kerajinan merupakan pembentuk unsur keseimbangan.

Keselarasan ini terbagi menjadi dua, yaitu keselarasan bentuk dan keselarasan warna. Keselarasan bentuk adalah keserasian dalam penempatan unsur-unsur pembentuk karya kerajinan. Sementara itu, keselarasan warna menyesuaikan dengan karakteristik kerajinan.

Sebagai misal, apabila karya kerajinan berfungsi sebagai simbol keberanian, warna yang sesuai adalah merah. Sementara itu, warna biru adalah untuk simbol intelektualitas, kecakapan, dan sebagainya. Aspek warna menyesuaikan dengan karakter karya kerajinan yang dibuat.

3. Keseimbangan (Balance)

Prinsip keseimbangan dalam karya kerajinan bisa dilihat dari proporsionalitas karya itu secara keseluruhan. Suatu kerajinan dibuat dengan seimbang menampilkan karya yang harmonis, tidak berat sebelah, tidak penuh sebelah, dan sebagainya.

Keseimbangan dalam suatu karya kerajinan terbagi menjadi dua, yaitu keseimbangan simetris (formal balance) dan keseimbangan asimetris (informal balance).

Keseimbangan simetris bersifat sederhana, membagi unsur hias atau pembentuk kerajinan secara merata, sama berat antara kiri dan kanan, dari arah atas maupun bawah. Sementara itu, keseimbangan asimetris tersusun atas unsur-unsur yang berbeda, tidak simetris, namun secara keseluruhan komposisi terasa seimbang.

4. Kontras (Contrast)

Kontras merupakan prinsip estetika yang berkaitan dengan kombinasi warna, letak, atau dua hal yang berbeda pada suatu karya kerajinan. Sebagai misal, penyandingan 2 warna (atau lebih) dapat menghasilkan kesan kontras, unsur besar dan kecil, tinggi dan rendah, atau penyandingan dua kutub berbeda dalam kombinasi tertentu.

Prinsip kontras adalah aspek penekanan atau fokus pada suatu kerajinan. Dengan demikian, suatu kerajinan yang dibuat dengan kontras, serta disesuaikan dengan prinsip estetik lainnya akan menghasilkan produk kerajinan yang indah.

Baca juga artikel terkait KERAJINAN atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/add)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom
Kontributor: Abdul Hadi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Estetika pada dasarnya terkait dengan beberapa masalah seperti: keindahan, seni, ekspresi, bentuk serta pengalaman estetis. Secara garis besar, Estetika dapat juga digolongkan menjadi dua yakni estetika (keindahan) alami dan estetika (keindahan) buatan (diwujudkan oleh manusia).

  • Pertama, Estetika alami tidak dapat dibuat oleh manusia, misalnya : gunung, laut, pepohonan, bunga (anggrek, mawar, dsb), binatang (kupu-kupu, burung, ikan hias, kuda, dsb), atau sesuatu wujud keindahan akibat peristiwa alam, seperti: pelangi, keindahan panorama pantai selatan Jawa akibat dari benturan ombak dalam jangka waktu yang lama, keindahan dalam gua, air terjun dan lain sebagainya.

    Estetika alam dapat kita nikmati saat matahari terbit maupun terbenam, terjadi perpaduan bentuk-bentuk awan, warna langit, bintang-bintang pada malam hari. Di samping itu, keindahan yang paling sempurna adalah bentuk tubuh manusia. Keindahan bentuk tubuh manusia dapat disaksikan pada saat manusia melakukan gerakan-gerakan seperti olah raga senam dan menari.

  • Kedua, Estetika yang diwujudkan oleh manusia pada umumnya disebut sebagai benda-benda yang memiliki nilai seni (lukisan, patung, dsb). Benda-benda seni, selain memiliki nilai-nilai estetika atau mengandung unsur-unsur estetika, juga merupakan penuangan ekspresi dari seorang seniman dalam mengungkapkan perasaannya.

Dengan demikian, estetika dapat dikatakan sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa senang, rasa puas, rasa aman, rasa nyaman dan rasa bahagia. Pada saat perasaan itu sangat kuat, manusia yang menyaksikannya akan merasa terharu, terpaku, terpesona, serta menimbulkan keinginan untuk mengalaminya kembali perasaan itu, meskipun telah menikmatinya berulangkali.

Estetika terdiri dari komponen-komponen yang masing-masing mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat yang menentukan nilai estetika. Untuk mengenal estetika dapat dilakukan dengan cara menafsirkan unsur-unsur estetika sebagai suatu masalah yang praktis, yaitu masalah yang menyentuh pelaksanaan kegiatan dalam bidang kesenian.

Di samping masalah praktis, unsur-unsur estetika juga mencakup masalah-masalah tentang filsafat keindahan dan filsafat kesenian, seperti yang dipahami oleh beberapa filsuf pada masa lalu dan masa sekarang. Estetika merupakan pengetahuan tentang keindahan alam maupun seni. Sedang pada masa sekarang, estetika tidak dapat terlepas dengan masalah-masalah ilmu pengetahuan dan teknologi.

Estetika pada dasarnya mempersoalkan hakekat keindahan alam dan karya seni, namun demikian estetika dapat pula masuk dalam wilayah tentang keindahan karya-karya teknologi. Karya teknologi maupun karya arsitektur, pada perkembangannya tidak hanya mempersoalkan tentang masalah fungsi dan kecanggihan belaka. Karya teknologi dan arsitektur dapat pula mengekspresikan gagasan dan perasaan tentang keindahan. Oleh karena itu, kualitas desain dalam karya teknologi dan arsitektur tidak lagi hanya mempertimbangkan fungsi, namun telah memasuki wilayah estetika yang dapat memberikan rasa keindahan secara visual maupun rasa kenyamanan bagi masyarakat penggunanya.

Estetika pada dasarnya memiliki pengertian yang beranekaragam. Mencari kesepakatan tentang pengertian estetika bukanlah sesuatu yang mudah. Hal ini tergantung dari titik tolak yang digunakan, estetika sebagai ilmu pengetahuan atau estetika sebagai filsafat tentang seni. Kata estetika dikutip dari bahasa Yunani aisthetikos atau aisthanomai yang berarti mengamati dengan indera.

Estetika dapat dihubungkan dengan kata Yunani aisthesis yang berarti pengamatan atau persepsi (K. Kuypers, 1977).

An Aesthetic (also esthetic and æsthetic) is a philosophical theory concerning beauty and art (Estetika adalah sebuah teori filosofi tentang keindahan dan seni).

Estetika berarti sebagai ilmu pengetahuan pengamatan (E.B. Feldman, 1967).

Estetika berarti sebagai ilmu pengetahuan Inderawi (The science of sensuous knowledge) (The Liang Gie, 1976).

David Hume dalam falsafahnya tentang estetika mengatakan bahwa subyek lebih berperan dari pada obyek. Subyektivisme ini didasarkan pada empirik atau pengalaman yang nyata. Ini berarti bahwa meskipun dasar pikiran tentang estetika bersifat subyektif, namun cara untuk menentukan standard of taste benar-benar obyektif, dilakukan secara ilmiah melalui observasi dan analisa.

Sedangkan Immanuel Kant tidak setuju dengan obyektivikasi konsep estetika. Ia menganggap bahwa obyektivikasi akan menimbulkan kekeliruan dalam mencari jawaban tentang apa estetika itu. Ia tidak membantah pengalaman empiris dengan menyelidiki sebanyak mungkin orang sehingga bisa didapatkan standard of taste atau ukuran tentang perasaan indah oleh penilaian orang tersebut.

Namun penemuan standard of taste tersebut belum bisa menjawab pertanyaan tentang apakah yang disebut estetika. Cara ini hanya menemukan ciri-ciri tentang benda estetis yang secara umum memberi perasaan nikmat-indah pada manusia. Ia berpendapat bahwa pengalaman estetis yang dihasilkan oleh daya estetika pada hakekatnya memberi kesenangan.

Rasa senang ini terletak pada pengamat (subyek) dan bukan terletak pada benda (obyek). Berdasarkan atas persamaan dan perbedaan perasaan manusia terhadap sesuatu yang sama, maka Immanuel Kant menyusun teori estetika yang menyatakan bahwa dalam diri manusia sudah terdapat apriori terhadap keindahan (AAM Djelantik, 2001).

Teori pengamatan menurut Immanuel Kant merupakan bagian dari teori cita rasa. Pengamatan dibicarakan dalam kaitannya dengan cita rasa (taste : the ability to judge an object, or a way of presenting it, by means of a liking or disliking devoid of all interest) ( cita rasa : kemampuan untuk menilai suatu obyek, atau cara menampilkan sesuatu, yang berarti sesuatu yang disukai atau tidak menyukai sesuatu tanpa adanya perhatian secara total/menyeluruh) (George Dickie, 1989).

Sedangkan Denis Huisman (1964) mengatakan bahwa perjalanan estetika barat dibagi menjadi tiga periode :

  1. Periode Platonis atau dogmatis, yang menyangkut Platonisme, Aristotelisme, dan Neo-Platonisme,

  2. Periode Kantianisme atau kritisisme yang meliputi, masa pendahulu Kant, masa Kant dan pasca Kant,

  3. Periode Positivisme atau modern, yang menyangkut estetika dari atas (estetika analitis-filsafati), estetika dari bawah (estetika empirik-keilmuan), estetika dari bawah ke atas sebagai estetika masa depan.

Teori estetika sebagian dilandasi oleh tradisi empirisme dan sebagian lagi bertumpu pada tradisi lain yang melihat keindahan menurut pandangan Platonisme dan Neo-Platonisme. Struktur teori ini telah dikembangkan atas lima bagian yaitu : perception (persepsi), faculty of taste (cita rasa sebagai kemampuan), mental product (produk mental), the kind of object in the perceived world (obyek pengamatan), judgments of taste (pertimbangan cita rasa) (George Dickie, 1989).

Menurut pandangan Plato, bahwa estetika dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

  • Pertama, mengingatkan kita akan seluruh filsafatnya tentang dunia idea. Dalam pandangannya yang pertama, Plato mengemukakan bahwa ajaran Sokrates tentang estetika diterima dari seorang Dewata bernama Diotima yang berasal dari Mantineia. Menurut pandangannya, yang disebut indah adalah yang ada pada benda material seperti bentuk tubuh manusia. Jika kita melihat keindahan itu berulang kali, maka pengalaman tentang estetika itu akan meningkat. Lebih jauh lagi, ada yang lebih indah dari bentuk tubuh manusia itu sendiri yaitu jiwa. Menurut Sokrates idea merupakan idea yang indah, itulah yang paling indah, sumber segala keindahan. Semua keindahan lain hanya ikut ambil bagian pada yang indah dalam dunia idea itu, seperti: idea tentang kebenaran dan kebaikan.

  • Kedua, lebih membatasi diri pada dunia nyata. Disini, Plato mengatakan bahwa sumber segala keindahan adalah sesuatu yang paling sederhana. Yang dimaksud dengan sederhana adalah bentuk dan ukuran yang tidak dapat diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang lebih sederhana lagi. Namun demikian, sesuatu yang majemuk dapat juga dikatakan indah, jika tersusun secara harmonis berdasarkan pada sesuatu yang benar-benar sederhana. Pandangan yang terakhir ini, memberikan kesan bahwa pandangan Plato tentang keindahan sebagai sesuatu yang secara fisik paling sederhana, bergeser kepada pandangan bahwa yang paling indah adalah yang paling memiliki kesatuan. Plato memang setuju bahwa kesatuan adalah gejala yang ikut menandai keindahan, tetapi gejala itu juga dapat menandai gejala lainnya. Plato tetap mempertahankan pandangannya bahwa kesederhanaan sebagai ciri kas dari suatu keindahan, baik dalam alam maupun karya seni.

Estetika Dalam Konteks Arsitektur

Dalam karya arsitektur, nilai-nilai estetika memiliki permasalahan yang lebih kompleks, hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor yang terkait dalam mempengaruhi keberhasilan sebuah karya, seperti: faktor ekonomi, sosial, budaya, teknologi, ergonomi, antropometri termasuk faktor psikologi, keselarasan serta pelestarian lingkungan. Rasa estetika yang terdapat dalam karya arsitektur, didasarkan pada elemen dan prinsip-prinsip perancangan yang dapat dijelaskan secara rasional.

Persepsi visual dari elemen-elemen yang mendasari, semuanya bermuara pada prinsip-prinsip estetika dan merupakan kebutuhan emosional yang sangat vital, tetapi merupakan penentu keberhasilan sebuah karya.

Menurut Tillman dan Cahn (1969), pokok bahasan dalam estetika dapat dibagi menjadi :

  1. Perumusan karya seni,
  2. Sikap estetis,
  3. Kualitas dan nilai estetis,
  4. Pertimbangan dan argumentasi kritis,
  5. Gaya dan bentuk,
  6. Interpretasi,
  7. Ekspresi dan emosi,
  8. Lambang dan metafora,
  9. Imitasi,
  10. Makna dan kenyataan,
  11. Maksud dan tujuan mencipta,
  12. Psikologi,
  13. Seni, masyarakat dan moralitas,
  14. Seni dan religi,
  15. Arsitektur, seni lukis, dan skulptur.

Sedangkan dari berbagai pandangan, estetika dikelompokkan menjadi beberapa aliran utama :

  1. Estetika filosofis-transendental menempatkan kesadaran akan keindahan dan pertimbangan atas dasar cita rasa sebagai fokus telaah,

  2. Estetika formalistis menelaah berbagai aspek lahiriah karya seni dan arsitektur sebagai obyek estetis, seperti : arti dan peran perbandingan keemasan (the golden section) ,

  3. Estetika yang berbicara tentang substansi rokhaniah karya seni dan arsitektur, seperti : metafisis- spekulatif dan antropologi-kefilsafatan budaya yang berbicara tentang nilai- nilai moral-didaktis (K. Kuypers, 1977).

Dalam karya seni dan arsitektur, terdapat tiga unsur estetika yang paling mendasar yaitu :

  1. Unsur Keutuhan atau kebersatuan (unity),
  2. Unsur Penonjolan (dominance),
  3. Unsur Keseimbangan (balance).

Unsur Keutuhan (unity) terdiri dari :

  • Keutuhan dalam keanekaragaman (unity in diversity) – simetri, irama (ritme), keselarasan (harmony),

  • Keutuhan dalam tujuan (unity of purpose),

  • Keutuhan dalam perpaduan (AAM Djelantik, 1999).

Estetika Arsitektur dalam Perspektif Teknologi

Applying aesthetic considerations to buildings and related architectural structures is complex, as factors extrinsic to spatial design (such as structural integrity, cost, the nature of building materials, and the functional utility of the building) contribute heavily to the design process

(Penerapan pertimbangan estetika pada bangunan dan hubungan antara struktur arsitektural adalah kompleks, sebagai faktor luar pada desain spasial ( seperti integritas struktural, biaya, sifat alami bahan bangunan, dan fungsi utilitas pada bangunan) merupakan kontribusi yang berat pada proses disain)

Notwithstanding, architects can still apply the aesthetic principles of ornamentation, texture, flow, symmetry, color, granularity, the interaction of sunlight and shadows, transcendence, and harmony

(Sekalipun demikian, para arsitek masih dapat menerapkan prinsip-prinsip estetika pada ornamen (ragam hias), tekstur, aliran, simetri, warna, butiran-butiran kecil, interaksi pada cahaya matahari dan bayangan, sesuatu yang sulit dipahami secara harfiah, dan harmoni (keselarasan)

Penerapan estetika pada bangunan dan hubungannya dengan struktur arsitektural adalah sebagai sesuatu yang sangat kompleks, seperti: faktor-faktor extrinsic pada desain visual (seperti integrity structural (keutuhan struktur), cost (biaya), bahan-bahan (bangunan) alam, dan fungsi utilitas pada bangunan, merupakan beban kontribusi pada proses desain. Desainer-desainer arsitektural masih dapat menerapkan prinsip-prinsip estetik pada ornamen, bagian tepi / bingkai / frame, tekstur, aliran air, kesungguhan, simetri, warna, butiran-butiran kecil / pasir, interaksi sinar matahari dan bayangan, di luar batas pemahaman manusia, dan harmoni (selaras / serasi).

Beberapa unsur nilai estetika yang terkait dengan penerapannya dalam arsitektur dapat disusun sebagai berikut :

Unsur-unsur simetri dan asimetri, focal point (fokus utama), pola (susunan), kontras, perspektif (3 dimensi), gerak, irama, kesatuan dan proporsi. Di samping itu juga terkait dengan unsur-unsur harmoni (selaras/serasi), kontras, warna, tekstur, ornamen, ekspresi, bentuk, struktur bangunan secara utuh, bahan-bahan alam, aliran air, fungsi utilitas pada bangunan, interaksi sinar matahari dengan bayangan, unsur-unsur tepi bangunan, serta unsur-unsur transendental.

Penerapan elemen estetika pada karya arsitektur sangat penting karena para pengguna pada dasarnya menuntut kepuasan fungsional dan emosional. Dan masalah-masalah yang bersangkutan dengan keberhasilan karya arsitektur ditentukan oleh persepsi visual yaitu faktor estetika, di samping faktor-faktor lain seperti: faktor struktur, fungsi, kondisi fisik, konstruksi, bahan, sosial, budaya, ekonomi, perilaku dan ergonomi.

Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya arsitektur tidak hanya terbatas pada bentuk luarnya, tetapi juga pada implikasi lain yang lebih universal. Karya arsitektur sebagai seni visual, diharapkan dapat dihayati melalui visualisasi bentuk, di samping dapat menangkap kesan dan pesan yang diekspresikan oleh seorang arsitek. Elemen estetika dalam karya arsitektur merupakan kesatuan wujud yang tidak dapat dipisahkan dan selalu mengikuti perkembangan jaman terkait dengan proses transformasi sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat.

Pada saat perancangan produk harus mempertimbangkan nilai estetika istilah estetika berarti

Gambar. The Staatsgalerie in Stuttgart (1977-1984), James Stirling & Michael Wilford.

Pada saat perancangan produk harus mempertimbangkan nilai estetika istilah estetika berarti

Gambar. Kuwait Water Tower (1978), Lindstrom, Egnell & Bjorn.

Pada saat perancangan produk harus mempertimbangkan nilai estetika istilah estetika berarti

Gambar. Art Tower Mito, Mito City, Japan, Arata Isozaki.

Karya-karya arsitektur sebagai unsur budaya, mengandung nilai-nilai keindahan yang diakui keabsahannya secara obyektif maupun subyektif. Dalam estetika, faktor keindahan merupakan fenomena yang memiliki nilai-nilai ekstrinsik dan intrinsik yaitu nilai-nilai yang erat kaitannya dengan bentuk luar serta pesan atau makna yang terkandung di dalamnya.

Dimensi keindahan dalam arsitektur yang terdiri dari unsur-unsur titik, garis, bidang, massa, komposisi, warna dan lain sebagainya, masih kurang mendapatkan porsi yang memadai dalam proses perancangan. Padahal pengolahan unsur-unsur tersebut jika dilakukan secara kreatif dan inovatif akan mampu mewujudkan nilai-nilai estetika dalam karya arsitektur. Persepsi masyarakat sebagai pengamat terhadap nilai estetika tidak selalu sama, hal ini tergantung pada kedalaman rasa, pengalaman intelektualitas serta latar belakang sosial budaya.

Karya arsitektur pada hakekatnya merupakan daya kreativitas, yaitu ekspresi berupa bentuk yang keindahannya dapat dianalisis secara wajar dan rasional. Dalam menganalis keindahan karya arsitektur dapat dilakukan secara obyektif, sehingga hal ini dapat berlaku secara universal. Estetika dalam arsitektur tidak terikat oleh ruang dan waktu, melainkan dapat menjelajah keseluruh segi kehidupan masyarakat dan kebudayaan.

Estetika dalam arsitektur pada hakekatnya tidak berbeda dengan estetika dalam ilmu-ilmu bidang seni yang lain. Sekalipun arsitektur termasuk dalam kategori ilmu seni terapan, namun pembahasan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan unsur-unsur seperti: proporsi, ritme, bentuk, harmoni, gerak, kontras, warna, tekstur, kesatuan, ornamen, ekspresi dan lain sebagainya, merupakan fenomena yang tidak dapat diabaikan.

Dalam karya arsitektur, masalah estetika sangat erat kaitannya dengan komunikasi dalam arsitektur yang terdiri dari unsur-unsur seperti: komunikator (arsitek), pesan (disampaikan kepada pengamat melalui karya-karya arsitektur), dan komunikan (sebagai pengamat). Dalam membahas tentang apresiasi karya arsitektur, sering terjadi perbedaan pendapat atau ketimpangan persepsi antara arsitek dan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya kesenjangan tata nilai atau konsep kebudayaan yang dipahami oleh arsitek dan masyarakat.

Kesenjangan yang terjadi tentang persepsi terhadap nilai estetika dalam karya arsitektur, antara arsitek dan masyarakat menjadi semakin lebar, hal ini karena kesenjangan waktu pada saat karya arsitektur tersebut dirancang dengan rentang waktu yang dilampaui. Namun demikian, mengingat bahwa keindahan itu bersifat universal, maka pembahasan tentang karya-karya arsitektur yang terkait dengan masalah estetika berdasarkan pada unsur-unsur atau faktor-faktor yang bersifat umum.

Estetika Arsitektur dalam Perspektif Seni

Dalam estetika, keutuhan yang dimaksud adalah menunjukkan secara keseluruhan sifat yang utuh. Menunjukkan hubungan yang bermakna (relevan) antara komponen yang satu dengan lainnya, tanpa adanya bagian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan komponen yang lain. Hubungan yang relevan antar komponen bukan berarti gabungan semata-mata, melainkan komponen yang satu memerlukan komponen yang lain dan saling mengisi, sehingga terjadi kekompakan antara komponen yang satu dengan yang lainnya.

Some aesthetic effects available in visual arts include tonal variation, juxtaposition, repetition, field effects, symmetry, asymmetry, perceived mass, subliminal structure, linear dynamics, tension and repose,* pattern, contrast,, perspective ,3dimensionality , movement, rhythm, unity, matrixiality and proportion

(Beberapa efek estetika yang terdapat di dalam seni visual meliputi variasi yang mengikuti gaya suara, sejajar, pengulangan, efek bidang, simetri/asimetri, secara masal, struktur yang indah, linier yang dinamik, ketegangan dan ketenangan, pola, kontras, perspektif, 3 dimensional, gerakan, irama, kesatuan/Gestalt, susunan angka- angka dan proporsi)

Generally, art adheres to the aesthetic principles of symmetry/asymmetry, focal point, pattern, contrast, perspective, 3D dimensionality, movement, rhythm, unity/gestalt, and proportion

(Pada umumnya, seni bertahan pada prinsip-prinsip estetika tentang simetri/asimetri, focal point , pola, kontras, perspektif, 3D dimensional, pergerakan, irama, unity/ gestalt , matrixiality dan proporsi)

Dalam sebuah karya arsitektur, keanekaragaman dari elemen-elemen pembentuk dapat menjadikan karya tersebut sangat menarik dan estetis. Namun, keanekaragam yang sangat berlebihan dapat mengurangi kesan estetis, karena jika berlebihan, maka kualitas estetika menjadi berkurang. Komponen-komponen dalam sebuah komposisi, jika semuanya terdiri dari wujud maupun bentuk yang sama, maka keutuhan yang terjadi akan nampak jelas. Tetapi, jika komponen-komponen yang satu dengan lainnya sangat berlainan, maka keutuhan dapat dicapai dengan cara membuat hubungan yang sangat kuat antara komponen-komponen yang satu dengan lainnya.

Pada saat perancangan produk harus mempertimbangkan nilai estetika istilah estetika berarti

Gambar. Administration Building, Wisconsin (1936-1939), Frank Lloid Wright.

Pada saat perancangan produk harus mempertimbangkan nilai estetika istilah estetika berarti

Gambar International Airport (1956-1962), Eero Saarinen.

Pada saat perancangan produk harus mempertimbangkan nilai estetika istilah estetika berarti

Gambar Kaedi Regional Hospital, Kaedi City, Mauritania (1989), Fabrizio Carola.

Persepsi visual dari elemen-elemen estetis, kesemuanya bermuara pada prinsip- prinsip estetika dan merupakan kebutuhan emosional yang sangat vital serta merupakan penentu keberhasilan karya arsitektur. Persepsi visual dari bentuk fisik suatu karya arsitektur bila diamati secara rinci, terdiri dari berbagai elemen estetis yang ditimbulkan oleh kondisi lingkungan optik. Pada saat melihat suatu konteks lingkungan di sekitarnya, pengamat dapat membedakan satu obyek dari obyek lainnya. Sedangkan dengan mengamati secara teliti suatu benda melalui sifat dari wujud yang tampak, akan dirasakan adanya pesan yang terkandung di dalamnya.

Dalam mengamati wujud dari bentuk suatu obyek, pengamat dapat mengamati perbedaan suatu benda dengan bidang yang melatarbelakanginya. Kemudian, pengamat baru mendapatkan gambaran tentang sosok atau bentuk suatu obyek yang semakin lama semakin jelas bagian- bagiannya. Wujud suatu benda tidak akan tampak jelas, bilamana benda tersebut dikelilingi oleh benda-benda lain yang beranekaragam, karena obyek yang satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan saling mendominasi. Secara umum, daya pengihatan mempunyai hubungan langsung dengan seluruh panca indra, dengan demikian pengamat dapat menganalisa suatu obyek yang dilihat secara rinci seperti: warna, bentuk, tekstur, fungsi, proporsi, dan skala. Susunan elemen-elemen estetis yang diamati ternyata mampu menghasilkan sensasi yang menyenangkan. Adanya reaksi dari hubungan serta keterkaitan unsur-unsur tersebut telah berhasil menimbulkan rasa keindahan.

Peran keindahan yang muncul adalah akibat persepsi visual dari berbagai elemen yang tersusun dalam satu kesatuan yang harmonis. Adanya tujuan yang selalu ingin dicapai oleh para arsitek adalah bagaimana susunan persepsi visual dari berbagai elemen estetika tersebut mampu menimbulkan rasa keindahan atau rasa estetik. Bila suatu bentuk karya arsitektur dapat diamati secara utuh antara obyek dengan bidang yang melatarbelakanginya, maka pengamat sebagai subyek akan memiliki gambaran total mengenai keindahan atau estetika obyek tersebut.

Simetri merupakan salah satu ciri dari suatu kesatuan. Benda-benda yang berbentuk simetris memberikan rasa estetis maupun rasa ketenangan, karena memperkuat rasa keutuhan, contohnya seperti benda-benda alam: daun, bunga, kupu- kupu, binatang, dan manusia. Dalam karya-karya arsitektur, simetris memberikan rasa estetis yang tinggi, misalnya: karya-karya bangunan candi pada masa lalu, bentuk- bentuk bangunan istana, bangunan-bangunan tradisional, monumen, pintu gerbang dan lain sebagainya.

Untuk mempertahankan kualitas nilai estetika bahkan menambah kualitas nilai estetika, karya-karya arsitektur dapat juga berbentuk a-simetris, jika dalam karya tersebut tetap terdapat unsur-unsur keutuhan maupun unsur-unsur keseimbangan. Irama (ritme) merupakan kondisi yang menunjukkan kehadiran sesuatu yang berulang-ulang secara teratur. Keteraturan tersebut dapat berupa jarak yang sama pada struktur bangunan, seperti yang nampak dalam karya-karya arsitektur. Sama dengan simetri, manusia sudah terbiasa dengan ritme-ritme dalam karya arsitektur.

Berulang-ulangnya sesuatu secara teratur pada sebuah bangunan gedung maupun jembatan, memberikan kesan tentang tentang ketaatan terhadap hukum yang berlaku, sesuatu yang harus ditaati, terkait dengan kedisiplinan. Oleh karena itu, ritme memiliki sifat memperkuat terhadap kesatuan dan keutuhan.

Ritme mempunyai peranan yang sangat besar dalam arsitektur. Ritme yang konstan dan tidak berubah, memberikan kesan monoton dan dapat menimbulkan rasa jenuh, sehingga mengurangi nilai estetka. Nilai estetika dapat diperoleh dengan membuat bentuk-bentuk pengulangan yang lebih bervariasi dengan melakukan perubahan-perubahan pada ritme secara teratur. Jika perubahan pada ritme terjadi secara teratur, maka kesatuan maupun keutuhan dalam karya arsitektur tidak akan hilang serta tidak akan mengurangi nlai estetika. Sedangkan harmoni dimaksudkan dapat menimbulkan keselarasan antara komponen-komponen yang disusun menjadi kesatuan dari komponen-komponen itu sehingga terjadi keterpaduan dan tidak saling bertentangan.

Dalam karya arsitektur, keselarasan terjadi pada bentuk, ukuran, jarak, warna maupun tekstur. Harmoni memperkuat keutuhan karena mampu memberikan rasa tenang, nyaman dan estetis. Sebagaimana simetri dan ritme , harmoni yang terjadi secara teratur dan terus-menerus dapat menimbulkan rasa kebosanan, sehingga hal ini dapat mengurangi nilai estetika. Dalam karya arsitektur yang berkualitas, akan muncul permainan pada unsur-unsur harmoni, sehingga terjadi sebuah komposisi yang lebih dinamis dan tidak terkesan monoton. Komposisi seperti inilah yang akan dapat menghasilkan karya-karya arsitektur dengan nilai estetika tinggi.

Penonjolan (dominance) memiliki maksud mengarahkan perhatian pengamat sebagai subyek dalam menikmati sebuah karya seni maupun karya arsitektur. Penonjolan dilakukan pada elemen yang dianggap lebih penting atau memiliki kelebihan dari elemen-elemen yang lain. Dalam karya arsitektur, penonjolan dapat dicapai dengan memanfaatkan unsur-unsur a-simetri, a-ritmis serta kontras dalam perancangannya.

Penonjolan juga dapat dilakukan dengan membedakan bentuk tertentu, melalui perubahan ritme dari bentuk-bentuk yang lainnya, sehingga perbedaan yang terjadi tampak mencolok. Penggunaan hal-hal tersebut pada hakekatnya sama dengan melakukan suatu hal yang bertentangan dengan keteraturan yang bersifat monoton. Penonjolan yang dilakukan dengan sengaja tersebut memberikan kesan sebuah kejutan, dan pada umumnya kejutan seperti ini akan menarik perhatian.

Perlawanan terhadap unsur-unsur yang monoton, jika dilakukan dengan terarah dan berdisiplin akan dapat menghasilkan karya-karya arsitektur yang memiliki nilai estetika maupun memiliki daya tarik. Selain memberikan intensitas, penonjolan dalam sebuah karya arsitektur dapat memberikan ciri kas atau karakter pada karya tersebut.

Keseimbangan yang terdapat dalam wujud karya arsitektur, paling mudah dilakukan dengan memanfatkan unsur simetri, seperti pada bangunan candi atau pagoda. Dan keseimbangan yang dicapai dengan simetri tersebut biasa disebut symmetric balance. Keseimbangan juga dapat dicapai dengan memanfaatkan unsur a- simetri, hal ini disebut a-symmetric balance.

Dalam karya arsitektur, karya-karya yang disebut sebagai a-symmetric balance adalah bangunan-bangunan yang tidak memiliki bentuk simetris, namun jika ditarik melalui garis tengahnya akan memiliki unsur keseimbangan, hal ini banyak terdapat pada karya-karya arsitektur masa kini yang memiliki fungsi beragam, seperti: rumah tinggal, pusat pertokoan, hotel dan lain sebagainya. Pada saat ini, a-symmetric balance lebih berkembang dalam karya arsitektur, karena dianggap lebih fleksibel, lebih dinamis, tidak terlalu formal, tidak sakral serta lebih inovatif, sehingga lebih mudah untuk berkembang.

Referensi
  • Davidson, Cynthia C, Architecture beyond Architecture, Academy Group Ltd, London, 1995.

  • Dickie, George, et al, Aesthetics - A Critical Anthology , St. Martins Press, New York, 1989.

  • Djelantik, A.A.M, Estetika - Sebuah Pengantar , MSPI, Bandung, 1999.

  • Gardiner, Stephen, Introduction to Architecture, Chancellor Press, London, 1993.

  • Gie, The Liang, Garis Besar Estetika - Filsafat Keindahan , Penerbit Karya, Yogyakarta, 1976.

  • Gossel, Peter & Leuthauser, Gabriele, Architecture in The Twentieth Century, Benedikt Tascen, Koln, Germany, 1991.

  • Huisman, Denis, Esthetica , Het Spectrum, Utrecht, 1964.

  • Kuypers, K, Encyclopedie van de Filosofie , Elsevier, Amsterdam, 1977.

  • Langer, Sussane K, Problematika Seni , STSI, Bandung, 1993.

  • Muller, Kal, Indonesia in Color, Periplus Editions, Berkeley, California, USA, 1990.

  • Sachari, Agus, Estetika Terapan , Penerbit Nova, Bandung, 1989.

  • Sumardjo, Jakob, Filsafat Seni , Penerbit ITB, Bandung, 2000.

  • Tillman, Frank A & Steven M. Cahn, Philosophy of Art and Aesthetics , Harper & Row Publishers, New York, 1969.