Orang yang beruntung menurut qs. al ala adalah orang yang menyucikan diri dengan cara ….

Orang yang beruntung menurut qs. al ala adalah orang yang menyucikan diri dengan cara ….
Islamic photo created by freepik - www.freepik.com

BincangSyariah.Com – Ronggowarsito, Seorang Pujangga dan sastrawan Indonesia dalam Serat Kalatida pernah berkata, “Menangi jaman edan, yen ora ngedan ora keduman. Ning sak bejo-bejone uwong isih bejo wong kang eling lan waspodo” (Menyaksikan zaman gila serba susah dalam bertindak, ikut gila namun tak tahan, tapi kalau tidak mengikuti “gila” tidak akan mendapat bagian, namun telah menjadi kehendak Allah, seberuntung-beruntungnya seseorang lebih beruntung mereka yang tetap ingat dan waspada serta memegang teguh nilai-nilai agama).

Syair di atas menjadi renungan kita bersama bahwa orang beruntung bukanlah mereka yang punya banyak harta melimpah, rumahnya megah, mobilnya mewah, lebih-lebih juragan tanah. Justru, dalam penjelasan Q.S. al-A’la [87] ayat 14-17 berbanding terbalik dengan persepsi tersebut.

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى (14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى (15) بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَا – 17

Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.

Ibnu Katsir menjelaskan yang dimaksud qad aflaha man tazakka adalah mereka yang senantiasa membersihkan dirinya dari perangai tercela dan akhlak yang buruk serta mentaati perintah-Nya. Abu Hayyan al-Andalusi dalam tafsirnya, al-Bahr al-Muhith, Ibnu Abbas dalam Tafsir Ibn Abbas, dan al-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kassyaf memaknai lafaz tazakka dengan tathahhara (membersihkan diri dari syirik).

Ditegaskan juga dalam ayat ini, orang yang memperoleh kemenangan dan keberhasilan itu adalah orang yang tazakka. Kata tazakka berasal dari zaka yang berarti al-nama’(tumbuh). Oleh karena itu, al-Zujaj menafsirkan kata ini dengan memperbanyak takwa.

Menurut Qatadah, membersihkan diri itu dengan beramal salih. Salah satu bentuk amal salih yaitu mengingat Allah swt dalam setiap gerak-geriknya kemudian shalat (al-A’la ayat 15). Andai seseorang mengingat Allah swt maka ia tidak akan berbohong, memanipulasi laporan pertanggungjawaban, korupsi triliunan, nabok nyilih tangan (memukul dengan meminjam tangan orang lain), menebar kebencian dan permusuhan, serta segala bentuk perilaku tercela lainnya.

Dijelaskan oleh al-Alusi dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani, al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil dan al-Biqa’i dalam Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, bahwa zikir atau ingat kepada Allah swt ini meliputi hati dan lisan. Pendapat yang lain, al-Jazairi mengatakan bahwa zikir kepada Allah meliputi berbagai aspek kehidupan mulai dari sejak bangun tidur hingga tidur lagi, dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring (Q.S. Ali Imran [3] ayat 191).

Sedangkan yang dimaksud dalam kalimat fashalla adalah shalat wajib lima waktu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abbas, dan al-Zamakhsyari. Menurut al-Jazairi, tidak hanya shalat wajib, tetapi juga shalat nafilah (shalat sunnah). Ibadah shalat termasuk ibadah vertikal paling agung. Dalam Q.S. al-Mukminun [23] ayat 1-2 dijelaskan bahwa di antara orang yang memperoleh falah (keberuntungan) adalah orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.

Sikap menjadikan dunia sebagai prioritas utama dan akhirat belakangan adalah perilaku orang yang merugi. Justru kita harus menjadikan dunia sebagai sarana (bukan tujuan) untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Sebagaimana sabda Nabi Saw.,

لَوْ كَانَتِ الدُّنْـيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk, maka Dia tidak memberi minum sedikit pun darinya kepada orang kafir.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah ).

Maka letakkanlah dunia tanganmu bukan di hatimu, niscaya engkau selamat. Bukankah itu yang diajarkan dalam Agama Islam?

Sebagaimana Nabi saw. pernah berdoa,

وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا

“Ya Allah, Janganlah Engkau jadikan musibah yang menimpa kami dalam urusan agama kami, dan jangan pula Engkau jadikan (harta dan kemewahan) dunia sebagai cita-cita kami yg paling besar, dan tujuan utama dari ilmu yg kami miliki.” (H.R. al-Tirmidzi, 5/528 No. 3502, al-Nasa’i dalam al-Sunan al-Kubra 6/106, al-Hakim 1/l528 dan Ibn al-Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah No. 445).

Sebagai manusia, kita tentu menghendaki keberuntungan dan menghindari kerugian dalam hidup adalah hal yang lumrah (wajar). Dalam ayat di atas, Allah swt telah memberikan empat kriteria atau klasifikasi orang-orang yang akan mendapatkan keberuntungan yaitu beriman kepada Allah swt sekalipun mendapati rintangan hidup, mengingat Allah swt dalam setiap langkahnya, melaksanakan kewajiban shalat lima waktu dan mengerjakan shalat sunnah, serta menjadikan dunia sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat bukan sebagai tujuan akhir. Insya Allah apabila kita mengaplikasikan keempat kriteria tersebut, hidup kita akan selamat fid diin wad dunya wal akhirat. Aamiin.

(Tafsir QS al-A’la [87]: 14-19)

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى * وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى * بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى * إِنَّ هَذَا لَفِي الصُّحُفِ الأولَى * صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى *

Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat. Namun, kalian (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sementara kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa (QS al-A’la [87]: 14-19).

Dalam ayat sebelumnya, Rasulullah saw. diperintahkan untuk memberikan peringatan. Kemudian diterangkan mengenai respon manusia terhadap perintah tersebut. Ada orang-orang yang mengambil peringatan tersebut sebagai pelajaran. Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah SWT. Ada juga yang bersikap sebaliknya; mereka justru menjauhi peringatan tersebut. Mereka pun menjadi  orang-orang yang celaka. Mereka itu akan masuk neraka yang siksanya amat dahsyat. Di dalamnya, mereka tidak mati dan tidak hidup (ayat 9-13).

Kemudian  dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan hasil yang dituai orang-orang yang mau menjadikan peringatan Rasulullah saw. sebagai pelajaran. Mereka adalah orang-orang yang membersihkan diri, mengingat nama Tuhannya dan mengerjakan shalat.

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Qad aflaha man tazakkâ (Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri). Kata aflaha berasal dari kata al-falâh. Menurut Ibnu Manzhur, secara bahasa al-falâh berarti al-fawz wa an-najâh wa al-baqâ’ fî an-na’îm (kemenangan, keberhasilan dan kelanggengan dalam nikmat).1Syihabuddin al-Alusi mengartikan kata ini dengan najâ min al-makrûh wa zhafara bimâ yarjûhu (selamat dari yang dari yang dibenci dan berhasil memperoleh apa yang diharapkan).2 Dalam konteks ayat ini, al-Jazairi memaknai kata ini sebagai fâza (berhasil), dengan selamat dari azab dan bahagia dengan surga.3

Ditegaskan dalam ayat ini, orang yang memperoleh kemenangan dan keberhasilan itu adalah orang yang tazakkâ. Kata tazakkâ  berasal dari kata zakâ. Secara bahasa, kata az-zakâ’ berarti an-namû (tumbuh). Oleh karena itu, az-Zujjaj menafsirkan kata ini dengan memperbanyak takwa. Alasannya, kata zâkî berarti an-nâmî al-katsîr (yang tumbuh banyak).4

Abu Hayyan al-Andalusi memaknai tazakkâ dengan tathahhara (membersihkan diri).5 Dalam beberapa ayat, kedua kata disebutkan bersama-sama (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 232) dan QS at-Taubah [9]: 103). Ibnu ‘Abbas memaknai kata ini sebagai orang yang membersihkan diri dari syirik.6 Menurut az-Zamakhsyari, selain membersihkan diri dari syirik, juga dari maksiat.7 Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa  orang yang membersihkan diri adalah orang yang mengatakan kalimat Lâ ilâha illal-Lâh.8

Menurut Qatadah, membersihkan diri itu adalah dengan amal shalih.9 Dalam al-Quran ada beberapa amal shalih yang disebutkan berguna membersihkan manusia. Zakat, misalnya, dapat membersihkan dan menyucikan pelakunya (lihat QS at-Taubah [9]: 103). Menahan pandangan dan memelihara kemaluan dapat membuat pelakunya lebih suci (lihat QS an-Nur [24]: 30).

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang tersebut adalah orang yang membersihkan dirinya dari akhlak yang buruk dan mengikuti apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.10 Asy-Syaukani juga menafsirkan ayat ini: orang yang membersihkan diri dari syirik seraya mengimani Allah SWT dan mengamalkan syariah-Nya.11 Secara keseluruhan, ayat ini menurut Ibnu Jarir ath-Thabari mengandung pengertian, “Sungguh telah berhasil dan memperoleh apa yang diinginkan, orang yang membersihkan diri dari kekufuran dan maksiat kepada Allah, mengamalkan apa yang diperintahkan Allah dan menunaikan berbagai kewajiban.”12

Semua penafsiran tersebut saling melengkapi. Intinya, orang yang menuai kesuksesan dan kemenangan adalah orang yang membersihkan diri kekufuran, kemusyrikan dan kemaksiatan; seraya mengimani akidah Islam dan beramal shalih dengan menaati syariah-Nya, menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Semua itu dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah SWT.

Orang tersebut juga: Wa dzakara [i]sma Rabbihi fashallâ (dan dia mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat). Dijelaskan al-Alusi, al-Baidhawi, dan al-Biqa’i bahwa zikir atau ingat kepada Allah ini meliputi hati dan lisan.13 Dikatakan Abu Hayyan, zikir tersebut hanya kepada Allah satu-satunya, tidak disertai dengan mengingat yang lainnya yang menjadi sekutu bagi-Nya.14 Menurut al-Jazairi, zikir kepada Tuhannya itu dilakukan dalam seluruh kehidupannya, baik ketika makan dan minum; tidur maupun bangun; dalam shalat maupun di luar shalat; berupa tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.15

Adapun yang dimaksud dengan shalat dalam frasa fashallâ adalah shalat lima waktu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dan lain-lain dari Ibnu ‘Abbas.16 Pendapat yang sama juga dikemukakan az-Zamakhsyari.17 Menurut al-Jazairi, tidak hanya shalat wajib, namun juga shalat-shalat nafilah, seperti rawatib dan lain-lain.18 Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat al-Biqa’i yang mengatakan bahwa shalat tersebut meliputi semua shalat yang disyariatkan. Sebab, shalat merupakan zikir yang paling agung. Shalat juga merupakan ibadah paling agung, sebagaimana zakat yang merupakan ibadah harta paling agung.19 Dalam QS al-Mukminun [23]: 1-2 diberitakan bahwa di antara orang yang mendapatkan al-falâh adalah orang-orang yang khusuk shalatnya.

Penjelasan cukup menarik disampaikan oleh Fakhruddin ar-Razi. Menurut ar-Razi, ada tiga tingkatan amal bagi orang mukallaf. Ketiganya dijelaskan dalam ayat-ayat ini. Pertama: menghilangkan akidah yang rusak dari hati. Inilah yang dimaksudkan dengan at-tazkiyah (membersihkan diri) pada frasa man tazakkâ. Membersihkan diri di sini adalah membersihkan dari apa yang disebutkan oleh ayat sebelumnya, yakni membersihkan diri dari kekufuran. Kedua: menghadirkan ma’rifatul-Lâh beserta zat, sifat, dan asma’-Nya. Inilah yang dimaksudkan oleh frasa Wa dzakara [i]sma Rabbihi. Sebab, zikir dengan hati tidak bisa dilakukan kecuali dengan ma’rifah. Ketiga: menyibukkan diri dengan berkhidmat kepada Allah SWT. Ini ditunjukkan oleh frasa fashallâ. Shalat merupakan manifestasi tawaduk dan khusyuk. Siapa saja yang hatinya disinari dengan keagungan dan kebesaran Allah SWT, akan tampak pada anggota badannya pengaruh khudhu’ dan khusyuk.20     

Allah SWT berfirman: Bal tu’tsirûna al-hayâh al-dun-yâ (tetapi kalian [orang-orang kafir] memilih kehidupan duniawi). Kata bal berfungsi sebagai idrâb, yakni memalingkan dari kalimat sebelumnya. Artinya, kalian tidak melakukan tindakan yang dapat mengantarkan mereka pada kesuksesan itu. Namun sebaliknya, justru tu’tsirûna dengan kehidupan dunia. Menurut as-Samarqandi, maksud frasa tersebut: Kalian lebih memilih beramal untuk dunia daripada beramal untuk akhirat.21 Al-Jazairi juga memaknai: Kalian lebih mendahulukan dan mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat.22 Al-Alusi menafsirkan ayat ini dengan: sikap ridha dan tenteram dengan kehidupan dunia serta berpaling dari akhirat secara keseluruhan (Lihat pula: QS Yunus [10]: 7).

Sikap lebih memilih dunia tersebut jelas merupakan pilihan yang salah. Sebab, kehidupan akhirat jauh lebih baik dan abadi. Allah SWT berfirman: Wa al-âkhirah khayr wa abqâ (sementara kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal). Menurut al-Qurthubi, kata khayr berarti afdhal (lebih utama), sedangkan abqâ berarti adwamu min ad-dun-yâ (lebih kekal daripada dunia).23

Menurut Ibn Katsir, maksud ayat ini adalah pahala Allah di akhirat lebih baik dan lebih kekal. Kehidupun dunia itu rendah dan fana, sementara akhirat mulia dan langgeng. Bagaimana mungkin orang yang berakal lebih memilih yang fana daripada yang kekal; mementingkan apa yang segera hilang daripada kehidupan yang kekal dan langgeng?24 Oleh karena itu, ayat ini memberikan dorongan kepada manusia agar lebih memilih dan mengutamakan akhirat daripada dunia.

Kemudian Allah SWT berfirman: Inna hâdzâ lafî ash-shuhuf al-ûlâ (Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab terdahulu). Ada beberapa penjelasan tentang makna  inna hâdzâ (sesungguhnya ini) dalam ayat ini. Menurut Qatadah dan Ibnu Zaid, yang dimaksudkan adalah Wa al-âkhirah khayr wa abqâ (sementara kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal). Menurut al-Kalbi frasa tersebut menunjuk pada firman Allah SWT: qad aflaha man tazakkâ hingga akhir surat ini.25Pendapat ini juga dipilih az-Zamakhsyari dan dinilai paling tepat oleh ath-Thabari.26

Ditegaskan dalam ayat ini bahwa berita tersebut terdapat di dalam ash-shuhuf al-ûlâ. Kata ash-shuhufmerupakan bentuk jamak dari kata ash-shahîfah. Artinya, lembaran yang di dalamnya terdapat tulisan.27 Dijelaskan al-Hasan, as-shuhuf al-ûlâ adalah kitab-kitab Allah semuanya.28

Kemudian Allah SWT berfirman: Shuhuf Ibrâhîma wa Mûsâ ([yaitu] kitab-kitab Ibrahim dan Musa). Menurut ar-Razi, ayat ini bisa berkedudukan sebagai bayân (penjelasan) bagi ayat sebelumnya: lafî ash-shuhuf alûlâ; bisa juga berarti: semuanya telah diterangkan dalam seluruh shuhuf para nabi; di antaranya adalah shuhuf Ibrahim dan Musa. 29

Tampaknya, pendapat kedua lebih tepat. Dijelaskan al-Qurthubi, bukan berarti kata-kata itu terdapat dalam kitab-kitab tersebut, namun kandungan maknanya, yakni makna perkataan itu terdapat dalam shuhuf-shuhut tersebut.30

Sikap Manusia dan Balasannya

Ada beberapa perkara yang patut digarisbawahi dari ayat-ayat ini. Pertama: balasan bagi orang-orang yang menerima peringatan Rasulullah saw. dan menjadikan peringatan itu sebagai pelajaran. Sebagaimana kita ketahui, golongan manusia yang menolak dan menjauhi peringatan itu diancam dengan siksaan yang amat dahsyat di neraka. Demikian dahsyatnya hingga dalam ayat sebelumnya digambarkan bahwa di neraka tersebut mereka tidak mati dan tidak hidup. Imbalan sebaliknya diterima oleh orang-orang yang menerima peringatan tersebut. Dalam ayat ini, mereka disebut sebagai orang-orang yang membersihkan diri, mengingat Allah SWT dan mengerjakan shalat. Mereka disebutkan mendapatkan falâh (kemenangan, kesuksesan, selamat dari neraka dan masuk surga).

Penegasan yang sama juga disebutkan dalam QS asy-Syams [91]: 9. Orang-orang yang memberikan hartanya untuk menyucikan diri dan semata-mata mencari ridha Allah SWT juga dijanjikan akan dijauhkan dari neraka yang menyala-nyala (lihat QS al-Lail [92]: 17-20). Mereka juga dijanjikan dengan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya (lihat QS Thaha [20]: 76). Pendek kata, mereka itu akan menuai imbalan dari jerih payah yang mereka kerjakan (Lihat juga: QS Fathir [35]: 18).

Kedua: kerugian besar bagi manusia yang mendahulukan kehidupan dunia. Sebagaimana diterangkan ayat ini, ada sebagian manusia yang lebih memilih, mengutamakan dan terbuai dengan kehidupan dunia seraya melupakan akhirat. Sikap ini tentu mendatangkan kerugian bagi mereka. Sebab, mereka telah memilih kehidupan yang amat singkat dengan kenikmatan sedikit.

Ketika manusia dibangkitkan di akhirat kelak, manusia merasakan singkatnya hidup di dunia itu. Demikian singkatnya hingga menurut mereka hidup di dunia itu hanya sehari atau setengah hari (lihat QS al-Mukminun [23]: 113); hanya sesore atau sepagi hari (lihat QS al-Nazi’at [79]: 46); atau bahkan hanya sesaat saja pada siang hari (lihat QS Yunus [1]: 45). Oleh karena itu, sesungguhnya kenikmatan di dunia amat sedikit.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dan Imam at-Tirmidzi, Rasulullah saw. mengumpamakan kehidupan dunia dibandingkan dengan akhirat seperti jari telunjuk yang dicelupkan di laut, maka maka air yang melekat di jari itulah kenikmatan dunia.

Oleh Karena itu orang yang beruntung adalah orang yang lebih memilih dan mengutamakan akhirat. Demikianlah sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أَحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أَضَرَّ بِدُنْيَاهُ فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى

Siapa saja yang mencintai dunianya, dia telah mendatangkan kerugian bagi akhiratnya. Siapa saja yang mencintai akhiratnya, dia telah mendatangkan kerugian bagi dunianya. Karena itu, pilih dan utamakanlah yang kekal daripada yang fana (HR Ahmad, al-Baihaqi dan al-Hakim. Al-Hakim mengatakan hadis ini hasan-shahih).

Ketiga: kesamaan sebagian isi al-Quran dengan kitab-kitab sebelumnya. Ini jelas diberitakan dalam ayat ini. Selain ayat ini, ada juga beberapa ayat lainnya yang memberitakannya, seperti QS an-Najm [53]: 36-41. Dalam ayat tersebut disebutkan, dalam shuhuf Musa dan Ibrahim telah diberitakan bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain; dia tiada memperoleh selain apa yang telah dia usahakan dan usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepada dirinya; kemudian dia akan diberi balasan dengan balasan yang paling sempurna; dan kepada Allah kesudahan segala sesuatu.

Semoga kita termasuk orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb.  []

Catatan kaki:

1 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 2 (Beirut: Dar Shadir, tt), 547.

2 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 321.

3 Al-Jazairi,  Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukm, 2003), 558. Penjelasan yang sama juga disampaikan as-Samarqandi, Bahr al-Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 431.

4 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 147.

5 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420), 458.

6 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol.  24 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000),  373. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 321; al-Khazin, Lubâb at-Tanzî fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 418; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats  al-‘Arabiyy, 1420 H), 241.

7  Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 740.

8  As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15 (Kairo: Markaz Hijr, 2003), 369.

9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kitab al-Mishriyyah, 1964), 21; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15, 369.

10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 373

11 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 506.

12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 373.

13 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 532; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1998), 306; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt),  403; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Dar al-Fikr, 1996), 195.

14  Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol.  10, 458.

15 Al-Jazairi,  Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 558.

16  Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 322.

17 Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 740.

18 Al-Jazairi,  Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 558. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 455.

19 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21,  403.

20 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 148.

21 As-Samarqandi, Bahr al-Ulûm, vol. 3, 471.

22 Al-Jazairi,  Aysar at-Tafâsîr, vol.  5, 558.

23 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol.  20, 24.

24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 374.

25  Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol.  20, 24.

26 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 741; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol.  24, 377.

27  Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 334.

28 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol.  20, 24.

29  Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 137.

30 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol.  20, 24.