Musik Huda berasal dari tiga jenis musik tradisional minangkabau yaitu

Pada umumnya jenis karya seni musik dibedakan menjadi dua, yaitu seni musik tradisional dan seni musik modern.

Dalam pembawaanya musik tradisional seringkali ditampilkan dengan bahasa, gaya, dan tradisi yang khas. Hal ini karena di setiap daerah ataupun negara selalu mempunyai ciri khas yang berbeda sesuai dengan adat istiadat yang berlaku.

Musik Huda berasal dari tiga jenis musik tradisional minangkabau yaitu

Musik tradisional adalah musik yang hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat, dipertahankan sebagai sarana hiburan.

Ada tiga komponen yang berpengaruh dalam perkembangan musik tradisional, yaitu; seniman, musik itu sendiri, dan masyarakat yang menikmati.

Baca juga: Pengertian Musik Barat

Dalam konteks ini bisa diartikan bahwa musik tradisional merupakan upaya pewarisan secara turun-temurun masyarakat sebelumnya bagi masyarakat selanjutnya.

Jenis Musik Tradisional

1. Musik Karang Dodou

Musik Karang Dodou merupakan jenis musik tradisional daerah khas Tanah Siang, daerah Barito Utara yang terletak di Kalimantan Tengah.

Biasanya musik ini difungsikan untuk kegiatan ritual/ upacara tertentu, misalnya; memandikan bayi atau memberikan nama bayi yang dikenal dengan upacara Noka Pati, serta mengobati orang sakit yang disebut dengan upacara Nambang Morua.

Dalam pembawaannya lagu-lagu dalam musik Karang Dodou bersifat religi, berupa; mantera yang berisi doa kepada “Mohotara” (Tuhan yang Maha Esa).

2. Musik Huda

Musik tradisional Huda merupakan jenis musik daerah yang cukup berkembang di Nusantara yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat.

Sebagai provinsi yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, tidak heran jika musik Huda pun bernuansa Islami dengan penggabungan tiga jenis musik, yaitu; Dikil Rabaro, Dikil Mundan, dan Salaulaik Dulang.

Dikil Rabaro adalah vokal senior yang memakai Rabaro sebagai iringan.
Dikil Mundan termasuk senior vokal yang memakai Mudan sebagai iringan.
Salaulaik Dulang merupakan seni vokal yang berfungsi sebagai ritem atau iringan.

Dalam memainkannya, ke-3 musik tersebut diinovasikan/ digabungkan hingga menjadi komposisi musik yang utuh dan sempurna bunyinya.

3. Musik Gong Luang

Gong Luang merupakan jenis musik tradisional Bali yang berfungsi sebagai pengiring upacara adat atau digunakan sebagai pengiring tarian tradisional, seperti; tari topeng, pendet, rejeng, dsb.

Berdasarkan sejarah, Gong Luang diperkiran berasal dari kerajaan Majapahit yang kemudian dibawa ke Bali oleh sekelompok orang setelah Majapahit mengalami kemunduran.

Penamaan kata Gong Luang sendiri berasal dari kata “Gong” yang mengacu pada nama alat musik, dan “Luang” yang berarti kurang.

Dalam hal ini dikatakan jika perangkat Gong tersebut kurang lengkap, sebab itulah dinamakan sebagai Gamelan Gong Luang.

Untuk memainkan musik Gong Luang membutuhkan 25-30 jenis alat musik saja, seperti; kendang, suling, jublag, gangsa, jegog, saron, dan lain-lain.

Tentu saja jumlah tersebut sifatnya dinamis artinya berbeda-beda tergantung dengan daerahnya masing-masing.

Keunikan dari musik Gong Luang, yaitu memiliki 7 tangga nada (ndang, ndaing, nding, ndong, ndeng, ndeung, dan ndung). Sedangkan untuk larasnya terdiri dari pelog, salendro, salendroan.

4. Musik Santi Swara dan Laras Madya

Santi Swara dan Laras Madya merupakan jenis musik tradisional yang berasal dari Jawa Tengah. Diperkirakan jenis musik ini sudah ada sejak abad ke-17 tepatnya pada masa pemerintahan Paku Buwana ke-V.

Penamaan alat musik ini berasal kata “Santi” yang berarti doa dan “Swara” artinya suara/ lagu. Sedangkan “Laras” memiliki arti irama dan “Madya” artinya bersahaja.

Jika digabungkan menjadi Santi Swara Laras Madya yang berarti doa yang dilantunkan dalam senandung lagu dan irama-irama yang bersahaja.

Musik Santi Swara dan Laras Madya berfungsi sebagai pengiring shalawat (lagu pujian bernafaskan Islam) dengan bentuk lagu Jawa yang bernada slendro dan pelog yang digarap dengan memasukan unsur karawitan.

Alat musik utama yang dipakai untuk mengiringi jenis musik tradisional ini yaitu; kendang, bogem, dan kemanak.

Tidak ada perbedaan yang begitu mencolok dari kedua jenis musik tersebut, hanya saja jika Santi Swara membawakan lagu bersyair shalawat, sedangkan Laras Madya menggunakan tembang macapat, seperti; mijil, sinom, kinanthi, asmaradana, dan lainnya.

5. Musik Gaghahanggase

Musik Gaghahanggase merupakan jenis musik tradisional khas Sangihe Talaud, Sulawesi Utara. Gaghahanggase adalah perpaduan dari beberapa jenis alat musik yang bersifat diatonis maupun non-diatonis.

Beberapa instrumen musik Gaghahanggase diantaranya adalah musik bambu, kentel, seheng, tambur, karoncongan, tatengkorang tagonggong, behohang, dan kalikitong.

Lagu yang dibawakan adalah jenis lagu daerah atau nasional serta dinyayikan oleh vokal pria dan wanita.

6. Musik Tabuh Salimpat

Tabuh Salimpat merupakan jenis musik tradisional khas Lampung yang masih dilestarikan dan dimainkan hingga sekarang.

Musik Tabuh Salimpat terdiri dari beberapa alat musik tabuh (rebana) dan alat musik petik (gitar). Instrumen yang paling menonjol dalam musik ini adalah instrumen kerenceng dan gambus lunik.
Fungsi utama Tabuh Salimpat yaitu sebagai pengiring upacara adat dan alat komunikasi dalam bentuk lagu yang disebut Sesimbatan atau pantun bersahutan, serta dapat juga menjadi iringan gerakan tari.

7. Musik Krombi

Musik Krombi merupakan jenis musik tradisional Papua. Krombi berasal dari kata “Nai Krombi” yang berarti memetik/ memainkan.

Mbref atau Gauto merupakan nama alat musiknya, biasanya terbuat dari seruas bambu yang kemudian dililit menggunakan rotan di kedua ujungnya.

Agar menghasilkan bunyi layaknya senar, biasanya akan ditambahkan penyangga sehingga bilah sayatannya menjadi lebih kuat dengan beberapa lubang yang terletak dibagian bawah bambu.

Musik tradisi Krombi berfungsi sebagai pengiring dalam acara-acara tertentu seperti untuk hiburan, upacara adat, dan upacara keagamaan.

8. Musik Syair Telimaa

Musik Syair Telimaa adalah jenis musik tradisional yang berasal dari daerah Tanah Mandalam, Bumi Uncok Kapuas, Kalimantan Barat.

Baca juga: Pengertian Musik Ansambel

Syair Telimaa merupakan salah satu syair musik terkenal, diantara Samoing Syair dan dikalangan syair lainnya.

Zaman dulu, syair ini kerap digunakan untuk acara hiburan, pengiring seni tari, hingga upacara adat. Makna dari syair Telimaa berisi pesan agar para generasi muda mempertahankan dan melestarikan nilai luhur budaya nenek moyang.

Contoh Musik Tradisional

  • Goong Renteng, musik tradisional Sunda yang memakai gamelan sebagai instrumen musiknya. Alat musik Goong Renteng terdiri dari alat musik bilah, alat musik berpencon dan idiofon.
  • Krumpyung, musik tradisional yang berasal dari Kulon Progo, Yogyakarta. Musik dimainkan dengan alat musik yang terbuat dari bambu semacam angklung yang nada suaranya seperti gambang dan gong bumbung tiup.
  • Gambang Kromong, musik tradisional Betawi yang menggunakan nada pentatonis (lima nada) dengan perpaduan alat musik Tiongkok.
  • Sasando Gong, musik tradisional Nusa Tenggara Timur yang terbuat dari bambu dengan daun lontar dan kawat halus, dimainkan dengan cara dipetik.
  • Panting, musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Beberapa instrumen yang digunakan diantaranya panting, babaun, agung, marakas, dan talinting.
  • Senandung Jolo, musik tradisional yang berasal dari Desa Tanjung, Kec. Kumpeh Ilir, Kab. Muaro Jambi. Instrumen utama yang digunakan adalah Gambang kayu, alat musiknya terdiri dari 4 bilah kayu Marelang.

Demikian pembahasan kita kali ini mengenai pengertian musik tradisional yang sudah diulas secara lengkap, semoga bermanfaat.

Huda-Huda (Toping-Toping) merupakan tradisi yang berupa tarian yang dipentaskan pada saat upacara kematian.[1] Huda-Huda berasal dari Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.[1] Dipentaskan pada saat upacara kematian, bertujuan untuk menghibur keluarga yang sedang berduka dan para pelawat. Huda-Huda sering juga disebut Toping-Toping. Istilah Toping-Toping memiliki arti topeng. Topeng menjadi media yang digunakan oleh para penari pada saat pementasan. Topeng yang digunakan memiliki beberapa bentuk sesuai fungsinya. Topeng laki-laki disebut topingdalahi, dan topeng perempuan disebut toping daboru.[1]

Pementasan

Upacara kematian ini terdiri dari dua bagian yang disebut mandiguri dan mangiliki[2]. Mandiguri yaitu acara yang dilakukan pada malam hari dengan memberikan penghormatan melalui penabuhan musik dan tari yang disuguhkan dari keluarga yang ditinggalkan dengan cara menari mengelilingi jenazah.[2] Musik pengiring yang digunakan adalah seperangkat gonrang sidua-dua. Di dalamnya terdiri dari satu buah sarunai bolon yang dimainkan oleh satu orang, dua buah gonrang yang dimainkan oleh dua orang, dua buah mongmongan yang dimainkan oleh satu orang, dan dua buah ogung yang dimainkan oleh satu orang. Selain alat musik dan pengiring ada juga gual atau tampilan lain dalam acara tersebut. Pertama gual Huda yang berfungsi untuk mengiringi Huda-Huda. Kedua,  gual tambahan yang disebut gual parahot, gual rambing-rambing, gual imbo manibung, gual sombuh atei ni hudan, dan lain-lain. Acara yang kedua adalah mangiliki,[2] yaitu suatu upacara pada siang hari untuk menyambut para pelawat dengan menampilkan tarian topeng yang disebut Huda-Huda atau Toping-Toping. Pemain laki-laki menggunakan pakaian polang-polang berwarna putih, merah, dan hitam. Topeng pun menyesuaikan dengan paras laki-laki pada umumnya. Bagian rambut terbuat dari injuk dan bahan topeng terbuat dari kayu ingul dan kayu kemiri. Topeng perempuan tetap diperankan oleh laki-laki. Oleh sebab itu, para pemerannya dirias layaknya seorang perempuan, dan pakaian yang digunakan adalah pakaian perempuan. Meskipun diperankan oleh laki-laki, untuk gerak tari yang ditampilkan harus memiliki perbedaan antara gerak tari laki-laki dan gerak tari perempuan.[3]

Sejarah

Sejarah tentang Huda-Huda bermula dari kisah kerajaan Simalungun.[3] Dikisahkan pada zaman dahulu di sebuah kerajaan sedang berduka, karena anak tunggal dari sebuah keluarga kerajaan meninggal dunia. Sang Ibu, tak rela bila anaknya harus dikubur, hari-harinya dipenuhi rasa sedih. Rakyat di kerajaan pun mendengar kabar tersebut, dan ikut mencari cara untuk menghibur para keluarga raja, terutama permaisuri. Para rakyat pun berkumpul di suatu tempat kemudian menciptakan bermacam-macam gerakan lucu, ada yang membuat topeng seperti monyet. Pada akhirnya, mereka pun memberanikan diri tampil di depan istana. Raja ternyata melihat gerakan tari yang ditampilkan dan merasa tertarik serta sangat terhibur. Karena mendengar keramaian yang telah ada di halaman istana, sang permaisuri merasa senang dan sangat menikmati pertunjukkan tersebut. Dikesempatan inilah, sang Raja akhirnya dapat memberi perintah untuk segera memakamkan anaknya. Sejak saat itu, pertunjukkan tari topeng atau Huda-Huda mulai ditampilkan. Tetapi saat ini penampilan tarian topeng atau Huda-Huda sudah mulai jarang dilakukan oleh masyarakat Simalungun. Dahulu tarian ini sebagai penghibur, namun saat ini ternyata Tari Huda-Huda juga dijadikan seni pertunjukan untuk sarana hiburan bagi masyarakat sekitar.[2]

Fungsi

Fungsi Huda-Huda mengalami pergeseran, sesuai dengan kebutuhan pada masanya.[2] Pada masa kerajaan Simalungun, Huda-Huda memiliki fungsi sebagai upacara kematian bagi seseorang yang berusia lanjut dan dimaksudkan untuk menyambut para pelawat.[2] Selain itu, Huda-Huda juga ditampilkan dalam upacara kematian namatei sayurmatuah, upacara kematian namatei sayurmatua, dan upacara mengongkal holi-holi. Fungsi lain dari Huda-Huda yaitu sebagai ungkapan rasa emosioal, estetis, hiburan, dan komunikasi.[2]

Referensi

  1. ^ a b c Bernas, Harian. "Tari Huda-Huda, Tarian Pelipur Lara Dari Simalungun, Sumatera Utara - bernas.id". www.bernas.id (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2019-04-13. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  2. ^ a b c d e f g Siburian, Teti Elena (2015-03-11). "Analisis Pertunjukan Toping-Toping oleh Tiga Kelompok Toping-Toping pada Pesta Rondang Bittang ke XVIII di Saribu Dolok Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-14. Diakses tanggal 2019-04-14. 
  3. ^ a b Purba, Setia Dermawan (2009-04-06). "Huda-Huda/ Toping-Toping: Suatu Tarian Dalam Upacara Kematian Usia Lanjut Pada Masyarakat Simalungun". 

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Huda-Huda&oldid=18622230"