Pengaruh Kegiatan Manusia Terhadap Keseimbangan Ekosistem, Simak Penjelasannya dalam Artikel ini
TRIBUNNEWS.COM - Keseimbangan lingkungan dapat terwujud apabila terjadi keselarasan dan keseimbangan antara komponen biotik dan abiotik. Dikutip dari Buku Tematik Siswa SD/MI Kelas V Tema 5 Halaman 131, (2017) oleh Diana Puspa, jika terjadi gangguan antara komponen biotik dan abiotik, keseimbangan lingkungan akan terganggu. Terdapat dua jenis faktor yang menyebabkan perubahan keseimbangan di dalam ekosistem, yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami yang menyebabkan adalah peristiwa alam seperti bencana alam. Bencana alam seperti letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, badai, dan tsunami dapat mengakibatkan terputusnya rantai makanan. Bencana alam tersebut terjadi secara alami dan tidak disebabkan oleh kegiatan manusia. Faktor lain penyebab perubahan keseimbangan ekosistem adalah faktor manusia yang melakukan berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Baca juga: Hubungan Makhluk Hidup dalam Ekosistem, Berikut Tiga Jenis Simbiosis dalam Kehidupan Baca juga: Bangun Ekosistem Kendaraan Listrik, Kemenperin Terapkan Peta Jalan Pengembangan KBLBB Pekerja melakukan penebangan pohon yang diduga merupakan aktivitas illegal logging atau pembalakan liar, di kawasan hutan lindung di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, Senin (22/5/2017). Kegiatan illegal logging di Popoyato tercatat yang paling besar terjadi di antara kabupaten lainnya di Provinsi Gorontalo. Bahkan pembalakan liar di Popayato telah menjangkau berbagai kawasan perkebunan milik rakyat maupun perusahaan sawit. Di Kabupaten Pohuwato sendiri terdapat empat perusahaan kelapa sawit yang memiliki lahan perkebunan dengan surat hak guna usaha (HGU) seluas 53.000 hektare. Semakin maraknya illegal logging, berdampak pada kerusakan yang sangat serius di hutan lindung dan hutan produksi di wilayah tersebut. TRIBUNNEWS/HO (TRIBUN/HO)Kegiatan Manusia pada Keseimbangan Ekosistem Terdapat beberapa kegiatan manusia yang secara langsung mempengaruhi keseimbangan ekosistem, yaitu: 1. Penebangan pohon-pohon di hutan dan pembakaran hutan
Bobo.id - Perburuan liar tidak boleh dilakukan oleh manusia karena akan merugikan ekosistem yang ada di lingkungan alam. Apa yang dimaksud perburuan liar? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perburuan liar adalah perburuan binatang yang dilakukan tanpa izin yang sah dan bertentangan dengan peraturan. Perburuan liar dilakukan manusia terhadap hewan-hewan yang ada di alam liar, seperti harimau, burung-burung langka, dan sebagainya. Orang yang melakukan perburuan liar memanfaatkan hewan-hewan tersebut untuk dimanfaatkan bagian tubuh mulai dari bulu hingga kulitnya. Baca Juga: Cari Jawaban Kelas 4 SD Tema 3, Dampak Melaksanakan Kewajiban Terhadap Hewan Peliharaan bagi Lingkungan Bulu-bulu, kulit, tanduk, dan bagian tubuh lain akan diperjual belikan secara ilegal untuk meraup keuntungan pribadi. Akibatnya, semakin banyak perburuan, semakin banyak pula hewan-hewan dilindungi yang punah. Ini merupakan satu bentuk sikap tidak bertanggung jawab manusia terhadap hewan. Nah, pada pelajaran tematik kelas 4 SD Tema 3 ini, kamu memiliki tugas untuk mencari dampak perburuan liar bagi lingkungan sekitar. Yuk, temukan kunci jawaban pertanyaan tersebut dari penjelasan berikut ini! Page 2
Kamis, 14 Oktober 2021 | 10:45 WIB
Dampak Perburuan Liar bagi Lingkungan 1. Hewan-Hewan Punah Dampak paling utama dari perburuan liar bagi lingkungan adalah terjadinya kepunahan hewan-hewan yang diburu. Hewan-hewan yang diburu semakin lama jumlahnya semakin menipis. Apalagi jika hewan yang diburu merupakan jenis hewan yang mengalami perkembangbiakan lambat. Misalnya, burung cenderawasih. Hewan ini hanya memiliki masa kawin setiap satu kali dalam setahun. Baca Juga: Cari Jawaban Kelas 4 SD Tema 3, Tuliskan Dampak Melaksanakan Kewajiban Terhadap Hewan Peliharaan Sedangkan telur yang dihasilkan setelah mengalami masa kawin berjumlah dua atau tiga butir. Sehingga ketika jumlahnya semakin menipis dan telur-telurnya tidak banyak, maka lama-kelamaan akan punah. Cenderawasih hingga saat ini masih dilindungi di suaka margasatwa dan cagar alam di daerah Papua. 2. Mengganggu Ekosistem Alam Dalam suatu ekosistem alam, hewan-hewan membentuk rantai makanan untuk dapat bertahan hidup. Page 3
Page 4
Bobo.id - Perburuan liar tidak boleh dilakukan oleh manusia karena akan merugikan ekosistem yang ada di lingkungan alam. Apa yang dimaksud perburuan liar? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perburuan liar adalah perburuan binatang yang dilakukan tanpa izin yang sah dan bertentangan dengan peraturan. Perburuan liar dilakukan manusia terhadap hewan-hewan yang ada di alam liar, seperti harimau, burung-burung langka, dan sebagainya. Orang yang melakukan perburuan liar memanfaatkan hewan-hewan tersebut untuk dimanfaatkan bagian tubuh mulai dari bulu hingga kulitnya. Baca Juga: Cari Jawaban Kelas 4 SD Tema 3, Dampak Melaksanakan Kewajiban Terhadap Hewan Peliharaan bagi Lingkungan Bulu-bulu, kulit, tanduk, dan bagian tubuh lain akan diperjual belikan secara ilegal untuk meraup keuntungan pribadi. Akibatnya, semakin banyak perburuan, semakin banyak pula hewan-hewan dilindungi yang punah. Ini merupakan satu bentuk sikap tidak bertanggung jawab manusia terhadap hewan. Nah, pada pelajaran tematik kelas 4 SD Tema 3 ini, kamu memiliki tugas untuk mencari dampak perburuan liar bagi lingkungan sekitar. Yuk, temukan kunci jawaban pertanyaan tersebut dari penjelasan berikut ini!
Indonesia merupakan salah satu rumah bagi satwa-satwa, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi. Setiap satwa memiliki porsi masing-masing, diantaranya ada 12% mamalia, 16% reptil dan amfibi, 17% burung, 25% ikan, dan sisanya 10% tanaman berbunga. Tingkat endemisme yang tinggi dengan keunikan tersendiri yang menjadi salah satu faktor keanekaragaman hayati dan non hayati bertebaran tumbuh di Indonesia. Pemanfaatan keanekaragaman hayati dan non hayati tidak boleh digunakan secara berlebihan, contohnya satwa liar. Satwa liar yang dilindungi dilarang untuk dipelihara, dimiliki, diburu maupun diperdagangkan, namun masyarakat masih belum bisa membedakan satwa yang dilindungi dan tidak dilindungi. Hal ini membuat naiknya terus menerus perdagangan satwa liar ilegal, dan naiknya angka kepunahan satwa langka dilindungi. Kasus perdagangan satwa langka dilindungi masih saja marak dilakukan, meski pemerintah telah mengaturnya dalam Undang-Undang. Dilansir dari Kompas.com, menurut Guru Besar IPB, Prof. Ronny Rachman Noor mengatakan bahwa Indonesia tercatat sebagai salah satu eksportir produk satwa liar terbesar. Tertera jelas dalam Undang-Undang RI No 5/1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur tentang larangan jual beli satwa langka dan dilindungi. Bahkan dalam pasal 40 ayat (2) pun menerangkan, apabila melanggar Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000. Adanya Undang-Undang yang berlaku di Indonesia tetap tidak membuat perdagangan satwa ilegal ini berhenti. Permintaan satwa liar yang tinggi ini membuat terus menerus perburuan, penyelundupan dilakukan terutama dalam satwa burung murai batu, ular, dan binturong. Menurunnya Populasi Murai Batu Burung Murai Batu atau dikenal dengan istilah white rumped shama (copsychus malabaricus) merupakan salah satu jenis burung kicau yang cukup digemari di Indonesia. Murai batu masuk ke dalam Family Turdidae karena memiliki kemampuan berkicau yang baik dengan suara merdu, bermelodi dan memiliki berbagai variasi suara unik. Selain kemerduan kicaunya, pasalnya keeksotisan dan karisma yang dimiliki murai batu pun merupakan salah satu daya tarik paling tinggi. Kemewahan dan keindahan suara kicaunya merupakan salah satu alasan tingginya perburuan murai batu di alam liar. Tingginya perburuan terhadap burung ini menyebabkan murai batu sempat masuk kategori satwa dilindungi dalam Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 20 Tahun 2018. Namun, dalam Peraturan KLHK Nomor 92 Tahun 2018 murai batu resmi dikeluarkan statusnya dari kategori satwa dilindungi. Keputusan ini merupakan hasil dari kajian sosial dan ekonomi yang dilakukan untuk menanggapi berbagai saran dari masyarakat yang menjalankan bisnis perdagangan burung serta masyarakat yang hobi memelihara burung kicau untuk dijadikan primadona lomba atau kontes. Menurut Britha Dian dari Garda Animalia, banyaknya komunitas pecinta burung dan aktivitas perlombaan burung kicau dapat berpengaruh terhadap populasi burung tidak hanya murai batu. Hobi dan aktivitas-aktivitas perlombaan yang demikian membuat orang juga berlomba-lomba memiliki burung, menangkarkan, dan lain sebagainya. Sayangnya kalau di Indonesia, perlombaan semacam ini terkadang mendapatkan “dukungan” dari pemerintah melalui sponsorship atau bentuk lainnya. Sehingga kegiatan ini menarik minat banyak orang yang akhirnya berpengaruh pada keseimbangan ekosistem dan keberadaan satwa tersebut di alam. Perburuan murai batu masih terbilang tinggi di alam liar, terlebih ketika murai batu sudah dihapuskan dari daftar satwa yang dilindungi. Junaidi Hanafiah, reporter Mongabay yang pernah menulis mengenai perburuan murai batu setuju bahwa penghapusan murai batu dari daftar satwa yang dilindungi menjadikan populasi burung murai kini semakin menipis, “Ketika satwa (murai) dilindungi, perburuannya saja sudah banyak, apalagi setelah statusnya dicabut menjadi tidak dilindungi. Di penangkaran memang masih banyak, namun di alam liar saya jarang sekali menemukan (murai batu). Saya khawatir, jika terus diburu suatu hari akan punah.” Banyak faktor yang menjadikan murai sebagai burung kicau yang paling digemari, salah satunya adalah faktor ekonomi dan bisnisnya. Arif Hartoyo, seorang penangkar burung murai menyatakan bahwa harga murai yang mahal lah yang membuat murai banyak dicari. “Saya tertarik untuk menangkarkan murai, ya, karena ada nilai ekonomisnya. Prospeknya bagus,” kata Arif, “Terlebih lagi, suaranya bagus, ya, dan banyak penggemarnya juga.” Penangkaran burung murai batu yang kian marak ini lambat laun akan mempengaruhi populasinya di alam. Banyaknya komunitas pecinta burung dan kontes burung kicau menjadikan burung murai batu sebagai salah satu burung kicau yang paling digemari, sehingga perburuan pun tak terelakkan. Menurut Dian, banyaknya burung murai batu yang berada di alam dengan yang berada di kendang jumlahnya sangat timpang. Meski bukan lagi termasuk ke dalam satwa yang dilindungi, keberadaan murai batu kini sangat sulit ditemukan di alam. Berdasarkan data yang dirilis oleh Burungnesia, dari 27.212 lokasi yang diamati hanya ditemukan 13 ekor di alam bebas selama tahun 2016-2020 untuk burung murai batu. Ular yang Selalu Jadi Korban Ular merupakan salah satu satwa jenis reptil yang sering sekali dipandang sebelah mata oleh manusia karena begitu menjijikan, menyeramkan, dan berbahaya. Tetapi, dibalik pandangan sebelah mata manusia terhadap ular, masih saja ada sebagian orang yang begitu cinta dengan ular. Atas dasar hobi dan mencintai satwa yang pada akhirnya melakukan berbagai cara untuk memeliharanya, salah satunya perdagangan satwa ilegal. Perdagangan satwa ilegal dan usaha bushmeat ini terus dilakukan dan terus menjadi perhatian. Maraknya perdagangan satwa liar juga diakibatkan oleh semakin canggihnya pemasaran penjualan yang dilakukan pada situs online. International Animal Rescue (IAR) Indonesia mencatat lebih dari 80 persen satwa yang diperdagangkan secara daring atau melalui pasar burung, merupakan tangkapan dari alam liar. Hal ini dapat memicu fenomena hutan tanpa satwa, bila perburuan satwa liar terus berlangsung. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan nilai kerugian negara akibat perdagangan satwa liar secara ilegal diperkirakan mencapai Rp 13 Triliun per tahun. Catatan lain juga menyebutkan bahwa kejahatan satwa liar secara global menempati posisi kedua setelah kejahatan narkotika. Serangan terhadap satwa liar membuat menyusutnya habitat asli satwa liar dan menyebabkan banyak spesies yang terancam punah. Inisiatif perlindungan satwa baik dari pemerintah maupun masyarakat diperlukan untuk menghentikan perburuan dan perdagangan ilegal satuannya khususnya satwa dilindungi. Menurut pengakuan seorang pedagang satwa liar ilegal asal Sragen yang mengetahui konsekuensi jika bisnis perdagangan ilegalnya diketahui oleh pihak BKSDA. Tetapi, ia berpendapat bahwa jika kita mampu merawatnya itu tidak ilegal, walaupun jenis ularnya termasuk yang dilindungi. “Paling ya tidak bisa dipungkiri jika saya pribadi paling terkena sanksi dari hukum yang berlaku, tetapi kita sebagai pedagang harus pintar untuk sebisa mungkin memproses surat menyurat terlebih dahulu,” kata Firman. Selain pengakuan dari Firman, ada pula pengakuan dari seorang pedagang ular di Pasar Sukahaji Bandung bahwa ular itu aman tidak ilegal. “Enggak lah, aman ular mah,” ujar seorang pedagang ular Pasar Sukahaji. Dibalik pengakuan para pedagang tersebut itu sudah tertera jelas aturan penegak hukum Indonesia. Peraturan pemerintah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 yang berisi “Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.” Undang-Undang tersebut menjelaskan mulai dari pemanfaatan dan pengawetan yang berbahan baku sumber daya alam hayati, khususnya bab V pasal 21 ayat 2, bab VI pasal 26, dan bab VIII pasal 36. Binturong di Platform Biru Di masa kini penjualan binturong beralih ke media sosial atau toko-toko online dan dilakukan secara tertutup. Hingga kini, masalah penjualan binturong secara ilegal masih belum sepenuhnya diberantas. Perdagangan hewan tersebut sangat diminati oleh banyak kalangan. Asep Nugraha, Ketua Paguyuban Musang Kuningan, mengatakan penjualan satwa ilegal semakin hari kian meningkat, terlebih pada penjualan di sosial media. Salah satu penyebab meningkatnya perdagangan satwa ialah besarnya permintaan satwa ilegal oleh pasar dunia. Seperti halnya salah satu musang yang dilindungi yakni binturong yang permintaan pasarnya terus menerus meningkat. Musang-musang ilegal itu kemudian dijual dengan harga yang jauh dari harga bersertifikatnya. Hal ini dibenarkan oleh Yoga Sutisna, anggota P3 Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, bahwa semakin banyak penjualan satwa dilindungi terutama di platform Facebook dan Whatsapp. Kami mendapati pasokan-pasokan harga yang ditawarkan oleh penjual binturong. Yakni kisaran Rp 4 juta hingga Rp 6 juta tanpa sertifikat atau ilegal. Binturong yang banyak diperjual-belikan berjenis Jawa dan Sumatera. Kemudian hewan-hewan tersebut dijadikan hewan peliharaan layaknya kucing dan anjing. Kasus perdagangan binturong ini dapat ditemukan di berbagai media sosial seperti Facebook. Para penjual menggunakan berbagai grup yang ada di Facebook, rata-rata grup tersebut adalah grup tertutup yang menyeleksi para anggotanya. Salah satu grup yang bernama “Adopsi Bintu Utk Pelestarian” dan salah satu penjual binturong di Facebook bernama “Lusy Pet Eksotik” setiap hari memposting binturong di Facebook maupun di Whatsappnya. Bahkan ia tak hanya menjual binturong, namun satwa-satwa dilindungi lainnya. Binturong-binturong yang dijual dari beragam umur, mulai dari 2,5 bulan sampai 3 tahun. Adapun jenis binturong yang dijual ialah binturong Jawa dan binturong Sumatera. Hasil pengamatan pada akun “Lusy Pet Eksotik” aktivitas jual beli binturong di media sosial facebook tersebut ia mampu mengeluarkan sekitar 5-6 ekor binturong perbulannya. Promosi yang dilakukan penjual dengan menyebutkan istilah-istilah asing seperti “bodi ginuk-ginuk”, ataupun “jitot”. Satwa ini seringkali disebut sebagai spesies kunci di dalam suatu ekosistem hutan. Kemampuannya dalam menyebarkan biji buah ara memberikan pengaruh yang sangat krusial dalam kehidupan ekosistem hutan. Selain sebagai penyebar biji, binturong juga bertugas sebagai pengontrol populasi satwa yang diburunya. Pengiriman yang dilakukan pada penjualan online di Facebook dan Whatsapp ini pun tidak mementingkan kondisi hewan, yakni menggunakan kandang yang terbuat dari kayu kemudian estimasi pengiriman bisa berhari-hari karena jaringan pembeli yang sudah menyebar luas dari berbagai kota. Selain di Facebook dan Whatsapp, binturong-binturong ini juga dijual di toko online semacam Bukalapak, OLX dan Carousell. Pada April lalu, kami menemukan beberapa penjual binturong yang menjual binturong tersebut dengan embel-embel bersertifikat. Binturong tersebut dijual dengan harga sekitar Rp 4,5-7 juta. Yoga Sutisna mengatakan bahwa banyak tersebar sertifikat abal-abal hasil scan sendiri dari internet. “Jumlah satwa liar yang diperjualbelikan tidak akan sebanyak itu, jika adapun harga nya puluhan juta,” tutupnya. Namun, sampai saat ini belum jelas diketahui bagaimana para penjual tersebut mendapatkan berbagai spesies termasuk binturong tersebut. Jangankan untuk mengetahui asalnya, untuk identitas pun para penjual di facebook tersebut seolah menutup rapat-rapat agar tidak diketahui. Salah satu penjual yang berhasil kami tanya pun mengaku jika menggunakan surat urusannya akan panjang, ia juga menyesuaikan target pasar sehingga menawarkan harga yang lebih murah dari harga legal. |