Kebijakan represif yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kerusakan hutan di Indonesia adalah

Kebijakan represif yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kerusakan hutan di Indonesia adalah


UPAYA PREVENTIF DAN REPRESIF TERHADAP TERORISME SEBAGAI EXTRA ORDINARY CRAIM  DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM

Kebijakan represif yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kerusakan hutan di Indonesia adalah

(Oleh : Yoserisel Dirwot Wokanubun, SS,M.H,  Penyuluh Agama Katolik, Kantor Kementrian Agama Kota Ambon)

A.    Realitas Kebihinekaan Dalam Ideologi Pancasila

            Indonesia adalah negara yang  dibangun dan didasarkan pada satu kesadaran yang sekaligus menjadi consensus bangsa, yaitu Indonesia adalah negara yang plural. Pluralitas bangsa ini dapat meliputi aspek geografis, budaya maupun agama. Kesadaran akan pluralitas bangsa sebagai satu realitas yang hidup dalam satu kesatuan negara Indonesia maka dari sejak awal berdirinya, negara menegaskan eksistensinya dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang terwujut dalam Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945.

            Dalam proklamasi kemerdekaan yang dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945 hendak menunjukan bahwa Indonesia telah menjadi negara yang mandiri, bebas, merdeka untuk menentukan nasib bangsanya melalui pemerintahan yang berdaulat dalam kekuasaannya. Sehari setelah pembacaan proklamasi maka disusul dengan penetapan pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar, sumber hukum.

            Pancasila sebagai dasar negara yang menjadi jiwa bangsa merupakan kristalisasi dari pelbagai pandangan, nilai/ moralitas yang hidup dalam masyarakat, termasuk moralitas budaya dan moralitas agama. Pancasila bukan diadakan tetapi pancasila itu dirumuskan. Penegasan ini hendak menegaskan bahwa pancasila itu jika diadakan maka seolah-olah Pancasila itu lahir dari sesuatu yang sebelumnya belum ada. Konsekuensinya Pancasila dapat dipahami secara terpisah bahkan dibenturkan dengan agama. Pancasila adalah ekspresi dari pelbagai nilai yang hidup dalam masyarakat, termasuk agama.

            Penetapan UUD1945, adalah landasan juridis yang melegalkan apa yang menjadi komitmen bangsa. Selain komitmen bangsa dalam menjadikan Pancasila sebagai idiologi bangsa maka dalam UUD 1945 juga ditetapkan apa yang menjadi tujuan bangsa, di antaranya melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

            Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia menunjukan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia dan melindungi kedaulatan wilayah untuk tidak boleh dirampas atau dicaplok pihak lain. Melindungi warga negara Indonesia ditandai dengan meciptakan iklim yang aman, damai bagi segenap bangsa, termasuk juga kepastian hukum yang harus dialami oleh semua pihak. Pelbagai produk hukum yang dilahirkan adalah ungkapan negara dalam menata, melindungi masyarakatnya supaya hak- hak setiap warga negara itu dilindungi dan tidak dilanggar, termasuk kebebasan beragama dan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut sebagaimana diatur dalam amandamen UUD 1945 pasal 28 E  yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaannya dan Pasal 29 ayat (2), yaitu negara menjamin kemerdekaan tiap- tiap penduduknya untuk memeluk agama.

B.     Pluralisme Dalam Rongrongan

            Sebagai bangsa yang besar dengan pelbagai pluralitas yang ada merupakan modal bangsa dalam pembangunan bila dikelola dengan baik. Sebaliknya bangsa yang besar dengan pluralitas yang tinggi bila tidak dikelola dengan baik maka hanya akan menjadi satu petaka. Akhir- akhir ini bangsa Indonesia sebagai satu bangsa yang plural mengalami ketidakstabilan/ ketidakseimbangan yang melahirkan ketidaknyamanan para warga akibat pelbagai konflik horizontal yang timbul dengan mengatasnamakan agama dan ras. Bahkan saat ini bangsa Indonesia sebagai bangsa yang plural dengan menjadikan Pancasila sebagai idiologi bangsa dan sumber hukum serta menjadikan  UUD 1945 sebagai payung hukum kini diuji keutuhannya.

Tindakan teror bom bunuh diri yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan latar belakang idiologi dan konsep negara yang bertentangan dengan konsep dan idiologi negara Pancasilan saat ini terus terjadi. Dalam selang waktu yang tidal lama, setelah kejadian penyerangan para terpidana teroris di dalam lapas mako Brimob yang menelan korban nyawa dari para aparat kepolisian disusul dengan aksi bom bunuh diri di Surabaya di beberapa titik sejak tanggal 13 dan 14 Mei 2018. Pengeboman dilakukan di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen dan Gereja Pentakosta. Pengeboman dilakukan saat jemaat sementara atau baru selesai menjalankan kebaktian hari minggu. Selain itu terjadi peledakan bom bunuh diri di siduarjo dan Polrestabes Surabaya serta aksis teror yang dilakukan di Polda Riau. Pelaku teror bom bunuh diri dilakukan dengan cara melibatkan semua angota keluarga sebagai pelaku termasuk anak- anak.

C.    Terorisme Dalam Konteks Indonesia Sebagai Negara Hukum

Terorisme di Indonesia digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary craim) selain kejahatan narkotika dan kejahatan korupsi. Sebagai kejahatan yang dikategorikan sebagai extra ordinary craim maka ditangani dengan cara yang juga luar biasa daripada yang biasanya.  Bagi pelaku yang melakukan kejahatan terorisme maka prinsip ultimum remedium yang mana hukum pidana sebagai upaya terakhir itu tidak berlaku. Bagi pelaku kejahatan terorismen tetap berlaku prinsip premium remidium, hukum pidana tetap diterapkan tetapi untuk mengatasi dan mencegah penyebaran potensi kejahatan terorisme maka ada pelbagai upaya dapat ditempu.

D.    Penanganan Terhadap Kejahatan Terorisme

Sebagai negara hukum maka ada dua upaya hukum yang dapat ditempu sebagai upaya preventif dan represif dalam pencegahan dan penanganan kejahatan terorisme, yaitu melalui sarana penal dan sarana non penal.

1.      Penanganan Secara Hukum Pidana

Sarana penal adalah cara menuntaskan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana. Karakter dari hukum pidana adalah bersifat represif, menimbulkan penderitaan yang sengaja ditimpakan kepada seseorang yang melakukan perbuatan tertentu. Pidana juga adalah nestapa, yakni sesuatu yang tidak enak, yang tidak hanya dirasakan pada saat menjalani pidana tetapi juga sesudah itu orang masih merasakan akibatnya berupa “cap” oleh masyarakat bahwa ia pernah dipidana. Tujuan pidana adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan serta mencegah munculnya potensi kejahatan dari masyarakat serta menetramkan masyarakat dengan cara memisahkan pelaku kejahatan dari masyarakat. Demi efektifitas dari sarana penal (hukum pidana) maka yang perlu mendapat perhatian ialah bagaimana sistim hukum kita. Menurut Lawrence M. Friedman sistim hukum  mencakup aspek struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum dari para penegak hukum (legal culture). Tuntutan terhadap pengesahan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Terorisme adalah salah satu upaya untuk membenahi sistim hukum demi efektifitas sarana penal dalam penanggulangan kejahatan.

Menuntaskan kejahatan dengan memberikan perlindungan keamanan kepada masyarakat merupakan tujuan dari kebijakan kriminal. Kongres PBB ke- 6 tahun 1980, dalam resolusi mengenai “Crime trends and crime prevention strategies dikemukakan bahwa pentingnya mengatasi kejahatan untuk membangun masyarakat yang sejahtera dengan cara mengatasi kondisi- kondisi sosial yang memungkinkan munculnya kejahatan karena, a. Masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas hidup yang pantas bagi semua orang, b. bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab- sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan.

2.      Penangan Di Luar Hukum Pidana

Dalam kebijakan kriminal juga dikenal sarana non penal sebagai upaya pencegahan munculnya kejahatan. Kebijakan ini didasarkan pada kesadaran yang timbul seiring dengan perkembangan ilmu kriminologi yang berfokus pada kajian tentang kejahatan. Di bidang krimonologi modern diungkapkan bawa sebab- sebab munculnya kejahatan tidak hanya timbul dari dalam diri pelaku  (criminal biology) tetapi  juga ditemukan bahwa sebab- sebab timbulnya kejahatan juga timbul dari faktor lingkungan masyarakat yang dihadapi oleh pelaku kejahatan ( criminal sociology). Untuk itu dibutuhkan upaya atau tindakan yang tepat supaya mencegah potensi kejahatan yang akan timbul (criminal policy). Sarana non penal atau sarana diluar hukum pidana yang sifatnya adalah prefentif, yaitu pencegahan terhadap kondisi- kondisi yang memungkinkan munculnya kejahatan teroris.

Kejahatan terorisme sebagai kejahatan luar biasa, extra ordinary craim maka harus pula ditangani dengan cara yang luar biasa yaitu  dengan cara melibatkan semua komponen bangsa. Sarana- sarana non penal yang dirasakan sangat penting dalam upaya pencegahan tindakan terorisme adalah melalui agama, pendidiakan dan media.   

·         Peranan Agama

Agama adalah sarana yang melaluinya orang diperkenalkan tentang gambaran Tuhan yang seharusnya diimani. Agama tidak identik dengan penganutnya tetapi penganut agama adalah ekspresi dari wajah agama. Ajaran- ajaran agama yang sungguh diyakini kebenarannya seharusnya mampu menjiwai pengikutnya. Hidup dari pengikut agama adalah bentuk kesaksian dari apa yang diterima, dikenal dalam satu agama. Tidak ada agama yang mengajarkan tentang kejahatan kemanusiaan seperti apa yang dilakukan oleh terorisme tetapi pelaku kejahatan yang melakuka kejahatan mengatasnamakan agama untuk memusuhi sesama antar manusia membuat kita sebagai bangsa yang beragama perlu melakukan langka- langka preventif sebagai wujud panggilan agama dan panggilan negara. Menghormati keluhuran manusia adalah ekspresi keluhuran agama dan keadaban bangsa.

·         Peranan Pendidikan

Pendidikan adalah pertarungan masa depan suatu bangsa. Suatu bangsa dapat bergerak, berkembanag ke arah yang lebih baik jika memiliki sistim pendidikan yang baik. Pendidikan kita tidak hanya berorientasi pada kecerdasan kognitif tetapi juga kecerdasan afektif dan kecerdasan psikomotor. Hal ini menunjukan bahwa totalitas atau keutuhan manusia dalam cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak itu menjadi arah, tujuan orientasi dari sistim pendidikan kita. Jiwa dari pendidikan ini harus ditingkatkan karena banyak ahli, banyak pakar tetapi tidak bijaksana. Kebijaksanaan identik dengan kecerdasan ketika kemampuan berpikir dan bertindak berjalan seirama. Ketidak seimbangan ini menyebabkan banyak ahli/ pakar yang mendekam di penjara. Ahli hukum terperangkap karena kasus hukum, ahli ekonomi terperangkap karena masalah  ekonomi begitu juga dengan ahli agama.

Para pelaku teror bunuh diri dengan mengatasnamakan agama tidak muncul begitu saja tetapi tindakan itu dilakukan karena mereka telah dicangkoki oleh pelbagai paham radikalisme. Tindakan mereka tidak hanya mengganggu ketertiban umum tetapi juga berpotensi untuk merong-rong kadaulan negara. Paham ideology dan konsep negara yang ditawarkan tidak  sesuai dengan ideology dan konsep negara Pancasila. Pendidikan yang baik dan benar terutama pendidikan agama harus menjangkau kelompok- kelompok seperti ini.

·         Peranan Media

Salah satu peran dari media sosial adalah memberikan edukasi kepada masyarakat. Di erah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menunjukan tingkat peradaban saman ini maka sarana- sarana komunikasi yang ada harus dimanfaatkan secara benar dalam mempublikasikan pelbagai informasi yang sifatnya mendidik. Kemudahan untuk memperoleh sarana komunikasi harus dibarengi dengan kecakapan dalam penggunaan media secara baik dan benar.

Peranan negara harus mampu untuk mengontrol dan mengendalikan pelbagai informasi yang dikembangkan di media melalui sistim hukum yang baik. Sistim hukum yang dimaksudkan di sini adalah struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Struktur hukum ini terkait ketersediaan para penegak hukum/ lembaga penegak hukum polri, kejaksaan, kehakiman dll. Sedangkan substansi hukum itu berhubungan dengan UU. Sejauhmana UU yang ada merespon atau mengakomodir kepentingan dan kemendesakan yang dibutuhkan oleh bangsa. Budaya hukum disini sehubungan dengan cara dan mentalitas para penegak hukum dalam menegakan hukum dengan prinsip equality before the law.

E.     Kesimpulan

            Terorisme di Indonesia dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, extra ordinary craim. Sebagai kejahatan luar biasa maka juga membutuhkan penangan secara luar biasa. Dalam sistim hukum, sudah ada dan sementara diupayakan hukum yang represif untuk penanganan kejahatan terorisme namun langka kita tidak hanya berhenti di sini. Terorisme adalah tindakan yang tidak hanya mengganggu ketertiban umum dengan aksi kejahatannya tetapi juga dilatarbelakangi dengan pemahaman ideology dengan konsep negara yang bertentangan dengan konsep negara Pancasila maka perlu penangan dari pelbagai segi, yaitu upaya-upaya di luar hukum pidana. Peranan agama, pendidikan dan media adalah salah satu solusi sebagai uapaya preventif dalam mengatasi penyebaran radikalisme yang melatarbelakangi munculnya kejahatan terorisme.