Jakarta - Sejak tiga tahun yang lalu, lagu kami sudah jadi. Sudah mastering. Namun, tak tahu kenapa, kami belum digerakkan-Nya untuk merilis lagu yang berjudul Tuhan Kita Semua tersebut. Saya menulis lirik, Doddy Katamsi menulis lagu, dan Yockie Suryoprayogo yang mengaransemen. Tapi, hari-hari ini, ketika isu ketuhanan dan keagamaan semakin meruncing ke arah menyalahkan keyakinan yang beda, saya rasa kita punya persoalan gawat. Apalagi jika ini mengandung adu domba yang menjurus pada anti-Pancasila. Ya, Pancasila adalah dasar negara kita. Dan, kini ada yang mengail di air keruh.Pada mulanya, yang telah sama kita tahu, dinamika perumusan Pancasila adalah tentang tujuh kata pada sila satu. Yaitu, "...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya." Tapi, Pancasila kini telah final. Tidak ada lagi isu terkait tujuh kata dalam Piagam Jakarta ini yang perlu dipertentangkan. Negara juga telah mengakui sejumlah agama, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budhha, dan pada masa kepemimpinan Presiden KH Abdurrahman Wahid bertambah satu lagi, yakni Konghucu. Sejumlah masyarakat adat masih memperjuangkan pengakuan negara atas agama dan keyakinannya. Pengakuan negara terhadap agama dan keyakinan sesungguhnya bersifat ardli, kebumian. Bukan samawi, langitan. Tidak atau belum diakui negara bukan berarti lantas menjadikan agama dan keyakinan tertentu salah. Negara tidak mempunyai otoritas apa pun untuk menilai apakah Tuhan kita adalah Tuhan yang benar dan sebenar-benarnya Tuhan. Hanya Tuhan sendiri yang benar-benar mengetahui Diri-Nya Sendiri. Pengakuan oleh negara dibutuhkan lebih pada kebutuhan atas kebebasan dan perlindungan beribadah. Negara, dan siapa pun kita, tidak terlibat pencatatan amal dan perhitungan dosa. Pahala dan surga, juga hal-hal mengenai ampunan dan neraka, bukan urusan kita. Bukan pula urusan negara. Itu semata-mata urusan Tuhan. Yang diurus negara, dalam hal ini terkait sila satu Pancasila, ialah bangsa Indonesia telah menyepakati prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi, ini juga bukan berarti negara mempunyai pengadilan khusus untuk memutuskan apakah agama tertentu dan pemeluknya terbukti atau tidak terbukti bersalah telah berbuat syirik. Menyebut agama tertentu bertentangan dengan Pancasila, bahkan yang dituduh adalah agama-agama yang telah diakui negara, adalah adu domba.Lagi pula, jika ujaran ini dicetuskan untuk membanding-bandingkan agama di muka umum, menilai mana agama yang sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa --karena mengakui Tuhan itu Maha Esa-- dan mana agama yang tak sesuai karena dianggap meyakini tuhan lebih dari satu, ini terlalu sensitif. Pancasila itu ideologi negara, bukan ideologi agama. Bahwa di dalamnya mengandung nilai-nilai luhur agama, itu tidak menjadikan Pancasila ideologi agama. Pelaksanaan Pancasila diselenggarakan dengan tata negara dan tata pemerintahan, bukan tata agama. Demikianlah selayaknya, seharusnya.Pelanggaran terhadap Pancasila diukur dengan sistem tata negara dan tata pemerintahan itu. Bukan dengan takaran dosa dan selayaknya masuk neraka, tapi dengan dakwaan perbuatan salah untuk kemudian dituntut di depan pengadilan. Benar dan salah di pengadilan tetap saja tidak akan mewakili atau mencerminkan Pengadilan Agung di akhirat. Pengadilan dunia, dalam sistem tata negara di negara apa pun, tetap saja pengadilan oleh manusia untuk manusia. Selalu terbuka peluang khilaf di dalamnya. Oleh karena itulah, rasa keadilan diyakini lebih penting dan bahkan melampaui hukum itu sendiri.Telah beragama pun sesungguhnya tak membuktikan apa-apa karena negara mustahil menyelidik sampai ke relung hati warga negara. Terlebih, pada masa lalu, seseorang beragama gara-gara tekanan keadaan dan kenyataan --bahkan bisa jadi hal itu masih terjadi sampai hari ini. Oleh karena itulah, sewajarnya jika ada gagasan untuk mengosongi saja kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk. Ini lebih masuk akal daripada ujaran perlunya pembubaran ajaran agama yang tidak sesuai Pancasila. Menyebut hanya satu agama yang sesuai dengan Pancasila pun ahistoris dan pembodohan publik.Jika terus dipaksakan, ini justru menyulut kembali perdebatan tentang agama lokal dan agama impor. Tentu saja, ini bukan sesuatu yang kita inginkan. Tak hanya akan mengganggu semangat Bhinneka Tunggal Ika, namun bahkan bisa memicu gesekan horisontal berlatar Suku, Aliran, Ras, dan Agama. Konflik agama di mana pun sering sukses meluluhlantakkan tak hanya negara dan bangsa, namun juga peradaban dan kebudayaan. Di depan mata kita sekarang masih berlangsung genosida terhadap Muslim Rohingya di Myanmar. Siapa pun harus dicegah jika ia bermaksud membawa konflik itu ke sini.Dalam berbagai kesempatan, saya telah berulangkali menyatakan, "Jika agama adalah kebenaran, maka berhentilah saling menyalahkan." Jika memang Anda meyakini agamamu benar, tak perlulah menyalahkan agama lain. Jika pun hendak mendakwahkan agama Anda, jangan merendahkan agama lain. Dakwah itu mengajak, bukan mengejek. Dakwah itu merangkul, bukan memukul. Dakwah itu menenteramkan, bukan menyeramkan. Dakwah itu menenangkan, bukan menegangkan. Dakwah itu memuliakan, bukan menghinakan. Dakwah itu membahagiakan, bukan membahayakan.Lebih dari itu, saya percaya Tuhan Maha Esa. Tiada yang bisa menyekutukannya. Meski manusia pertama hingga manusia terakhir bersatu, niscaya gagal mencipta tuhan baru. Meski ada dosa syirik, dan dalam Islam disebutkan dosa syirik tiada terampuni, saya masih tetap percaya tak ada yang bisa menyekutukan Tuhan. Tak akan ada yang bisa menyentuh dosa tertinggi: dosa yang tak terampuni. Saya meyakini Allah Maha Pengampun dan Maha Mengampuni, apalagi terhadap yang bertobat. Tapi, tobat seorang hamba adalah urusannya dengan Tuhan, bukan urusan warga negara dengan negara.Candra Malik budayawan sufi (mmu/mmu)
Komisioner Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIB), Prof. Mahfud MD., mengatakan Indonesia bukanlah negara agama dan juga bukan negara sekuler, tetapi religious nation state atau negara kebangsaan yang berketuhanan. “Salah satu sebutan yang tepat bagi Indonesia berdasar Pancasila adalah negara kebangsaan yang berketuhanan, bukan negara agama,” tegasnya Kamis (23/8) di Balai Senat UGM. Menjadi salah satu pembicara dalam Kongres Pancasila X yang diselenggarakan oleh UGM tersebut Mahfud menyebutkan Indonesia bukan negara agama sebab negara agama hanya memberlakukan hukum satu agama dalam hukum negara. Bukan pula negara sekuler karena karena negara sekuler memisahkan sepenuhnya urusan negara dengan urusan agama. “Indonesia bukan negara agama bukan pula negara sekuler, tetapi bangsa berketuhanan,” jelasnya. Mahfud mengatakan keimanan pada Tuhan dilembagakan dalam bentuk agama-agama. Agama disini mengatur tata kehidupan manusia yang juga dapat berbentuk hukum-hukum. Indonesia sebagai religious nation state tidak memberlakukan hukum agama tertentu, bukan juga hukum Islam sebagai agama mayoritas yang dianut masyarakatnya. Dijelaskan Mahfud, Indonesia tidak mendasarkan diri pada satu agama, tetapi melindungi pemeluk agama-agama untuk melaksanakan ajaran agama sebagai hak asasi manusia. “Jadi, negara bukan memberlakukan hukum agama melainkan memproteksi ketaatan warga negara yang ingin menjalankan ajaran agamanya,”katanya. Dalam sesi kedua Kongres Pancasila X tersebut turut mengundang sejarawan, Dr. Anhar Gonggong, dan Guru Besar Fisipol UGM, Prof. Purwo Santoso sebagai pembicara. Anhar Gonggong banyak menyoroti tentang posisi Pancasila sebagai alat kritik yang semakin terlupakan. Menurutnya, selama ini masyarakat memahami Pancasila hanya sebagai dasar negara dan alat pemersatu bangsa. “Pancasila sebagai dasar negara dan alat pemersatu itu memang seharusnya. Namun, dalam menghadapi arus internal dan eksternal kita melupakan salah satu fungsi utama Pancasila yakni sebagai alat kritik,” tandasnya. Padahal, Pancasila dapat menjadi alat kritik dalam menghadapi beragam persoalan internal bangsa. Bahkan, tantangan arus globalisasi yang berlangsung begitu deras. “Persoalannya apakah Indonesia dengan Pancasilanya hanya akan mengikuti arus untuk kemudian terhempas. Tidakkah Pancasila bisa menjadi alat kritik untuk menghadapi itu?,”ujarnya. Sementara itu, Purwo Santoso menyampaikan materi tentang keselarasan agama dengan nilai Pancasila. Menurutnya, dengan membuka peluang bagi masing-masing agama akan mewujdkan inklusivitas agama. Hal ini menjadi solusi tepat terhadap keragaman agama di Indonesia. (Humas UGM/Ika: foto:Firsto)
Profesor Azyumardi Azra CBE Ketika menulis prolog buku karya Arsul Sani, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sedang ramai kontroversi di media sosial tentang tema lomba penulisan artikel yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Kompetisi dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional ini mengambil tema: (1) Hormat bendera menurut hukum Islam; dan (2) Menyanyikan lagu kebangsaan menurut hukum Islam. Ada kalangan yang menyebut, pengusungan kedua tema tersebut menunjukkan kedangkalan BPIP dalam memahami Islam dan Pancasila, yang sedikit banyak mencerminkan Islamo-fobia. Tema itu cenderung menuduh kaum Muslimin atau hukum Islam seolah-olah melarang hormat bendera atau juga mengharamkan menyanyikan lagu kebangsaan. Selain itu, banyak kalangan melihat tema tersebut berpotensi memecah belah bangsa memperhadapkan dua simbol NKRI dengan hukum Islam. Padahal sejak Sumpah Pemuda 1928, masa pergerakan nasional dan kemudian kemerdekaan tidak ada kalangan umat Islam yang menolak bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya. Harus diakui, memang di masa globalisasi dan trans-nasional ada segelintir kaum Muslimin—sebenarnya juga ada di kalangan umat lain—yang ‘mengharamkan’ hormat bendera yang biasa diikuti dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, misalnya upacara bendera pada setiap hari Senin atau tanggal 17 setiap bulan Agustus di sekolah atau instansi pemerintah. Alasan mereka, menghormati simbol negara merusak keimanan atau kredo; mereka berpendapat, hanya Tuhan yang patut dihormati. Namun, jelas sikap keagamaan seperti itu bukan kecenderungan arus utama (mainstream) umat Islam Indonesia. Malah sikap begitu adalah sikap keagamaan menyempal (splinter) dari arus utama Islam dan Muslimin Indonesia. Siapa pun atau lembaga apa pun seharusnya tidak gegabah menggebyah-uyah atau jumping into generalization atas gejala kasuistik terpencil segelintir kecil orang yang dapat mendiskreditkan arus utama wasathiyah Islam dan kaum Muslimin Indonesia. Lihatlah ormas-ormas Islam mainstream seperti NU, Muhammadiyah, MUI dan banyak lagi ormas lain di seluruh pelosok Indonesia tidak pernah mengeluarkan wacana—apalagi fatwa—yang melarang umat Islam Tanah Air ini menghormati bendera merah putih dan menyanyikan Indonesia Raya. Sebaliknya, ormas-ormas Islam arus utama selalu menekankan kesetiaan umat Muslimin pada NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan BhinnekaTunggal Ika—termasuk tentu bendera merah putih dan menyanyikan Indonesia Raya. Sejatinya, bagi mayoritas mutlak arus utama kaum Muslimin Indonesia soal hormat bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan bukan hal yang patut dipersoalkan lagi. Juga dari segi boleh-tidaknya menurut hukum Islam. Maka wajar jika hal yang sudah dinyatakan final ini diungkit kembali segera menimbulkan kehebohan, sampai-sampai ada yang bersuara keras agar BPIP dibubarkan. Ini ibarat Pancasila yang sudah menjadi kesepakatan, konsensus atau ijmak di antara para pendiri bangsa pada 18 Agustus 1945, tapi setelah penerimaan Kedaulatan 1949 kemudian diungkit lagi oleh segelintir orang. Memang ketika dunia dilanda persaingan ideologi antara sosialisme/komunisme dan kapitalisme, ada segelintir tokoh nasional mulai memandang Pancasila sebagai ideologi yang harus disandingkan dengan kedua ideologi besar itu. Bahkan pada 1953 Bung Karno menyebut Pancasila sebagai ideologi terbaik, seraya menghantam ideologi Islam. Soal penghadapan ideologi Pancasila dan Islam inilah yang turut memicu perdebatan sengit dan berlarut-larut dalam sidang-sidang Konstituante antara wakil-wakil Islam dan kalangan nasionalis-sekuler yang diwakili PNI dan PKI. Gejala ini masih saja muncul secara sporadis di masa kini. Refleksi Politisi Muslim Sekali lagi kembali ke kasus lomba penulisan artikel ‘hormat bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya menurut hukum Islam’ menunjukkan, diskursus tentang hubungan Islam dan negara dapat terus menghangat. Bahkan bisa menjadi persoalan tak berkesudahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air jika ada orang atau pihak yang masih saja mengungkitnya. Oleh karena itu, sepatutnya terus pula dicermati, khususnya oleh pemikir dan aktivis Muslim. Fenomena seperti itulah yang antara lain mendorong Wakil Ketua MPR-RI Arsul Sani kembali meneruskan catatannya dari Senayan kepada publik luas melalui buku keduanya Relasi Islam Negara, Perjalanan Indonesia. Buku pertamanya adalah Catatan dari Senayan: Menuju Konvergensi Hukum, HAM, dan Keamanan Nasional, lebih merupakan refleksinya sebagai anggota DPR yang berkecimpung dalam komisi yang membidangi hukum dan hak asasi manusia. Sedangkan dalam buku kedua ini, Wakil Ketua Umum PPP ini lebih memposisikan dirinya sebagai Wakil Ketua MPR. Tulisan-tulisan yang termuat dalam buku ini, tidak syak lagi merepresentasikan percikan pemikiran dan refleksi penulisnya sebagai politisi Muslim yang berasal dari partai politik berasaskan Islam (PPP). Dalam kaitan itu, tidak aneh adanya sejumlah renungan dan pertanyaan yang diajukan Arsul Sani, misalnya: Apakah ajaran Islam atau Al-Qur’an dan Hadis menghendaki negara dengan bentuk pemerintahan tertentu? Apakah ajaran Islam menetapkan tata cara pemilihan pemimpin negara atau pemerintahan? Jika dikontekstualisasikan dengan apa yang ada di Indonesia, apakah empat konsensus berbangsa-bernegara (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika) sudah sesuai atau dapat diterima dari sisi ajaran Islam tentang negara dan pemerintahan? Hal-hal lain yang juga ingin dijawab Arsul Sani dalam buku ini misalnya: Mengapa dulu para pemimpin Islam memperjuangkan agar negara Indonesia berdasarkan Islam? Mengapa akhirnya mereka menerima dicabutnya ‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta atau Pembukaan UUD 1945? Padahal Piagam Jakarta itu sebelumnya sudah disepakati tokoh-tokoh yang mewakili berbagai golongan masyarakat. Bagaimana dengan fenomena muncul lebih belakangan kelompok masyarakat yang menginginkan pembentukan khilafah dan menerapkan hukum syariah? Bagaimana PPP mengakomodasi aspirasi sebagian umat yang menginginkan pemberlakuan syariat Islam? Dalam praktik satu rezim penguasa ke rezim penguasa lainnya, Pancasila juga bisa ditafsirkan berbeda oleh pihak-pihak berbeda; bagaimanakah sesungguhnya Pancasila dilihat dari sudut pandang Islam? Jawaban penulis atas berbagai pertanyaan di atas dapat kita temui pada Bagian I dan Bagian IV yang boleh dikatakan merupakan bagian terpokok dari isi kandungan buku ini. Ruang lingkup yang menjadi catatan Arsul Sani dalam buku ini memang luas. Mulai dari pemikiran Islam dan negara dari para ulama klasik sampai cendekiawan Muslim mutakhir; pengalaman dan praktik bernegara pada masa Nabi sampai Turki Usmani serta di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim di zaman sekarang, dengan mengambil contoh di sejumlah negara Timur Tengah dan Asia Tenggara; konsensus bernegara di Indonesia yang di dalamnya antara lain menyajikan pandangan NU dan Muhammadiyah tentang Pancasila dan NKRI; isu di sekitar khilafah dan fundamentalisme Islam, kebhinekaan dan moderatisme; sampai artikulasi syariat Islam melalui legislasi, yang juga membahas perda syariah, dan pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Prolog ini hanya menekankan beberapa hal yang mungkin bisa menjadi sebagai bahan diskusi lanjutan. Pertama-tama buku ini berangkat dari keyakinan Arsul Sani, Islam merupakan agama yang menyeluruh, holistik, kaffah; ajarannya tidak hanya mengatur soal akidah dan tata ibadah, tetapi juga meliputi berbagai aspek kehidupan, termasuk bernegara. Namun demikian, dengan lahirnya berbagai mazhab dalam Islam, dalam teologi dan fikih misalnya, ajaran Islam senantiasa berpotensi ditafsirkan secara beragam. Apalagi mengenai sistem politik, seperti dalam pengangkatan kepala negara, yang tidak di atur dalam Al-Qur’an (juga dalam kitab suci agama mana pun) maupun Hadis. Memperlakukan Islam sebagai ajaran menyeluruh di satu sisi, tapi juga tidak bersifat monolit di sisi lain, jelas berpengaruh terhadap pandangan dan sikap Muslim dalam hidup berbangsa dan bernegara. Selain itu, Arsul Sani meyakini, ajaran Islam adalah sumber motivasi dalam bertindak. Karena itu ia menjadi salah satu faktor penting dalam menggerakkan aktivitas politik kaum Muslimin. Siapa yang menyangkal bahwa nasionalisme Indonesia, keinginan lepas dari penjajahan, mula-mula digerakkan oleh organisasi nasional Sarekat Islam (SI) yang kemudian menjadi partai berbasis Islam, yaitu Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Bukan misalnya oleh organisasi Jawa-sentris semisal Budi Utomo yang telanjur dimitoskan sebagai awal kebangkitan nasional. Bisakah dinafikan pendirian Negara Republik Indonesia bertumpu pada kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa atau tauhid dalam pemahaman kaum Muslimin? Begitu pula dengan semangat jihad kaum Muslimin mempertahankan kemerdekaan. Kedudukan Islam dalam politik tampak semakin penting ketika para pemimpin dan aktivis Muslim terlibat dalam berbagai kegiatan politik, seperti melawan penjajahan, membentuk perkumpulan politik, dan bersama founding fathers (dan founding mothers) menyusun dasar negara dan undang-undang dasar. Setelah masa kemerdekaan, khususnya pada era Demokrasi Liberal di tahun 1950-an, beberapa di antara tokoh dan pemimpin Muslim diberi kepercayaan membentuk pemerintahan (kabinet) dan mengatur urusan negara sehari-hari. Ketika Sidang Konstituante dibentuk untuk menyusun kembali UUD, mereka terlibat perdebatan sengit dan berlarut-larut mengenai dasar negara. Semua kegiatan ini makin memperkuat dan mengukuhkan tentang kehadiran Islam secara aktual dalam politik. Hanya saja, sebagaimana dicatat Arsul, hubungan Islam dengan negara seperti digambarkan di atas tidak selalu berjalan mulus. Ini terjadi misalnya, ketika kaum Muslimin membentuk organisasi politik dan mencoba merumuskan cita-cita politik berdasarkan Islam. Kelompok Muslim terkait malah kerap menjadi sasaran kecurigaan, termasuk oleh kalangan pemerintah yang berkuasa, yang notabene kebanyakannya adalah orang-orang Islam juga. Jika demikian halnya, boleh dikatakan keberadaan Islam dalam politik di Indonesia, diperlakukan secara mendua atau ambigu. Ketika Islam terlibat dalam politik nonpartisan, seperti dalam memobilisasi semangat dan gerak kebangsaan melawan kekuatan kolonial, membantu negara dalam mewujudkan agenda nasional, eksistensi Islam dalam politik umumnya diterima dan dihargai. Tetapi ketika Islam dilibatkan dalam percaturan ideologi, partai atau politik kekuasaan, sering dipandang negatif. Keinginan menjadikan Islam sebagai dasar negara, misalnya dalam sidang BPUPKI atau Konstituante melahirkan kecurigaan sebagian warga Indonesia sampai sekarang. Begitu juga keinginan menerapkan syariat Islam melalui penyusunan undang-undang atau legislasi senantiasa dipandang kalangan tertentu warga Indonesia sebagai upaya mendirikan negara Islam. Bagaimana sesungguhnya membangun hubungan yang konstruktif antara Islam dan negara? Mengapa pula Islam sering dibenturkan dengan negara dan ideologi negara? Nah, ini juga merupakan bagian yang hendak dicoba jawab buku ini. Inilah beberapa pertanyaan pokok yang tersirat bergejolak dalam pemikiran Arsul Sani. Islam dan Politik: Sejarah dan Doktrin Gagasan dan pemikiran politik yang dipaparkan sebagai bagian substantif kedua dalam buku ini umumnya berasal dari ulama Sunni (hanya ada satu tulisan mengenai pemikiran politik Syi’ah). Pandangan atau interpretasi mereka tampak dalam melihat praktik bernegara atau pemerintahan sejak masa Nabi, Khalifah Empat (al-Khulafa’ al-Rasyidun), Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, sampai Dinasti Turki Usmani yang secara salah disebut kalangan Muslim tertentu sebagai kekhalifahan terakhir Islam. Yang menarik—dan tambahan untuk catatan Arsul Sani—konsep ketatanegaraan yang pernah berlaku di Arabia dan Turki (kini Timur Tengah) cukup berpengaruh di Asia Tenggara. Walaupun demikian, terdapat pergeseran makna dalam bahasa politik Islam di Asia Tenggara, khasnya Melayu-Indonesia. Hal ini dapat kita jumpai dalam Bustanus Salatin (karya Syaikhul Islam Aceh Nuruddin Ar-Raniri), Sulalat as-Salatin, Undang-undang Pahang, Hikayat Raja-raja Pasai, Undang-undang Melaka, dan lain-lain. Dalam usaha meningkatkan legitimasi dan aura kekuasaannya, para penguasa Muslim Melayu-Indonesia tidak hanya menggunakan gelar sultan, tetapi juga mengklaim diri sebagai khalifatullah (wakil Allah). Atau khalifatul mukminin (khalifah kaum mukminin), zhillullah fil ardh (bayang-bayang Tuhan di muka bumi), zhillullah fil ‘alam (bayang-bayang Allah di jagat raya). Kerajaan Islam di Jawa juga mengikuti tradisi ini, seperti tampak pada Amangkurat IV, penguasa Mataram (Islam) pertama yang mengunakan gelar kalipatullah; lengkapnya Prabu Mangkurat Senapati Inggala Ngabu Rahman Sayidin Panatagama Kalipatullah. Gelar senada juga dipakai pejuang Muslim terkenal Pangeran Diponegoro sebagai rallying banner dalam menghadapi ancaman Belanda, yakni Ngabdul Kamid Erucakra Sayidin Panatagama Kalipatullah Rasulullah Sain. Lebih jauh, bahasa politik Islam di Nusantara menempatkan penguasa dalam kedudukan amat tinggi vis a vis warganya. Seperti juga terlihat dalam berbagai entitas politik Muslim di Timur Tengah, warga masyarakat politik di Dunia Melayu-Indonesia disebut ra’yat (rakyat), yang secara harfiah berarti ‘mereka yang digembala’ atau ‘gembalaan’ yang ‘dituntun’ (penguasa). Sedangkan rakyat vis a vis penguasa menyebut diri mereka ‘patik’, ‘hamba’ atau ‘abdi’ yang berarti ‘sahaya’ atau ‘budak’. Dengan demikian, penguasa adalah ‘penggembala’, atau ‘tuan’ yang dipandang bertanggung jawab langsung pada Tuhan atas gembala mereka. Kekuasaan penguasa sebagai ‘penggembala’ rakyatnya diperkuat melalui konsep ‘daulat’ , yang dalam bahasa politik Islam di Nusantara dimaknai sebagai kekuatan dan kekuasaan yang tinggi dan besar, karena mencakup lahir dan batin. Dengan demikian, seorang raja memiliki kekuasaan mutlak yang bersumber dari kualitas sakral sang raja dengan kekuatan gaib yang menjaganya. Konsep daulat di sini berbeda dengan arti kata aslinya dalam bahasa Arab, yakni ‘berputar, beralih, berganti, memilih, atau menunjuk seseorang menggantikan yang lain’. Ia juga berbeda dengan konsep ‘kedaulatan’ (sovereignity) dalam pengertian moderen. Namun demikian, cukup banyak pula bahasa politik Islam di Nusantara yang ditujukan kepada penguasa dalam hubungan mereka dengan rakyat. Misalnya, bahwa raja harus bersifat adil, amanah, dan amar makruf nahi munkar. Disebutkan bahwa raja yang tidak adil alias zalim akan dikutuk Tuhan. Kitab-kitrab Jawi klasik di atas juga menekankan pentingnya penegakan hukum, tegasnya syariah. Ini misalnya terlihat dalam nasihat Sultan Malik al-Mahmud kepada putranya Sultan Ahmad: “[B]aik-baik engkau memelihara kerajaanmu ini akan segala amrullah dan amru rasulillah dan mencegahkan segala larangan keduanya, dan janganlah lalui seperti firman Allah dan seperti sabda Nabi Muhammad Rasulullah SAW: Dan jika pada suatu pekerjaan hendaklah engkau musyawarah dengan segala menterimu yang tua-tua, dan jangan segera engkau berbuat sesuatu pekerjaan hingga baiklah musyawarah dengan segala menteri hulubalangmu, maka engkau kerjakan. Dan perbanyaklah olehmu syar’i pada segala pekerjaan yang tiada patut pada syar’i, dan jangan engkau menganiaya dan membinasakan segala hamba Allah Ta’ala tiada sebenarnya dan jangan engkau melalui al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu anil munkar… karena dunia ini negeri yang fana tiada akan kekal adanya, dan akhirat juga negeri yang bawa…”Hikayat Raja-raja Pasai, hlm. 73 Petunjuk moral dan desakan untuk menjalankan perintah syariat ini secara implisit menegaskan, kekuasaan politik yang dipegang raja bukan hanya punya arti duniawi, melainkan juga memiliki implikasi ukhrawi, baik bagi raja itu sendiri maupun bagi rakyatnya. Dengan kata lain, kekuasaan politik yang dijalankan seorang raja atau sultan dengan baik, akan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya, tidak hanya di dunia ini, tetapi juga di akhirat kelak. Ini pula agaknya pesan yang dibawa Arsul Sani mengenai tujuan bernegara dan berpolitik dalam Islam, yang dia sebut politik rahmatan lil alamin (God-blessed politics). Yang juga tak kalah menarik adalah tentang kegigihan sebagian penguasa Muslim Melayu-Indonesia memperoleh gelar sultan dari otoritas politik di Timur Tengah. Hal ini tidak hanya menunjukkan hasrat kuat mereka untuk memperoleh legitimasi tambahan, tetapi juga mengisyaratkan keinginan untuk mengasosiasikan diri dengan pusat politik keagamaan Islam. Dengan kata lain, entitas dan Muslim polities di kawasan Asia Tenggara ingin diakui sebagai bagian integral dari Dar al- Islam. Contoh adalah Aceh yang secara resmi menyatakan kepada Turki Usmani sebagai vassal state (negara ikutan) Kesultanan Usmani. Konsep Dar al-Islam tentu saja merupakan salah satu tema pokok dalam konsep geografi politik Islam yang juga dibahas Arsul dalam ‘Darul Islam vs Darul Harb’. Penggunaan istilah ini ternyata cukup meluas dalam tradisi politik Melayu-Indonesia. Hikayat Raja-raja Pasai, misalnya, menyebut nama resmi kesultanan Samudera Pasai sebagai ‘Samudra Darul Islam’. Istilah ini juga digunakan kitab Undang-undang Pahang untuk menyebut Kesultanan Pahang. Sedangkan Ar-Raniri dalam Bustanus Salatin menyebut penguasa Patani, Paya Tu Naqpa, sebagai yang bertkhta di ‘Negeri Patani Darus Salam’. Pengambilan istilah ini mengisyaratkan pertentangan kontras dengan Dar al-Harb, wilayah non-Muslim. Dengan begitu, konsep dan garis geopolitik Islam dipertegas dan diimplementasikan. Hal ini semakin dipertegas ketika ‘bangsa Peringgi’ (Arab, Faranji) alias Portugis, yang disusul oleh bangsa-bangsa Eropa lain khususnya Inggris dan Belanda, mulai merajalela di kawasan Lautan Hindia dan Selat Malaka sejak awal abad 16. Konsep geografi politik Islam ini kemudian terlindas kolonialisme yang begitu perkasa mencabik-cabik entitas politik Muslim Melayu-Indonesia, dan akhirnya hanya tinggal sekadar konsep belaka. Karena secara riil, penguasa dan kaum Muslimin umumnya terpaksa melakukan kompromi dengan kaum kafir harbi yang menjarah Darul Islam. Tetapi, yang mungkin agak aneh adalah bahwa konsep geografi politik Islam ini kemudian justru diterapkan sebagian kelompok Muslim—seperti Kartosuwirjo dengan gerakan militer DI/TII-nya—terhadap kaum Muslimin Indonesia lain. Pancasila dan Islam Tema substantif ketiga buku ini adalah soal Pancasila yang cukup menarik perhatian. Lihatlah judul-judul berikut: NKRI dan Pancasila dalam Pandangan NU; Negara Pancasila: Perspektif Muhammadiyah; Pancasila Hasil Konsensus Para Pendiri Bangsa; Piagam Jakarta dan Pengorbanan Wakil Umat Islam; Di Sekitar Dekrit Presiden 5 Juli 1959; Memperkaya Pancasila dengan Nilai-nilai Islam; Menguatkan Pengelolaan Negara Berdasarkan Empat Pilar; Membenturkan NKRI-Pancasila dengan Islam; Keadilan Sosial: Perspektif Islam; dan Keadilan dan Kesetaraan. Melengkapi pembahasan Arsul Sani itu, prolog ini hanya ingin menyinggung sedikit, saat ini dan ke depan negara Indonesia memerlukan kepemimpinan berbasis Pancasila, dalam rangka mengatasi permasalahan bangsa yang akut, seperti korupsi, tata kelola pemerintahan yang kurang efektif serta penegakan hukum yang kurang adil. Pemimpin yang dibutuhkan tak hanya pandai berteori, tetapi juga mempraktikkan kelima Pancasila dalam kerjanya. Berbagai kasus menunjukkan, perilaku eksekutif, legislatif, dan yudikatif sangat jauh dari kepemimpinan Pancasila. Tegasnya, kita membutuhkan pemimpin beradab, yang ketika tergoda berbuat kejahatan, dia dibendung dan dihalangi norma Pancasila. Tidak hanya pada aspek formal. Kepemimpinan berbasis Pancasila juga penting diimplementasikan dalam kepemimpinan informal, seperti dalam kepemimpinan organisasi kemasyarakatan (ormas), lembaga pendidikan, dan sebagainya. Intelektual bangsa harus bisa merumuskan cara agar Pancasila bisa diaktualisasikan tidak hanya sebagai pemanis bibir. Pancasila harus dihidupkan di tengah masyarakat melalui pendidikan karakter baik formal maupun informal. Generasi penerus bangsa harus dibentuk karakternya agar menjadi calon pemimpin yang beradab. Pemimpin seperti itu tentu, bisa dibentuk oleh sistem pendidikan. Terakhir adalah soal moderatisme, yang juga mendapat perhatian Arsul dalam catatannya. Saya rasa, kita perlu menumbuhkan kembali nilai toleransi, yang sempat rusak pasca Pilpres 2019. Untuk menangkal konflik antaragama, dialog antaragama saja tidak cukup. Kita harus menumbuhkan konsep dan praktik multikulturalisme pada para pemimpin Muslim dan pemimpin agama lain untuk saling menghargai, baik dengan Muslim maupun dengan non-Muslim dan juga harus menghormati budaya lokal. Dalam bidang pendidikan, perlu adanya penanaman toleransi antarumat beragama mulai dari para pengajar yang selanjutnya meneruskannya pada anak didik mereka. Hubungan agama dan politik harus dilihat lebih cermat, karena tensi terlihat dalam Pilpres 2019, terbelah antara kaum Muslim moderat NU dan Muhammadiyah bersama minoritas mendukung Jokowi-Ma’ruf yang berhadapan dengan kaum Muslim agak ke kanan mendukung Prabowo-Sandiaga. Oleh sebab itu, penting untuk mengingatkan kembali agar para pemimpin umat dapat senantiasa menghadirkan contoh nyata Islam yang mampu mejadi pelopor toleransi di tengah ratusan etnis yang sangat heterogen, lewat Islam yang fleksibel atau Islam yang rileks. Islam Indonesia dikenal sebagai the smiling and colorful Islam, Islam yang penuh senyuman, yang penuh warna dan kedamaian. Selain itu, kita perlu mengembangkan sistem politik dengan memadukan antara prinsip demokrasi universal dan kontekstualisasi yang relevan dengan nilai-nilai bangsa agar demokrasi tidak terkesan sebagai sesuatu yang asing. Sehingga, demokrasi tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang asing dan bersumber dari Barat. Penutup Mempertimbangkan cakupan isinya yang luas, khususnya menyangkut Islam dan politik—khususnya dalam relasinya dengan NKRI—niscayalah karya Arsul Sani ini merupakan kontribusi penting dalam subyek ini. Karya ini menduduki signifikansi tersendiri karena selain merupakan percikan atau renungan pemikiran, juga pastilah banyak juga bersumber dari pengalaman dan pengamatan Arsul Sani dengan tokoh dan aktivis politik. Oleh karena itu, para pembaca patut berterima kasih kepada pak Arsul Sani yang tekun mencatat pemikirannya. Oleh karena itu, kita berharap semoga masih terus ada buku selanjutnya mengalir dari pemikiran dan aktivisme pak Arsul. Pemikiran dan buku pak Arsul sangat penting untuk ikut meningkatkan literasi politik anak bangsa, khususnya generasi milenial, terutama terkait subyek Islam dan negara-bangsa Indonesia. (zm) Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikel ditulis sebagai prolog buku karya Asrul Sani ‘Relasi Islam dan Negara: Pengalaman Indonesia’ dan dipublikasikan 25 Oktober 2021 di https://news.detik.com/berita/d-5776695/luncurkan-buku-relasi-islam-dan-negara-waketum-ppp-bicara-konsensus-ri |