Mengapa Pancasila disebut kompromi antara golongan nasionalis dan golongan agama

“Apakah Pancasila tidak lain hanyalah kumpulan daripada paham berbagai ragam yang hanya untuk menentramkan semua golongan ?”

K.H. Syaifuddin Zuhri

Perdebatan Islam dan sekularisme menjadi salah satu romantisme sejarah yang tidak akan pernah hilang dalam ingatan bangsa ini. Munculnya golongan Islamis dan golongan nasionalis seolah-olah merupakan skenario besar yang dengan sengaja dimunculkan untuk memancing dinamika dan dialektika politik negara guna menemukan bentuk negara bangsa yang mengakomodir kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Islam sebagai agama (religion) hadir jauh lebih dahulu dibandingkan negara dengan konsep nasionalisme dan ideologi Pancasila. Realitas sosial-budaya inilah yang menjadi dasar bagi Muhammad Natsir, Mr. Kasman Singodimejo, M Rusjan Nudin, dan K.H. Muh Isa Anshary mengambil sikap untuk mempertahankan dasar penyelenggaraan negara sesuai dengan kaidah dan syariat Islam Dalam sejarah Islam, merujuk pada penyebaran dan perkembangan Islam di Madinah dimana Muhammad sebagai pemimipin negera menjamin keadilan hak atas penduduknya baik yang beragama Islam, Nasrani, dan Yahudi dengan hukum (syariat) Islam. Sejarah ini memberikan argumen bahwa Islam secara adil telah melindungi dan memperhatikan seluruh hak asasi manusia (human rights) tanpa kecuali.

Secara logika dengan berdasar pada sejarah Islam kenyataan tersebut memang tidak bisa dibantah, namun pertanyaannya, apakah rakyat menginginkan Indonesia menjadi negara Islam?.  Pertanyaan inilah yang kemudian mendapat respon dari para tokoh nasionalis dimana dalam mengelola negara tidak diperlukan hukum agama. Argumen tersebut berangkat dari kasus gereja di Eropa dimana negara memanfaatkan gereja untuk melakukan doktrinasi dan tindakan represif kepada rakyat. Para tokoh nasionalis tidak menginginkan konflik komunal yang terjadi di Eropa kembali terulang di Indonesia

Pandangan golongan nasionalis atas bentuk negara sekular untuk menyelamatkan negara dari konflik mendapat reaksi dari golongan Islamis. Menyamakan kasus gereja yang terjadi di Eropa dipandang terlalu naif dan tidak relevan dengan akar sosial kultural bangsa Indonesia. Kekhawatiran munculnya konflik jika agama –Islam- bersanding dalam urusan negara di pandang oleh para tokoh Islam terlalu mengada-ada. Meski golongan Islam menemukan titik argumen yang kuat dengan berdasar pada sejarah dan nilai Islam namun satu hal yang sebenarnya belum terbukti yaitu benarkah kehadiran Islam sebagai dasar negara akan menyelamatkan Indonesia dari perpecahan. Belum terbuktinya tesis tersebut semakin menguatkan argumen para nasionalis untuk kembali mengarahkan negara pada dasar kenegaraan yang tidak menginduk pada nilai-nilai agama. Justru disinyalir dengan pemahaman pluralisme yang dimiliki oleh bangsa ini kehadiran salah satu agama yang terlalu dominan akan memicu potensi perpecahan.

Pandangan untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam sebenarnya juga tampak dari pandangan beberapa tokoh Islam sendiri, menyitir tulisan AB Kusuma dalam Yudi Latif (2011) bahwa Agoes Salim dan R. Abikusno Tjokrosurojo sama sekali  tidak menghendaki penyatuan agama dan negara. Pun demikian dengan beberapa pandangan dari golongan nasionalis juga tidak sepenuhnya menginginkan pemisahan negara dengan agama[1]. Adanya pandangan tersebut setidaknya telah memberikan titi cerah bagi proses perdamaian dan kompromisitas antara golongan Islam dan golongan kebangsaan- nasionalis-. Jika kemudian merunut lebih jauh pandangan kaum nasionalis seperti yang pernah dikatakan oleh Soekarno yang ditulis dalam harian Suluh Indonesia pada tanggal 12 Agustus 1928 bahwa “nasionalisme kita ialah nasionalisme ketimuran dan bukan nasionalisme kebaratan yang mengejar keuntungan. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi perkakasnya Tuhan dan membuat kita hidup dalam roh” (Latif: 2011, hal 68).

Pernyataan Soekarno tersebut dalam beberapa pandangan tokoh nasionalis nampaknya memiliki kesamaan dimana sikap kebangsaan yang dibangun di bumi Indonesia merupakan sikap kebangsaan yang ber-Ketuhan-an, ini menandakan bahwa dasar Ketuhanan merupakan inti fundamen atas penyelenggaraan kehidupan bernegara. Dan pada tahap ini nampaknya golongan Islam menilai tidak ada yang menyimpang dari proses kehidupan bernegara bangsa Indonesia.

Epilog

Dalam Sidang Konstituante Roeslan Abdulgani dari Fraksi PNI mencoba bertanya kepada golongan Islam, “patron negara Islam manakah yang akan dijadikan contoh kalau Indonesia menginginkan negara Islam ?”. pertanyaan tersebut di jawab oleh Rusjan Nurdin dari Fraksi Masjumi dengan menyatakan “tidaklah terlintas sedikit pun dalam hati kita untuk menjadikan satu di antara negara-negara Islam itu sebagai patron bagi Indonesia yang berdasar Islam” dan ditegaskan pula “tidak berbau Arab, tidak pula berbau Mesir, Irak, Syiria, Turki, Yaman, Pakistan, dan sebagainya, dan tidak berbau monarki feodal”. Pernyataan tersebut sebenarnya menyiratkan makna bahwa konsepsi negara Islam yang nantinya akan dibangun oleh golongan Islam bukanlah konsep negara Islam sebagaimana pemerintahan Islam tumbuh dan berkembang di Arab dan Timur Tengah.

Pemahaman tersebut sebenarnya juga tidak menutup kemungkinan untuk menemukan corak pemerintahan Islam versi Indonesia dan bukan tidak mungkin negara dengan berdasar Pancasila merupakan konsepsi negara Islam ala Indonesia. Seokarno sendiri dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 yang kemudian di kenal dengan sebutan “philosofiche grondslag” menjelaskan ketidaksetujuannya dengan gagasan negara Islam namun beliau mendukung dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada umat Islam untuk mengorganisasikan dirinya secara politik sehingga kebijakan dan keputusan politik yang lahir merupakan cerminan dari keagungan syariat Islam. Apa yang dilakukan oleh Soekarno merupakan jalan tengah dan titik temu bagi kebuntuan atas perdebatan Islam dan sekularisme, setidaknya ruh inilah yang seharusnya dipahami oleh seluruh elemen bangsa.


Oleh: Asep Salahudin

KOMPAS.com - Hubungan agama dan negara telah lama dipercakapkan oleh bangsa kita. Di sidang-sidang Konstituante, salah satu tema yang hangat diperdebatkan adalah posisi agama kaitannya dengan negara. Apakah mau mengambil pilihan negara agama atau negara sekuler. Sidang BPUPKI merekam pertentangan antara nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim (Faisal Ismail), kebangsaan, Islam dan ideologi Barat modern sekuler (AMW Pranarka). Kata John Titaley, tiga kekuatan ideologis dengan sengit bertarung dalam sidang itu adalah Nasionalisme, Islam, dan Sosialisme/Marxisme.

Perdebatan panjang itu akhirnya menemukan titik temu: Pancasila sebagai jalan tengah. Dan dengan lapang, semua agama, kepercayaan, dan etnik menerimanya. Ide tentang dasar negara yang awalnya diajukan Mohammad Yamin dan kawan-kawan dalam pidatonya pada sidang BPUPKI dan dideklarasikan Ir Soekarno dengan nama Pancasila pada 1 Juni 1945 telah tampil menyelamatkan sengketa politik berbasiskan sentimen teologis. Pancasila sebagai dasar negara hasil dari sebuah kompromi agung, dari konsensus warga bangsa dengan melihat fakta sosiologis masyarakat Nusantara yang heterogen sekaligus mempertimbangkan fakta teologis yang menjadi keyakinan masyarakat negeri kepulauan.

Pancasila jadi payung yang menaungi semua keragaman dan memberikan jaminan tentang tekad hidup dalam NKRI. Pancasila inilah sejatinya yang menjadi perekat kokohnya negara persatuan. Padahal, sebelumnya masih berupa puak yang terserak, kerajaan tersebar dengan bahasa dan budaya yang juga berlainan.

Berkah Pancasila yang digali dari nilai-nilai luhur kearifan lokal dan dari spirit keagamaan kita sebagai bangsa masih bertahan sampai sekarang. Maka, dalam konteks negara kebangsaan, tidak semestinya dilakukan: pertama, satu kelompok merasa lebih dominan dibandingkan dengan kelompok lain; kedua, menyelesaikan sejumlah persoalan publik dengan mendahulukan akal sehat dan kepentingan bersama; ketiga, tidak diperkenankan sebuah ormas mendesakkan keinginannya kepada ”negara” atas dasar keyakinan subyektif; keempat, selalu yang mesti dilakukan adalah dialog atau musyawarah mufakat menjadi pintu masuk dalam menyelesaikan hal ihwal.

Video Rekomendasi

Mengapa Pancasila disebut kompromi antara golongan nasionalis dan golongan agama

Narasi tunggal

Kesalahan besar Orde Baru dalam kaitan dengan Pancasila tak boleh terulang. Orde Baru meski selalu mendengungkan kembali Pancasila dan UUD 1945, dalam praktiknya, Pancasila telah dikerdilkan menjadi sebuah ”ideologi tertutup”, dikerangkeng dalam penafsiran tunggal. Dosa besar negara despotik yang dipimpin rezim Soeharto selama 32 tahun bermula karena iklim kebenaran dan monopoli penafsiran terhadap Pancasila. Di luar tafsir penguasa dianggap bidah dan berbahaya. Di pusaran ini kemudian yang dilakukan tidak terus-menerus memperkaya wawasan Pancasila, tetapi membuat Pancasila kian tak menampilkan khitahnya seperti yang dahulu dirumuskan para penemunya.

Mungkin masih ingat dalam memori anak bangsa yang mengalami masa peradaban gelap Orde Baru bagaimana Pancasila lengkap dengan P4-nya dijejalkan kepada publik lewat indoktrinasi, pemaksaan dan jauh dari yang disebut Jurgen Habermas penciptaan ruang deliberatif bagi terjadinya percakapan yang mengedepankan kesetaraan dan kekuatan nalar. Kaum penguasa memosisikan diri sebagai para pihak yang seakan telah menjadikan nilai-nilai Pancasila dalam tindakan politik hariannya secara istikamah. Padahal, kenyataannya, justru sebaliknya.

Cara-cara tak patut seperti inilah yang kemudian pada titik tertentu membuat sebagian kelompok menjadi alergi dengan beragam hal berbau Pancasila. Kelompok-kelompok ini, baik yang berada di sisi kiri ataupun kanan, setelah Orde Baru tumbang kemudian melakukan kontestasi ideologis menawarkan ”dasar negara” yang dianggapnya lebih manjur ketimbang Pancasila. Banyak ormas yang ”menggarap” masyarakat untuk memiliki pemahaman seperti mereka. Tak sedikit masyarakat termakan fantasi ideologis-metafisisnya yang sama sekali berbanding terbalik dengan Pancasila.

Anehnya cara-cara yang dilakukan tak jauh beda dengan aparatus Orde Baru: indoktrinasi, cuci otak, pengajian-pengajian tertutup, memonopoli kebenaran, menganggap liyan sebagai kafir. Bahkan lebih jauh dari itu memandang eksistensi Indonesia sebagai ”negara transisi” untuk kemudian kelak harus berubah menuju negara yang sesuai dengan kerajaan Tuhan yang dibayangkannya secara sepihak.

Tiba-tiba di tengah situasi negara yang tak stabil, anggota Dewan yang tak henti bertengkar, dan ekonomi yang tak mendistribusikan kesejahteraan dikepung pekik ormas yang menawarkan ”politik metafisika-skolastik”, menyerukan pentingnya menghidupkan kembali khilafah siasat Abad Pertengahan dengan fantasi tergelarnya kesalehan bersama. Dibikinlah suasana seolah agama dan negara sesuatu yang wajib dikawinkan, bahwa mengintegrasikan agama dalam kekuasaan harga mati dengan sebuah praanggapan kemungkaran itu bermula karena agama tidak masuk dalam lingkaran kuasa.

Membutuhkan kembali

Di sinilah makna penting kita kembali kepada Pancasila. Tak semata bernostalgia, tetapi menyempurnakan cara bernegara supaya menemukan adabnya sekaligus memberikan jaminan kepada mereka yang berbeda. Kita butuh Pancasila bukan karena Pancasila sangat sempurna, melainkan justru karena komitmen bersama untuk merawat bangsa ini. Bahwa bangsa ini bukan milik satu kelompok, melainkan milik bersama sebagai ”warisan” kaum leluhur yang telah memperjuangkannya dengan jiwa dan raga. Kita butuh Pancasila karena secara teologis, ia sama sekali tak bertentangan dengan agama, bahkan merupakan tafsir kreatif dan ijtihad besar yang dilakukan para leluhur dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang ada di hadapannya. Bagaimana mereka dengan segala kebijaksanaan dan kecerdasannya menemukan ”jalan tengah” yang melegakan semua pihak, sebagaimana tempo dulu Muhammad SAW menemukan ”Piagam Madinah” yang digali dari kecermatan melihat realitas plural sekitarnya.

Mencari titik temu, bukankah ziarah kebangsaan yang diserukan Tuhan dalam senarai firman-Nya? ”Wahai para pengikut kitab suci! Marilah kamu semua menuju kepada ajaran dasar kesamaan antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tak menyembah kecuali Allah Tuhan Yang Maha Esa dan bahwa sebagian dari kita—sesama manusia—tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah Tuhan Yang Maha Esa! Tetapi, jika mereka, para pengikut kitab suci itu menolak, katakanlah olehmu sekalian (wahai kaum beriman), kepada para pengikut kitab suci itu, ’Bersaksilah kamu semua bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kaum Muslimin)’.” (Q, 3: 64)

Atau dalam ungkapan Goenawan Mohamad, ”Kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan rumusan yang ringkas dari ikhtiar bangsa kita yang sedang meniti buih untuk dengan selamat mencapai persatuan dalam perbedaan.... Kita membutuhkan Pancasila kembali untuk mengukuhkan, kita mau tak mau perlu hidup dengan sebuah pandangan dan sikap yang manusiawi—yang mengakui peliknya hidup bermasyarakat. Kita membutuhkan Pancasila kembali karena merupakan proses negosiasi terus-menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa ”eka, dan tak ada yang bisa sepenuhnya meyakinkan, dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Mahabenar. Kita membutuhkan Pancasila kembali: seperti saya katakan di atas, kita hidup di sebuah zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib manusia.”

Kehebatan Pancasila itu terletak ketika ia menjadi laku. Pandu yang dapat mempercepat terwujudnya masyarakat utama.

Asep Salahudin
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.