Mengapa pada cerita rakyat asal-usul bukit gunung wurung pada dewa tidak menyelesaikan pekerjaannya

contoh pidato bahasa Indonesia

GENERASI INDONESIA BISA

Assalamu’alaikum wr. wb

Yth. Bapak kepala SMA 1 Kedungwuni

Yang saya hormati ketua pelaksana diskusi

Serta peserta diskusi yang saya banggakan

Sebelumnya marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan nikmatnya berupa kesehatan sehingga kita dapat menghadiri acara diskusi ini dengan tema “Pendidikan moral bagi generasi bangsa”.

Tidak lupa sholawat serta salam semoga tercurahkan dihadapan junjungan kita nabi Muhammad SAW yang semoga kelak kita mendapatkan syafaat dari beliau di hari kiamat nanti. Amin ya rabbal alamin.

Sudah kta ketahui bahwa masyarakat Indonesia dakam masalah pendidikan masih banyak krkurangannya sehingga masih ada anak yang putus sekolah dan maraknya kebodohan sehingga banyak perilaku anak yang menyimpang karena kurangnya pendidikan moral. Itu semua membuat kita prihatin terhadap generasi-generasi muda saat ini dan yang akan datang.

Untuk itu tujuan saya disini untuk menyampaikan apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki moral generasi bangsa.

Saya disini akan menerangkan upaya untuk memperbaiki moral generasi bangsa. Sehingga menjadi generasi yang bermoral tinggi.

Hadirin yang saya hormati, yang pertama adalah kita harus menanamkan perilaku sesuai nilai dan norma sejak dini yaitu  pada lingkungan keluarga. Karena keluarga merupakan proses sosialisasi yang pertama, dengsan keluarga kiti dapat mendidik anak agar mempunyai moral yang baik. Dan dalam keluarga kita harus menggunakan sosialisasi partisipatif, yaitu sosialisasi yang mengutamakan penggunaan motivasi, komunikasi timbale balik, penghargaanterhadap otonomi anak, sehingga akan menimbulkan generasi yang mempunyai moral yang baik.

Yang kedua, kita harus memperhatikan lingkungan si anak, kita harus mencegah apabila anak mengikuti orang-orang yang tidak mempunyai moral, dankita harus selalu mengawasinya.

Yang ketiga adalah lingkungan pendidikan yang baik, lingkunga pendidikan yang baik akan menggunaka tata tertib yang ditaati oleh warga sekolahnya sehingga anak akan terkontrol, dan melalui proses pemdidikan anak-anka diperkenalkan pada nilai-nilai dan norma atau budaya masyarakat, bangsa, dan negaranya. Sehingga diharapkan dapat memahami, menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu harus ada proses internalisasi yaitu proses mempelajari atau menerima nilai dan norma sosial sepenuhnya, sehingga menjadi bagian dari system nilai dan norma yang ada pada dirinya. Jika sudah terinternalisasi sepenuhnya kedalam diri seseorang maka nilai dan norma tersebut akan mengendalikan perilaku seseorang. Akibatnya orang itu akan merasa sulit melenggar nilai dan norma yang berlaku.

Jadi kesimpulannya adalah  dengan menanamkan dan mempelajari nilai dan norma dalam pendidikan kita akan mejadi pelajar yang bermoral baik.

Oleh karena itu, saya harap semua hal tersebut dapat dilaksanakan agar cita-cita dan harapan bangsa Indonesia dapat tercapai, dan akhirnya dapat menjadi bangsa yang besar.

Hadirin yang saya  hormati, cukup sekian yang dapat saya sampaikan, semoga dapat bermanfaat. Dan apabila terdapay sesuatu yang kurang berkenan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya..

 Akhirul kalam.

  Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Legenda Telaga Pasir

Jawa Timur - Indonesia

Telaga Pasir atau yang lebih dikenal Telaga Sarangan adalah salah satu obyek wisata air di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Telaga seluas 30 hektar dengan kedalaman 30 meter ini tepatnya berada di kaki Gunung Lawu, Kelurahan Sarangan, Kecamatan Plaosan atau sekitar 18 kilometer arah barat Kota Magetan. Menurut cerita, awalnya telaga ini berupa ladang milik seorang petani bernama Kyai Pasir. Suatu ketika, terjadi sebuah peristiwa yang menimpa Kyai Pasir dan istrinya yang mengakibatkan ladang mereka berubah menjadi telaga. Peristiwa apakah itu? Temukan jawabannya dalam cerita Legenda Telaga Pasir berikut ini!

Di suatu tempat di kaki Gunung Lawu, Magetan, hiduplah sepasang suami istri bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka tinggal di sebuah gubuk di tepi hutan. Meskipun hanya terbuat dari kayu dan beratapkan dedaunan, gubuk mungil itu sudah cukup aman bagi Kyai Pasir dan istri tercintanya dari gangguan binatang liar. Dinding gubuk itu terdiri dari susunan kulit kayu yang diikatkan pada tiang kayu dengan menggunakan rotan. Di antara dinding-dinding kayu itu diberi sedikit celah sebagai ventilasi sehingga udara segar dapat keluar dan masuk ke dalam gubuk.

Pekerjaan sehari-hari Kyai Pasir adalah petani ladang. Dari hasil ladang itulah ia dan istrinya dapat bertahan hidup, walaupun hanya pas-pasan. Ladang milik Kyai Pasir terletak di tepi hutan, tidak jauh dari tempat tinggalnya. Suatu hari, lelaki tua yang sudah mulai renta itu berangkat ke ladang dengan membawa kapak. Ia bermaksud membabat hutan untuk membuat ladang baru di dekat ladang miliknya. Ketika hendak menebang salah satu pohon besar, tiba-tiba Kyai Pasir melihat sebutir telur besar berwarna putih tergeletak di bawah pohon itu.

“Hai, telur binatang apa itu?” gumamnya dengan heran.

Kyai Pasir amat penasaran terhadap telur besar itu. Ia pun mengambil telur itu seraya mengamatinya dengan seksama.

 “Ah, tidak mungkin ini telur ayam. Mana ada ayam berkeliaran di tempat ini?” Kyai Pasir kembali bergumam, “Lagi pula, telur ini lebih besar dari telur ayam.”

Kyai Pasir tidak mau pusing memikirkan itu telur binatang apa. Baginya, telur itu adalah lauk yang enak jika dimasak. Oleh karena itu, ia hendak membawa pulang telur itu untuk lauk makan siang bersama istrinya di rumah. Ketika hari menjelang siang, ia pun membawa pulang sambil telur itu dan menyerahkannya kepada istrinya.

“Bu, tolong masak telur itu untuk makan siang kita!” ujar Kyai Pasir.

“Wah, besar sekali telur ini. Baru kali ini aku melihat telur sebesar ini,” ujar Nyai Pasir dengan heran saat menerima telur itu, “Dari mana telur ini, Pak?”

Kyai Pasir pun menceritakan bagaimana ia menemukan telur itu. Setelah itu, ia kembali meminta istrinya agar segera memasak telur itu karena sudah kelaparan. Ia juga sudah tidak sabar ingin segera menyantap telur itu. Namun, sang istri masih saja terus bertanya kepadanya mengenai telur itu.

“Ini telur binatang apa, Pak?” tanya Nyai Pasir.

“Sudahlah, Bu. Tidak usah banyak tanya!” ujar Kyai Pasir mulai kesal. “Cepatlah kamu masak telur itu, perutku sudah keroncongan!”

Nyai Pasir pun cepat-cepat membawa telur itu ke dapur untuk dimasak. Sambil menunggu telur matang, Kyai Pasir merebahkan tubuh sejenak karena kecapaian. Tak berapa lama kemudian, istrinya pun selesai memasak.

“Pak, hidangan makan siang sudah siap. Mari, makan dulu!” ajak Nyai Pasir.

Kyai Pasir pun beranjak dari tidurnya. Ia bersama istrinya segera menyantap telur itu dengan lahap. Telur rebus tersebut mereka bagi dua sama rata. Usai makan siang, Kyai Pasir kembali ke hutan untuk melanjutkan pekerjaannya. Di tengah perjalanan, ia masih merasakan nikmatnya telur rebus tadi. Namun, ketika ia sampai di ladang, tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa sakit, panas, dan kaku. Matanya pun mulai berkunang-kunang dan sekujur tubuhnya dibasahi keringat dingin. Ia pun merintih kesakitan.

“Aduh, kenapa tiba-tiba seluruh tubuhku sakit begini,” ratap Kyai Pasir.

Semakin lama, rasa sakit di tubuhnya semakin menjadi-jadi. Kyai Pasir pun tidak mampu menahan rasa sakit itu sehingga rebah ke tanah dan berguling-guling ke sana kemari. Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba seluruh tubuhnya berubah menjadi seekor ular naga yang besar. Sungutnya amat tajam dan keras. Wujudnya pun amat mengerikan. Kyai Pasir yang telah menjelma menjadi seekor naga jantan itu terus berguling-guling tanpa henti.

Pada saat yang bersamaan, Nyai Pasir yang berada di rumah juga mengalami nasib yang sama. Rupanya, telur yang telah mereka tadi adalah telur naga. Nyai Pasir yang merasa sekujur tubuhnya terasa sakit segera berlari ke ladang untuk meminta tolong kepada Kyai Pasir. Alangkah terkejutnya ia saat tiba di ladang. Ia mendapati suaminya telah berubah menjadi naga yang menakutkan. Ia pun hendak melarikan karena ketakutan. Namun karena tidak sanggup lagi menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, istri Kyai Pasir itu pun rebah dan berguling-guling di tanah. Tak lama kemudian, seluruh tubuhnya ditumbuhi sisik hingga akhirnya berubah menjadi seekor naga betina.

Kedua naga itu berguling-guling sehingga tanah di sekitarnya berserakan dan membentuk cekungan seperti habis digali. Lama-kelamaan, cekungan tanah itu semakin luas dan dalam. Setelah itu, muncullah semburan air yang amat deras dari dasar cekungan tanah itu. Semakin lama semburan air itu semakin deras sehingga cekungan itu dipenuhi air dan berubah menjadi telaga.

Oleh masyarakat setempat, telaga itu dinamakan Telaga Pasir yaitu diambil dari nama Kyai dan Nyai Pasir. Namun, karena lokasinya berada di Kelurahan Sarangan sehingga telaga ini biasa juga disebut Telaga Sarangan.

Demikian cerita Legenda Telaga Pasir dari daerah Jawa Timur. Hingga saat ini, legenda ini masih digemari oleh masyarakat Jawa Timur, khususnya masyarakat Magetan. Kini, Telaga Pasir atau Sarangan ini menjadi salah satu obyek wisata andalan Kabupaten Magetan.

Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita legenda di atas adalah bahwa hendaknya kita lebih berhati-hati dan lebih teliti sebelum mengambil sesuatu yang belum kita ketahui asal usulnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

 

Legenda Gunung Wurung

Jawa Tengah - Indonesia

Gunung Wurung adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia. Bentuk gunung ini cukup unik, karena tingginya hanya berkisar 80 meter dan tidak memiliki puncak tertinggi. Menurut masyarakat setempat, gunung ini dibuat oleh para dewa dari Kahyangan. Namun, mereka telah menghentikan pekerjaannya sebelum gunung itu selesai dibuat. Mengapa para dewa tidak menyelesaikan pembuatan gunung itu hingga tuntas? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Gunung Wurung berikut ini.

Alkisah, di sebuah daerah (yang sekarang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Karangsambung), terdapat sebuah perkampungan kecil yang wilayahnya terdiri dari hamparan tanah datar. Tak satu pun gundukan tanah atau perbukitan yang terlihat di sekitarnya.

Di suatu malam yang sunyi senyap, para sesepuh kampung tampak sedang berdoa kepada para dewa di Kahyangan. Dengan penuh khusyuk, mereka memohon agar dibuatkan sebuah gunung di dekat tempat tinggal mereka. Rupanya, doa mereka dikabulkan oleh para dewa. Pembuatan gunung itu akan dimulai besok harinya dan akan dikerjakan dalam waktu semalam. Tetapi dengan syarat, tak seorang pun warga yang boleh melihat pada saat gunung itu dibuat.

Para sesepuh kampung menyanggupi persyaratan itu. Keesokan paginya, mereka mengumpulkan para warga untuk menyampaikan berita gembira dan persyaratan tersebut.

“Wahai, seluruh wargaku! Kami menghimbau kepada kalian semua agar pada saat hari menjelang senja, masuklah ke dalam rumah kalian masing-masing dan tak seorang pun yang boleh keluar rumah hingga matahari terbit besok pagi!” ujar seorang sesepuh kampung.

“Maaf, Tuan! Bencana apa yang akan melanda kampung kita? Kenapa kami dilarang keluar rumah?” tanya seorang warga dengan bingung.

“Ketahuilah, semua bahwa para dewa akan membuatkan sebuah gunung untuk kita dan tak seorang pun yang boleh melihat ketika mereka sedang bekerja,” jelas seorang sesepuh kampung yang lain.

Setelah mendengar penjelasan itu, barulah para warga mengerti mengapa mereka dilarang keluar rumah. Ketika hari menjelang senja, suasana kampung mulai sepi. Seluruh warga telah masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Tak berapa lama kemudian, para dewa pun turun dari Kahyangan untuk mulai bekerja membangun sebuah gunung di daerah hulu kampung. Mula-mula mereka membangun tiang-tiang yang kokoh.

Setelah separuh malam bekerja, para dewa telah selesai membangun tiang-tiang tersebut. Tiang-tiang tersebut kemudian mereka timbuni dengan tanah hingga nantinya membentuk sebuah gunung. Para dewa bekerja sesuai dengan tugas masing-masing tanpa berbicara sepatah kata pun. Mereka terus bekerja hingga larut malam tanpa mengenal lelah.

Ketika hari menjelang pagi, pembuatan gunung itu hampir selesai, tinggal menyelesaikan penimbunannya yang tersisa sedikit lagi. Pada saat para dewa masih sibuk bekerja, tiba-tiba dari arah kampung seorang gadis berjalan menuju ke luk ulo (sungai) yang berada di sekitar tempat pembuatan gunung tersebut. Rupanya, gadis itu tidak mengetahui pengumuman tentang larangan keluar rumah pada malam itu. Sebab, pada waktu pengumuman itu disampaikan oleh salah seorang sesepuh kampung, ia tidak hadir dan tak seorang pun warga yang memberitahu tentang hal itu.

Gadis itu datang ke sungai karena ingin mencuci beras untuk dimasak. Ia berjalan tanpa memperhatikan keadaan di sekelilingnya karena suasana masih gelap. Pada saat akan turun ke sungai, gadis itu terperanjat karena tiba-tiba di hadapannya ada sebuah bukit.

“Hah, kenapa tiba-tiba ada bukit di tempat ini? Padahal, hari-hari sebelumnya tempat ini masih datar? Ya Tuhan, mimpikah aku ini?” gumam gadis itu seolah tidak percaya terhadap apa yang dilihatnya.

Namun, begitu melihat beberapa sosok makhluk yang menyeramkan bergerak cepat sambil mengangkat batu besar tanpa sepatah kata pun, gadis itu langsung berlari meninggalkan sungai karena ketakutan.

“Tolooong… Tolooong… Tolong aku!” teriaknya dengan keras.

Gadis itu terus berlari tanpa memperdulikan lagi keadaan dirinya sehingga beras yang hendak dicucinya dilemparkan begitu saja. Tak ayal lagi, beras tersebut berceceran di sekitar bukit. Konon, beras tersebut menjelma menjadi bebatuan yang bentuknya mirip dengan beras.

Para dewa yang mendengar suara teriakan gadis itu menjadi tersentak. Mereka pun menyadari bahwa ternyata pekerjaan mereka telah disaksikan oleh manusia.

“Penduduk kampung telah melanggar perjanjian kita. Ayo kita tinggalkan tempat ini!” seru salah satu dewa kepada dewa yang lainnya.

Akhirnya, para dewa tersebut menghentikan pekerjaannya. Mereka meninggalkan tempat itu dan bergegas kembali ke Kahyangan. Padahal, pembangunan gunung itu belum selesai. Akhirnya, batallah pembuatan gunung itu.

Demikianlah cerita Legenda Gunung Wurung dari daerah Kebumen, Jawa Tengah. Masyarakat setempat menamainya “Gunung Wurung” karena menganggap gunung tersebut belum jadi atau belum selesai. Kata wurung dalam bahasa Jawa berarti belum jadi atau batal. Secara geologis, Gunung Wurung terbentuk dari batuan intrusi, materi batuan yang sebelumnya berupa bahan cair, pijar, dan panas berasal dari magma di perut bumi yang hendak menerobos permukaan, namun terlanjur membeku sebelum muncul ke permukaan. Sedangkan batuan berwarna yang mirip dengan beras disebut dengan batu diabas.

Dengan membaca cerita ini, setidaknya kita telah mengetahui mengapa Gunung Wurung berbentuk demikian (hanya separuh), karena pembangunannya tidak diselesaikan oleh para dewa, sebagaimana yang diyakini oleh empunya cerita.

Sumber            : mkroziqin.blogspot.com