Mendapat kenyamanan saat belajar di kelas merupakan titik-titik setiap siswa

Pendidikan adalah sesuatu yang urgensi dalam kehidupan karena orang yang mengalaminya terbentuk menjadi seorang insan manusia seutuhnya. Setiap orang membutuhkannya sebagai wadah untuk memperoleh pengetahuan dan nilai – nilai hidup agar nantinya meraih keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Di sekolah, Pendidikan bisa dipandang sebagai proses mentransferkan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan kepada peserta didik agar kelak mereka bisa mencapai idealisme hidup yakni kemandirian hidup dari berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks pendidikan sebagai sebuah proses, peran seoarang guru menjadi mutlak diperlukan. Tanpa kehadiran guru content pendidikan tidak bisa diwariskan kepada objek pendidikan yakni siswa.

Guru adalah jembatan dari para siswa dalam memperoleh pendidikan. Menjadi seorang guru adalah sebuah panggilan hidup yang harus dijalani demi mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Setiap guru dalam panggilannya tentu telah dibekali dengan berbagai pengetahuan agar mereka bisa menjalankan tugas semaksimal mungkin.

Kemajuan bangsa Indonesia dalam segala dimensinya merupakan hasil dari pendidikan. Kita hendaknya mengapresiasi peran para guru yang senantiasa melahirkan generasi cerdas penerus bangsa. Guru harus mendapat dukungan dari masyarakat dalam menjalankan tugas profesinya, karena tugas ini sangatlah mulia ibarat menerangkan pelita dalam kegelapan.

Pendidikan bangsa Indonesia sering diwarnai dengan kekerasan terhadap tenaga pendidik. Berita online Sindonews daerah palembang, Rabu, 9 November 2016 memberitakan peristiwa seorang siswa yang berinitial AF (14), siswa SMP Al Karim Noer, kecamatan Sekayu, menikam gurunya Kurniasih Awaliyah (35) dengan menggunakan pisau sebanyak 13 kali. Kejadian ini hanya dipicu oleh rasa tersinggung AF karena di tegur oleh sang guru  lantaran tidak masuk sekolah selama seminggu tanpa izin. Saat ini AF, yang adalah siswa kelas II SMP tersebut masih berurusan dengan pihak kepolisian setempat.

Beberapa bulan sebelumnya, juga terjadi peristiwa penganiayaan terhadap seorang guru SMK dengan nama Drs. Dasrul (45) di Makassar oleh orang tua murid yang bernama Adnan Achmad (38). Kejadian ini bermula ketika si anak murid melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya disekolah kepada ayahnya. Berdasarkan informasi yang dihimpun media Sindonews area Makassar, sang guru Arsitek itu menegur  siswa yang berinisial MAS (15) tersebut karena tidak mengerjakan tugas dan menganggu rekanya yang lain.

 Yang masih santer diberitakan oleh media-media baik nasional maupun lokal adalah peristiwa yang menimpa seorang kepala sekolah dasar di kabupaten Nagekeo. Media Kompas.com edisi 8 Juni 2021 memuat berita dengan judul “Orangtua Siswa Mengamuk dan Tikam Kepala Sekolah Saat Ujian Berlangsung”. Kepala Sekolah SD Inpres Ndora yang bernama Delvina Azi itu ditikam oleh orang tua siswa berinisial DD lantaran anaknya dipulangkan oleh pihak sekolah karena belum melunasi tunggakan sekolah.

Dunia pendidikan Indonesia sedang mengalami kemalangan. Guru yang adalah pewaris nilai-nlai hidup  ataupun sebagai embun penyejuk harus ternoda oleh aksi-aksi tak terpuji. sebagai sebuah introspeksi, haruskah fenomena ini akan tetap menjadi bagian dari lembaran dunia pendidikan kita ke depannya?

Merubah Paradigma hukuman di sekolah.

            Pendidikan telah berlangsung lama dalam sejarah peradaban hidup manusia. Di Indonesia sendiri, Pendidikana telah ada jauh sebelum kemerdekaan RI yang merupakn moment yang paling bersejarah di nusantara ini. Kemerdekaan itupun merupakan hasil perjuangan dari para intelektual yang merupakan buah karya dari pendidikan itu sendiri.

            Untuk mencapai sebuah pribadi yang mandiri dan berwawasan luas baik secara kognitif, affektif, maupun psikomotor bukanlah hal yang mudah bagaikan kita membalikan telapak tangan. Dalam prosesnya itu, guru selalu mengalami dinamika yang kadang menyenangkan dan menyakitkan dan harus diterima sebagai konsekwensi dari sebuah profesi.

            Di lingkungan sekolah ada banyak cara yang diterapkan dalam membina karakter siswa. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, cara-cara baru tentang pembinaan karakter berkembang luas. Singkatnya pembinaan karakter mengarah pada pendekatan psikis. Akan tetapi, apakah pendekatan ini sungguh berhasil? Tentu jawabanya tidak, karena masih ada begitu banyak siswa yang berprilaku negatif. Sebagai dampaknya, ketika guru merasa kehabisan cara dalam pembinaan sikap siswa, hukuman merupakan alternatif. Hukuman adalah warisan dari pembinaan karakter dunia pendidikan klasik bangsa kita ini.

            Menjadi sebuah realita bahwa jeweran, cubitan, tempeleng maupun hukuman lainnya masih kerap terjadi di lingkungan sekolah saat ini. Semua itu tentu merupakan hukuman semata berkaitan dengan proses pembinaan karakter siswa agar mereka jerah untuk tidak melakukan kesalahan lagi.

Karenanya , baik siswa maupun orang tua, serta semua orang yang peduli tentang pendidikan harus menyelaraskan paradigma bahwa hukuman di sekolah bukanlah sebuah tindakan kekerasan atau kesewenangan melainkan sebagai bentuk pembinaan akhlak  siswa agar mereka menjadi insan yang berkarakter mulia sebagai generasi penerus bangsa.      

Sisi lain dari UU Perlindungan Anak di sekolah

Lahirnya Undang-undang (UU) perlindungan anak di Indonesia tentu bermula karena begitu banyaknya pelanggaran hukum terhadap anak-anak tak terkecuali di sekolah. Terbitnya UU perlindungan anak telah membuktikan berkurangnya tindakan kekerasan terhadap siswa pada lingkungan pendidikan Indonesia. Pelaku pendidikanpun tidak tinggal diam. Mereka terus bereksploitasi tentang pemecahan masalah yang dilakukan siswa. Dengan kata lain,  pendekatan psikis menjadi final untuk diterapkan.

Undang-undang perlindungan anak ini tentu lahir dari rahim pikiran orang-orang yang pernah mengalami bagaimana sulitnya dunia pendidikan klasik yang diwarnai oleh banyaknya hukuman fisik. Merekapun telah melaluinya dan saat ini mengganggap bahwa itu sudah usang sehingga dunia pendidikan harus memunculkan cara baru perihal pembinaan karakter siswa.

Di satu sisi, Kehadiran UU perlindungan anak telah menyadarkan para guru untuk tidak menghukum siswa secara fisik maupun bentuk lainnya. Guru mendidik  siswa dengan verbal. Dunia pendidkan Indonesia dinilai telah mengalami sebuah revolusi. Angka kekerasan di lingkungan sekolah serentak menurun drastis dan bahkan jarang terjadi.

Tetapi di sisi lain UU Perlindungan anak telah melahirkan polemik baru dalam dunia pendidikan kita. UU ini membingkai pikiran siswa serta orangtuanya bahwa ketika mereka bersalah mereka hanya ditegur. Para peserta didik yang sedang mencari jati diri mereka, justru termotivasi untuk melakukan pelanggaran di sekolah dengan dalil bahwa guru tidak akan memukul mereka. Para siswa berbuat seenaknya saja. Fakta inilah yang ditemukan di sekolah ditengah maraknya UU Perlindungan anak berlaku.

Ironisnya, saat UU perlindungan anak yang bertujuan melindungi peserta didik dalam aktivitas belajar di sekolah ada, justru pihak pendidik yang merasa tidak terlindungi. Kurangnya karakter yang dimiliki siswa saat ini bisa terjadi akibat enggannya guru untuk membina siswa. Para guru merasa bosan dengan pembinaan verbal yang tidak membawa efek jerah bagi siswa. Ruang gerak guru dalam membina siswa menjadi terbatas.

 Guru Harus Selamat

Kasus kekerasan yang menimpa para pendidik di Indonesia tentu sangat menyentuh nurani terkait kebebasan akademik guru dalam mendidik siswanya. Yang lebih mengenaskan lagi apabila para pendidik dianiaya hingga nyawa menjadi taruhannya.

Jika ditelisik, UU tentang perlindungan guru di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008. Dalam PP itu guru memiliki defenisi bahwa “Guru adalah pendidik profesiaonal dengan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menialai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”

Selanjutnya, dalam pasal 39 ayat 1 berbunyi “guru memiliki kebebasan dalam memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama,norma kesusilaan,norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.”

 Sejak munculnya PP ini tentu membawa angin segar bagi guru karena mereka sungguh terlindungi dalam menjalankan tugas profesinya. Akan tetapi, mengapa masih ada guru yang mengalami tindakan kekerasan atau harus berurusan dengan pihak penegak hukum?

Realita inilah yang menjadi pekerjaan rumah dari peserta didik dan orang tua untuk melihat hukuman fisik yang dilakukan guru di sekolah sebagai sebuah bentuk pembinaan sikap yang menjadi kewajiban mereka sehingga para peserta didik kelak mempunyai kepribadian yang baik. Siswa dan orang tua murid harus berpikir bahwa guru menghukum murid saat sedang menjalankan tugas profesinya. Maka biarkanlah para guru dengan pemberian yang total membina para peserta didiknya.

Pendidikan Indonesia adalah tanggung jawab kita semua. Marilah kita bahu-membahu memajukan pendidikan di negeri tercinta ini. Marilah kita menyerahkan sepenuhnya proses pendidikan dari generasi muda di tangan para guru karena mereka telah dipanggil sebagai aktor pencerdas bangsa. Kita seharusnya yakin bahwa setiap guru di negeri ini punya idealisme yang mulia dan mereka tidak ingin anak-anak didik mereka terjerumus dalam kehancuran.