Makanan tradisional yang kurang populer di lingkungan masyarakat

Tak hanya makanan nasional saja yang menyesaki ibu kota kita, restoran yang mengusung kuliner mancanegara pun sangat banyak di Jakarta.

Makanan tradisional yang kurang populer di lingkungan masyarakat

Oleh Jeny & Hendrayatna Tafianoto (JenzCorner.com)

Dunia kuliner di Jakarta tampak semarak dalam beberapa tahun terakhir ini. Setiap hari pasti ada saja restoran baru, mulai dari restoran mewah di hotel berbintang dengan grand launching party, hingga restoran di kompleks perumahan dengan diskon pembukaan, sampai warung tenda yang tiba-tiba nongol hari ini padahal kemarin belum ada.

Makanan dari seluruh penjuru Indonesia bisa ditemukan di Jakarta. Terdapat ribuan, bahkan mungkin puluhan ribu rumah makan yang menyediakan kuliner Minang, Sunda, Jawa, dan Betawi. Etnis Tionghoa dengan beragam sub-etnisnya juga banyak yang membuka restoran, seperti di kawasan Pangeran Jayakarta yang terkenal sebagai kantung etnis Tionghoa asal Kalimantan Barat atau daerah Muara Karang yang dihuni Tionghoa asal Sumatera Utara. Belum lagi restoran lain yang terkenal dengan makanan khasnya. Siapa yang tidak kenal dengan Restoran Beautika di Hang Lekir? Atau Lapo Ni Tondongta di Senayan? Bahkan kuliner dari Papua pun terwakili di Jakarta dengan restoran Yougwa di kawasan Kelapa Gading.

Namun, tak hanya makanan nasional saja yang menyesaki ibu kota kita, restoran yang mengusung kuliner mancanegara pun sangat banyak di Jakarta. Mau masakan Italia, Prancis, Jerman, atau Turki? Tinggal datang saja ke daerah Kemang. Pingin makan sashimi? Kunjungi saja kawasan Little Tokyo di Jalan Melawai. Sementara itu, di daerah Sunter dan Pasar Baru, ada sejumlah restoran India dan Pakistan dengan pilihan menu yang sangat otentik. Tak hanya itu, restoran waralaba asing pun berjejalan di mal-mal Jakarta, mulai dari yang amat populer seperti McDonald’s, Starbucks, Burger King, Sour Sally, hingga yang kurang bergaung seperti Corica dan Andersen’s Icecream.

Mampukah kuliner lokal menghadapi kuliner asing

Persaingan yang begitu terbuka antara kuliner lokal dan mancanegara kadang kala menimbulkan kecemasan tersendiri. Mampukah kuliner lokal kita menghadapi kuliner asing, terutama waralaba asing yang telah begitu terkenal?

Jawabannya tentu tergantung pada segmen pasarnya. Di segmen bawah, sangat kentara bahwa nasi goreng, bubur ayam, atau bakmi ayam masih jauh lebih unggul daripada hamburger atau sushi karena segmen bawah masih lebih mengutamakan makanan berbasis nasi/mie atau yang harus dimakan sebagai lauk nasi. Lihat saja tenda bubur ayam Bang Tatang dan nasi uduk betawi Bang Udin yang begitu terkenal di daerah Rawa Belong, Palmerah, atau bebek goreng khas Surabaya yang sempat ngetren di Jakarta tahun lalu, seperti bebek goreng Joko Putro atau Bebek Ireng. Kepopuleran tempat-tempat makan itu nyaris mustahil dapat disaingi kuliner asing.

Sementara itu di segmen menengah, peta persaingannya dapat dikatakan seimbang. Masyarakat kelas menengah bisa memilih antara kuliner lokal dan kuliner mancanegara. Lihat saja di kawasan Kelapa Gading, berbagai macam masakan tradisional sampai masakan khas mancanegara tumplek menjadi satu di ruko-ruko sepanjang Boulevard Kelapa Gading. Restoran yang menyajikan makanan khas Aceh, Sunda, Palembang, Manado, atau Makasar bersebelahan dengan restoran yang menjual pizza, steak, sushi, atau bulgogi. Sedangkan di mal-mal, bertebaran cabang Sate Khas Senayan dan juga Kafe Betawi yang menyuguhkan kuliner lokal dengan kemasan yang lebih menarik.

Namun di segmen atas, kuliner asing boleh dikatakan mendominasi. Restoran-restoran fine dining hampir semuanya menyajikan kuliner mancanegara, baik itu dari Prancis, Italia, Jepang, atau pun dari bangsa-bangsa lain. Untunglah dalam beberapa tahun belakangan ini, mulai muncul restoran yang mengusung kuliner lokal dengan konsep fine dining, misalnya saja Kembang Goela, Lara Jonggrang, atau Warung Babah. Dengan desain menarik dan penyajian makanan yang menggugah selera, serta, tentu saja, harga premium, restoran yang demikian mampu bersaing dengan kuliner asing dan sekaligus memperkenalkan kuliner lokal ke dunia luar.

Bagaimana bisa bertahan?

Tak dapat dipungkiri, masyarakat kita tentu lebih akrab dengan kuliner lokal dan hal ini menjadi keunggulan yang sulit ditandingi oleh kuliner mancanegara. Tidak peduli masyarakat kelas bawah maupun kelas atas, makanan pokok orang Indonesia tetaplah nasi, bukan roti atau kentang.

Namun demikian, salah satu kelemahan kronis yang sering terjadi pada restoran yang menyajikan makanan lokal, adalah ketidakmampuannya menjaga mutu dan konsistensi rasa. Lihat saja Nasi Udang Bu Rudi yang begitu populer di Surabaya. Cabangnya di Kelapa Gading hanya mampu bertahan setahun karena kualitas makanannya jauh di bawah induknya di Surabaya. Ada pula restoran yang rasa makanannya berubah-ubah setiap kali dicoba. Kadang hambar, kadang terlalu asin. Jika kedua faktor ini dapat diperhatikan dan diatasi, tentu kuliner lokal akan semakin kuat pamornya.

Animo masyarakat akan perkembangan dunia kuliner juga turut mempengaruhi apresiasi terhadap kuliner lokal. Banyaknya acara-acara kuliner yang kini ditayangkan di televisi tentu sangat membantu dalam memperkenalkan kuliner lokal ke masyarakat. Banyaknya event kuliner yang sering diadakan di Jakarta, seperti Festival Jajanan Bango juga semakin memperkaya pengetahuan dan apresiasi akan kekayaan kuliner kita.

Kami berharap bahwa suatu saat kelak, kuliner lokal Indonesia dapat melebarkan sayapnya, sehingga tak hanya digemari di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri seperti halnya makanan Thai atau Jepang yang sudah dikenal luas masyarakat dunia.

Makanan tradisional merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat, baik kontribusinya dalam memberikan asupan gizi maupun peranannya sebagai bagian dari budaya masyarakat yang patut untuk dilestarikan. Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, memiliki berbagai macam makanan tradisional baik berbasis nabati maupun hewani.

Makanan fermentasi tradisional merupakan komoditas pangan yang ekonomis karena bersumber dari pangan lokal. Terlebih lagi makanan fermentasi tradisional ini memiliki arti penting dalam memperkuat jati diri bangsa, sebagai icon dan identitas  dari daerah tertentu, seperti tempe, semayi, dan cabuk dari Jawa Tengah, growol dan gathot dari Yogyakarta, tape Muntilan, brem padat Madiun, tempoyak dari Sumatra, dadih dari Sumatra Barat, bekasam dari Kalimantan, dan lain-lain. Selain meningkatkan aroma dan cita rasa, fermentasi tradisional ternyata juga berkontribusi bagi kesehatan seperti meningkatkan nilai gizi makanan, sumber probiotik dan prebiotik, dan memproduksi berbagai senyawa bioaktif yang menguntungkan.

Sate dan soto merupakan kuliner populer khas Indonesia yang telah mengakar dan dikenal di seluruh pelosok tanah air. Ragam sate Indonesia mencapai 85 resep yang merupakan kuliner khas dari 27 daerah di seluruh Indonesia. World Street Food Congress 2013 bahkan telah memilih sate ayam, soto ambengan, nasi kapo bukittinggi, nasi campur bali Made Weti masuk sebagai kategori 20 besar makanan ternikmat di Asia. Kelengkapan makan sate tidak hanya dibakar bersama bumbu saja, tetapi juga disertai irisan bawang merah, kubis, cabai, tomat, kecap, saus kacang, dengan bumbunya yang gurih, semua tertulis lengkap termasuk resepnya di dalam buku ini.

Soto merupakan masakan berkuah berbasis kaldu asli Indonesia karena bumbunya yang terdiri atas rempah-rempah khas negeri ini. Nasi soto merajai makanan pinggir jalan yang tidak sepi peminat karena praktis, selalu disajikan hangat sekaligus gurih dan segar oleh sambal dan perasan jeruk nipis. Beragam variasi soto menyebabkan orang tidak pernah bosan untuk mencicipinya. Mulai soto padang, soto medan, tekwan, soto betawi, soto bandung, soto semarang, tauto pekalongan, sroto sokaraja, soto kadipiro, soto ambengan, soto kudus, sampai coto makasar hingga 49 resep soto dari seluruh Indonesia dijelaskan di dalam buku ini. Demikianlah semua kenikmatan di bumi Indonesia telah tersaji di depan pembaca.

Makanan tradisional yang kurang populer di lingkungan masyarakat

BPNB DIY, September 2018 – Kita sudah tidak mungkin lagi menghambat laju modernitas, yang kita bisa lakukan sekarang adalah mencoba bersahabat dan sejalan dengannya, namun tanpa meninggalkan identitas kita sebagai bangsa yang berbudaya. Makanan tradisional yang mulai ditinggalkan atau tidak dikenal dan digemari lagi, khususnya oleh para generasi muda, menjadi permasalahan yang menarik untuk diperhatikan. Pengenalan makanan tradisional kepada generasi muda diharapkan dapat menjadi penguatan identitas budaya lokal. Oleh karena itu, kegiatan Festival Makanan Tradisional DIY Tahun 2018 perlu diselenggarakan, dan pada kali ini dilaksanakan di pusat perbelanjaan modern/mal di Jogja City Mall. Hal ini menjadi pilihan BPNB DIY agar dapat mengenalkan makanan tradisional dalam bingkai kekinian, diselenggarakan di mall, di tempat yang kekinian di mana banyak anak muda yang datang, dan bila tidak mengunjungipun setidaknya mereka sedikit bertanya dalam hati, “ada acara apa sih itu..?”, di mana hal ini dapat memicu ketertarikan yang bertahap untuk berkunjung ke acara festival kuliner tersebut.

Dewasa ini, pengaruh modernitas makin melingkupi banyak hal dalam kehidupan. Dari mulai kita bangun tidur hingga kita tidur kembali, tidak ada hal yang tidak kita lakukan tanpa adanya pengaruh modernitas yang ada. Termasuk pula di dalam hal makanan. Makanan modern yang cepat dibuat dan cepat disajikan begitu banyak dan mudah kita dapatkan di banyak tempat seperti kafe, restoran, maupun di pusat-pusat perbelanjaan seperti mal. Makanannya modern, tempatnya pun juga di mal yang sudah pasti modern. Makanan dari negara lain seperti negara-negara di amerika, eropa, maupun negara tetangga seperti asia sudah sangat mudah kita dapatkan di mal. Mengeja namanya saja mungkin agak sulit, namun sudah menjadi tren zaman sekarang untuk tau agar dianggap kekinian oleh khalayak baik tua maupun muda. Untuk itu, agar dapat memberikan edukasi kepada masyarakat umum dan generasi muda pada khususnya dalam waktu yang bersamaan, maka festival ini diadakan di mal, agar kelak makanan tradisional dapat bersanding dengan makanan-makanan dari luar negeri, dan menjadi tren di berbagai kalangan di Indonesia, atau bahkan dunia.

Makanan tradisional Indonesia, banyak memiliki nilai filosofi di dalamnya, baik dari muasal pembuatan maupun makna dan sifatnya yang bersahabat dengan alam, didapat dari hasil alam, diperuntukkan bagi keberlangsungan alam, dan kembali lagi pada alam. Seperti di daerah Gunungkidul di mana ketersediaan singkong/ketela yang melimpah, dengan kearifan lokal masyarakatnya, bahan alam tersebut diolah menjadi berbagai jenis makanan untuk menjaga ketahanan pangan mereka sehingga tidak terlalu bergantung pada beras, hal ini dikarenakan oleh kondisi alamnya yang hingga pada saat ini kurang memungkinkan untuk memproduksi beras dengan jumlah yang banyak. Atau mungkin seperti di daerah Papua dan Maluku, di mana sagu melimpah, mereka mengolahnya menjadi makanan pokok dalam bentuk papeda.

Hal tersebut di atas baru dari satu sisi, sisi lainnya adalah banyak makanan tradisional yang memiliki makna filosofi kehidupan, seperti misalnya sayur lodeh, yang pada intinya memiliki makna menolak bala, yang semua itu terangkum dari bahan-bahan dalam sayur lodeh yang terdiri dari 12 bahan penyusun di mana dapat dimaknai 1+2 = 3, angka 3 dapat bermakna sebuah usaha untuk meraih kehidupan yang sejahtera dari modal yang diberi Tuhan YME yaitu cipta, rasa dan karsa. Kemudian dari bahan intinya yaitu labu yang dalam bahasa Jawa disebut waluh, “wal” bermakna membuang, dan “luh” bermakna air mata, yang memiliki pengharapan agar jauh dari kesedihan atau bala (kesialan/malapetaka/kemalangan), sehingga sayur lodeh memiliki makna manusia harus berusaha untuk keberlangsungan hidup di alam dan berharap hal buruk/sial dapat dibuang, namun tetap semuanya kembali kepada kehendak Tuhan YME di mana kita tetap harus bersyukur yang diwujudkan dalam penggunaan bahan alam yang sudah diberikan Tuhan menjadi sebuah bentuk makanan yang lezat dan dapat berguna bagi kita hambanya.

Mungkin sebagian atau banyak orang mengatakan itu hanya ilmu “gotak gatik gatuk” orang Jawa saja, hanya “ngepas-ngepasin”, namun dibalik itu semua, hal tersebut sebenarnya adalah bentuk pengharapan atau doa yang diwujudkan dalam penerapan di kehidupan sehari-hari, bahkan hingga dalam proses pembuatan makanan, karena dahulu pada umumnya Masyarakat Jawa mampu dan terbiasa membaca gejala-gejala yang ada di alam (tanda/pertanda) hingga menjadi hafal karena mempelajari/mencermati kejadian yang berulang secara terus menerus (“titen” (kata dasar) / “niteni” (kata kerja) dalam bahasa Jawa) dan bermuara menjadi pedoman mereka dalam menjalani kehidupan yang serasi dan selaras dengan alam. Hal tersebut baru dari Suku Jawa, belum lagi dari suku-suku lain yang ada banyak di Indonesia yang sudah barang tentu memiliki banyak budaya maupun tradisi, khususnya dalam hal makanan, yang tidak menutup kemungkinan juga memiliki banyak filosofi kehidupan di dalam proses pembuatannya hingga sampai menjadi makanan.

Kegiatan Festival Makanan Tradisional DIY Tahun 2018 ini dibuka secara resmi oleh Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi, Dra. Christriyati Ariani, M.Hum., yang juga menyampaikan bahwa pada makanan tradisional banyak nilai kehidupan yang dapat diambil, salah satunya adalah tersiratnya keseimbangan manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan berujung pada manusia dengan Tuhannya. Hadir dan turut pula memberi sambutan beliau Wakil Kepala Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Singgih Raharjo, S.H., M.Ed., yang turut menyampaikan perlunya makanan tradisional mendapatkan tempat termasuk misal apabila rapat diadakan menjadi salah satu makanan sajiannya, beliau juga mengingatkan perlunya sinergi seluruh pihak agar makanan tradisional menjadi terkenal setidaknya di tingkat ASEAN.

Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) D.I. Yogyakarta, Dra. Zaimul Azzah, MHum., sebagai penanggung jawab Festival Kuliner Makanan Tradisional juga menyampaikan pentingnya makanan tradisional diberikan tempat untuk tampil di tempat-tempat yang strategis seperti mal, agar keberadaannya semakin dikenal dengan harapan agar tetap ada dan kelak dapat mendunia, seperti misal rendang yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat dari negara luar. Kegiatan ini diikuti oleh peserta dari 5 daerah Kabupaten dan Kota di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang kesemuanya menyajikan makanan tradisional khas dan andalan daerah mereka masing-masing. Turut hadir dalam pembukaan para pejabat di lingkungan UPT Ditjen Kebudayaan wilayah DIY dan Jateng, Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi, Prof. Dr. Ir. Umar Santoso, M.Sc., serta masyarakat umum lintas generasi. Pada malam pembukaan kemarin malam, acara turut dimeriahkan oleh Sanggar Pringgondani yang menyajikan gending Jawa dengan perangkat gamelannya, yang mampu menarik perhatian pengunjung yang datang ke Jogja City Mall pada malam tadi. Kegiatan ini akan berlangsung hingga hari Jumat tanggal 28 September 2018, yang juga akan menyajikan talkshow, bazar, serta pertunjukan kesenian tradisional serta pameran BPNB D.I. Yogyakarta. Masyarakat umum yang hadir boleh mencicipi makanan dan sangat boleh untuk membeli makanan tradisional yang ditampilkan pada bazaar.

Mari bersama kita lestarikan makanan tradisional agar keberlangsungannya akan selalu ada dan kelak akan mendunia. Cintailah budayamu.

#strategikebudayaan #pemajuankebudayaan #budayasaya Lestari Budayaku Lestari Negeriku, Salam Budaya ??

(bpw)