Konflik yang terjadi di Indonesia tahun 1948 sampai 1965

Pergolakan dan konflik di Indonesia tahun 1948-1965 - Alangkah hebatnya bangsa kita sebenarnya. Indonesia adalah negeri yang terdiri atas 17.500 pulau, lebih dari 300 kelompok etnik, 1.340 suku bangsa, 6 agama resmi dan belum termasuk beragam aliran kepercayaan, serta 737 bahasa. Kita harus bersyukur kepada Tuhan YME, atas keberuntungan bangsa kita yang hingga kini tetap bersatu dalam keberagaman, meskipun berbagai kasus konflik dan pergolakan sempat berlangsung di masyarakat.

Dalam sejarah republik ini, konflik dan pergolakan dalam skala yang lebih besar bahkan pernah terjadi. Bila sudah begitu, lantas siapa pihak yang paling dirugikan ? Tak lain adalah rakyat, bangsa kita sendiri. Karenanya dalam bab berikut ini akan kamu pelajari beberapa pergolakan besar yang pernah berlangsung di dalam negeri akibat ketegangan politik selama rentang tahun 1948 -1965.

Tahun 1948 ditandai dengan pecahnya pemberontakan besar pertama setelah Indonesia merdeka, yaitu pemberontakan PKI di Madiun. Sedangkan tahun 1965 merupakan tahun di mana berlangsung peristiwa G30S/PKI yang berusaha merebut kekuasaan dan mengganti ideologi Pancasila.

Mengapa penting hal ini kita kaji, tak lain agar kita dapat menarik hikmah dan tragedi seperti itu tak terulang kembali pada masa kini. Di dinilah pentingnya kita mempelajari sejarah. Sejarah pergolakan dan konflik yang terjadi di Indonesia selama masa tahun 1948 - 1965 dalam bab ini akan dibagi ke dalam tiga bentuk pergolakan :

Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan PKI Madiun pemberontakan DI/TII, dan peristiwa G30S/PKI. Ideologi yang diusung oleh PKI tentu saja komunisme, sedangkan pemberontakan DI/TII berlangsung dengan membawa ideologi agama.

Perlu kalian ketahui bahwa menurut Herbert Feith, seorang akademisi Australia, aliran politik besar yang terdapat di Indonesia pada masa setelah kemerdekaan [terutama dapat dilihat sejak Pemilu 1955] terbagi dalam lima kelompok : nasionalisme radikal [diwakili antara lain oleh PNI], Islam [NU dan Masyumi], komunis [PKI], sosialisme demokrat [Partai Sosial Indonesia atau PSI], dan tradisionalis Jawa [Partai Indonesia Raya/PIR, kelompok teosofis atau kebatinan, dan birokrat pemerintah atau pamong praja]. Pada masa itu kelompok-kelompok tersebut nyatanya memang saling bersaing dengan mengusung ideologi masing-masing.

Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan APRA, RMS, dan Andi Aziz. Vested Interest merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat pada suatu kelompok. Kelompok ini biasanya berusaha untuk mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan sendiri.

Mereka juga enggan untuk melepas posisi atau kedudukan yang diperolehnya sehingga sering menghalangi suatu proses perubahan. Baik APRA, RMS, dan Andi Aziz semuanya berhubungan dengan keberadaan pasukan KNIL atau Tentara Kerajaan [di] Hindia Belanda, yang tidak mau menerima kedatangan tentara Indonesia di wilayahawilayah yang sebelumnya mereka kuasai. Dalam situasi seperti ini, konflik pun terjadi.

Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan negara federal dan BFO [Bijeenkomst Federal Overleg], serta pemberontakan PRRI dan Permesta. Masalah yang berhubungan dengan negara federal mulai timbul ketika berdasarkan perjanjian Linggarjati, Indonesia disepakati akan berbentuk negara serikat atau federal dengan nama Republik Indonesia Serikat [RIS].

RI menjadi bagian RIS. Negara-negara federal lainnya misalnya adalah negara Pasudan, negara Madura, Negara Indonesia Timur. BFO sendiri adalah badan musyawarah negara-negara federal di luar RI yang dibentuk oleh Belanda.

Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun semakin lama badan ini makin bertindak netral, tidak lagi semata-mata memihak Belanda. Prokontra tentang negara-negara federal inilah yang kerap juga menimbulkan pertentangan.

Sedangkan pemberontakan PRRI dan Permesta merupakan perlawanan yang terjadi akibat adanya ketidakpuasan beberapa daerah di wilayah Indonesia terhadap kebijakan pemerintahan pusat, yang dinilai tidak adil dan semakin condong ke kiri [komunis].

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Lokasi:

Konsep Vested Interest atau kepentingan pribadi dalam konflik Sejarah Indonesia pada Revolusi Indonesia sampai Orde Lama yang mempunyai kepentingan yang mengakar dan tertanam kuat sekali adalah Agama dan Ideologi. Pemberontakan yang menjadi ancaman disintegrasi negara diantaranya:

  1. Pemberontakan PKI Madiun yang dipimpin oleh Muso yang bertujuan untuk mengubah ideologi negara Indonesia dengan paham komunis.
  2. Pemberontakan DI/TII yang berlangsung dibeberapa daerah di Indonesia, pemberontakan ini juga mengancam ideologi negara Indonesia karena pemberontakan ini bertujuan untuk mengubah hukum Pancasila dengan syariat Islam.
  3. Pemberontakan RMS [Republik Maluku Selatan], pemberontakan ini bertujuan untuk memisahkan diri dengan NKRI.
  4. Pemberontakan Andi Aziz dan APRA yang terjadi untuk mempertahankan negara federal di Indonesia dan enggan kembali ke dalam pangkuan NKRI.

Sehingga, konflik yang pernah terjadi di Indonesia sebagai pemberontakan vested interest sebagai bentuk ancaman disintegrasi bangsa adalah pemberontakan PKI Madiun, APRA, RMS, DI/TII, dan pemberontakan Andi Aziz.

tirto.id - Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi pernah terjadi di Indonesia selepas masa kemerdekaan. Contoh konflik ideologi yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu peristiwa PKI Madiun, peristiwa DI/TII, dan Gerakan 30 September 1965 [G30S/PKI].

Dalam konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi tersebut, ada yang berkaitan dengan ideologi yang dipegang oleh kelompok tertentu. Hal inilah yang menjadi latar belakang terjadinya konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi.

Pergolakan ini kadangkala disebut juga sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan Indonesia. Hal tersebut terjadi karena kelompok yang melakukan aksinya menginginkan Indonesia menjadi negara yang sejalan dengan menggunakan ideologi yang dipercayai kelompok tersebut.

Ideologi sendiri menurut KBBI bermakna kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat [kejadian] yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; cara berpikir seseorang atau suatu golongan; serta paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik.

Konflik Ideologi yang Pernah Terjadi di Indonesia

Berikut ini peristiwa konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi yang pernah terjadi di Indonesia.

PKI atau Partai Komunis Indonesia merupakan partai yang telah berdiri sejak zaman pergerakan nasional. Pada 1926, PKI pernah melakukan aksi pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Para pemimpin PKI ditangkap dan dipenjarakan.

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, PKI kembali hidup. Berdasarkan catatan Abdurakhman dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia [2015:9], PKI masih beriringan dengan pemerintah Indonesia karena anggota kelompoknya terlibat dalam pemerintahan.

Akan tetapi, mulai 1948, PKI mulai terlempar dari kedudukannya di pemerintahan sehingga menjadi partai oposisi. Mereka menggabungkan diri dengan partai-partai golongan kiri lainnya seperti Front Demokrasi Rakyat [FDR], Partai Sosialis Indonesia [PSI], Partai Buruh Indonesia [PBI], Pemuda Rakyat, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia [SOBSI].

Kelompok yang berafiliasi ini menginginkan Indonesia menjadi negara berideologi komunis. Awal September 1948, Muso yang memimpin PKI membawa kelompok tersebut melakukan pemberontakan di Madiun.

“Perebutan kekuasaan tersebut pada jam 07.00 pagi telah berhasil sepenuhnya menguasai Madiun. Pada pagi itu pasukan komunis dengan tanda merah mondar-mandir sepanjang jalan. Madiun dijadikan kubu pertahanan dan titik tolak untuk menguasai seluruh wilayah RI," ungkap Rachmat Susatyo melalui buku Pemberontakan PKI-Musso di Madiun [2008].

Peristiwa pergolakan dengan senjata ini puncaknya terjadi pada 18 September 1948. Kala itu, Muso memproklamasikan lahirnya negara Republik Soviet Indonesia.

Baca juga: Sejarah Peristiwa PKI Madiun 1948: Latar Belakang & Tujuan Musso

Gerakan ini dipelopori oleh Kartosuwiryo, seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia [PSII]. Perjanjian Renville dengan Belanda yang memaksa tentara RI di daerah Jawa Barat pergi, membuat Kartosuwiryo memutuskan mendirikan negara Islam.

Bersama pasukan bersenjata bernama Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwiryo membangun TII [Tentara Islam Indonesia]. Wilayah Jawa Barat yang tadinya dilindungi sebagai bagian RI, ingin dijadikan olehnya sebagai negara Islam. Akhinrya pada Agustus 1948, Kartosuwiryo mendeklarasikan pembentukan Darul Islam [negara Islam] dengan tentaranya yang bernama TII.

Ketika tentara Republik Indonesia kembali ke Jawa Barat, DI/TII tidak menerimanya. Dengan kata lain, Kartosuwiryo bersama kelompoknya tidak mengakui kedaulatan Indonesia yang kala itu Jawa Barat juga menjadi wilayahnya.

Ketegasan pemerintah Indonesia terhadap peristiwa ini pun terwujud dengan operasi “Pagar Betis". Tentara Indonesia mengadakan penyisiran terhadap kelompok Kartosuwiryo sehingga pergerakannya mulai terbatas. Bahkan, operasi ini berhasil membawa Kartosuwiryo ke dalam genggaman Indonesia dengna ditangkap pada 1962.

Gerakan DI/TII ini tidak hanya terjadi di wilayah Jawa Barat, namun juga di beberapa wilayah lain Indonesia. Daerah yang kala itu diklaim dimotori DI/TII meliputi Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh.

Baca juga: Sejarah Pemberontakan DI-TII Kartosoewirjo di Jawa Barat

  • Gerakan 30 September 1965 [G30S/PKI]

Peristiwa ini masih menimbulkan perdebatan terkait siapa yang memotorinya. Sebab ada banyak versi terkait peristiwa ini. Akan tetapi fakta yang terjadi kala itu PKI tengah dalam pertentangan dengan Angkatan Darat [AD] dan golongan anti PKI lain.

Situasi politik makin meruncing pada Juli 1965, Sukarno selaku presiden RI 'seumur hidup' jatuh sakit. Kala itu, ia didiagnosa akan lumpuh atau bahkan bisa meninggal. Isu ini memungkinkan bagi pihak berkepentingan untuk mengambilalih kekuasaan jika Sukarno benar-benar wafat.

Melalui rapat Politbiro PKI yang berlangsung dari Agustus hingga terakhir 28 September 1965, PKI memutuskan untuk mengambil 'tindakan'.

Pada 30 September 1965, beberapa pasukan PKI yang dipimpin Letnan Kolonel Untung, perwira yang memiliki hubungan baik dengan PKI, meluncurkan aksinya. Mereka menculik beberapa jenderal dan perwira--yang disebut Dewan Jenderal--dengan dalih untuk dihadapkan kepada Presiden Sukarno. Namun para jenderal yang diculik itu sebagian dibunuh saat diculik maupun di markas gerakan di Lubang Buata.

Jenazah mereka yang mati ditaruh di dalam sebuah sumur yang terletak di Lubang Buaya, Jakarta. Di antara jenderal dan perwira yang meninggal kala itu adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo, dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.

Selain itu, ada satu Jenderal yang lolos ketika hendak diculik saat itu, yakni Jenderal Abdul Haris Nasution. Bukan hanya orang-orang yang telah disebutkan meninggal di atas, namun di Yogyakarta Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono juga merasakan nasib yang sama.

Dengan tidak adanya pucuk pimpinan AD setelah Jenderal Ahmad Yani diketahui wafat, Mayor Jendral Soeharto akhirnya memutuskan untuk menggantikan posisinya. Di bawah kepemimpinannya, operasi penumpasan G30S/PKI pun diluncurkan mulai dari Jakarta hingga ke daerah lain.

Baca juga: Akhir Sejarah D.N. Aidit Ketua PKI Usai Peristiwa G30S 1965

Baca juga artikel terkait G30SPKI atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
[tirto.id - prd/isw]

Penulis: Yuda Prinada Editor: Iswara N Raditya Kontributor: Yuda Prinada

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan