Jelaskan yang dimaksud dengan tax Reform sebelum dan sesudahnya

Jelaskan yang dimaksud dengan tax Reform sebelum dan sesudahnya

“TUJUAN utama pembaharuan perpajakan nasional ini adalah untuk lebih menegakkan kemandirian kita dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mengerahkan lagi segenap kemampuan kita sendiri… Oleh karena itu, peningkatan penerimaan negara melalui perpajakan dari sumber-sumber di luar minyak bumi dan gas alam merupakan keharusan yang mutlak bagi berhasilnya pelaksanaan Repelita IV.”

Begitulah penggalan pidato kenegaraan Presiden Soeharto di depan sidang DPR pada 16 Agustus 1983, setahun sebelum dimulainya Era Pelita IV (1984-1989). Pesannya jelas. Reformasi pajak nasional dalam mengurangi ketergantungan penerimaan migas.

Sejak 1981, atau justru di tengah oil boom, pemerintah membentuk tim reformasi pajak dengan bantuan Harvard Institute for International Development (Gillis, 1985). Departemen Keuangan, di bawah komando Ali Wardhana, menyusun langkah antisipatif.

Terdapat empat tujuan dari reformasi pajak 1984. Pertama, meningkatkan tax ratio atas pajak nonmigas terhadap produk domestik bruto (PDB). Kedua, melakukan simplifikasi hukum pajak dan memperbaiki administrasi sistem pajak.

Ketiga, mengurangi distorsi ekonomi untuk memperbaiki proses akumulasi sumber daya. Keempat, memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak terutama kelompok bawah (Usman, 2004). Prinsipnya broad-based tax dan kesederhanaan.

Sebelum adanya reformasi pajak komprehensif ini, perubahan ketentuan pajak di Indonesia hanya bersifat tambal sulam dan bersifat minor. Artinya, belum pernah ada suatu perubahan struktural sistem pajak sejak Indonesia merdeka.

Ada lima undang-undang (UU) yang disahkan pada akhir periode Pelita III tersebut. Kelimanya adalah UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) serta UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Kemudian, ada UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN), UU Nomor 12 Tahun 1983 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB), serta UU Nomor 13 tentang Bea Materai (UU BM). Dengan kelima UU tersebut, rezim pajak warisan kolonial tinggal sejarah.

Reformasi ini telah mengubah postur fiskal Indonesia. Sebelum 1984, penerimaan pajak hanya mampu berkontribusi sebesar 24% terhadap total pendapatan dalam negeri. Pascareformasi pajak 1984, kontribusinya meningkat secara konsisten. Hal ini dikonfirmasi dengan kinerja tax ratio Indonesia sebelum dan sesudah reformasi pajak.

Jelaskan yang dimaksud dengan tax Reform sebelum dan sesudahnya

Reformasi pajak ini juga mengubah sistem official assessment – yang ditandai dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) Sementara pada awal tahun dan SKP Rampung pada akhir tahun – menuju sistem self assessment. Selain karena alasan efisiensi, self assessment system juga diharapkan mengurangi kontak langsung antara wajib pajak dan otoritas sehingga menghindari suap.

Satu hal yang pasti, reformasi pajak telah menyelamatkan kondisi fiskal Indonesia, terutama pada saat sektor migas tidak lagi bisa diharapkan sebagai penopang pendapatan negara. Reformasi pajak 1984 juga mengakibatkan perubahan atas struktur penerimaan perpajakan di Indonesia.

Pertama, meningkatnya peran PPN sebagai money machine. Berbeda dengan sistem pajak penjualan, PPN yang tidak mengakibatkan cascading effect dianggap lebih netral dan less distortive. Dengan demikian, pihak yang sebelumnya ‘bersembunyi’ dan tidak patuh di bawah rezim PPn, memiliki kesukarelaan untuk berpartisipasi.

Kedua, meningkatnya penerimaan dari PPh. Sistem PPh didesain lebih modern, adil, dan berkepastian hukum. Sebagai ilustrasi, tarif PPh disederhanakan dengan hanya tiga lapisan penghasilan.

Dari sisi administrasi pemungutan dan menjamin kepatuhan, pemerintah juga memperkenalkan adanya sistem pajak final dan mekanisme potong/pungut (withholding tax) yang pada 1990-an kembali diperluas (Bawazier dan Kadir, 2004).

Singkatnya, kontribusi PPh dan PPN meningkat drastis selama pemerintahan Presiden Soeharto. Selain diakibatkan oleh faktor sistem perpajakan yang semakin modern, pengaruh pertumbuhan ekonomi yang tingi, kemiskinan yang menurun, dan pendapatan perkapita yang naik, transformasi struktur ekonomi dari sektor tradisional ke modern (manufaktur dan jasa-jasa) juga berperan penting.

Jelaskan yang dimaksud dengan tax Reform sebelum dan sesudahnya

Namun demikian, periode 1984-1997 ini juga tidak lepas dari sekelumit permasalahan. Pertama, partisipasi dan kepatuhan wajib pajak. Pada 1983 tercatat hanya ada 327,500 wajib pajak pribadi dan 83,600 wajib pajak badan yang terdaftar. Setelah reformasi pajak, pada 1986, angkanya meningkat hingga mencapai 643.000 dan 157.600 (Woo, Glassburner dan Nasution, 1994).

Sayangnya, jumlah ini masih sangat minim dan belum optimal hingga akhir kepemimpinan Presiden Soeharto. Terlebih, jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja di Indonesia pada periode yang sama.

Dari jumlah tersebut, tidak seluruhnya juga menyampaikan SPT secara patuh. Contohnya saja, pada 1991, hanya sekitar 78% wajib pajak orang pribadi dan dan 84% wajib pajak badan yang melaporkan SPT-nya.

Kedua, persoalan administrasi pajak. Reformasi pajak 1984 dirasa masih menyisakan persoalan, terutama karena belum menyentuh aspek administrasi (World Bank, 1992). Korupsi masih merajalela dan keuangan negara belum dikelola secara transparan.

Upaya mengurangi korupsi melalui peningkatan kompensasi pegawai pemerintah juga tidak sepenuhnya berhasil. Sebagai informasi, pada 1993 terdapat kenaikan upah sebesar 11—18%.

Di sisi lain, ada persoalan kuantitas dan kualitas pegawai otoritas pajak. Keterbatasan jumlah pemeriksa pajak, kurangnya pengawasan, serta belum adanya program pelatihan yang sistematis dan berdurasi panjang berdampak serius (Mansury, 1992).

Penerapan hukum pajak yang multi-interpretasi telah menimbulkan ketidakpastian. Keterbatasan personel telah mendorong pelayanan bagi wajib pajak yang berskala besar dan ‘itu-itu saja’. Otoritas pajak juga lebih fokus pada upaya memeriksa klaim restitusi pajak dalam rangka mengamankan penerimaan. (Heij, 1993).

Ketiga, dukungan politik. Upaya meningkatkan peran pajak dalam pembangunan telah menjadi agenda nasional, tapi tidak mendapatkan dukungan penuh secara politik (Booth, 1992). Pegawai otoritas pajak tidak mendapatkan dukungan morel.

Situasi ekonomi politik kala itu juga sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Jauh dari budaya integritas. Tidak adanya tekanan politik juga tidak mampu mendorong budaya sadar pajak di kalangan masyarakat.

Keempat, pengaruh situasi perekonomian dunia. Demam deregulasi dan liberalisasi adalah jurus kebijakan ekonomi di banyak negara pada periode 1980-an. Tujuannya untuk meningkatkan kesempatan dan insentif kerja, mendorong pertumbuhan, mobilisasi dana masyarakat melalui lembaga keuangan dan pasar modal, serta mengalokasikan sumber ekonomi yang lebih efisien.

Dalam konteks pajak, hal tersebut juga turut mendorong adanya penurunan tarif tertinggi pajak penghasilan (1995), peningkatan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp4,32 juta per tahun (1990), perbedaan tarif bagi penghasilan yang berasal dari modal, dan sebagainya.

Tidak hanya itu, aspek pajak internasional juga telah mendorong berbagai penandatanganan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Indonesia juga salah satu negara pionir yang memiliki ketentuan transfer pricing.

Pada era Presiden Soeharto, sejatinya telah diletakkan prinsip-prinsip sistem pajak modern. Hal tersebut meningkatkan kinerja kontribusinya bagi pembangunan negara. Sayangnya, hal tersebut masih belum optimal. Salah satunya dikarenakan format APBN yang mengkategorikan pinjaman luar negeri sebagai pendapatan dan bukan sebagai alat pembiayaan defisit anggaran.

Komponen pinjaman tersebut agaknya ‘meninabobokkan’ pemerintah karena dapat menutupi rendahnya (urgensi) kinerja penerimaan pajak. Format APBN inilah yang nantinya dimodifikasi di masa reformasi. Kondisi pada masa reformasi akan dibahas dalam artikel analisis seri selanjutnya.

Sebagai informasi, artikel ini merupakan seri keempat dari analisis dengan topik “Peran Pajak dalam Pembangunan dari Masa ke Masa” yang dirilis DDTC Fiscal Research bersamaan dengan momentum HUT ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Artikel ini merupakan kelanjutan dari seri sebelumnya yang mengulas kondisi pada era awal kepemimpinan Presiden Soeharto (1967—1983). Secara total, artikel analisis akan terdiri atas tujuh seri yang akan dipublikasikan setiap harinya mulai Senin (17/8/2020) hingga Minggu (23/8/2020). Jadi, jangan lewatkan analisis seri selanjutnya.

Reformasi perpajakan adalah perubahan sistem perpajakan secara signifikan dan komprehensif yang mencakup pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi perpajakan, dan peningkatan basis pajak.[1] Bentuk pelaksanaannya dapat bervariasi tergantung pada kondisi yang dihadapi, termasuk menambah atau mengurangi tarif pajak, mengubah lapisan penghasilan kena pajak, mengubah ambang batas Penghasilan Kena Pajak (PKP), mengubah dasar pengenaan pajak, memberlakukan pajak-pajak baru dan menghapus pajak-pajak lama, mengubah komposisi penerimaan pajak maupun melakukan perubahan mendasar terhadap praktik-praktik dan prosedur administratif perpajakan.[2]

Pada dekade 1980-an, di seluruh dunia terjadi reformasi pajak yang hampir universal. Pada periode tersebut, hampir semua negara di Eropa Barat melakukan reformasi pajak. Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan Akta Reformasi Pajak (Tax Reform Act) pada tahun 1986. Di Kanada diberlakukan pajak pertambahan nilai (goods and services tax). New Zealand merevisi struktur pajaknya secara mendasar. Australia melakukan perubahan substansial undang-undang pajaknya. Jepang juga melakukan reformasi pajak.[2]

Salah satu alasan terpenting dilakukannya reformasi pajak di banyak negara-negara berkembang adalah untuk mengubah sistem perpajakan agar memenuhi persyaratan ekonomi pasar dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan bersaing secara internasional.[3]

Di Indonesia, reformasi perpajakan mulai dilakukan pada akhir tahun 1983.[4], dengan keluarnya lima undang-undang perpajakan baru. Hal itu dilakukan karena undang-undang yang berlaku sebelumnya dibuat oleh pemerintah Kolonial Belanda dan dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Kelima undang-undang itu adalah:

  • Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  • UU No 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh)
  • UU No 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
  • UU No 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
  • UU No 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.

Pada tahun 1997 dikeluarkan beberapa UU baru untuk melengkapi UU yang telah ada, yaitu UU No 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, UU No 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU No 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, UU No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan UU No 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Salah satu masalah terbesar yang dihadapi Indonesia adalah penerimaan negara yang masih sangat tergantung dari sektor migas. Selain itu kecilnya tingkat penerimaan pajak dan rasio pajak dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan G20 lainnya. Oleh karena itu Pemerintah berupaya untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.

Pada akhir tahun 2016, Pemerintah Indonesia mengukuhkan program reformasi perpajakan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 885/KMK.03/2016 tanggal 9 Desember 2016 tentang Pembentukan Tim Reformasi Perpajakan.[5]

  1. ^ Satya, p. 14-15.
  2. ^ a b Yukinobu, p. 1.
  3. ^ Rao, p. 59.
  4. ^ Suhardjito, p. 30-31.
  5. ^ SK Menkeu No.885/KMK.03/2016, p. 1.

  • Satya, Venti Eka (Juni 2017). "Optimalisasi Penerimaan Pajak melalui Reformasi Pajak" (PDF). Majalah Info Singkat Ekonomi dan Kebijakan Publik. Vol. IX no. 12. Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. hlm. 13–16. ISSN 2088-2351. Diakses tanggal 15 November 2017. 
  • Yukinobu, Kitamura, "Microeconomics of Taxation, Chapter 8: Tax Reform" (PDF), Kitamura Yukinobu Lecture Note, Keio University (The Joint Japan/World Bank Graduate Scholarship Program), Keio University, hlm. 1–26 
  • Rao, M.Govinda (Desember 2010). "Tax Reform in India: Achievements and Challenges" (PDF). Asia-Pacific Development Journal. 7 (2): 59–74. 
  • Suhardjito. "Reformasi Perpajakan Dalam Rangka Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak, Tata Kelola yang Baik serta Kemandirian Bangsa" (PDF). Lembaran Publikasi Ilmiah Pusdiklat Migas. 13 (3): 30–39. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-10-13. Diakses tanggal 2017-11-16. 
  • "Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 885/KMK.03/2016 tanggal 9 Desember 2016 tentang Pembentukan Tim Reformasi Perpajakan" (PDF). Website Ditjen Pajak, Kemenkeu RI. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-06-28. Diakses tanggal 15 November 2017. 

  • Subeno, Bambang Tri (30 Mei 2017). Reformasi Perpajakan, Rasio Pajak, dan Pembangunan Diarsipkan 2017-11-15 di Wayback Machine.. Website Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia
  • Administrator (1 Mei 2017). Reformasi Perpajakan: Memaksimalkan Potensi Pajak Indonesia dengan AEOI Diarsipkan 2017-11-15 di Wayback Machine.. Website BEM KEMA FEB Universitas Padjadjaran
  • Arifin, Gusfahmi (20 Desember 2016). Perlunya Reformasi Pajak Diarsipkan 2017-11-16 di Wayback Machine.. Website Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Reformasi_perpajakan&oldid=18400652"