tirto.id - Pada 4 Oktober 1963, Gatot Mangkoepradja meninggal dunia. Pada batu nisannya di kompleks pemakaman umum Sirnaraga, Kota Bandung, terukir logo berupa topi baja dalam naungan padi dan kapas. Ada tulisan PETA di situ, diikuti dengan barisan kata selanjutnya: Perintis Kemerdekaan RI Bapak Pendiri Tentara Sukarela Pembela Tanah Air Gatot Mangkoepradja adalah orang yang paling bertanggungjawab atas lahirnya pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Organ paramiliter bentukan Jepang yang terdiri dari kaum muda Indonesia ini dibentuk atas usulannya pada 3 Oktober 1943, tepat hari ini 75 tahun lalu.Pembentukan PETA berawal dari surat Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan, pemimpin tertinggi pemerintahan militer Dai Nippon yang berkedudukan di Jakarta. Dalam surat itu, ia memohon agar Jepang membentuk barisan pemuda lokal untuk membela tanah air dari ancaman Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya.Permintaan Gatot Mangkoepradja dipenuhi yang kemudian melahirkan PETA. Nantinya, kaum prajurit jebolan PETA inilah yang menjadi salah satu pilar utama terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah Indonesia merdeka. TKR adalah cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Surat Gatot MangkoepradjaDalam suratnya kepada Gunseikan, Gatot Mangkoepradja mula-mula menghaturkan terima kasihnya kepada pasukan Dai Nippon yang telah mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Dengan pertolongan Jepang, tulisnya, rakyat Indonesia terbebas dari cengkeraman Belanda dan bangsa-bangsa Barat lainnya yang telah berkuasa selama berabad-abad."Rakyat Indonesia sekarang sudah insyaf dan sudah hidup semangatnya untuk bekerja memperkuat garis belakang dari Perang Asia Timur Raya ini," sebutnya seperti tercantum dalam Surat Gatot Mangkoepradja Dipersembahkan ke Hadapan Padoeka Jang Moelja Tuan Gunseikan di Djakarta (1943). Gatot Mangkoepradja merasa bahwa inilah saatnya rakyat Indonesia memberikan sumbangsih untuk membela tanah air, dengan cara membantu Jepang dalam menghadapi Inggris, Amerika, dan sekutu-sekutunya, termasuk Belanda.“Bahwa hamba sampai mengharapkan, bangsa Indonesia bukan saja tinggal di belakang dan memperkuat garis belakang, akan tetapi juga turut terjun ke medan perang, ikut melawan dan meruntuhkan kekuasaan Inggris, Amerika, dan sekutunya,” lanjut Gatot Mangkoepradja dalam suratnya itu.“Bahwa boleh jadi pada masa sekarang bangsa Indonesia tentu belum cukup cerdas dan tangkas untuk bertempur di garis muka. Akan tetapi, hamba percaya dan yakin, bahwa di bawah pimpinan balatentara Dai Nippon, bangsa Indonesia tentu akan cakap menjaga dan membela Pulau Jawa (Indonesia).”“Bahwa sekarang, menurut penglihatan hamba, semangat untuk menggerakkan diri dalam suatu ‘Barisan Pemuda’ sudah timbul di dalam hati sanubari bangsa Indonesia. Bahwa semangat ini, di bawah pemeliharaan dari pemerintah balatentara Dai Nippon, tentu akan hidup”. Gatot Mangkoepradja memungkasi suratnya dengan mengajukan permohonan serius:“[…] maka hamba sangat memohon ke hadapan Paduka Yang Mulia (Gunseikan) sudilah kiranya memberi kesempatan kepada hamba untuk menyusun barisan pembela itu di bawah pimpinan balatentara Dai Nippon yang sungguh-sungguh hendak turut membela dan mempertahankan kedudukan dan keselamatan Pulau Jawa dan penduduknya.”Dalam riwayat perjuangan bangsa Indonesia, Gatot Mangkoepradja bukan orang sembarangan kendati pamornya kurang mengkilap ketimbang tokoh-tokoh nasional lainnya macam Sukarno atau Mohammad Hatta. Tokoh kelahiran Sumedang ini sudah terlibat dalam pergerakan nasional sejak usia remaja. Saat berumur 17, Gatot menempati posisi penting dalam perkumpulan Bond van Inheemsche Studeerenden yang nantinya menjadi salah satu unsur penting dalam terbentuknya Jong Java.Gatot Mangkoepradja termasuk tokoh pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927 di Bandung. Dan bersama Sukarno serta sejumlah tokoh lainnya, ia ditangkap aparat Hindia Belanda di Yogyakarta, kemudian dijebloskan ke penjara di Bandung, yang berujung dalam momen “Indonesia Menggugat” tahun 1929.Kendati tidak selalu sepakat dengan gaya main Sukarno, namun Gatot Mangkoepradja tetap menjadi pendukung setia karibnya itu hingga akhir hayat.Bumerang untuk JepangAtas usulan Gatot Mangkoepradja itulah Jepang lalu membentuk PETA secara resmi pada 3 Oktober 1943. Jepang sejatinya telah menunggu saat-saat seperti ini. Menurut Nugroho Notosusanto dalam Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia (1979), prakarsa untuk membentuk pasukan tambahan—yang terdiri dari orang-orang lokal—memang harus datang dari seorang pemimpin Indonesia (hlm. 69).Ternyata banyak pemuda yang berminat. Beruntunglah Gatot lantaran perkiraannya tepat. Anak-anak muda dari berbagai daerah, seperti diungkapkannya dalam The Peta and My Relations with the Japanese (1968), ingin menjadi bagian dari pasukan pembela tanah air yang digagasnya itu (hlm. 115). Jepang lalu mendirikan pusat pelatihan militer di Bogor, yang kemudian didatangi para pemuda dari berbagai daerah. Selain itu, pemerintah Dai Nippon rupanya cukup piawai mengambil hati rakyat Indonesia. Tagline “Indonesia akan merdeka” dijadikan jargon resmi PETA yang membuat kaum pemuda semakin bersemangat untuk bergabung. PETA membesar dalam waktu yang relatif singkat, meski kebanyakan anggotanya tidak punya pengalaman dan kemampuan militer. Dalam The Blue-Eyed Enemy: Japan Against the West in Java and Luzon 1942-1945 (2014), Theodore Friend mengungkapkan, anggota PETA pernah mencapai jumlah 38 ribu orang dengan 69 batalyon. Jumlah ini 4 kali lebih banyak dari kekuatan tempur Jepang di negaranya (hlm. 170). Surat kepada Gunseikan barangkali sempat menjadi cibiran karena isinya yang memuji-muji Jepang dan bahkan terkesan menjilat. Namun, melihat kiprahnya selama pergerakan nasional, Gatot Mangkoepradja bukan tipikal orang yang tega “menjual” bangsanya. Ia tentunya punya pemikiran—atau setidaknya perkiraan—bahwa PETA nantinya akan amat berguna bagi perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.Prediksi Gatot rupanya tepat. PETA justru menjadi bumerang bagi Jepang saat perannya sangat dibutuhkan. Beberapa kali terjadi perlawanan anggota PETA terhadap Jepang di sejumlah daerah, termasuk di Blitar pada Februari 1945, di Cilacap pada April 1945, dan di Bandung pada Mei 1945.Setelah proklamasi Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, PETA menjadi salah satu unsur penting dalam terbentuknya TKR, angkatan perang RI embrio TNI. Para mantan anggota PETA pun nantinya banyak yang menjadi tokoh militer terkemuka dalam riwayat ketentaraan nasional, salah seorang yang paling melegenda adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman.Berkat usul Gatot Mangkoepradja yang terkesan pragmatis itu, lahirlah PETA. Dari situlah TKR kemudian terbentuk dan akhirnya menjadi TNI. Maka tidak berlebihan jika gelar Bapak Pembela Tanah Air disematkan kepada Gatot Mangkoepradja walaupun ia tidak menyandang ketenaran layaknya Pahlawan Nasional. Gatot punya cara sendiri untuk membela tanah airnya.==========Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 3 Oktober 2017 dengan judul "Cara Membela Tanah Air Ala Gatot Mangkoepradja". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik. Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (郷土防衛義勇軍, Kyōdo Bōei Giyūgun) atau Pembela Tanah Air (PETA) adalah satuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia pada masa pendudukan Jepang. PETA dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 sebagai tentara sukarela berdasarkan maklumat Osamu Seirei No. 44 yang diumumkan oleh Panglima Angkatan Darat Ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada. Pelatihan pasukan PETA dipusatkan di kompleks militer di Bogor.
Tentara PETA telah berperan besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh nasional yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Jenderal Besar TNI Soeharto dan Jenderal Besar TNI Soedirman. Veteran tentara PETA telah menentukan perkembangan dan evolusi militer Indonesia, mulai dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI), hingga akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karena hal ini, PETA dianggap sebagai salah satu cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia. Mars PETA dalam pembukaan video propaganda Jepang yang diproduksi oleh Keimin Bunka Shidosho (Lembaga Kebudayaan Jepang di Indonesia) Pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkoepradja kepada pemerintahan militer Jepang (軍政官, Gunseikan) pada bulan September 1943, yang salah satu isinya berupa permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat bahwa hal ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Pendapat ini ada benarnya karena sebagaimana berita yang dimuat pada koran "Asia Raya" pada tanggal 13 September 1943, terdapat usulan dari sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, K.H. Adnan, Dr. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid, K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar, dan H. Mohammad Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa.[1] Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama dalam rangka pembentukan satuan ini. Pengusulan oleh golongan agama ini dianggap bertujuan untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) dengan bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam). PemberontakanPada tanggal 14 Februari 1945, pasukan PETA di Blitar di bawah pimpinan Soeprijadi melakukan sebuah pemberontakan. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan dengan memanfaatkan pasukan pribumi yang tak terlibat pemberontakan, baik dari satuan PETA sendiri maupun dari Heiho. Soeprijadi dinyatakan hilang dalam peristiwa ini, sedangkan pimpinan lapangan, Muradi, ikut tertangkap bersama pasukannya. Para pelaku pemberontakan mendapatkan penyiksaan selama penahanan oleh Kempetai,[butuh rujukan] kemudian delapan orang dijatuhi hukuman mati dengan dipancung, sesuai dengan hukum militer yang berlaku. Hukuman dilaksanakan di Eereveld (sekarang pantai Ancol) pada tanggal 16 Mei 1945. PembubaranPada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan Blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan senjata mereka, dan sebagian besar mematuhinya. Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini daripada mengubah PETA menjadi tentara nasional. Hal ini dilakukan untuk menghindari potensi adanya tuduhan dari Blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang karena ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini dilanjutkan.[2][3][4] Sehari kemudian, pada tanggal 19 Agustus 1945, Panglima Angkatan Darat Ke-16 di Jawa, Letnan Jenderal Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan kepada para anggota PETA. Pemuda Indonesia dalam pelatihan di Seinen Dojo yang kemudian menjadi anggota PETA Tentara mantan personel PETA turut menjadi komponen militer Indonesia selama masa perang kemerdekaan. Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), mulai sejak dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI), hingga akhirnya menjadi TNI. Untuk mengenang perjuangan tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995, diresmikan monumen PETA yang terletak di Bogor, bekas markas besar PETA. Unit-unit PETA dibentuk dalam satuan setingkat batalion yang disebut daidan (大団). Dua hingga lima batalion ditempatkan pada satu keresidenan di bawah komando tentara Jepang setempat. Setiap batalion dipimpin seorang komandan batalion (大団長, daidanchō), dan dibagi menjadi satuan-satuan yang lebih kecil yang, secara berurutan dari yang paling besar hingga yang paling kecil, masing-masing dipimpin oleh komandan kompi (中団長, chūdanchō), komandan peleton (小団長, shōdanchō), dan komandan regu (部団長, budanchō). Para perwira ini dilatih di kompleks militer di Bogor yang diberi nama Jawa Bōei Giyūgun Kanbu Renseitai (ジャワ防衛義勇軍幹部錬成隊, 'Unit Pelatihan Kadet Tentara Sukarela Pertahanan Jawa'). Setelah menuntaskan pendidikan, mereka ditempatkan di berbagai daerah dan bertugas merekrut serta melatih pemuda setempat untuk menjadi prajurit (義勇兵, giyūhei, 'tentara sukarela').[5]
Beberapa tokoh Indonesia yang merupakan lulusan PETA antara lain:
Page 218 Desember adalah hari ke-352 (hari ke-353 dalam tahun kabisat) dalam kalender Gregorian dengan 13 hari menjelang akhir tahun.
17 Desember - 18 Desember - 19 Desember - Kalender Peristiwa
|