Jelaskan dampak penggunaan pestisida pada hewan

Selama ini, kita mengetahui bahwa pestisida sangat berguna dalam membantu petani merawat pertaniannya. Pestisida dapat mencegah lahan pertanian dari serangan hama. Hal ini berarti jika para petani menggunakan pestisida, hasil pertaniannya akan meningkat dan akan membuat hidup para petani menjadi semakin sejahtera. Pada umumnya pestisida digunakan di hampir setiap lahan pertanian. Sesuai konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), penggunaan pestisida ditujukan bukan untuk memberantas atau membunuh hama, namun lebih dititiberatkan untuk mengendalikan hama sedemikian rupa hingga berada dibawah batas ambang ekonomi atau ambang kendali.

PERATURAN PEMERINTAH NO. 7 TAHUN 1973

     Untuk melindungi keselamatan manusia dan sumber-sumber kekayaan alam khususnya kekayaan alam hayati, dan supaya pestisida dapat digunakan efektif, maka peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973. Dalam peraturan tersebut antara lain ditentukan bahwa:

Tiap pestisida harus didaftarkan kepada Menteri Pertanian melalui Komisi Pestisida untuk dimintakan izin penggunaannya.

Hanya pestisida yang penggunaannya terdaftar dan atau diizinkan oleh Menteri Pertanian boleh disimpan, diedarkan dan digunakan.

Pestisida yang penggunaannya terdaftar dan atau diizinkan oleh Menteri Pertanian hanya boleh disimpan, diedarkan dan digunakan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam izin pestisida itu.

Tiap pestisida harus diberi label dalam bahasa Indonesia yang berisi keterangan-keterangan yang dimaksud dalam surat Keputusan Menteri Pertanian No. 429/ Kpts/Mm/1/1973 dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam pendaftaran dan izin masing-masing pestisida.

  Dalam peraturan pemerintah tersebut yang disebut sebagai pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk:

Memberantas atau mencegah hama atau penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman atau hasil   pertanian.

Memberantas gulma.

Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan tanaman yang tidak diinginkan.

Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian tanaman, kecuali yang tergolong pupuk.

Memberantas atau mencegah hama luar pada ternak dan hewan piaraan.

Memberantas atau mencegah hama air.

Memberantas atau mencegah binatang dan jasad renik dalam rumah tangga.

Memberantas atau mencegah binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang dilindungi, dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air.

Pada umumnya pestisida, terutama pestisida sintesis adalah biosida yang tidak saja bersifat racun terhadap jasad pengganggu sasaran. Tetapi juga dapat bersifat racun terhadap manusia dan jasad bukan target  termasuk tanaman, ternak dan organisma berguna lainnya.

Apabila penggunaan pestisida tanpa diimbangi dengan perlindungan dan perawatan kesehatan, orang yang sering berhubungan dengan pestisida, secara lambat laun akan mempengaruhi kesehatannya. Pestisida meracuni manusia tidak hanya pada saat pestisida itu digunakan, tetapi juga saat mempersiapkan, atau sesudah melakukan penyemprotan.

Kecelakaan  akibat pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami oleh orang yang langsung melaksanakan penyemprotan.  Mereka dapat mengalami pusing-pusing ketika sedang menyemprot maupun sesudahnya, atau muntah-muntah, mulas, mata berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi  luka, kejang-kejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian. Kejadian tersebut umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas keselamatan kerja  dan kurangnya kesadaran bahwa pestisida adalah racun.

Kadang-kadang para petani atau pekerja perkebunan, kurang menyadari daya racun pestisida, sehingga dalam melakukan penyimpanan dan penggunaannya tidak memperhatikan segi-segi keselamatan. Pestisida sering ditempatkan sembarangan, dan saat menyemprot sering tidak menggunakan pelindung, misalnya tanpa kaos tangan dari plastik, tanpa baju lengan panjang, dan tidak mengenakan masker penutup mulut dan hidung. Juga cara penyemprotannya sering tidak memperhatikan arah angin, sehingga cairan semprot mengenai tubuhnya. Bahkan kadang-kadang wadah tempat pestisida digunakan sebagai tempat minum, atau dibuang di sembarang tempat. Kecerobohan yang lain, penggunaan  dosis aplikasi sering tidak sesuai anjuran. Dosis dan konsentrasi yang dipakai kadang-kadang ditingkatkan hingga melampaui batas yang disarankan, dengan alasan dosis yang rendah tidak mampu lagi mengendalikan hama dan penyakit tanaman.

Secara tidak sengaja, pestisida dapat meracuni manusia atau hewan ternak melalui mulut, kulit, dan pernafasan. Sering tanpa disadari bahan kimia beracun tersebut masuk ke dalam tubuh seseorang tanpa menimbulkan rasa sakit yang mendadak dan mengakibatkan keracunan kronis. Seseorang yang menderita keracunan kronis, ketahuan setelah selang  waktu yang lama, setelah berbulan atau bertahun. Keracunan kronis akibat pestisida saat ini paling ditakuti, karena efek racun dapat bersifat karsiogenic (pembentukan jaringan kanker pada tubuh), mutagenic (kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang), danteratogenic (kelahiran anak cacad dari ibu yang keracunan).

Pestisida dalam bentuk gas merupakan pestisida yang paling berbahaya bagi pernafasan, sedangkan yang berbentuk cairan sangat berbahaya bagi kulit, karena dapat  masuk ke dalam  jaringan tubuh melalui ruang pori kulit. Menurut World Health Organization (WHO), paling tidak 20.000 orang per tahun, mati akibat keracunan pestisida. Diperkirakan 5.000 – 10.000 orang per tahun mengalami dampak yang sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker, cacat tubuh, kemandulan dan penyakit liver. Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan peringatan keras untuk produksi pestisida sintesis. Saat itu, bahan kimia metil isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida sintesis (Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi  pestisida sintesis.

Selain  keracunan langsung,  dampak negatif pestisida bisa mempengaruhi kesehatan orang awam yang bukan petani, atau orang yang sama sekali tidak berhubungan dengan pestisida. Kemungkinan ini bisa terjadi  akibat sisa racun (residu)  pestisida  yang ada didalam tanaman atau bagian tanaman yang dikonsumsi manusia sebagai bahan makanan. Konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut, tanpa sadar telah kemasukan racun pestisida melalui hidangan makanan yang dikonsumsi setiap hari. Apabila jenis pestisida mempunyai residu terlalu tinggi pada tanaman, maka akan membahayakan manusia atau ternak yang mengkonsumsi tanaman tersebut.  Makin tinggi residu, makin berbahaya bagi konsumen.

Dewasa ini, residu pestisida di dalam makanan dan lingkungan semakin menakutkan manusia. Masalah residu ini, terutama terdapat pada tanaman sayur-sayuran seperti kubis, tomat, petsai, bawang, cabai, anggur dan lain-lainnya. Sebab jenis-jenis tersebut umumnya disemprot secara rutin dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi, bisa sepuluh sampai lima belas kali dalam semusim. Bahkan beberapa hari menjelang panenpun, masih dilakukan aplikasi pestisida. Publikasi ilmiah pernah melaporkan  dalam jaringan tubuh  bayi yang dilahirkan seorang Ibu yang secara rutin mengkonsumsi sayuran yang disemprot pestisida, terdapat kelainan genetik yang berpotensi menyebabkan bayi tersebut cacat  tubuh sekaligus cacat mental.

Belakangan ini, masalah residu pestisida pada produk pertanian dijadikan pertimbangan untuk diterima atau ditolak negara importir. Negara maju umumnya tidak mentolerir adanya residu pestisida pada bahan makanan yang masuk ke negaranya. Belakangan ini produk pertanian Indonesia sering ditolak di luar negeri karena residu pestisida yang berlebihan. Media massa pernah memberitakan, ekspor cabai Indonesia ke Singapura tidak dapat diterima dan akhirnya dimusnahkan karena residu pestisida yang melebihi ambang batas. Demikian juga pruduksi sayur mayur dari Sumatera Utara, pada tahun 80-an  masih diterima pasar luar negeri. Tetapi  kurun waktu belakangan ini, seiring dengan perkembangan kesadaran peningkatan kesehatan, sayur mayur dari Sumatera Utara ditolak konsumen luar negeri,  dengan alasan kandungan residu pestisida yang  tidak dapat ditoleransi karena melampaui ambang batas.

 Pada tahun 1996, pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian sebenarnya telah membuat keputusan tentang penetapan ambang batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian.  Namun pada kenyatannya,  belum banyak pengusaha pertanian atau petani yang perduli. Dan baru menyadari setelah ekspor produk pertanian kita ditolak oleh negara importir, akibat residu pestisida yang tinggi. Diramalkan, jika masih mengandalkan pestisida sintesis sebagai alat pengendali hama, pemberlakuan ekolabelling dan ISO 14000 dalam era perdagangan bebas, membuat produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dan tersisih serta terpuruk di pasar global.

Sumber :

1 http://www.ayocintabumi.110mb.com/alternatif.html

2.http://biotis.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=82:apa-itu-pastisida&catid=14:berita

3. http://usitani.wordpress.com/2009/02/26/dampak-negatif-penggunaan-pestisida/

Dampak lingkungan dari pestisida bersifat baik maupun buruk. Pestisida berdampak baik pada peningkatan hasil pertanian, tetapi juga berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Lebih dari 98% insektisida dan 95% herbisida menjangkau tempat selain yang seharusnya menjadi target, termasuk spesies non-target, perairan, udara, makanan, dan sedimen.[1] Pestisida dapat menjangkau dan mengkontaminasi lahan dan perairan ketika disemprot secara aerial, dibiarkan mengalir dari permukaan ladang, atau dibiarkan menguap dari lokasi produksi dan penyimpanan.[2] Penggunaan pestisida berlebih justru akan menjadikan hama dan gulma resistan terhadap pestisida.

Jelaskan dampak penggunaan pestisida pada hewan

Peringatan untuk tidak mendekati lahan yang telah disemprot asam sulfur

Kepedulian terhadap ekotoksikologi mulai muncul ketika terjadi kasus keracunan akut di akhir abad ke 19 melalui tulisan Rachel Carson, Silen Spring yang menggambarkan dampak pada lingkungan yang tidak menyenangkan akibat bahan kimia. Tidak lama setelah itu, DDT digunakan untuk melawan malaria di negara miskin dan negara berkembang namun menyebabkan dampak terhadap satwa burung di tingkat populasi. Studi lalu dilakukan di negara maju untuk memahami dampak mematikan dari pestisida terutama pada burung dan ikan.[3]

 

Angkatan Udara Amerika Serikat menyemprotkan pestisida pembasmi nyamuk di New Orleans, 2005

Pestisida berkontribusi pada polusi udara ketika disemprotkan melalui pesawat terbang. Pestisida dapat tersuspensi di udara sebagai partikulat yang terbawa oleh angin ke area selain target dan mengkontaminasinya.[4] Pestisida yang diaplikasikan ke tanaman dapat menguap dan ditiup oleh angin sehingga membahayakan ekosistem di luar kawasan pertanian.[5] Kondisi cuaca seperti temperatur dan kelembaban juga menjadi penentu kualitas pengaplikasian pestisida karena seperti halnya fluida yang mudah menguap, penguapan pestisida amat ditentukan oleh kondisi cuaca. Kelembapan yang rendah dan temperatur yang tinggi mempermudah penguapan. Pestisida yang menguap ini dapat terhirup oleh manusia dan hewan di sekitar.[6] Selain itu, tetesan pestisida yang tidak larut atau tidak dilarutkan oleh air dapat bergerak sebagai debu[7] sehingga dapat mempengaruhi kondisi cuaca dan kualitas presipitasi.

Penyemprotan pestisida dekat dengan tanah memiliki risiko persebaran lebih rendah dibandingkan penyemprotan dari udara.[8] Petani dapat menggunakan zona penyangga di sekitar tanaman pertanian yang terdiri dari lahan yang kosong atau ditumbuhi tanaman non-pertanian seprti pohon yang berfungsi sebagai pemecah angin yang menyerap pestisida dan mencegah persebaran ke area lain.[9] Di Belanda, para petani diperintahkan untuk membangun pemecah angin.[9]

 

Jalur pergerakan pestisida

Di Amerika Serikat, pestisida diketahui telah mencemari setiap aliran sungai dan 90% sumur yang diuji oleh Survei Geologi Amerika Serikat.[10] Residu pestisida juga telah ditemukan di air hujan dan air tanah.[11] Pemerintah Inggris juga telah mempelajari bahwa konsentrasi pestisida di berbagai sungai dan air tanah melebihi ambang batas keamanan untuk dijadikan air minum.[12]

Dampak pestisida pada sistem perairan sering kali dipelajari menggunakan model transportasi hidrologi untuk mempelajari pergerakan dan akhir dari pergerakan zat kimia di aliran sungai. Pada awal tahun 1970-an, analisis kuantitatif aliran pestisida dilakukan dengan tujuan untuk memprediksi jumlah pestisida yang akan mencapai permukaan air.[13]

Terdapat empat jalur utama bagi pestisida untuk mencapai perairan: terbang ke area di luar yang disemprotkan, melalui perkolasi menuju ke dalam tanah, dibawa oleh aliran air permukaan, atau ditumpahkan secara sengaja maupun tidak.[14] Pestisida juga bergerak di perairan bersama dengan erosi tanah.[15] Faktor yang mempengaruhi kemampuan pestisida dalam mengkontaminasi perairan mencakup tingkat kelarutan, jarak pengaplikasian pestisida dari badan air, cuaca, jenis tanah, keberadaan tanaman di sekitar, dan metode yang digunakan dalam mengaplikasikannya.[16] Fraksi halus sedimen penyusun dasar perairan juga berperan dalam persebaran pestisida DDT dan turunannya.[17]

Berbagai negara membatasi konsentrasi maksimum pestisida yang diizinkan di perairan umum, seperti di Amerika Serikat yang diatur oleh Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat,[11][16] di Inggris yang diatur oleh Environmental Quality Standards,[18] dan Uni Eropa.[18]

Berbagai senyawa kimia yang digunakan sebagai pestisida merupakan bahan pencemar tanah yang persisten, yang dapat bertahan selama beberapa dekade.[19] Penggunaan pestisida mengurangi keragaman hayati secara umum di tanah. Tanah yang tidak disemprot pestisida diketahui memiliki kualitas yang lebih baik,[20] dan mengandung kadar organik yang lebih tinggi sehingga meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air.[11] Hal ini diketahui memiliki dampak positif terhadap hasil pertanian di musim kering. Telah diketahui bahwa pertanian organik menghasilkan 20-40% lebih banyak dibandingkan pertanian konvensional ketika musim kering berlangsung.[21] Kadar organik yang rendah juga meningkatkan kemungkinan pestisida meninggalkan lahan dan menuju perairan, karena bahan organik tanah mampu mengikat pestisida. Bahan organik tanah juga bisa mempercepat proses pelapukan bahan kimia pestisida.[11]

Tingkat degradasi dan pengikatan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat persistensi pestisida di tanah. Tergantung pada sifat kimiawi pestisida, proses tersebut mengendalikan perpindahan pestisida dari tanah ke air secara langsung, yang lalu berpindah ke tempat lainnya termasuk udara dan bahan pangan. Pengikatan mempengaruhi bioakumulasi pestisida yang tingkat aktivitasnya bergantung pada kadar organik tanah. Asam organik yang lemah diketahui memiliki kemampuan pengikatan oleh tanah yang rendah karena tingkat keasaman dan strukturnya. Bahan kimia yang telah terikat oleh partikel tanah juga telah diketahui memiliki dampak yang rendah bagi mikrorganisme, dan bahan organik tanah mempercepat pengikatan tersebut. Mekanisme penyimpanan dan pelapukan pestisida di tanah masih belum diketahui banyak, namun lamanya waktu singgah di tanah sebanding dengan peningkatan resistensi degradasi pestisida.[22]

 

Pestisida berimplikasi dalam kesehatan manusia karena polusi

Dalam penerapannya, tidak semua pestisida sampai ke sasaran. Kurang dari 20% pestisida sampai ke tumbuhan. Selebihnya lepas begitu saja. Akumulasi dari pestisida dapat mencemari lahan pertanian dan apabila masuk dalam rantai makanan, dapat menimbulkan macam-macam penyakit, misalnya kanker, mutasi, bayi lahir cacat, dan CAIDS.[23] Pestisida yang paling merusak adalah pestisida sintesis, yaitu golongan organoklorin. Tingkat kerusakan yang dihasilkan lebih tinggi ketimbang senyawa lain, mengingat jenis ini peka akan sinar matahari dan tidak mudah terurai. Di Indonesia, kasus pencemaran karena pestisida telah menimbulkan kerugian. Di Lembang dan Pangalengan, tanah disekitar pertanian kebun wortel, tomat, kubis dan buncis tercemar oleh organoklorin. Sungai Cimanuk juga tercemar akibat hasil-hasil pertanian yang tercemar pestisida.[23]

Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dipublikasikan pada tahun 1990, dampak dan risiko penggunaan pestisida kimia selama ini 25 juta kasus dan meningkat pada tiap tahunnya. Data lain dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 1996 menunjukkan 14% pekerja di pertanian terkena bahaya pestisida dan 10%-nya terkena bahaya yang fatal. Fenomena seperti ini juga terjadi di sentra pertanian Indonesia seperti Brebes dan Tegal. Penelitian dari Organisasi Pangan dan Pertanian pada tahun 1992 juga menunjukkan adanya 19 gejala keracunan yang disebabkan pestisida pada petani cabe dan bawang. Di perkebunan Luwu, Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa 80-100% petani yang memeriksakan dirinya ke rumah sakit mengindikasikan keracunan pestisida.[24]

Tumbuhan

 

Penyemprotan pestisida pada tanaman

Pestisida menghalangi proses pengikatan nitrogen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman.[25] Insektisida DDT, metil paration, dan pentaklorofenol diketahui mengganggu hubungan kimiawi antara tanaman legum dan bakteri rhizobium.[25] Dengan berkurangnya hubungan simbiotik antara keduanya menyebabkan pengikatan nitrogen menjadi terganggu sehingga mengurangi hasil tanaman pertanian.[25] Bintil akar pengikat nitrogen yang terbentuk pada tanaman ini diketahui telah berkontribusi US$ 10 miliar setiap tahunnya dalam penghematan pupuk nitrogen sintetis.[26]

Pestisida dapat membunuh lebah dan berakibat buruk terhadap proses penyerbukan tumbuhan, hilangnya spesies tumbuhan yang bergantung pada lebah dalam penyerbukannya, dan keruntuhan koloni lebah.[27][28][29][30] Penerapan pestisida pada tanaman yang sedang berbunga dapat membunuh lebah madu yang akan hinggap di atasnya.[4] USDA dan USFWS memperkirakan petani di Amerika Serikat kehilangan setidaknya US$ 200 juta per tahunnya akibat berkurangnya penyerbuk untuk tanaman mereka.[1]

Di sisi lain, pestisida juga memiliki dampak langsung yang merugikan bagi tumbuhan, seperti rendahnya pertumbuhan rambut akar, penguningan tunas, dan terhambatnya pertumbuhan.[31]

Burung

United States Fish and Wildlife Service memperkirakan 72 juta burung di Amerika Serikat terbunuh karena pestisida setiap tahunnya.[32] Burung pemangsa merupakan hewan yang terdampak secara tidak langsung karena berada di puncak rantai makanan; residu pestisida terus terakumulasi dari satu tingkatan predatori ke tingkatan berikutnya. Di Inggris, populasi sepuluh spesies burung berkurang hingga 10 juta ekor sejak tahun 1979 hingga 1999, sebuah fenomena yang diperkirakan akibat hilangnya keanekaragaman hayati tanaman dan inverteberata yang menjadi makanan burung tersebut.[33] Di seluruh Eropa, 116 spesies burung saat ini dalam status terancam.[33] Pengurangan populasi burung diketahui terkait dengan waktu dan tempat di mana pestisida tersebut digunakan.[33] Pestisida DDE diketahui menyebabkan penipisan cangkang telur pada burung di Amerika Utara dan Eropa.[34]

Fungisida yang digunakan pada usaha budi daya kacang tanah diketahui dapat membunuh cacing tanah, sehingga mengancam keberadaan burung dan mamalia yang memangsa mereka.[8] Beberapa pestisida tersedia dalam wujud butiran, sehingga burung dan hewan lainnya dapat memakan butiran tersebut karena disangka sebagai biji-bijian.[8] Herbisida ketika mengalami kontak dengan telur burung, akan mengakibatkan pertumbuhan embrio yang abnormal dan mengurangi jumlah telur yang akan menetas.[8] Herbisida juga dapat mengurangi populasi burung karena begitu banyaknya tumbuhan penunjang habitat mereka yang mati.[8]

Amfibi

Pada beberapa dekade yang lalu, penurunan populasi amfibi terjadi di seluruh dunia, karena alasan yang tak bisa dijelaskan yang bervariasi tapi beberapa pestisida kemungkinan ikut menjadi penyebab.[35]

Campuran beberapa pestisida menunjukkan efek racun yang kumulatif pada kodok.[36] Kecebong dari kolam dengan beberapa pestisida menunjukkan di dalam air bahwa si kecebong bermetamorfosis dalam bentuk yang lebih kecil, menurunkan kemampuan mereka dalam menangkap mangsa dan menghindar dari predator.[36]

Sebuah studi dari Kanada menunjukkan bahwa kecebong yang terpapar endosulfan, sebuah pestisida organoklorida pada level yang sepertinya menunjukkan kematian pada habitat dekat bidang yang disiram dengan pembunuhan kimia pada kecebong dan menyebabkan keanehan pada perilaku pertumbuhan.[37]

Herbisida atrazin telah menyebabkan perubahan kodok jantan hermafrodit, menurunkan kemampuan mereka untuk berreproduksi.[36] Baik efek reproduktif maupun nonreproduktif pada reptil dan amfibi air telah ditemukan. Buaya, beberapa spesies kura-kura, dan beberapa kadal tidak memiliki kromosom pembeda seks hingga peristiwa organogenesis pasca fertilisasi terjadi, tergantung pada temperatur lingkungan. Paparan berbagai PCB (poly chlorinated biphenyl) pada tahap embrio pada kura-kura menunjukan gejala pembalikan kelamin. Di berbagai tempat di Amerika Serikat dan Kanada, berbagai gejala seperti berkurangnya jumlah telur yang menetas, feminisasi, luka pada kulit, dan ketidaknormalan pertumbuhan terjadi.[38]

Kehidupan akuatik

 

Penggunaan algisida, pestisida untuk alga

Ikan dan biota akuatik lainnya dapat mengalami efek buruk dari perairan yang terkontaminasi pestisida.[39] Aliran permukaan yang membawa pestisida hingga sungai membawa dampak yang mematikan bagi kehidupan di perairan, dan dapat membunuh ikan dalam jumlah besar.[40]

Penerapan herbisida di perairan dapat membunuh ikan ketika tanaman yang mati membusuk dan proses pembusukan tersebut mengambil banyak oksigen di dalam air, sehingga membuat ikan kesulitan bernafas.[39] Beberapa herbisida mengandung tembaga sulfit yang beracun bagi ikan dan hewan air lainnya.[39] Penerapan herbisida pada perairan dapat mematikan tanaman air yang menjadi makanan dan penunjang habitat ikan,[39] menyebabkan berkurangnya populasi ikan.

Pestisida dapat terakumulasi di perairan dalam jangka panjang dan mampu membunuh zooplankton, sumber makanan utama ikan kecil.[41] Beberapa ikan memakan serangga; kematian serangga akibat pestisida dapat menyebabkan ikan kesulitan mendapatkan makanan.[39]

Semakin cepat pestisida terurai di lingkungan, dampak dan bahayanya semakin berkurang.[39] Selain itu, telah diketahui bahwa insektisida secara umum memiliki dampak yang lebih berbahaya bagi biota akuatik dibandingkan herbisida dan fungisida.[39]

Ada beberapa tumbuhan yang berguna sebagai biopestisida. Misalnya, tahi kotok (Tagetes erecta Linn.). Tumbuhan ini, selain berguna sebagai obat, dapat pula dipergunakan sebagai insektisida alami. Caranya, giling bunga hingga halus, tambah seliter air. Saringlah dan siap dipergunakan sebagai pembasmi serangga.[42] Sejumlah catatan menyebutkan, lebih dari seribu tanaman berpotensi sebagai pestisida. Tanaman-tanaman pengobatan tradisional yang asalnya dari familia Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan Rutaceae. Minyak atsiri dari tumbuhan-tumbuhan ini punya senyawa aktif yang bisa digunakan sebagai bahan-baku insektisida. Berdasarkan hal itu, ada sebuah penelitian mengenai keefektifan biopestisida terhadap hama thrips pada kentang yang berusia 45 hari. Dipergunakan cengkih, serai wangi, dan kayu manis sebagai biopestisida sebanyak 2ml/l dan terbukti efektif dalam mengendalikan hama Thrips palmi sebanyak 82%.[43]

Dapat pula digunakan mimba (Azadirachta indica A. Juss.) sebagai pestisida nabati. Mimba dipergunakan sebagai pestisida dengan dua cara, cara pertama memakai serbuk dan dilarutkan ke dalam air. Cara kedua dapat dipakai dengan cara industri, diambil sari pati azadirakhtin 0,8-1,2 %.[44] Menurut peneletian, pestisida nabati dari mimba terhadap ulat jarak (Achea janata) dapat menyebabkan kematian larva hingga 79-100%. Larva ulat grayak (Spodoptea litura) dan ulat tembakau (Helicoverpa armigera) menjadi terganggu pertumbuhan larvanya karena mimba ini.[44]

  Portal Pertanian

  • Manajemen hama terpadu

  1. ^ a b Miller GT (2004), Sustaining the Earth, 6th edition. Thompson Learning, Inc. Pacific Grove, California. Chapter 9, Pages 211-216.
  2. ^ Tashkent (1998), Part 1. Conditions and provisions for developing a national strategy for biodiversity conservation Diarsipkan 2007-10-13 di Wayback Machine.. Diakses 17 September 2007.
  3. ^ DOI:10.1126/science.1237591
    Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual
  4. ^ a b Cornell University. Pesticides in the environment. Pesticide fact sheets and tutorial, module 6. Pesticide Safety Education Program. Diakses 2007-10-11.
  5. ^ National Park Service. US Department of the Interior. (August 1, 2006), Sequoia & Kings Canyon National Park: Air quality -- Airborne synthetic chemicals Diarsipkan 2015-02-13 di Wayback Machine.. Nps.gov. Diakses 19 September 2007.
  6. ^ Damalas, Christos A. and Ilias G. Eleftherohorinos.” Pesticide Exposure, Safety Issues, and Risk Assessment Indicators.” International Journal of Environmental Research and Public Health. 6 May 2011. Web of Science.
  7. ^ US Environmental Protection Agency (September 11th, 2007), Pesticide registration (PR) notice 2001-X Draft: Spray and dust drift label statements for pesticide products. Epa.gov. Diakses 19 September 2007.
  8. ^ a b c d e Palmer, WE, Bromley, PT, and Brandenburg, RL. Wildlife & pesticides - Peanuts. North Carolina Cooperative Extension Service. Diakses 2007-10-11. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "palmerw" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  9. ^ a b Science Daily (November 19, 1999), Evergreens help block spread of pesticide from crop fields. Sciencedaily.com. Diakses 19 September 2007
  10. ^ Gilliom, RJ, Barbash, JE, Crawford, GG, Hamilton, PA, Martin, JD, Nakagaki, N, Nowell, LH, Scott, JC, Stackelberg, PE, Thelin, GP, and Wolock, DM (February 15, 2007), The Quality of our nation’s waters: Pesticides in the nation’s streams and ground water, 1992–2001. Chapter 1, Page 4. US Geological Survey. Diakses 13 September 2007.
  11. ^ a b c d Kellogg RL, Nehring R, Grube A, Goss DW, and Plotkin S (February 2000), Environmental indicators of pesticide leaching and runoff from farm fields Diarsipkan 2002-06-18 di Wayback Machine.. United States Department of Agriculture Natural Resources Conservation Service. Diakses 2007-10-03.
  12. ^ Bingham, S (2007), Pesticides in rivers and groundwater Diarsipkan 2009-03-02 di Wayback Machine.. Environment Agency, UK. Diakses 2007-10-12.
  13. ^ Hogan,, CM, Patmore L, Latshaw, G, Seidman, H, et al. (1973), Computer modeling of pesticide transport in soil for five instrumented watersheds, U.S. Environmental Protection Agency Southeast Water laboratory, Athens, Ga. by ESL Inc., Sunnyvale, California.
  14. ^ States of Jersey (2007), Environmental protection and pesticide use Diarsipkan 2006-08-25 di Wayback Machine.. Diakses 2007-10-10.
  15. ^ Papendick RI, Elliott LF, and Dahlgren RB (1986), Environmental consequences of modern production agriculture: How can alternative agriculture address these issues and concerns? American Journal of Alternative Agriculture, Volume 1, Issue 1, Pages 3-10. Diakses 2007-10-10.
  16. ^ a b Pedersen, TL (June 1997), Pesticide residues in drinking water. extoxnet.orst.edu. Diakses 15 September 2007.
  17. ^ T. Partono; H. Razak; I. Gunawan (2009). "Pestisida organoklorin di sedimen pesisir muara Citarum, Teluk Jakarta: peran penting fraksi halus sedimen sebagai pentransport DDT dan proses diagenesanya" (PDF). e-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  18. ^ a b Bingham, S (2007), Pesticides exceeding environmental quality standards (EQS) Diarsipkan 2008-06-17 di Wayback Machine.. The Environment Agency, UK. Diakses 2007-10-12.
  19. ^ U.S. Environmental Protection Agency (2007), Sources of common contaminants and their health effects. Epa.gov. Diakses 2007-10-10.
  20. ^ Johnston, AE (1986). "Soil organic-matter, effects on soils and crops". Soil Use Management. 2 (3): 97–105. doi:10.1111/j.1475-2743.1986.tb00690.x. 
  21. ^ Lotter DW, Seidel R, and Liebhardt W (2003). "The performance of organic and conventional cropping systems in an extreme climate year". American Journal of Alternative Agriculture. 18 (03): 146–154. doi:10.1079/AJAA200345. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  22. ^ Arias-Estévez, Manuel (2008-02). "The mobility and degradation of pesticides in soils and the pollution of groundwater resources" (PDF). Agriculture, Ecosystems & Environment. 123: 247–260. doi:10.1016/j.agee.2007.07.011. ISSN 0167-8809. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-04-25. Diakses tanggal 2011-11-10.  Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
  23. ^ a b Sofia, Diana (2002). Pengaruh Pestisida dalam Lingkungan Pertanian hal.2 – 3. Sumatra Utara:USU.
  24. ^ Suwahyono, Untung. Biopestisida. hal.22. ISBN 978-979-002-413-7.
  25. ^ a b c Rockets, Rusty (9 Juni, 2007), Down On The Farm? Yields, Nutrients And Soil Quality. Scienceagogo.com. Diakses 15 September 2007.
  26. ^ Fox, JE, Gulledge, J, Engelhaupt, E, Burrow, ME, and McLachlan, JA (2007). "Pesticides reduce symbiotic efficiency of nitrogen-fixing rhizobia and host plants". Proceedings of the National Academy of Sciences of the USA. 104 (24): 10282–10287. doi:10.1073/pnas.0611710104. PMC 1885820  . PMID 17548832. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  27. ^ Hackenberg D (2007-03-14). "Letter from David Hackenberg to American growers from March 14, 2007". Plattform Imkerinnen — Austria. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-06-04. Diakses tanggal 2007-03-27. 
  28. ^ Wells, M (March 11, 2007). "Vanishing bees threaten US". www.bbc.co.uk. BBC News. Diakses tanggal 2007-09-19. 
  29. ^ Haefeker, Walter (2000-08-12). "Betrayed and sold out – German bee monitoring". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-27. Diakses tanggal 2007-10-10. 
  30. ^ Zeissloff, Eric (2001). "Schadet imidacloprid den bienen" (dalam bahasa German). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-03-20. Diakses tanggal 2007-10-10. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  31. ^ Walley F, Taylor A and Lupwayi (2006) Herbicide effects on pulse crop nodulation and nitrogen fixation. FarmTech 2006 Proceedings 121-123.
  32. ^ Fimrite, Peter (June 27, 2011). "Suit says EPA fails to shield species from poisons". The San Francisco Chronicle. 
  33. ^ a b c Kerbs JR, Wilson JD, Bradbury RB, and Siriwardena GM (August 12, 1999), The second silent spring. Commentary in Nature, Volume 400, Pages 611-612.
  34. ^ Vos, Joseph G, Erik Dybing, Helmut A. Greim, Ole Ladefoged, Claude Lambré, Jose V. Tarazona, Ingvar Brandt, and A. Dick Vethaak. “Health Effects of Endocrine-Disrupting Chemicals on Wildlife, with Special Reference to the European Situation.” National Institute of Public Health and the Environment, Bilthoven, Netherlands. 2000, Vol. 30, No. 1, Pages 71-133.Web of Science.
  35. ^ Cone M (December 6, 2000), A wind-borne threat to Sierra frogs: A study finds that pesticides used on farms in the San Joaquin Valley damage the nervous systems of amphibians in Yosemite and elsewhere Diarsipkan 2015-11-02 di Wayback Machine.. L.A. Times Diakses pada 17 September 2007.
  36. ^ a b c Science Daily (February 3, 2006), Pesticide combinations imperil frogs, probably contribute to amphibian decline. Sciencedaily.com. Diakses pada 2007-10-16.
  37. ^ Raloff, J (September 5, 1998) Common pesticide clobbers amphibians. Science News 154(10):150. Diakses 2007-10-15.
  38. ^ Vos, Joseph G.; Erik Dybing; Helmut A. Greim; Ole Ladefoged; Claude Lambré; Jose V. Tarazona; Ingvar Brandt; serta A. Dick Vethaak. (2000). "Health Effects of Endocrine-Disrupting Chemicals on Wildlife, with Special Reference to the European Situation." Bilthoven, Belanda: National Institute of Public Health and the Environment 30(1):89 – 93, tabel 3.
  39. ^ a b c d e f g Helfrich, LA, Weigmann, DL, Hipkins, P, and Stinson, ER (Juni 1996), Pesticides and aquatic animals: A guide to reducing impacts on aquatic systems Diarsipkan 2009-03-05 di Wayback Machine.. Virginia Cooperative Extension. Diakses 2007-10-14.
  40. ^ Toughill K (1999), The summer the rivers died: Toxic runoff from potato farms is poisoning P.E.I. Diarsipkan 2008-01-18 di Wayback Machine. Originally published in Toronto Star Atlantic Canada Bureau. Diakses 17 September 2007.
  41. ^ Pesticide Action Network North America (4 Juni 1999), Pesticides threaten birds and fish in California Diarsipkan 2012-02-18 di Wayback Machine.. PANUPS. Diakses 2007-09-17.
  42. ^ Dalimartha, Setiawan (2007). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. 3:151. Jakarta:Puspa Swara. ISBN 979-3235-73-X.
  43. ^ Atmadja, Warsi Rahmat; Laba, I.; Mahrita, W.; Sutarjo, T.; Ahyar (2010). Pengujian Enam Jenis Insektisida Nabati untuk Mengendalikan Thrips palmi > 50% PADA TANAMAN KENTANG[pranala nonaktif permanen] dalam Laporan Teknis Penelitian Tahun Anggaran 2010 Balai Tanaman Obat dan Aromatik. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Diakses pada 26 Oktober 2013.
  44. ^ a b Subyakto. "Ekstrak Biji Mimba Sebagai Pestisida Nabati: Potensi, Kendala, dan Strategi Pengembangannya" (PDF). Perspektif. 8 (2): 108 – 116. ISSN 1412-8004. [pranala nonaktif permanen]

  • Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan (1989). Pestisida untuk pertanian dan kehutanan. Jakarta: Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Diakses tanggal 10 April 2020. 

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Dampak_lingkungan_dari_pestisida&oldid=21172572"