Hal-hal apa saja yang harus diperbaiki oleh pemerintah indonesia dalam hal ekspor dan impor

Hal-hal apa saja yang harus diperbaiki oleh pemerintah indonesia dalam hal ekspor dan impor
Dialog interaktif bertema Meningkatkan Daya Saing dengan Regulasi Produktif untuk Tingkatkan Ekspor Nasional yang digelar oleh Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) di Gedung IPC, Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (30/10).

Jakarta, Petrominer – Pemerintah fokus dan menetapkan delapan jenis industri yang perlu digenjot ekspornya. Kedelapan industry tersebut adalah otomotif, elektronika, tekstil dan produk tekstil (TPT), makanan dan minuman, kimia, produk perikanan, permesinan, serta produk kayu dan rotan.

Dalam upaya mendorong ekspor tersebut, sejumlah insentif pun sudah diberikan. Bahkan, Pemerintah akan mengurangi beban yang ditanggung oleh pengusaha, seperti meminimalkan pengenaan PPN 10 persen.

Demikian disampaikan oleh Direktur Pengembangan Promosi dan Citra Kementerian Perdagangan, Tuti Prahastuti, yang juga didukung oleh Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo, dalam dialog interaktif bertema Meningkatkan Daya Saing dengan Regulasi Produktif untuk Tingkatkan Ekspor Nasional yang digelar oleh Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Rabu (30/10).

Selain itu, papar mereka berdua, Pemerintah juga sedapat mungkin akan mengurangi hambatan investasi. Langkah ini diyakini bisa merangsang masuknya investasi di bidang furnitur dari Cina. Sementara untuk meningkatkan daya saing ekspor furnitur Indonesia, Pemerintah telah berupaya memperkuat penguasaan desain.

Meskipun begitu, para pengusaha mengakui masih banyak menemui kendala, baik internal maupun eksternal. “Kendala tersebut terutama ditemui oleh industri-industri strategis, sehingga tidak bisa berkembang sebagaimana mestinya,” ujar Ketua DPD GPEI DKI Jakarta, Irwandy MA Rajabasa.

Menurut Irwandy, kendala internal di antaranya adalah minimnya kecukupan suplai bahan baku utama; kualitas, inovasi dan produktifitas yang rendah; biaya produksi, distribusi dan handling charges yang tinggi; banyaknya regulasi yang masih terpusat dan rumit; buruknya kondisi insfrastruktur (jalan raya, rel kereta Api, fasilitas pelabuhan dan bandara) dan tingginya suku bunga bank.

Sementara kendala eksternal yang dihadapi adalah persaingan produk sejenis dari negara lain yang umumnya lebih murah dan mempunyai produktifitas lebih tinggi. Hal inilah yang membuat daya saing produk luar lebih baik dibandingkan produk yang dihasilkan Indonesia.

Kendala lainnya, jelasnya, adalah peraturan dari negara tujuan yang berhubungan dengan isu lingkungan, kesehatan dan keamanan, serta mahalnya biaya distribusi (ocean/air freigt) karena transhipment melalui pelabuhan Singapura, Port Klang dan Hongkong. Padahal pelabuhan berperan sangat penting dan strategis dalam menunjang kecepatan dan kelancaran arus barang.

“Untuk DKI Jakarta, aturan domisili juga banyak yang salah, karena seharusnya aturan ini hanya berlaku untuk perusahaan baru atau aktivitas baru yang memiliki limbah industri atau perluasan usaha,” tegas Irwandy.

Dia menegaskan, masih adanya kendala-kendala tersebut yang membuat pertumbuhan industri manufaktur dalam lima tahun terakhir mengalami pasang surut. Tahun 2014, pertumbuhannya 4,64 persen, tahun 2015 sebesar 4,33 persen, tahun 2016 (4,26 persen), tahun 2017 (4,29 persen) dan tahun 2018 (4,27 persen).

Hal senada juga dikemukakan oleh Ketua DPD GPEI Jawa Barat, Abdul Sobur. Menurut Sobur, yang juga menjabat Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), kinerja ekspor Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga.

“Penyebab utamanya dari dulu sampai sekarang adalah regulasi yang tidak pro dunia usaha. Dibandingkan Vietnam saja kita kalah. Banyak investor yang awalnya berminat menanamkan modal di Indonesia. Namun karena masalah regulasi, mereka lebih memilih Vietnam yang menerapkan regulasi pro dunia usaha,” tegasnya.

Menurut Sobur, regulasi yang tidak bersahabat dengan dunia usaha juga telah menjadi pemicu bagi sulitnya Indonesia dalam meningkatkan ekspor komoditas nonmigas.

Dia memberi contoh komoditas furnitur, yang lima tahun lalu Asosiasi Pengusaha Furnitur menargetkan ekspor tahun 2019 mencapai US$ 5 miliar. Namun karena upaya peningkatan ekspor tidak didukung oleh regulasi yang pro dunia usaha, target ekspor itu tidak dapat tercapai.

“Tahun lalu, ekspor furnitur hanya mencapai US$ 1,7 miliar. Bandingkan dengan Vietnam, yang mampu meraih nilai sekitar US$ 8,5 miliar,” ujar Sobur.

Padahal, dari segi bahan baku, Indonesia jauh lebih unggul dibandingkan Vietnam. Seharusnya Indonesia mampu mengungguli Vietnam dalam hal ekspor furnitur.

“Belum lagi soal pajak dan suku bunga bank. Di Vietnam besaran pajak semua flat 17 persen. Di kita, pajak badan saja 24 persen, PPN 10 persen, bunga bank 10 persen. Total ada 44 persen, sehingga menyebabkan biaya tinggi,” jelasnya.

Usulan bagi Pemerintah

Untuk meningkatkan daya saing sektor industri strategis dan mendorong ekspor nasional, GPEI maupun HIMKI mengajukan sejumlah usulan yang harus diterapkan pemerintah.

Pertama, mempermudah/memfasilitasi eksportir mendapatkan bahan baku dari lokal dengan fasilitas Kemudahan Lokal Tujuan Ekspor (KLTE) dan Optimalisasi Penggunaan PLB (Pusat Logistik Berikat).

Kedua, harmonisasi kebijakan pengembangan industri manufaktur dan perlindungan pasar dengan memberikan fasilitas penurunan biaya produksi bagi industri up-stream dan intermediate goods maupun semi-finished products sehingga bisa bersaing dangan barang sejenis asal impor.

Mereka sepakat bahwa sudah saatnya dilakukan restrukturisasi permesinan maupun peralatan industri manufaktur menuju global supply chain dan Industry 4.0. Langkah tersebut bisa dimulai dari 10 industri andalan ekspor dan industri subtitusi impor bahan baku dan barang modal.

“Dengan menjadi bagian dari mata rantai global untuk pasok dunia, maka diharapkan Indonesia akan memiliki produk yang memiliki added value (intermediate goods maupun semi-finished products),” ujar Sobur yang juga diaminkan oleh Irwandy.

Hal-hal apa saja yang harus diperbaiki oleh pemerintah indonesia dalam hal ekspor dan impor
(Kiri ke kanan): moderator dialog Chamdan Purwoko, Ketua Umum GPEI Benny Soetrisno, Dirut JICT, Gunta Prabawa, Ketua DPD GPEI DKI Irwandy MA Rajabasa, Ketua DPD GPEI Jabar Abdul Sobur, (X), Direktur Pengembangan Promosi dan Citra Kementerian Perdagangan, Tuti Prahastuti, Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo, dan perwakilan Ditjen Bea Cukai.

Jum'at, 15 Agustus 2014 - 14:02 WIB

Ini yang Harus Diperbaiki di Sektor Perdagangan

JAKARTA - Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menyampaikan, untuk pemerintahan baru mendatang, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dari sektor perdagangan."Saya kira yang penting itu adalah menjaga momentum. Ada bebrapa hal yang perlu diperbaiki, kalau ada yang salah. Dari sudut perdagangan ada dua hal yang kita ambil pelajaran," ujar dia di di gedung MPR DPR Jakarta, Jumat (15/8/2014).

Pertama, ujar dia, perdagangan Indonesia itu sudah semakin maju, canggih dan advanced baik dalam institusi dalam sistem juga mekanisme dalam melakukan nego.

"Bagaimana kita berhubungan dengan pasar utama sekarang tidak lagi sederhana sekedar jualan beli barang. Tapi jadi lebih complicated. Keberhasilan kita menjadi tuan rumah WTO, misalnya itu, membuat Indonesia semakin terpandang dan memberikan harapan besar dari banyak negara," ujarnya.

Indonesia bisa memberikan contoh bagaimana mengelola perdagangan internasional lebih baik. "Saya berharap yang sudah dicapai jangan diturunkan tingkat advancement-nya, tingkat di mana kita sudah bisa berperan itu tadi," ujarnya.

Kedua, lanjut dia, apa yang sudah dirintis Kabinet Indonesia Bersatu jilid II tertutama dengan strategi peningkatan nilai tambah itu, kemudian coba memperdalam pasar ekspor dan dalam negeri, sebagian belum berhasil. Masih berlanjut prosesnya."Mudah-mudahan ini bisa dilanjutkan. Karena tinggal setahun dua tahun lagi kita akan mendapatkan hasilnya dengan cukup signifikan. Termasuk misalnya UU Minerba itu hilirisasinya dapatnya bukan sekarang tapi mungkin 2015-2016 baru kelihatan dampaknya di ekspor. Jadi saya kira ini jadi harapan dari kami yang selama ini ikut terlibat di pemerintahan kami untuk pemerintahan yang akan datang," ujar dia.Bayu menambahkan, yang lebih mendesak di masa datang, dan yang sedang digulirkan adalah masalah suplai respon.

"Ini yang ngomong pertama kali pak Gita Wirjawan. Permintaan kita meningkat dengan sangat besar, tumbuh luar biasa. Suplai respon domestiknya ini bukan masalah tutup menutup buka membuka impornya tapi bagaimana sistem produksi kita mampu merespon meningkatkan, dengan berkembangnya suplai yang sesuai. Ini yang akan menjadi tantangan berat," tandasnya.