Di bawah ini yang merupakan kutipan sloka yang terdapat dalam kitab Bhagawadgita Bab III 35 adalah

MUTIARAHINDU.COM -- Ajaran Bhagawadgita ini bermaksud menyelamatkan manusia dari kebodohan kehidupan duniawi. Bhagawadgita juga mengandung maksud untuk melepaskan manusia dari penderitaan. Melalui ajaran Bhagawadgita Shri Krishna sebagai Awatara Wisnu yang bertugas memelihara dunia, menyadarkan manusia apa yang sebenarnya menjadi tujuan hidupnya, apabila manusia lupa akan tujuan itu. Sebenarnya kita semuanya diliputi oleh kebodohan, sehingga kita mulai bertanya, "mengapa kita menderita, dari mana sebenarnya asal kita, kemana tujuan kita setelah meninggal. Maka untuk menyadarkan manusia dari kebodohan itulah Bhagawadgita disabdakan. Kitab suci Bhagawadgita memberi penjelasan dengan terang benderang tentang prinsip-prinsip dari agama spiritual.

Di bawah ini yang merupakan kutipan sloka yang terdapat dalam kitab Bhagawadgita Bab III 35 adalah

Dalam Bhagawadgita kita mempelajari bahwa semua makhluk hidup dan alam semesta dikuasai dan dikendalikan oleh Tuhan. Menurut Bhagawadgita makhluk hidup adalah merupakan bagian dari Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai sifat yang sama seperti Tuhan, (Sumarni dan Raharjo, 2015:105). Akan tetapi karena makhluk hidup dibelenggu oleh tiga sifat yaitu sifat kebaikan, sifat nafsu dan kebodohan, menyebabkan makhluk itu lupa dan menderita. Apabila manusia dicemari oleh dunia material (keduniawian), maka Bhagawdgitalah yang dimaksud untuk membangkitkan kesadaran suci itu untuk membebaskan manusia dari belenggu dunia material (keduniawian).

Nilai-nilai yang terkandung Dalam Bhagawadgita

Tuhan memenuhi keinginan penyembahnya sesuai dengan cara pendekatannya. Perhatikanlah seloka di bawah ini!

"Ye yathā māṁ prapadyante


Tāṁs tathai ‘ va bhajāmy aham
Mama vartmānuvartante
Manuṣyāḥ pārtha savasaḥ", (Bhagawadgita. IV.11)

Terjemahan:

"Dengan jalan bagaimanapun orang-orang mendekati, dengan jalan yang sama itu juga memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti jalanku, O Partha", (G.Puja, 1999:112)

Memperhatikan bunyi seloka di atas menunjukkan bahwa waranugraha Tuhan diberikan kepada siapapun yang mendekati-Nya dengan penyerahan bhaktinya dengan caranya sendiri-sendiri. Tuhan menerima semua harapan- harapan menurut alamnya sendiri, mulai dari mereka yang menggunakan sajen-sajen, sampai pada tingkat bersemadi, Tuhan memberikan waranugra-Nya. Tuhan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap orang yang menyerahkan diri kepada-Nya, dan Tuhan membebaskannya dari reaksi dosa yang dilakukannya, (Sumarni dan Raharjo, 2015:106). Apapun yang dilakukan oleh orang terkemuka dan bijaksana akan diikuti oleh seluruh dunia. Perhatikan seloka berikutnya :

"yad-yad ācaratisresthas,


tad-tad eve ‘ taro janah,
sa yat pramāṇaṁ kurute,
lokas tad anuvarsate." (Bhagawadgita.III.21).

Terjemahan:

"Perbuatan apapun yang dilakukan oleh orang besar, akan diikuti oleh yang lainnya. Standar apapun yang ditetapkan dengan perbuatannya sebagai teladan, diikuti oleh seluruh dunia," (G.Puja, 1999:91)

Nilai yang terkandung dalam seloka ini adalah bahwa orang awam atau rakyat umum membutuhkan seseorang yang dapat memberikan teladan dari perbuatan yang dilakukan oleh orang bijaksana, dan mereka akan mengikuti contoh perbuatan dari orang-orang yang terkemuka dan bijaksana itu. Sebab dalam Bhagawadgita dikatakan bahwa orang-orang bijaksana adalah penunjuk jalan bagi masyarakat. Apapun yang dilakukannya akan diikuti oleh masyarakat luas. Seorang raja, atau pemimpin negara, ayah dan guru di sekolah semua dianggap pemimpin yang wajar diteladani perbuatannya. Maka dari itu mereka memikul tanggung jawab yang besar, dan harus menguasai kitab-kitab yang berisi rumusan-rumusan moral dan rumusan-rumusan rohani, agar dapat memberi teladan yang baik kepada rakyatnya bagi seorang pemimpin negara, memberi pelajaran yang baik kepada siswanya bagi seorang guru, dan memberi contoh yang baik kepada putra-putranya bagi seorang ayah. Contohnya, seorang guru harus sudah baik bahkan dari sebelum dia mulai mengajar. Guru yang seperti itulah disebut guru teladan, (Sumarni dan Raharjo, 2015:107).

Tuhan menjelma ke dunia ini dalam bentuk Awatara untuk membasmi kejahatan dan melindungi kebaikan.

Perhatikan seloka berikutnya:

"Yadā-yadā hi dharmasya, 


glānir bhavati bhārata, 
abhyuttānam adharmasya, 
tadātmānam srjāmy aham", (Bhagawadgita.IV.7).

Terjemahan:

"O, Bharata, bilamana di dunia ini dharma hilang, dan adharma makin menguasai dunia, waktu itu Aku menjelmakan diri-Ku," (G.Puja, 1999:109).

"Paritrānāya sādhunāṁ, 


vināsāya ca duskrtam, 
dharma-saṁsthāpanārthāya,
sambhavāmi yuge-yuge," (Bhagawadgita.IV.8).

Terjemahan:

"Untuk memberi perlindungan kepada yang baik, dan membasmi yang jahat, dan untuk membangkitkan perasaan keadilan dan kebaikan, Aku menjelma pada tiap-tiap jaman," (G.Puja, 1999: 110 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:108).

Nilai yang terkandung dalam seloka ini adalah apabila dunia dalam kekacauan, manusia lupa akan dharma dan dikuasai oleh adharma, saat itulah Tuhan turun ke dunia dalam bentuk Awatara, tujuannya adalah untuk mengangkat manusia dalam kehiduan yang lebih mulia, dan membasmi kejahatan, serta membangkitkan keadilan dan kebaikan di dunia ini. Perhatikan seloka berikutnya :

"Yogayukto visuddhātamā,


vijitātma jitendriyah,
sarvabhuȗtātma-bhȗtātmā,
kurvann api na lipyate," (Bhagawadgita. V.7).

Terjemahan:

"Orang yang bekerja dalam bhakti, yang menjadi roh yang murni, yang mengendalikan pikirannya dan indra-indranya, dicintai oleh semua orang, dan diapun mencintai semua orang. Walaupun dia selalu bekerja, dia tidak pernah terikat," (G.Puja, 1999: 109).

Nilai yang terkandung dalam sloka ini adalah bahwa seseorang yang menempuh jalan bhakti kepada Tuhan, dia bekerja untuk pengabdian diri kepada semua orang, dia mencintai semua makhluk hidup, maka dia dicintai oleh semua orang. Ia bekerja dengan penuh kebhaktian untuk kebahagiaan dunia dengan hati yang bersih tanpa diikat oleh keuntungan diri sendiri. Orang seperti ini akan dicintai oleh semua orang, pikirannya dan indra-indranyapun akan terkendali, ia akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya, (Sumarni dan Raharjo, 2015:109).

Tuhan adalah roh utama yang menetap dalam hati semua makhluk

Perhatikan sloka berikut :

"Etad-yonini bhȗtāni, 


sarvānity upadhāraya, 
ahaṁ krtsnaya jagatah, 
prabhawah pralayas tathā," (Bhagawadgita.VII.6).

Terjemahan:

"Ketahuilah bahwa semua makhluk ini asal kelahirannya di dalam alam-Ku ini. Aku adalah asal mula dari dunia ini dan juga kehancurannya (pralaya)," (G.Puja, 1999:187)

"Aham ātmā guḍākesa,


Sarvabhūtāsyasthitah,
aham ādis ca madyaṁ ca,
bhūtānām anta eva ca", (Bhagawadgita.X.20)

Terjemahan:

"O, Arjuna (Gudakesa), Aku adalah Atma yang menetap dalam hati semua makhluk, Aku adalah pemulaan, pertengahan dan akhir dari semua makhluk," (G.Puja, 1999:258)

Nilai yang terkandung dalam seloka ini adalah bahwa Tuhanlah sebagai asal mula dari segala yang ada di alam semesta ini. Beliau adalah Atma atau roh dari alam semesta. Tuhan mewujudkan diri sebagai roh yang utama (Atma) di dalam hati setiap makhluk hidup. Dalam wujud-Nya sebagai Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, Siwa, Beliaulah pencipta, pemelihara dan mengembalikan ke tempat asalnya segala yang ada di alam semesta ini. Inilah alam Tuhan, (Sumarni dan Raharjo, 2015:110).

Tuhan bersifat Wyapi wyapaka dan Nirwikara Perhatikan seloka berikut:

"Mayā tatam sarvam, 


jagad avyaktamūrtina,
matsthāni sarvabhūtāni,
na cāhaṁ tesu avastitah," (Bhagawadgita.IX.4).

Terjemahan:

"Aku berada di mana-mana di seluruh alam semesta dalam bentuk-Ku yang tidak terwujud. Semua makhluk hidup berada dalam diri-Ku, tetapi Aku tidak berada di dalam mereka," (G.Puja, 1999:224).

Nilai yang terkandung dalam sloka ini adalah bahwa Tuhan berada dalam setiap ciptaan-Nya tetapi Beliau tidak dapat tersentuh oleh panca indra. Tuhan bersifat Wyapi wyapaka dan Nirwikara yaitu meresap berada di mana-mana dan mengatasi segala-galanya. Tuhan akan memperlihatkan kepribadian-Nya kepada orang yang tekun dalam bhakti. Seseorang akan dapat melihat Tuhan yang bersemayam di dalam dirinya kalau ia sudah mengembangkan sikap cinta kasih dan bhakti kepada Beliau, (Sumarni dan Raharjo, 2015:111). Sesederhana apapun bentuk persembahan itu, asal dilandasi cinta dan hati suci diterima oleh Tuhan. Perhatikan lagi seloka berikut :

"pattraṁ puṣpaṁ phalaṁ toyaṁ, 


yo me bhaktyā prayacchati,
tad ahaṁ bhaktyupahrtam, 
asnami prayatātmanah," (Bhagawadgita.IX.26).

Terjemahan:

"Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan kepada-Ku daun, bunga, buah-buahan, atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku terima," (G.Puja, 1999:239).

Nilai yang terkandung dalam seloka ini adalah bahwa Tuhan menerima persembahan dari penyembah-Nya yang didasarkan hati yang suci, cinta dan kasih sayang serta keikhlasan, meskipun dalam bentuk yang sederhana. Bila persembahan itu besar tetapi didasari oleh sifat “ego” dan tanpa keikhlasan, semua persembahan yang besar-besar itu tidak akan ada artinya, (Sumarni dan Raharjo, 2015:112). Perhatikan seloka berikut :

"Sribhagavan uvaca,


mayy āveśya mano ye māṁ, 
nitya yuktā upasate, 
sraddhayā parayopetās,
te me yuktatamā matāh," (Bhagawadgita.XII.2)

Terjemahan:

"Mereka yang memusatkan pikirannya kepada-Ku, menyembah Aku, dengan rasa kecintaan teguh, dan dengan kepercayaan tinggi mereka Aku pandang yang tersempurna dalam yoga," (G.Puja, 1999:309 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:113).

Nilai yang terkandung dalam seloka ini adalah bahwa menyembah Tuhan dengan kecintaan dan keyakinan yang penuh akan memperoleh kesempuranan dan kebahagiaan hidup.

"Ye’tu sarvāṇi karmāṇi, 


mayi samnyasyamat-parāh, 
ananyenai ‘va yogena, 
māṁ dhyāyanta upāsate," (Bhagawadgita.XII.6)

Terjemahan:

"Akan tetapi mereka yang menyerahkan semua karyanya pada-Ku, pandangannya tertuju pada-Ku dengan penuh rasa kebhaktian," (G.Puja, 1999: 311).

"Tesām ahaṁ samudhartā, 


mrtyusamsāra-sāgarāt 
bhawāmi na cirāt pārtha, 
mayy āvasita-cetassām," (Bhagawadgita.XII.7).

Terjemahan:

"dan sudah memusatkan pikirannya kepada-Ku, Aku langsung membebaskan, menyelamatkan mereka dari lautan kehidupan sengsara, O, Arjuna," (G.Puja, 1999:312).

Nilai yang terkandung di dalam seloka ini adalah bahwa seseorang yang dengan kebhaktian yang tulus dan murni, dan menyerahkan hasil karya (kerja) kepada Tuhan dia akan dibebaskan oleh Tuhan dari lingkaran kelahiran dan kematian (Moksa).

"atha cittaṁ samādhātuṁ, 


na sāknosi mayi sthiram, 
abhyāsayogena tato,
mam icchāptuṁ dhanañjaya," (Bhagawadgita.XII.9 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:114).

Terjemahan:

"Bila engkau tidak dapat menetapkan pikiranmu dengan terus menerus kepada-Ku, maka usahakan melakukan pendekatan pada-Ku dengan jalan melatih pemusatan pikiran berulang-ulang," (G.Puja, 1999:313).

"abhyāse ‘py asamarto ‘si, 


matkarmaparamo bhava, 
madartham api karmāni, 
kurvan siddhim avāpsyasi," (Bhagawadgita.XII.10).

Terjemahan:

"Bila engkau juga tidak mampu melakukan dengan latihan pemusatan pikiran, maka berbuat sebagai orang yang tujuan utamanya ialah bekerja untuk-Ku, dengan melaksanakan sesuatu untuk-Ku, cukup sudah engkau akan mendapatkan kesempurnaan," (G.Puja, 1999:312).

"śreyo hi jñānam abhyāsāj,


jñānad dhyānam visisyate,
dhyānāt karma-phala-tyāgas,
tyāgāc chāntir anantaram," (Bhagawadgita.XII.12).

Terjemahan:

"Kalau engkau tidak sanggup melakukan latihan tersebut, tekunilah pengembangan pengetahuan. Akan tetapi, semadi lebih baik dari pada pengetahuan, dan melepaskan ikatan terhadap hasil perbuatan lebih baik dari pada semadi, sebab dengan melepaskan ikatan seperti itu seseorang dapat mencapai kedamaian jiwa," (G.Puja, 1999:315 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:115).

Nilai-nilai yang terkandung dalam beberapa seloka di atas adalah bahwa ada beberapa jalan atau cara untuk melakukan pendekatan kepada Tuhan yaitu :
  1. Dengan cara menyembah Tuhan dengan rasa kecintaan yang teguh (bhakti marga).
  2. Dengan cara menyerahkan hasil karya (kerja) kepada Tuhan (karma marga).
  3. Dengan cara melakukan pengembangan pengetahuan (jnana marga).
  4. Dengan cara melatih pemusatan pikiran berulang-ulang (dhyana) atau semadi (raja marga).
Ke empat jalan ini dapat dipilih oleh semua orang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya untuk melakukan pendekatan diri kepada Tuhan. Dalam Bhagawadgita disebutkan bahwa lebih baik pengetahuan dari pada usaha konsentrasi, yang lebih baik dari pengetahuan adalah dhyana (semadi), dan yang lebih baik dari dhyana adalah melepaskan diri dari ikatan hasil karya. Dengan demikian seseorang akan dapat mencapai kesempurnaan secara bertahap yaitu tingkat pengetahuan, tingkat semadi, tingkat bhakta dan tingkat melepaskan diri dari ikatan hasil kerja. Ada dua macam makhluk diciptakan di dunia ini yaitu yang bersifat daivi sampad dan asuri sampad. Perhatikan seloka di bawah ini :

"Tejaḥ ksamā dhrtiḥ saucam, 


adroho nā ‘timānitā, 
bhavanti sampadam daivim, 
abhijātasya bhārata," (Bhagawadgita.XVI.3 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:116).

Terjemahan:

"Kuat, suka memaafkan, ketawakalan, kesucian, tidak membenci, bebas dari rasa kesombongan, ini tergolong pada orang yang lahir dengan alam Ketuhanannya, Oh, Arjuna," (G.Puja, 1999:372).

"dambho darpo‘ bhimānas ca,


krodhah pārusyam eva ca,
ajnānam cābhijātasya,
pārtha sampadam āsurim," (Bhagawadgita.XVI.4)

Terjemahan:

"Sifat takabur, sombong, terlalu bangga, pemarah , kasar dan juga bodoh, ini O, Partha (Arjuna) adalah tergolong pada orang yang dilahirkan dengan sifat keraksasaan," (G.Puja, 1999:373).

"daivi sampad vimoksāya, 


nibhandhāyasurī matā,
mā sucah sampadam daivim, 
abhijāto ‘si pāndava," (Bhagawadgita.XVI.5)

Terjemahan:

"Kelahiran yang bersifat Ketuhanan dikatakan memimpin ke arah Moksa (pembebasan), dan yang bersifat Setan ke arah ikatan. Jangan bersedih hati, Oh Pandawa (Arjuna), engkau adalah dilahirkan dengan sifat Ketuhanan," (G.Puja, 1999:373 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:117).

"pravrttim ca nivrttim ca, 


janā na vidur āsurāh, 
na saucam nāpi cācāro, 
na satyam teṣu vidyate," (Bhagawadgita.XVI.7)

Terjemahan:

"Yang bersifat Setan tidak mengetahui mengenai apa yang harus diperbuat, dan apa yang harus disingkirkan. Baikpun kesucian maupun tingkah laku yang baik atau kebenaran tidak didapatkan padanya," (G.Puja, 1999:375)

Nilai yang terkandung dalam beberapa seloka di atas adalah bahwa manusia yang dilahirkan dengan sifat-sifat yang baik (daivi sampad) adalah orang yang dilahirkan dengan sifat Ketuhanan. Orang ini akan dapat memimpin ke arah kesempurnaan hidup. Sedangkan seseorang yang memiliki sifat-sifat tidak baik (asuri sampad) adalah orang yang lahir dengan sifat setan, dan nantinya dapat menghantarkan seseorang mendapat penderitaan. Seseorang yang bersifat raksasa tidak mengetahui apa yang harus dilakukan, apa yang harus dihindari, kebaikan, kesucian, kebenaran, cinta kasih, tidak ada pada orang yang demikian. Akan tetapi yang ada hanyalah kebencian, adharma (ketidak benaran), pemarah, bodoh, takabur, sombong, kasar. Mereka mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada kebenaran, tidak ada moral, tidak ada Tuhan, yang ada hanyalah nafsu keinginan. Seseorang yang berpandangan demikian menjadi musuh dunia, dengan perbuatan kejamnya dia ingin menghancurkan dunia. Dia berpandangan bahwa pemuasan nafsu keinginan adalah tujuan tertinggi, sehingga dengan dibelenggu oleh keinginan mereka akan menghalalkan segala cara menimbun kekayaan untuk memuaskan nafsunya. Orang seperti ini sesungguhnya menuntun jiwAtmanya menuju kehancuran yaitu pintu gerbang neraka. Oleh karena itu hindarilah semua itu, berbuatlah yang baik untuk jiwa kita agar mencapai tempat yang tertinggi, ((Sumarni dan Raharjo, 2015:118). Menghaturkan Yadnya hendaknya disesuaikan dengan Sastra Perhatikan seloka di bawah ini:

"Aphalākānksibhir yajño,


vidhi-drsto ya ijyate,
yastavyam eveti manah,
sāmadhāya sa sāttvikah," (Bhagawadgita.XVII.11)

Terjemahan:

"Yadnya yang dihaturkan sesuai dengan Sastranya, oleh mereka yang tidak mengharap buahnya (ganjaran) dan teguh kepercayaannya, bahwa memang sudah kewajibannya untuk beryadnya adalah Sattwika, baik," (G.Puja, 1999:392).

"abhisandhāya tu phalaṁ,


dambhārthaṁ api cai va yat, 
ijyate bharatasrestha,
tam yajñam viddhi rājasam," (Bhagawadgita.XVII.12)

Terjemahan:

"Akan tetapi apa yang dihaturkan dengan pengharapan akan buahnya, atau hanya untuk memamerkan, ketahuilah , O, Arjuna, bahwa yadnya itu adalah Rajasika, bernafsu," (G.Puja, 1999:392 dalam Sumarni dan Raharjo, 2015:119).

"Viddhihinam asrstānnaṁ,


mantrahinam adaksinam,
sraddhā-virahitaṁ yajnam,
tāmasaṁ paricaksate," (Bhagawadgita.XVII.13)

Terjemahan:

"Yadnya yang tidak sesuai dengan petunjuk, dengan tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan, dan tidak ada dana puniya daksina yang diberikan, tidak mengandung kepercayaan, mereka sebut yadnya yang Tamasika, bodoh," (G.Puja, 1999:393)

Nilai yang terkandung dalam seloka-seloka di atas adalah bahwa hendaknya pengorbanan atau yadnya itu dilakukan karena kewajiban, bukan untuk pamer atau untuk mencari keuntungan material. Ada kalanya seseorang melakukan korban (yadnya) hanya untuk mengangkat derajatnya demi keuntungan material di dunia ini. Kadang-kadang ada juga seseorang yang sembahyang kepada dewa-dewa tertentu hanya untuk mencari uang. Dan uang itu digunakan untuk memenuhi keinginannya tanpa peduli dengan aturan kitab suci. Hal-hal seperti inilah patut dihindari karena kegiatan seperti ini akan menghasilkan jiwa yang jahat dan merugikan masyarakat. Hendaknya yadnya dilakukan berdasarkan sastra yaitu beryadnya adalah kewajiban dan mematuhi peraturan kitab suci, dan untuk menghormati Tuhan Yang Maha Esa, (Sumarni dan Raharjo, 2015:120). Lebih baik menekuni kewajiban sendiri dari pada kewajiban orang lain Perhatikan seloka di bawah ini:

"sve-sve karmany abhiratah 


saṁsiddhiṁ labhate narah, 
svakarmaniratah siddhiṁ, 
yathā vindati tac chṛṇu," (Bhagawadgita..XVIII.45)

Terjemahan:

"Berbakti pada kewajiban masing-masing, orang mencapai kesempurnaan. Bagaimana orang berbakti pada kewajiban masing-masing mencapai kesempurnaan, dengarkanlah itu," (G.Puja, 1999:427)

"Yatah prabrttir bhūtānām,


yena sarwam idam tatam,
sva-karmanā tam abhyarcya,
sddhiṁ vindati mānavah," (Bhagawadgita.XVIII.46)

Terjemahan:

"Dia asal mula dari semua makhluk dan berada di mana-mana, dengan menyembah “Dia” melalui pelaksanaan kewajiban masing-masing, orang mencapai kesempurnaannya,"(G.Puja, 1999:428)

"śreyān svadharmo vigunah, 


para-dharmāt svanusthitāt 
svabhāva-niyatam karma, 
kurvan nāpnoti kilbisam," (Bhagawadgita.XVIII.47), ((Sumarni dan Raharjo, 2015:121).

Terjemahan:

"Lebih baik swadharma (kewajiban) diri sendiri meskipun kurang sempurna pelaksanaannya. Karena seseorang tidak akan berdosa jika melakukan kewajiban yang telah ditentukan oleh alamnya sendiri," (G.Puja, 1999:428)

Nilai yang terkandung dalam seloka di atas adalah bahwa semua manusia ditentukan swadharmanya (kewajibannya) menurut sifat dan watak kelahirannya. Oleh karena itu laksanakanlah kewajibanmu sendiri dengan baik, sebab dengan menyembah Tuhan melalui melaksanakan kewajiban masing-masing, maka kita akan memperoleh kesempurnaan. Janganlah melepaskan pekerjaan yang sesuai dengan diri meskipun ada kurangnya, karena semua usaha diselimuti oleh kekurangan-kekurangan, demikian disebutkan dalam Bhagawadgita,  (Sumarni dan Raharjo, 2015:122).

Sumarni, Ni Wayan dan Raharjo, Sukirno Hadi. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti                     Kelas VI. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.