Mediator dikenal dalam proses mediasi yang mengacu kepada Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“Perma 1/2016”), yaitu hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Show
Yang dimaksud mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.[1] Selain itu, setiap mediator wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi Mediator yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung.[2]
Hakim tidak bersertifikat juga dapat menjalankan fungsi mediator dalam hal tidak ada atau terdapat keterbatasan jumlah mediator bersertifikat dengan syarat adanya surat keputusan ketua Pengadilan.[3]
Tugas mediator tercantum dalam Pasal 14 Perma 1/2016 yakni:
Dalam menjalankan fungsinya, mediator bertugas:
Sehingga dapat diketahui bahwa peran mediator lebih condong kepada membantu merumuskan kesepakatan damai antara para pihak yang bersengketa dengan posisi netral dan tidak mengambil keputusan tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Setelah dikeluarkannya kesepakatan perdamaian, mediator kemudian mengajukannya agar dikuatkan dalam Akta Perdamaian kepada hakim pemeriksa perkara.[4]
Arbiter Profesi arbiter, berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”), yaitu seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
Sementara arbitrase berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 30/1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Yang dapat diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat:[5]
Selain itu, hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter dengan alasan agar terjamin adanya obyektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase.[6]
Selain persyaratan diatas, Susanti Adi Nugroho dalam bukunya Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya menyatakan bahwa syarat penting lainnya yang harus dimiliki arbiter, yaitu (hal. 167):
Arbiter pun dapat berperan aktif sebagaimana tercermin dalam Pasal 49 ayat (1) UU 30/1999 yang menerangkan bahwa atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya.
Masih bersumber dari buku yang sama, perlu diketahui bahwa umumnya proses arbitrase dipimpin oleh seorang arbiter, tetapi tidak tertutup kemungkinan akan adanya panel arbiter yang terdiri dari 3 orang. Jumlah orang yang menjadi arbiter ditentukan dari beberapa faktor (hal. 168):
Penunjukan arbiter dilakukan melalui perjanjian dan tercermin dalam Pasal 17 ayat (1) UU 30/1999, yaitu:
Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan terjadi suatu perjanjian perdata.
Susanti Adi Nugroho kemudian menjelaskan frasa “penunjukan dan pengangkatan arbiter dilakukan secara tertulis” membawa konsekuensi lahirnya suatu perjanjian perdata antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan (hal. 175).
Penunjukan ini mengakibatkan arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat, seperti yang diperjanjikan bersama (hal. 175).
Di sisi lain, Pasal 73 UU 30/1999 menyebutkan berakhirnya tugas arbiter karena:
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa arbiter memiliki peran untuk menjalankan prosedur atau tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagaimana secara spesifik diatur dalam Pasal 27 – Pasal 48 UU 30/1999.
Konsiliator Menurut Pasal 1 angka 10 UU 30/1999, konsiliasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan. Akan tetapi, penjelasan lebih lanjut mengenai konsiliasi tidak kami temukan dalam UU 30/1999.
Endrik Safudin dalam buku Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase menerangkan bahwa konsiliasi adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan dibantu oleh pihak ketiga atau konsiliator (hal. 60).
Endrik Safudin mengutip Dictionary of Law Complete Edition yang menjelaskan bahwa konsiliasi adalah usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang bersengketa agar mencapai kesepakatan guna menyelesaikan sengketa dengan cara kekeluargaan (hal. 62).
Pihak ketiga dalam konsiliasi berbeda dengan pihak ketiga dalam mediasi, karena konsiliator bersifat lebih aktif dibandingkan dengan mediator (hal. 60).
Konsiliator bertugas tidak hanya sebagai fasilitator, seperti mediator, namun juga bertugas untuk menyampaikan pendapat tentang duduk persoalan, memberikan saran-saran yang meliputi keuntungan dan kerugian dan mengupayakan tercapainya suatu kesepakatan kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa (hal. 63).
Selanjutnya, kami berpedoman pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”) untuk memberikan contoh upaya konsiliasi di Indonesia.
Konsiliasi Hubungan Industrial Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU 2/2004, konsiliasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
Yang dimaksud dengan konsiliator hubungan industrial menurut Pasal 1 angka 14 UU 2/2004 adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Konsiliator melakukan penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan dalam wilayah kerjanya yang meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.[7] Konsiliator tersebut harus terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.[8]
Selain itu, syarat menjadi konsiliator adalah:[9]
Jika mencapai suatu kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri.[10]
Jika kesepakatan tidak tercapai, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis.[11] Apabila ada pihak yang menolak, maka salah satu atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat.[12]
Perbedaan antara Mediator, Arbiter, dan Konsiliator Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan perbedaaan di antara ketiganya sebagai berikut:
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XIII/2015
Referensi:
[1] Pasal 1 angka 1 Perma 1/2016 [2] Pasal 13 ayat (1) Perma 1/2016 [3] Pasal 13 ayat (2) Perma 1/2016 [4] Pasal 27 ayat (4) jo. Pasal 1 angka 10 Perma 1/2016 [5] Pasal 12 ayat (1) UU 30/1999 [6] Pasal 12 ayat (2) dan penjelasannya [7] Pasal 18 ayat (1) UU 2/2004 [8] Pasal 17 UU 2/2004 [9] Pasal 19 ayat (1) UU 2/2004 [10] Pasal 23 ayat (1) UU 2/2004 [11] Pasal 23 ayat (2) huruf a UU 2/2004 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XIII/2015. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui konsoliasi. Bagaimana cara mengisi formulir tersebut?Jawaban ini terverifikasi. Mengisi formulir dengan pulpen tinta berwana hitam.. Lembar formulir tidak boleh robek, rusak, atau kusut.. Mengisi formulir di lakukan dengan menggunakan huruf kapital.. Mengisi identitas diri dengan sebenar- benarnya tanpa membohongi.. Bubuhkan tanda tangan pada bagian kanan bawah.. Apa yang dimaksud f1 01?Merupakan formulir yang digunakan sebagai persyaratan pendaftaran penduduk untuk pencatatan biodata WNI. Formulir ini diisi oleh pemohon sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang terdaftar dalam 1 kartu keluarga.
Apa saja isi dari akta kelahiran?Biasanya, sebuah akta lahir terdiri atas pencantuman beberapa maklumat sebagai berikut:. Nama kelahiran anak.. Tanggal dan waktu kelahiran anak.. Jenis kelamin anak.. Tempat kelahiran anak.. Nama kedua orang tua dari seorang anak.. Pekerjaan kedua orang tua seorang anak.. Berat dan tinggi badan anak.. Langkah langkah pembuatan akta kelahiran online?Cara membuat akta kelahiran online. Daftar akun. ... . Jika sudah memiliki akun. ... . Isi formulir dan unggah berkas persyaratan. ... . Terima tanda bukti permohonan. ... . Tunggu verifikasi dan validasi petugas. ... . Petugas menerbitkan register akta kelahiran. ... . Kutipan akta kelahiran dibubuhi tanda tangan elektronik. ... . Pemberitahuan melalui email.. |