15.3.18
INIRUMAHPINTAR - Indonesia dikenal dunia sebagai negeri multikultural. Lalu, apa saja hal-hal yang menjadi Latar Belakang Terbentuknya Masyarakat Multikultural di Indonesia? Melalui tulisan ini, mari kita renungi sejumlah faktor-faktor dan unsur-unsur pembeda yang menjadi cikal-bakal hadirnya komunitas multikultural di Indonesia tersebut: Indonesia adalah negara kepulauan yang memungkinkan hadirnya banyak wilayah-wilayah dengan ciri khas masing-masing. Setiap wilayah dari waktu ke waktu tumbuh menjadi peradaban yang unik dan berbeda satu sama lain. Wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia pun kemudian dihuni oleh masyarakat-masyarakat yang beragam. Mereka hidup dan mencari penghidupan sesuai kontur wilayah yang mereka tinggali. Mereka berinteraksi dan berkarya juga sesuai cerminan wilayah masing-masing. Salah satu produk utama yang menopang hadirnya masyarakat multikultural yakni bahasa. Setiap wilayah memiliki perbedaan bahasa. Bahkan, satu masyarakat serumpun sekalipun yang mendiami pulau yang sama terkadang memiliki bahasa yang berbeda. Sekalipun ada yang sama, perbedaan jarak dan wilayah menghasilkan perbedaan kosakata dan dialek Perbedaan wilayah juga menjadi latar belakang timbulnya perbedaan struktur geografis. Selanjutnya, perbedaan geografis hadir sebagai salah satu latar belakang terbentuknya masyarakat multikultural. Komunitas yang mendiami area pegunungan, pantai, persawahan, pasar dan pusat kota tentu memiliki cara hidup berbeda. Karena itulah kita temui beranekaragam profesi, seperti petani, nelayan, pegawai, pedagang, dsb. Bahkan, adanya struktur geografis yang berbeda (misalnya perbedaan struktur tanah), memungkinkan profesi serupa memiliki kultur berbeda. Dalam hal ini, sesama petani saja belum tentu akan menanam produk pertanian yang sama. Di profesi lain seperti nelayan misalnya, cara mereka menangkap ikan pun belum tentu sama. Pedagang juga begitu. Mereka pasti akan menjual dagangan berbeda dan menjual dengan gaya berbeda. Termasuk, konsumen, para pembeli, mereka akan menawar dan membeli dengan kultur berbeda.
Masyarakat tumbuh dipengaruhi oleh sejarah peradabannya. Karena hampir semua wilayah Indonesia pernah sama-sama terjajah, maka tidak mengherankan, setiap wilayah memiliki senjata khas masing-masing yang dulunya digunakan sebagai alat melawan penjajah. Selain itu, semua wilayah juga memiliki tarian perang berbeda-beda, yang digunakannya sebagai strategi latihan yang aman untuk melawan penjajah. Faktor sejarah juga melatarbelakangi pengaruh keyakinan dan kepercayaan setiap etnis masyarakat. Aceh, yang kental dengan pengaruh Islam akan cenderung memiliki kultur Islam yang kental. Begitupun Bali, yang erat kaitannya dengan kultur Hindu. Masyarakat di wilayah-wilayah lain di Indonesia pun memiliki proses seperti itu. Adanya kekhasan sosial budaya juga melatarbelakangi terbentuknya masyarakat multikultural di Indonesia. Budaya merantau yang banyak dipraktikkan masyarakat Bugis Makassar misalnya, menjadikan etnis ini hampir selalu ada di bumi Indonesia. Bahkan tidak sedikit rumpun Bugis yang melanglang buana hingga ke mancanegara, seperti Malaysia, Brunei, hingga Madagaskar. Termasuk etnis Sumatra yang juga terkenal senang merantau, banyak ditemui di pulau Jawa. Belum lagi adanya pola transmigrasi yang dicanangkan pemerintah sejak dulu, menjadikan masyarakat multi-etnis dari seluruh Indonesia saling berinteraksi dan membentuk masyarakat yang bervariasi. Pemerataan pembangunan juga dapat melatarbelakangi terbentuknya masyarakat multikultural di Indonesia. Coba bandingkan Jawa dan Papua. Walaupun Papua dikenal dengan penghasil emas terbesar di dunia, toh, ternyata berbanding terbalik dengan kultur masyarakatnya yang masih sangat tertinggal dibandingkan dengan masyarakat di pulau Jawa. Perbedaan kontur infrastruktur, seperti jalan raya, tentu mempengaruhi tipe-tipe transportasi. Selain itu, perbedaan pemerataan teknologi informasi, juga mempengaruhi respon masyarakat terhadap internet dan smartphone. Masyarakat Papua tentu tidak memiliki ketergantungan yang sama dengan masyarakat Jawa untuk mengakses dunia maya, berkomunikasi via ponsel, atau mencari informasi di media massa. Jadi, tidak mengherankan lahirnya masyarakat multikultural di Indonesia.
Perbedaan kualitas pendidikan, mulai dari sarana dan prasarana, kompetensi dan jumlah guru, dukungan fasilitas perpustakaan dan internet juga mempengaruhi keberagaman masyarakat. Tidak terkecuali hadirnya pendidikan non-formal seperti lembaga bimbingan belajar, kursus, dan pelatihan keterampilan ikut menjadi latar belakang terbentuknya masyarakat multikultural. Masyarakat di perkotaan yang memiliki akses pendidikan lebih luas tentu akan memiliki kecenderungan pola hidup dan kultur berbeda. Termasuk dalam persaingan memperoleh pekerjaan. Jadi, jangan heran jika masyarakat kota cenderung lebih egois ketimbang masyarakat desa. Dan dari segi adab dan sopan-santun, masyarakat desa cenderung lebih terbuka dan senang berinteraksi serta saling tolong-menolong. Majunya peradaban, majunya pendidikan, dan luasnya daya jangkau manusia, termasuk dalam mengenyam ilmu pengetahuan dan teknologi, membuatnya menjadi manusia-manusia yang multikultural. Orang-orang yang dulunya beragama dengan baik, bisa menjadi radikal hanya karena salah bergaul dan berguru. Orang-orang yang beragama tapi kaku dan tidak melengkapinya dengan pengetahuan bisa menjadi sesat dan salah dalam ber-Tuhan. Kedangkalan beraqidah dan kebodohan yang disebabkan miskinnya ilmu agama dan fakirnya akal sehat akan memungkinkan lahirnya manusia-manusia yang justru meninggalkan agama. Akal tanpa agama itu buta, agama tanpa akal itu tuli. Hidup tanpa agama akan cacat. Adanya faktor-faktor yang menjadi latar belakang terbentuknya masyarakat multikultural di Indonesia di atas tentu sangat berguna sebagai bahan renungan dan belajar. Tantangannya adalah, bagaimana kita, masyarakat Indonesia bisa hidup berdampingan dengan aman, damai, tenteram dengan kondisi berbeda-beda? Apakah Pancasila sudah layak menjadi pemersatu? Jika ya, mengapa hingga detik ini, kita masih sering mendapati adanya kericuhan akibat perbedaan? Ayo kita bangun bangsa kita, mari bergandengan tangan meski kita berbeda, tapi ingat! jangan sampai melangkahi garis-garis toleransi, terutama dalam hal berkeyakinan. Stop menilai agama lain dengan ukuran agama sendiri (apalagi dengan membuat status di sosial media), kecuali ingin berdiskusi dalam ranah akademik bersama para ahlinya. Kalau ada yang salah atau menurut kita salah, dahulukan tabayyun. Hilangkan fitnah dan adu domba. Indonesia tidak memaksa kita untuk sama, dan menyamakan perbedaan, melainkan bagaimana hidup menerima perbedaan. Jadi, sebagai penutup, jika masih ada yang kamu dapati melakukan aktivitas yang melawan perbedaan, abaikan, jauhi, dan jangan bati-bati (cuekin). Biar mereka terkucilkan dan menyadari bahwa Indonesia bukanlah tempat yang pantas buat mereka. Related Posts :Multikulturalisme atau kemajemukan budaya (berasal dari kata "multi" dan "kultural"; yang berarti "budaya yang majemuk")[1] adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan individu dengan individu lain atau perbedaan nilai-nilai yang dianut,[2] seperti perbedaan sistem, budaya, agama, kebiasaan, dan politik.
Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu.[3]
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru. Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Afrika pada tahun 1999.[9] Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit.[butuh rujukan] Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Inggris dan Prancis, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan multikulturalisme.[10] Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dan Jerman, dan beberapa negara lainnya. Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu. Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut. Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat disimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau di mana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam. Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat. Multikultural dapat terjadi di Indonesia karena: 1. Letak geografis indonesia 2. perkawinan campur 3. iklim
|