Berikan contoh peranan rakyat dalam pelaksanaan demokrasi di indonesia

ejak diproklamasikan kemerdekaan RI dan disahkan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), secara formal Indonesia menganut demokrasi konstitusional. Namun, sejak Proklamasi kemerdekaan sampai sekarang telah terjadi perubahan dalam konstitusi negara, yaitu sebagai berikut.

Perubahan penggunaan UUD ini berimplikasi pada sistem pemerintahan begitu pula praktik pemerintahannya tidak jarang menyimpang dari landasan dasarnya sebagai contoh berlandaskan UUD 1945. Sistem pemerintahan adalah presidentil, namun dalam praktik sistem parlementer, sampai digunakan UUD RIS dan UUDS bentuk pemerintahan menggunakan sistem parlementer. Jadi, sistem pemerintahan presidentil murni baru dapat dilakukan setelah Dekrit Presiden 1959 (kembali ke UUD 1945). Maka untuk melihat perkembangan demokrasi di Indonesia secara sederhana, kita dapat membagi menjadi tiga periode, yaitu sebagai berikut.

  1. Masa demokrasi parlementer yang berlangsung dari tahun 1945–1959.
  2. Masa demokrasi terpimpin dari tahun 1959 sampai dengan 1965.
  3. Masa demokrasi Pancasila dari tahun 1945 sampai sekarang.

Pemilu sebagai tonggak demokrasi berhasil dilaksanakan pada tahun 1955. Hasil pemilu pertama ini tidak membawa stabilitas yang diharapkan, konflik pusat dan daerah terjadi, koalisi partai dalam membentuk pemerintahan rapuh sebagaimana terjadi sebelum pemilu. Kabinet yang dibentuk jatuh bangun dan tentu saja hal ini berimplikasi terhadap program-program pembangunan yang tidak banyak dapat diselesaikan. Ketidakstabilan politik di masa ini diperparah lagi oleh pergolakan daerah yang tidak puas terhadap kebijakan-kebijakan pusat, menuntut otonomi daerah dan masalah-masalah regionalisme lainnya.

Berikan contoh peranan rakyat dalam pelaksanaan demokrasi di indonesia

MENDUDUKI GEDUNG DPR/MPR – Puluhan ribu mahasiswa Selasa (19/5) mendatangi dan ”menduduki” Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta. Mereka bukan hanya menduduki, dalam arti ‘menguasai’ gedung itu, melainkan menduduki dalam arti harfiah. Mereka benar-benar duduk di atas kubah Gedung DPR/MPR. (Demokrasi atau Revolusi?)

Gambar 6.1.

Menduduki Gedung DPR/MPR

Pada masa demokrasi terpimpin ciri yang sangat menonjol adalah kuatnya peranan Presiden sebagai pusat kekuasaan, melemahnya peranan partai politik dan meningkatnya peranan militer. Presiden Soekarno sebagai pusat kekuasaan juga membuat PKI sebagai basis massa pendukungnya di satu sisi, dan di sisi lain meningkatkan peranan militer sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan yang bertujuan untuk mengimbangi kekuatan PKI yang semakin besar pada tahun enam puluhan. Pada periode ini digunakan UUD 45, tetapi dalam praktik banyak tindakan-tindakan Presiden yang menyimpang dari UUD 1945 tersebut, seperti Presiden Soekarno membubarkan DPR/MPR (hasil pemilu) lalu di bentuk DPR-GR, dan MPRS yang banyak anggota-anggotanya ditunjuk berdasarkan selera penguasa. Dalam UUD 1945 meskipun kedudukan presiden sangat kuat, namun ia tidak dapat membubarkan DPR. Intervensi eksekutif juga merambah ke bidang yudikatif dan perlu diingat pula dengan ketetapan MPRS/Tahun 1963, Soekarno diangkat sebagai Presiden seumur hidup. Selain itu, terjadi juga penyelewengan bidang lain, seperti pembentukan front nasional (badan ekstra konstitusional), pemberedelan pers yang dianggap menyimpang dari ”Rel Revolusi”, pengendalian izin terbit media massa. Sementara itu, kondisi perekonomian rakyat dan negara semakin merosot inflasi sebesar 600%. Kondisi ekonomi ini yang mendorong makin berkembangnya dan kuatnya komunisme di Indonesia (ingat paham komunisme cepat berkembang pada masyarakat miskin). Akhirnya, masa atau periode ini diakhiri dengan pemberontakan PKI melalui gerakan tiga puluh September 1965 (G 30 S/PKI) dan masa periode ini dikenal sebagai ”Orde Lama”.

Periode selanjutnya, tahun 1965 sampai dengan lengsernya Soeharto sebagai Presiden selama 32 tahun kita namakan ”Orde Baru. Orde ini ditandai dengan tekad dan semangat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Jika diamati dan dikaji upaya tersebut tampak adanya upaya untuk meletakkan dan memperbaiki landasan hukum untuk pelaksanaan demokrasi. Meskipun demikian tidaklah berarti pelaksanaan semuanya itu sesuai dengan landasan hukum yang dibuat. Masalah pelanggaran hukum, kebebasan badan-badan peradilan menjadi sorotan yang tajam, pemusatan kekuasaan hanya pada satu tangan ”Sang Presiden” berimplikasi sangat luas pada perkembangan politik, birokrasi dan masalah-masalah pembangunan. Namun, secara jujur pada periode ini kita mencatat banyak kemajuan yang menggembirakan seperti kebebasan pers yang diperlonggar kecuali dalam masalah-masalah yang peka atau rawan terhadap stabilitas nasional seperti SARA (suku, agama, Ras, dan antargolongan) pemerintah sangat ketat dalam mengontrolnya. Periode ini dikenal dengan Demokrasi Pancasila di masa orde lama sebagai cerminan dari tekad untuk mewujudkan secara murni dan konsekuen Pancasila dan UUD 1945 tersebut.

Ciri yang sangat menonjol adalah pemusatan kekuasaan pada presiden, lembaga legislatif seolah-olah subordinasi lembaga eksekutif, dan besarnya peranan militer dalam kehidupan politik dan merambah ke segala bidang yang dibantu oleh kelompok teknokrat dan birokrat.

Perwujudan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen ditandai dengan pencabutan Tap MPRS No. 3 Tahun 1963 tentang Presiden seumur hidup, TAP MPRS No. XIX/1966 mengenai peninjauan kembali produk-produk legislatif yang telah diundangkan pada zaman demokrasi terpimpin, kebebasan badan-badan peradilan (UU No. 14 Tahun 1970) pengembalian hak kontrol kepada DPR, pemisahan keanggotaan DPR dengan eksekutif. Di samping melakukan koreksi terhadap infrastruktur penegakan demokrasi (UU dan PP) dilakukan pemilihan umum pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 2001, dilakukan penataan organisasi politik dan kemasyarakatan. Wujudnya penyederhanaan jumlah parpol mulai dari 9 parpol + 1 Golkar pada tahun 1971 dan kemudian dua parpol dan satu Golkar dalam pemilihan selanjutnya.

Dalam pelaksanaan pemilu meskipun masih dirasakan kekurangan-kekurangan, namun kalau dilihat dari proses perkembangan tampak adanya kemajuan. Beberapa pelanggaran terjadi oleh peserta pemilu sebagai akibat dari upaya masing-masing peserta pemilu untuk memperoleh dukungan masyarakat. Hal yang perlu dicatat di masa orde baru ini adalah adanya upaya pengembangan demokrasi yang dinamakan ”Demokrasi Pancasila” yaitu demokrasi yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila. Dalam Demokrasi Pancasila ada dua nilai dasar yang dikembangkan sebagai budaya politik, yaitu tidak dikenalnya istilah oposisi dan nilai musyawarah untuk mencapai mufakat. Budaya politik oposisi sebagai wujud budaya barat tidak kenal atau sekurang-kurangnya belum dapat diaplikasikan dalam masyarakat Indonesia.

Selepas masa ”orde baru”, dikenal era ”Reformasi” yang idealnya memberikan koreksi terhadap pelaksanaan demokrasi di masa ”orde baru”. Dari kehidupan akibat pendekatan keamanan yang ketat di masa ”orde baru” dan begitu peralihan rezim tampak masyarakat ”lepas kendali” dalam melaksanakan demokrasi di era reformasi. Atas nama demokrasi kita menjungkirbalikkan tatanan pemerintahan yang ada, atas nama demokrasi tradisi dan hukum dilanggar, atas nama demokrasi kita membuat produk-produk hukum yang tidak dapat diterapkan di masyarakat. Atas nama demokrasi kita melanggar kesantunan dan kepatutan yang diwariskan nenek moyang kita. Demokrasi memerlukan prakondisi dan prakondisi yang utama adalah “kecerdasan” dan “rasionalitas” masyarakat yang berdemokrasi. Prakondisi yang utama lainnya adalah demokrasi dapat berkembang dengan pesat pada masyarakat yang cukup memadai secara ekonomi (golongan menengah ke atas). Demokrasi tidak akan berkembang dalam masyarakat yang masih miskin dan tidak terdidik. Pada masyarakat miskin paling cepat berkembang ideologi-ideologi radikal seperti komunisme.

Demokrasi memang bukan obat mujarab untuk menyembuhkan bangsa ini dari “penyakit” tetapi ia adalah salah satu cara yang mungkin akan lebih efektif kalau diadaptasikan dengan kultur bangsa kita bukan bangsa Amerika, bangsa Inggris. Jadi, dalam berdemokrasi kita tidak harus sama dengan mereka, begitu pula apabila Anda kaji dalam demokrasi apakah suara seorang profesor doktor atau Anda sebagai kelompok intelektual dapat kita samakan dengan seorang tukang baso atau kuli bangunan? coba Anda diskusikan dengan teman-teman Anda.

Lepas dari itu semua di era reformasi ini banyak terjadi perbaikan dalam kehidupan berdemokrasi. MPR sejak 19 Oktober 1999 sampai dengan 10 Agustus 2002 telah mengamandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali. Amandemen pertama pada tanggal 19 Oktober 1997, kedua pada tanggal 18 Agustus 2000 ketiga pada tanggal 10 November 2001 dan keempat pada tanggal 10 Agustus 2002.

Banyak hal yang telah berubah, berkembang dan diperjelas dalam infrastruktur ketatanegaraan kita yang dituangkan dalam amandemen UUD 1945 untuk mengarah kepada pemerintahan yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (coba diskusikan materi amandemen I, II, III, dan IV dengan teman-teman anggota kelompok belajar Anda).

MPR berubah muka merupakan gabungan antara DPR dan DPD yang dipilih oleh rakyat. Wewenangnya pun berubah, kalau dahulu wewenangnya memilih dan melantik Presiden, sekarang hanya melantik karena presidennya langsung dipilih oleh rakyat. Kalau melihat amandemen UUD 1945 agaknya infrastruktur untuk kita berdemokrasi sudah cukup baik. Masalah yang mendasar adalah konsistensi dalam menegakkan hukum masih belum ajeg karena berbagai kepentingan sesaat. Ilustrasi berikut ini dapat Anda renungkan bagaimana proses kepemimpinan akan berjalan dengan baik, kalau sang pemimpin dirongrong untuk dijatuhkan atau saling menjatuhkan bukan saling bersinergi atau saling memperkuat.

    Berbeda dengan masa Orde Baru yang jumlah parpol dibatasi, di era reformasi ini jumlah parpol tidak dibatasi namun diberikan persyaratan yang ketat. Dalam pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, meski dirasakan masih banyak kekurangan di sana-sini, namun apabila dilihat dari sisi proses perkembangan tampak adanya kemajuan-kemajuan. Beberapa pelanggaran dilakukan oleh para peserta pemilu dalam upaya mencari dukungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat. Selain itu juga partai politik belum sepenuhnya mampu melakukan fungsinya dengan baik, antara lain sebagai akibat langsung dari konflik internal yang tak kunjung berhenti di dalam partai itu sendiri dan kedewasaan dalam para pemimpin dalam berpolitik (menghormati yang menang dan menghargai yang kalah).

Berikan contoh peranan rakyat dalam pelaksanaan demokrasi di indonesia

Gambar 6.2.
Model Kepemimpinan di awal Reformasi, “Panjat Pinang”. Pemimpin yang satu naik yang lain menarik atau menggoyangnya. Sistem kepemimpinan belum ajeg. Mungkin pemilihan Presiden secara langsung mengatasinya.