Admin gerokgak | 12 Januari 2021 | 45977 kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDES) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan Desa. Secara yuridis APBDES merupakan produk hukum desa berupa Peraturan Desa, dimana merupakan produk kesepakatan antara Badan Permusyawaratan Desa dengan Kepala Desa dalam musyawarah desa. Secara substansi APBDES merupakan produk perencanaan yang disusun berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) dan merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDES). Peraturan desa tentang APBDES tersebut ditetapkan paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya. Dari aspek struktur atau komponen, APBDES terdiri dari pendapatan, belanja dan pembiayaan. Pendapatan adalah semua penerimaan Desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang menjadi hak Desa dan tidak perlu dikembalikan oleh Desa. Pendapatan yang terdiri dari Pendapatan Asli Desa, Hasil Transfer dan Pendapatan Lainnya: A. Pendapatan asli Desa : Pendapatan asli Desa adalah penerimaan Desa yang diperoleh atas usaha sendiri sebagai pelaksanaan kewenangan Desa, baik dalam bentuk hasil usaha Desa, hasil aset, swadaya partisipasi dan gotong royong, dan pendapatan asli desa lain. Pendapatan Asli Desa dapat diperoleh dari : 1) Hasil usaha : Hasil usaha adalah seluruh hasil usaha milik Desa yang dikelola secara terpisah berdasarkan Peraturan Desa berpedoman pada Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 10 Tahun 2015 tentang Pembentukan dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa. Salah satu hasil usaha yang menimbulkan penerimaan bagi pendapatan Desa dari hasil usaha Desa, antara lain hasil BUM Desa. 2) Hasil aset : Hasil aset adalah seluruh hasil dari barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli milik Desa, dibeli atau diperoleh atas beban APB Desa atau perolehan hak lainnya yang sah. Seperti; tanah kas Desa, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan yang dikelola oleh Desa, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik Desa, pemandian umum, wisata Desa dan lain-lain kekayaan asli Desa sesuai dengan Peraturan Desa tentang Pengelolaan Aset Desa yang berpedoman pada Peraturan Bupati Buleleng Nomor 80 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Aset Desa. 3) Swadaya, partisipasi dan gotong royong : Swadaya, partisipasi dan gotong royong masyarakat adalah penerimaan yang berasal dari sumbangan masyarakat Desa. Penganggaran penerimaan swadaya, partipasi dan gotong royong harus dihitung secara cermat dan riil dalam bentuk uang yang masuk ke rekening kas Desa untuk mendukung pelaksanaan suatu kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Desa. 4) Pendapatan asli Desa lain : Pendapatan asli Desa lain adalah penerimaan Desa yang diperoleh antara lain dari hasil pungutan Desa sesuai dengan kewenangan Desa yang ditetapkan dan diatur dalamPeraturan Desa. Pemerintah Desa dilarang melakukan pungutan Desa di luar yang ditetapkan dan diatur dalam Peraturan Desa dan penyusunan rancangan Peraturan Desa tentang pungutan Desa wajib mendapat evaluasi dari Bupati. B. Transfer : 1) Dana Desa : Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.Dana Desa dianggarkan sesuai Peraturan Bupati tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan Rincian Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten Buleleng Tahun Anggaran 2020. Apabila Peraturan Bupati tersebut belum ditetapkan, penganggaran pendapatan dari Dana Desa didasarkan pada tahun sebelumnya atau informasi atas alokasi sementara Dana Desa yang akan diterima masing-masing Desa di Kabupaten Buleleng. 2) Bagian dari Hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah : Bagian dari hasil pajak paerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan Desa yang berasal dari bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten. Bagian dari Hasil pajak daerah dan retribusi daerah dianggarkan sesuaiPeraturan Bupati tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan Rincian Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten Buleleng Tahun Anggaran 2020. Apabila Peraturan Bupati tersebut belum ditetapkan, penganggaran pendapatan dari bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten didasarkan pada tahun sebelumnya atau informasi atas alokasi sementara bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten yang akan diterima masing-masing Desa di Kabupaten Buleleng. 3) Alokasi Dana Desa (ADD) : Alokasi Dana Desa, selanjutnya disingkat ADD, adalah bagian dari dana perimbangan/dana alokasi umum yang diterima kabupaten dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten setelah dikurangi dana alokasi khusus yang selanjutkan dialokasikan ke Desa. ADD dianggarkan sesuaiPeraturan Bupati tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan Rincian Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten Buleleng Tahun Anggaran 2020. Apabila Peraturan Bupati tersebut belum ditetapkan, penganggaran pendapatan dari ADD didasarkan pada tahun sebelumnya atau informasi atas alokasi sementara ADD yang akan diterima masing-masing Desa di Kabupaten Buleleng. 4) Bantuan keuangan dari APBD Provinsi : Adalah bantuan keuangan dari pemerintah Provinsi Bali kepada Desa yang merupakan upaya untuk mendukung Pemerintah Desa 9 dalam melaksanakan kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa. Bantuan Keuangan dapat bersifat khusus dan bersifat umum. Bantuan keuangan dianggarkan apabila sudah ada dasar hukum atau ketetapan yang sahyang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali atau berdasarkan informasi yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Bali. 5) Bantuan keuangan dari APBD Kabupaten : Adalah bantuan keuangan dari pemerintah Kabupaten Buleleng kepada Desa yang merupakan upaya untuk mendukung Pemerintah Desa dalam melaksanakan kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa. Bantuan keuangan dapat bersifat khusus dan bersifat umum. Bantuan keuangan dianggarkan apabila sudah ada dasar hukum atau ketetapan yang sah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng atau berdasarkan informasi yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng. Bantuan keuangan bersifat khusus dikelola dalam APB Desa, tetapi tidak masuk dalam perhitungan belanja penggunaan paling sedikit 70% (tujuh puluh per seratus) untuk belanja pembangunan dan paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) untuk belanja operasional. C. Pendapatan lain : Pendapatan lain adalah pendapat Desa yang terdiri atas : 1) Penerimaan dari hasil kerja sama Desa; 2) Penerimaan dari bantuan perusahaan yang berlokasi di Desa; 3) Penerimaan dari hibah dan sumbangan dari pihak ke tiga; 4) Koreksi kesalahan belanja tahun anggaran sebelumnya yang mengakibatkan penerimaan di Kas Desa pada tahun anggaran berjalan; 5) Bunga bank; 6) Hadiah lomba yang diikuti oleh Pemerintah Desa; dan 10 7) Pendapatan lain Desa yang sahpendapatan asli desa, transfer dan pendapatan lainnya. Sedangkan belanja desa terdiri dari belanja : bidang pemerintahan desa, bidang pelaksanaan pembangunan desa, bidang pembinaan kemasyarakatan desa, bidang pemberdayaan masyarakat dan bidang penanggulangan bencana keadaan darurat mendesak desa. Jenis belanja terdiri dari : belanja pegawai, belanja barang/jasa, belanja modal dan belanja tak terduga. Belanja Desa adalah semua pengeluaran yang merupakan kewajiban Desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak akan diterima kembali oleh Desa. Adapun pembiayaan desa terdiri dari : penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Pembiayaan Desa adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun anggaran berikutnya. Yang termasuk penerimaan pembiayaan adalah : SILPA tahun sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan desa yang dipisahkan kecuali tanah dan bangunan. Sedangkan termasuk pengeluaran pembiayaan adalah : pembentukan dana cadangan dan penyertaan modal. Ada parameter atau ukuran untuk menentukan sejauhmana APBDES dinilai baik atau berkualitas yaitu disusun dan ditetapkan tepat waktu, materi yang disusun singkron dengan perencanaan kegiatan di Kecamatam,Kabupaten, Provinsi maupun arah kebijakan nasional serta kegiatan yang telah ditetapkan memiliki nilai-nilai inovasi dalam peningkatan kualitas pelayanan, berupa pengadaan aplikasi yang memudahkan pelaksanaan sikronisasi penginputan data Desa ke Kecamatan. Demikian artikel tentang Pendapatan dan Belanja Desa Berdasarkan Perbup Buleleng Nomor 53 Tahun 2020 dan Permendagri Nomor 111 Tahun 2014. Sumber: 1. Permendagri Nomor 111 Tahun 2014 2. Perbup Buleleng Nomor 53 Tahun 2020 sumber gambar https://sedesa.id/apa-saja-sumber-pendapatan-desa-dalam-uu-desa Pengumpul data dari Seksi Pemerintahan dan Pengolah data dari Sekretariat MENCERMATI KEBIJAKAN PENYUSUNAN APBDESA: BELAJAR DARI KASUS PENYUSUNAN APBDESA DI PROVINSI JAWA TIMUR Banu Witono Abstraksi Kebijakan penyusunan APBDesa menjadi salah satu bagian yang sangat penting dalam pengelolaan keuangan Desa. Berbagai permasalahan akan muncul, ketika Pemerintah Desa kurang memahami dan menaati kebijakan penyusunan APBDesa. Banyak kasus mengemuka pada Pemerintah Desa di Provinsi Jawa Timur terkait dengan kebijakan penyusunan APBDesa, yaitu: tidak ada sinkronisasi antara RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa; ketidaktepatan waktu pengesahan APBDesa; Pemerintah Desa melakukan perubahan APBDesa lebih dari satu kali dalam satu tahun anggaran. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa problematika tersebut terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: faktor lingkup pengelolaan keuangan pemerintah; faktor siklus perencanaan dan penganggaran pemerintah; serta faktor sumber daya manusia. Upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan desa, khususnya mengenai kebijakan penyusunan APBDesa, antara lain: peningkatan kapasitas perangkat desa dalam pengelolaan keuangan desa; penempatan pendamping desa yang kompeten dan kredibel dalam pengelolaan keuangan desa; adanya langkah antisipatif dari pemerintah daerah dengan mengeluarkan kebijakan guna menghindari keterlambatan penyusunan APBDesa. Kata Kunci: Pengelolaan Keuangan Desa, Kebijakan Penyusunan APBDesa PENDAHULUAN Upaya pemerintah untuk memperluas dan memperkuat ruang otonomi daerah pada unit pemerintahan yang terkecil yaitu desa mulai menemukan momentumnya. Perlahan tapi pasti, roda pembangunan di desa mulai menggeliat seiring dengan diterbitkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Setelah sebelumnya pemerintahan di era reformasi ini telah mencanangkan pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah sejak diterbitkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kajian mengenai desentralisasi sudah banyak dilakukan, ada banyak definisi tentang desentralisasi ini dalam berbagai perspektifnya karena tidak ada definisi tunggal dan bersifat universal. Faguet (2004) mengartikan desentralisasi sebagai penyerahan fungsi-fungsi khusus berupa kedudukan administratif, politik dan ekonomi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang independen atas pusat di dalam domain geografis dan fungsional yang dibatasi secara legal. Cheema dan Rondenell yang dikutip oleh Surbakti (2013:8) membagi desentraliasi dalam beberapa bentuk, yaitu desentralisasi administratif, politik, fiskal dan pasar. Sedangkan Muttalib dan Khan (2013) memandang desentralisasi dalam dimensi, yaitu dimensi sosial, ekonomi, geografis, hukum, politik dan administrasi. Desentralisasi memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan yang terkait dengan masalah, politik, sosial, ekonomi dan administratif di daerah. Blair (2000) meyakini bahwa secara politik, desentralisasi merupakan langkah menuju demokratisasi dengan cara membangun partisipasi umum dan akuntabilitas pada pemerintah daerah karena pada tingkatan daerah akan menjadi lebih resposif atas kebutuhan masyarakat dan lebih efektif dalam pemberian fasilitas pelayanan (Blair menyebutnya Democratic Decentralization atau Democratic Local Governance). Dalam perspektif sosial, desentralisasi akan mendorong kemandirian masyarakat dengan memfungsikan pranata sosial dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi secara lebih efektif, efisien dan adil. Desentralisasi dalam kaca mata ekonomi diyakini dapat mencegah eksploitasi pusat terhadap daerah, menumbuhkan inovasi masyarakat dan mendorong motivasi masyarakat untuk lebih produktif. Sedangkan secara administratif, desentralisasi diharapkan akan mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sekaligus meningkatkan daya guna, transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah (Blair, 2000; Devas dan Grand, 2003; Chalid, 2005; Eckardt, 2008; Widjaja, 2009) Jika merujuk pengertian dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengenai desentralisasi, otonomi daerah dan daerah otonom akan sangat jelas batasan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah. Arah kebijakan penyerahan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah adalah guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa merupakan bagian dari ketatanegaraan Republik Indonesia yang perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Dengan demikian desa diharapkan turut mengambil peran dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan guna menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Memang sudah sepantasnya jika desa menjadi sasaran strategis dan fokus utama pembangunan bangsa dikarenakan sebagian besar wilayah Indonesia ada di pedesaan. Desa merupakan elemen organisasi pemerintahan utama yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan paling mengetahui tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Untuk itu perlu kiranya pemerintahan desa diberikan kewenangan yang memadai untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menuju terwujudnya desa yang mandiri dan sejahtera. Dengan diterbitkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, menunjukkan itikad baik pemerintah untuk memperluas rentang desentralisasi sampai tingkat desa (otonomi desa). Dasar pertimbangannya adalah bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Asas yang melandasi pengaturan desa adalah rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan keberlanjutan. Selain itu, bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Sebagaimana otonomi daerah, kewenangan penataan otonomi desa pun terletak ditangan pemerintah yang tertuang dalam UU Desa tersebut. Baik pemerintah, pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah dapat melakukan penataan (pembentukan, penghapusan, penggabungan, perubahan status dan penetapan desa) berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuan dari penataan itu sendiri adalah dalam rangka:
Dalam kerangka mewujudkan tujuan penataan tersebut dibentuk pemerintahan desa yang diselenggarakan oleh pemerintah desa dengan berlandaskan pada asas: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, kearifan lokal, keberagaman dan partisipatif Untuk mewujudkan tujuan penataan desa tersebut, pasal 18 UU No. 6 Tahun 2014 dinyatakan bahwa kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Namun demikian, hak atas diberikannya kewenangan tidak serta merta terbebas dari kewajiban dan tanggung jawab yang melekat di dalamnya. Pelaksanaan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi desa tetap harus menjunjung tinggi nilai-nilai tanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam bingkai peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU Desa telah memberikan jaminan pendanaan guna melaksanakan kewenangannya melalui anggaran pemerintah dan pemerintah daerah, selain dari anggaran desa itu sendiri yang terwujud dalam struktur keuangan desa. Pendanaan ini bukanlah hibah tapi sebagai suatu bentuk kewajiban pemerintah desa dalam pelaksanaan program berbasis desa secara merata dan berkeadilan (PP No. 60 Tahun 2014). Pengertian keuangan desa menurut Permendagri No. 113 Tahun 2014 adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Keuangan desa harus dikelola berdasarkan asas-asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi pemerintah desa untuk melaksanakan pengelolaan keuangan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa secara profesional, efektif, efisien dan akuntabel sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun harus disadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa masih menghadapi kenyataan akan keterbatasan sumber daya, termasuk sumber daya manusia untuk dapat tumbuh dan berkembang dalam kapasitas kemampuannya sendiri. Dua tahun perjalanan implementasi UU desa, telah diwarnai dengan berbagai problematika. Namun demikian, tidaklah adil jika kita langsung memvonis sebagai suatu bentuk kegagalan atas banyaknya permasalahan yang terjadi. Justru hal tersebut merupakan tantangan ke depan bagaimana pengelolaan keuangan desa serta pemanfaatannya dapat semakin baik dan dapat dirasakan oleh masyarakat luas baik dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat dan pembinaan kemasyarakatan. Kajian yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK atas Sistem Pengelolaan Keuangan Desa: Alokasi Dana Desa dan Dana Desa, menemukan sebanyak 14 potensi permasalahan dalam empat aspek, yang terangkum dalam tabel di bawah ini: Tabel 1. Hasil Kajian Potensi Permasalahan Pada Sistem Keuangan Desa
Sumber: KPK (2015), acch.kpk.go.id/documents/…Desa.pdf/… Permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan desa sebagaimana hasil kajian dan temuan KPK juga terkuak saat penulis melaksanakan bimbingan teknis (bimtek) manajemen keuangan desa yang diselenggarakan atas kerjasama IAI wilayah Jawa Timur dan Pemprov Jawa Timur, khususnya yang terkait dengan penyusunan APBDesa adalah:
Dalam hal ini, penulis hanya membatasi diri dan memfokuskan pada permasalahan yang terkait kebijakan penyusunan APBDesa dengan beberapa pertimbangan, antara lain:
Tulisan ini bermaksud mencermati implementasi pengelolaan keuangan desa, khususnya dalam aspek kebijakan penyusunan APBDesa. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih konkrit mengenai kebijakan-kebijakan seputar penyusunan APBDesa, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah desa dalam menyusun APBDesa. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memberikan gambaran mengenai kebijakan penyusunan APBDesa yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan mengusulkan alternatif solusi atas permasalahan yang terjadi dalam bentuk saran. PEMBAHASAN UU Nomor 6 Tahun 2014 beserta peraturan pelaksanaanya telah mengamanatkan terwujudnya pemerintah desa yang lebih mandiri dalam mengelola pemerintahan dan berbagai sumber daya alam yang dimiliki. Pengelolaan pemerintahan desa akan berhasil guna dan berdaya guna apabila pemerintah desa mampu melakukan pengelolaan keuangan dan kekayaan milik desa guna melaksanakan empat bidang yang telah ditetapkan, yaitu penyelenggaran pemerintahan desa, pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Pengertian pengelolaan keuangan desa menurut Permendagri No. 113 Tahun 2014 adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan (termasuk penganggaran), pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa. Keseluruhan kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan proses tahapan yang membentuk suatu siklus yang saling berkelindan. Masing-masing tahapan memiliki aturan-aturan yang harus dilaksanakan sesuai dengan batasan waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Siklus pengelolaan keuangan desa dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Siklus Pengelolaan Keuangan Desa Sumber: Disarikan dari Permendagri No. 113 Tahun 2014 Potret pengelolaan keuangan desa tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan desa. APBDesa menjadi instrumen penting yang sangat menentukan dalam rangka perwujudan tata pemerintahan yang baik (good governance) di tingkat desa. Proses pengelolaan keuangan desa (APBDesa) bila dilaksanakan sesuai dengan asas-asas transparan, akuntabel, partisipatif serta tertib dan disiplin anggaran (Pasal 2 Permendagri No. 113 Tahun 2014) akan memberikan arti dan nilai bahwa pemerintahan desa telah dijalankan dengan baik. Perencanaan dan penganggaran keuangan desa merupakan tindak lanjut dari proses perencanaan pembangunan desa, yaitu RPJMDesa dan RKPDesa. Setelah RPKDesa selesai ditetapkan, maka proses selanjutnya adalah penyusunan APBDesa. APBDesa adalah dokumen formal hasil kesepakatan antara kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah desa dan pendapatan diharapkan untuk menutupi keperluan belanja tersebut atau pembiayaan yang diperlukan bila diperkirakan akan terjadi defisit atau surplus. APBDesa mengkoordinasikan aktivitas belanja pemerintah desa dan memberikan landasan bagi upaya perolehan pendapatan dan pembiayaan oleh pemerintah desa untuk suatu periode satu tahun yang dituangkan dalam bentuk peraturan desa (perdes). Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa penyusunan APBDesa merupakan suatu bentuk perencanaan dan penganggaran keuangan desa berupa instrumen kebijakan publik sebagai upaya pemerintah desa dalam menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. 1. Kebijakan Penyusunan APBDesa Dalam Proses Perencanaan dan Pengangggaran Keuangan Desa Beberapa kebijakan penyusunan APBDesa yang harus dipatuhi oleh pemerintah desa dalam proses perencanaan dan penganggaran keuangan desa dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. APBDesa merupakan hasil dari sinergi antara perencanaan pembangunan desa dengan perencanaan pembangunaan kabupaten/kota dan perencaan pembangunan nasional yang dibangun atas dasar proses top-down (Lihat pasal 79 UU 6/2014, pasal 116 ayat 5 dan pasal 117 ayat 1 PP 43/2014, dan pasal 10 Permendagri 114/2014), sebagaimana gambar berikut: Gambar 2. Sinergi Perencanaan Pembangunan Desa Sumber: Bappeda Kab. Cirebon 2014 pada Laporan Hasil Kajian Pengelolaan Keuangan Desa, KPK 2015 2. APBDesa yang disusun merupakan hasil dari pelibatan dan keikutsertaan masyarakat desa pada saat merumuskan perencanaan pembangunan desa. Hal ini merupakan bentuk pendekatan bottom up sebagai bagian dari pelaksanaan atas asas demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan dan pemberdayaan, yaitu melaksanakan musyawarah desa dan musyawarah perencanaan pembangunan desa (Lihat pasal 80 UU 6/2014, pasal 114 ayat 1 PP 43/2014 dan pasal 7 ayat 1 Permendagri 114/2014) sebagai mana gambar berikut: Gambar 3. Pelibatan Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Desa Sumber: Diolah dari PP No. 43 Tahun 2014 3. APBDesa disusun dan ditetapkan berdasarkan pada RKPDesa. RKPDesa merupakan penjabaran RPJMDesa untuk jangka waktu 1 tahun yang disusun pemerintah desa sesuai dengan informasi dari pemerintah daerah kabupaten/kota berkaitan dengan pagu indikatif desa dan rencana kegiatan pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. (Pasal 118 PP 43/2014 dan pasal 29 Permendagri 114/2014) 4. APBDesa disusun berdasarkan mekanisme yang berjalan secara simultan dengan penyusunan RKPDesa (Pasal 118 ayat 7 PP 43/2014 dan pasal 29 ayat 5 Permendagri 114/2014), sebagaimana gambar berikut: Gambar 4. Siklus Perencanaan RKPDesa dan APBDesa Sumber: Diolah dari PP No. 43 Tahun 2014 (KPK, 2015) 5. APBDesa disusun berdasarkan pendanaan yang bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota dan pemerintah desa guna melaksanakan kewenangan desa (Pasal 90 PP 43/2014) sebagai berikut:
6. APBDesa disusun harus berasaskan pada asas pengelolaan keuangan desa yaitu: asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran (Pasal 2 ayat 1 Permendagri 113/2014) 7. APBDesa adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh Kepala Desa dan BPD, dan ditetapkan dengan Peraturan Desa (Pasal 101 ayat 1 dan 4 PP 43/2014, pasal 20 Permendagri 113/2014). 8. APBDesa dikelola dalam masa 1 (satu) tahun anggaran yakni mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember (Pasal 94 PP 43/2014 dan pasal 2 ayat 2 Permendagri 113/2014) 9. Struktur APBDesa terdiri atas pendapatan, belanja dan pembiayaan desa (Bab IV Permendagri 113/2014). Pendapatan desa adalah semua penerimaan uang melalui rekening desa yang merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh desa. Pendapatan desa dibagi menjadi kelompok, jenis dan sub jenis, yaitu: Gambar 5. Struktur Pendapatan Dana desa bersumber dari alokasi pemerintah dari APBN setiap tahun anggaran yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota untuk selanjutnya ditransfer ke APBDesa. (Pasal 5 dan 6 PP 60/2014). Bagi hasil pajak dan retribusi daerah Kabupaten/Kota bersumber dari APBD yang dialokasikan paling sedikit 10% dari realisasi penerimaan hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota yang diperuntukkan untuk desa. Alokasi Dana Desa (ADD) bersumber dari APBDesa Kabupaten/Kota yang dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah setelah dikurangi dana alokasi khusus. Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota bersumber dari APBD yang dialokasikan untuk desa dapat bersifat umum dan khusus. Bantuan keuangan bersifat khusus dikelola dalam APBDesa tetapi tidak diterapkan dalam ketentuan penggunaan paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dan paling banyak 30% (tiga puluh perseratus). Belanja desa meliputi semua pengeluaran dari rekening desa yang merupakan kewajiban desa dalam 1 (satu) tahun anngaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh desa. Belanja desa dipergunakan dalam rangka mendanai penyelenggaraan kewenangan desa. Belanja desa diklasifikasikan ke dalam kelompok, kegiatan dan jenis sebagai berikut: |