09 October 2020 Sistem Irigasi Subak dalam Kehidupan Masyarakat Bali
Oleh : Prof. Wayan Windia Seperti diuraikan dalam judul makalah ini bahwa subak itu disebutkan secara lengkap sebagai sistem irigasi subak. Karena itu akan didefinisikan terlebih dahulu, tentang apakah yang dimaksudkan dengan : sistem, sistem irigasi, dan sistem irigasi subak. Sistem adalah satu set rakitan elemen-elemen yang saling berkait melalui suatu struktur dan hubungan timbal-balik, dengan tujuan untuk menghasilkan luaran (output) tertentu. Keberadaan luaran itu sangat dipengaruhi oleh lingkungannya (Huppert&Walker, 1989; Dent dkk,l979 dalam Sudira, 1999; dan Pusposutardjo, 2001). Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan sistem irigasi adalah satu set elemen-elemen yang memiliki hubungan timbal-balik, yang memiliki tujuan untuk menghasilkan pengelolaan dan pelayanan air irigasi. Luaran tersebut dipengeruhi oleh lingkungannya, dan lingkungan manusia memiliki peranan yang sangat dominan terhadap luaran yang dihasilkan (Maskey dan Weber, l996). Sementara itu, sistem irigasi subak dapat disebutkan sebagai suatu sistem irigasi dengan wujud yang sepadan dengan sosio-kultural masyarakat, mencapai tujuannya berdasarkan harmoni dan kebersamaan sesuai landasan tri hita karana (THK), dan menjaga keseimbangan dengan lingkungannya (Sutawan dkk,1989; Pusposutardjo,1997 dan Arif, 1999). Sementara itu, dalam Perda Prov.Bali No.02/PD/DPRD/l972 tentang irigasi, diisyaratkan bahwa subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Kemudian Arif (l999) memperluas pengertian sosio-agraris-religius dalam sistem irigasi subak, dengan menyatakan bahwa adalah lebih tepat kalau subak itu disebut memiliki karakter sosio-teknis-religius, karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas, termasuk di dalamnya teknis pertanian dan teknis irigasi. Dalam Perda No. 9 tahun 2012 tentang Subak, disebutkan bahwa subak adalah organisasi tradisional di bidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usahatani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosioagraris, religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang. Selanjutnya, Sutawan dkk (l989) melakukan kajian-kajian yang lebih mendalam tentang gatra religius dalam sistem irigasi subak di Bali. Gatra religius pada sistem subak ditunjukkan dengan adanya satu atau lebih Pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan), disamping adanya sanggah catu (bangunan suci) yang ditempatkan di sekitar bangunan sadap (intake) pada setiap blok/komplek persawahan milik petani anggota subak. Gatra religius pada sistem subak di Bali mencerminkan keberadaan dari konsep parhyangan sebagai salah satu komponen dari THK, disamping tentunya, konsep palemahan dan pawongan. Kalau konsep parhyangan ditunjukkan dengan adanya pura pada kawasan subak, maka konsep palemahan ditunjukkan dengan adanya kepemilikan wilayah pada sistem subak, dan konsep pawongan ditunjukkan dengan adanya petani dan organisasinya. Parhyangan, palemahan dan pawongan yang merupakan komponen dari THK, pada dasarnya memiliki hubungan timbal-balik dalam melandasi eksistensi sistem subak di Bali. Sedangkan THK adalah merupakan suatu konsep pemikiran yang dijiwai oleh Agama Hindu, dan relevan dalam kaitannya dengan sistem kebudayaan. Adapun hubungan antar elemen THK (parhyangan, palemahan, dan pawongan) sebagai landasan kegiatan sistem subak, serta kaitannya dengan elemen/subsistem kebudayaan dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 1. Dari kajian yang disebutkan sebelumnya, kiranya dapat dikemukakan bahwa sistem irigasi subak pada hakekatnya sudah menyatu dengan kehidupan dan sosio-kultural masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu. Atau dengan kata lain, sistem irigasi subak pada hakekatnya adalah suatu sistem irigasi yang yang berlandaskan pada sosio-kultural masyarakat setempat. Suatu sistem irigasi yang didasarkan atas sosial-kultural masyarakat sering dianggap sebagai sistem irigasi yang sepadan dengan berbagai keunggulannya, karena merupakan sistem irigasi yang kuat, yang pada dasarnya mampu mengetahui dan memecahkan masalahnya sendiri secara mandiri (otonum). Dalam bahasa ilmu politik, organisasi seperti ini sering disebutkan sebagai organisasi dengan predikat good governance (McGinnis, 1999). Adapun kekuatan yang ada pada sistem irigasi yang berlandaskan sosio-kultural masyarakat, seperti halnya pada sistem subak di Bali adalah karena kemampuannya untuk menyerap teknologi yang berkembang dalam kurun waktu tertentu, dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan perkembangan budaya yang ada di lingkungan sekitarnya (Windia, 2002) Disamping keunggulan-keunggulannya, maka organisasi sistem irigasi yang bersifat sosio-kultural mengandung kelemahan yakni ia tidak sanggup menahan intervensi dari pihak luar, khususnya yang berkait dengan alih fungsi lahan yang sangat deras. Kalau lahannya sudah semakin sempit, maka pengelolaan sistem subak akan semakin kacau, yang pada gilirannya akan menghancurkan sistem subak tersebut. Kalau hal ini sampai terjadi secara besar-besaran, dan sistem subak menjadi hilang dalam kepustakaan sistem irigasi dunia, maka dunia pada dasarnya telah kehilangan sebuah sistem irigasi yang paling baik di dunia, dan Bali telah kehilangan sebagian dari kebudayaannya. Sutawan (2005) menyebutkan bahwa kalau sistem subak di Bali hancur, maka kebudayaan Bali akan ikut hancur.Oleh karenanya, kalau kita ingin melestarikan sistem irigasi subak di Bali, maka kita harus : (i) mempertahankan keberlanjutan lahan sawah di Bali; (ii) mempertahankan keberlanjutan sumberdaya air untuk irigasi; (iii) mempertahankan batas-batas antar subak yang jelas; (iv) mempertahankan sistem organisasi subak yang fleksibel, yakni sistem organisasi yang disesuaikan dengan kepentingan setempat; (v) memperkokoh kelembagaan subak; dan (vi) mempertahankan konsep harmoni dan kebersamaan dalam pola-pikir masyarakat (petani) dalam pengelolaan sistem irigasi, sesuai dengan konsep THK yang melandasi sistem irigasi subak.KEBERADAAN SISTEM IRIGASI SUBAK DI BALIKeberadaan sistem irigasi subak di Bali, berkait erat dengan sistem desa pakraman/desa adat dan sistem desa dinas. Banyak ada kasus, di mana areal kawasan subak saling tumpang tindih dengan areal desa pakraman, dan areal desa dinas. Dengan demikian, areal kawasan subak bisa terdapat dalam satu kawasan desa pakraman atau desa dinas, dan lain-lain. Bahkan satu kawasan subak melintasi lebih dari satu kecamatan, atau lebih dari satu kabupaten. Tegasnya, batas kawasan subak, bukanlah sama dengan batas-batas administratif desa, namun berdasarkan pada prinsip-prinsip hidrologis. Artinya, kawasan subak, sangat tergantung dari kemampuan suatu sumber air untuk mengairi suatu lahan tertentu. Kenyataan ini tentu saja sangat menguntungkan, khususnya untuk mencegah konflik antar desa yang ingin memperebutkan sumberdaya air yang tersedia. Tumpang tindih kawasan sistem subak dengan sistem desa (adat/pakraman dan dinas) di Bali dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 2.Selanjutnya, adanya otonomi pada sistem subak, sistem desa adat/pakraman, dan sistem desa dinas, ternyata sangat membantu menghindari konflik, meskipun lahannya saling tumpang tindih. Sebab dengan adanya otonomi, maka masing-masing sistem akan membuat keputusannya sendiri tanpa intervensi dari pihak lain, serta masing-masing diantara mereka mampu mengadakan kordinasi untuk mencegah konflik. Misalnya, kalau ada konflik dalam suatu subak, maka mereka akan berusaha untuk memecahkan masalahnya sendiri. Kalau tidak bisa, maka pada umumnya mereka akan mengadakan kordinasi dengan pimpinan desa pakraman atau desa dinas untuk ikut memecahkan masalahnya, tergantung dari, dengan pihak mana , sistem subak itu bermasalah. Dalam bahasa ilmu politik, kondisi semacam ini disebut sepadan dengan konsep polisentri (McGinnis, l999).Dalam beberapa kasus yang sempat dicatat, tampaknya petani (subak) berada dalam posisi yang lemah, dalam berhadapan dengan sistem desa pakraman dan sistem desa dinas. Misalnya, kasus yang berkait dengan penyungsungan (pengelolaan) pura subak. Dengan adanya alih fungsi lahan yang kini terjadi dengan sangat cepat, maka banyak areal subak yang semakin menyempit. Akibatnya iuran yang masuk ke kas subak untuk mengayom dan menyungsung pura subak semakin sedikit. Kenyataan ini sangat menggelisahkan subak, karena petani harus menanggung beban yang semakin berat. Karena kemampuan petani yang sangat terbatas, maka banyak pura subak yang tampaknya terlantar dan tidak terpelihara. Arif (l999) menyebutkan bahwa tampaknya ada hubungan yang kuat antara kondisi pura subak dengan baik-buruknya organisasi sistem subak yang bersangkutan. Interview yang dilakukan terhadap beberapa tokoh desa adat/pakraman dan desa dinas, tampaknya mereka enggan untuk menerima beban tambahan guna mengayom dan menyungsung pura subak yang terlantar. Mereka menginginkan adanya fatwa dari pemda setempat tentang bagaimana harus mengayom pura subak yang terlantar tsb. Sebab untuk mem-preline (menghancurkan/tidak mengelola lagi) pura subak yang eksis di kawasanya, mereka sama sekali tidak berani. Mereka juga menginginkan agar penduduk yang dahulu membeli sawah di sebuah kawasan subak untuk dibangun menjadi rumah, diharapkan menjadi pengayom/penyungsung pura subak yang terlantar tsb. Namun ada kecendrungan penduduk tsb. tidak bersedia, karena banyak diantara mereka sudah mengayom pura di tempat asalnya, atau mereka bukan umat yang beragama Hindu. Tampaknya, sesuatu yang sebaliknya terjadi di kalangan subak. Kasus Subak Pelengan di kawasan Desa Bitra-Gianyar, pada mulanya kawasan subak itu adalah bekas kawasan desa pakraman yang ditinggalkan penghuninya, karena ada bencana alam. Ketika kawasan desa itu dirubah menjadi sawah (subak), maka petani di kawasan subak yang baru dibuat itu, dengan tulus mengayom pura-pura kahyangan - tiga (tiga pura milik desa pakraman, yakni pura desa,puseh, dan dalem) yang berlokasi di kawasan subak tsb. Hal ini menunjukkan bahwa petani anggota subak lebih loyal dalam mengambil tanggung-jawab pengelolaan pura yang diterlantarkan oleh masyarakat desa pakraman tertentu, dibandingkan dengan loyalitas masyarakat desa pakraman untuk mengelola pura subak yang terlantar. Selanjutnya sistem irigasi subak terus berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini dianggap sebagai suatu yang lumrah, karena sistem irigasi yang berdasarkan pada sosio-kultural masyarakat setempat selalu akan berkembang seirama dengan perkembangan lingkungannya. Pusposutardjo (l996) menyebutkan keadaan itu sebagai suatu proses transformasi sistem subak dengan lingkungannya. Adapun perkembangan yang saat ini terjadi dalam sistem subak di Bali adalah : (i) cakupan pengelolaan sistem subak; (ii) kelembagaan sistem subak; (iii) kewenangan pengelolaan sistem subak; dan (iv) stakeholders/komponen-komponen yang berperan dalam sistem subak. WUJUD KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SISTEM SUBAKSistem irigasi subak sejatinya adalah suatu sistem irigasi yang bersifat sosio-teknis. Artinya, aspek teknis yang diterapkan dalam sistem subak dalam mengelola sistem organsasi dan sistem irigasinya, disesuaikan dengan aspek sosial yang berkembang di kawasan tersebut. Hal ini sesuai dengan aturan-aturan yang berkait dengan sistem irigasi yang menyatakan bahwa pada dasarnya suatu sistem irigasi seharusnya bersifat sosio-teknis. Jadi,sistem subak telah jauh sebelumnya membuktikan dirinya sebagai sistem irigasi yang bersifat sosio-teknis. Adapun karakter teknis ataupun karakter teknologi yang berkembang pada sistem subak adalah karakter teknologi yang sudah berkembang sesuai dengan adat dan budaya masyarakat setempat. Jadi dengan demikian, sistem subak di Bali dapat juga dipandang sebagai suatu teknologi yang telah berkembang menjadi budaya masyarakat setempat, atau suatu teknologi yang sudah sesuai dengan fenomena budaya masyarakat setempat (Poespowardojo, 1993). Karena sistem subak dapat dianggap sebagai suatu sistem kebudayaan (teknologi yang sudah menjadi budaya masyarakat), maka elemen-elemennya dapat dikaji berdasarkan subsistem pola-pikir/nilai, subsistem sosial, dan subsistem artefak/kebendaan. Selanjutnya, kalau kita coba mengkaji elemen-elemen sistem subak yang sejatinya merupakan wujud dari penerapan konsep THK dalam kesehariannya, kiranya dapat disebutkan sebagai berikut. 1. Subsistem pola-pikir/nilai/konsep.
2. Subsistem sosial.
3. Subsistem artefak/kebendaan.
Selanjutnya, sesuai pula dengan prinsip-prinsip THK, maka pembangunan dan pemanfaatan artefak (sarana irigasi) dalam sistem subak tampaknya telah diarahkan sedemikian rupa agar mampu mewujudkan kebersamaan dan harmoni di kalangan anggota subak. Adapun artefak yang dimanfaatkan oleh sistem subak antara lain adalah sebagai berikut.
Selanjutnya karena melihat keunggulan-keunggulan dari sistem subak kita, maka pada dasarnya sistem subak ini dapat saja ditransformasikan ke daerah lain, meski dengan latar belakar budaya yang lain. Asalkan saja, sistem subak yang ditransformasikan adalah sistem/konsepnya yang bersifat universal. Sebab konsep THK pada dasarnya sangat universal yang selalu ada pada adat dan budaya masyarakat lain, yakni yang kita sebut dengan konsep harmoni dan kebersamaan. Inti dari penerapan THK pada dasarnya adalah harmoni dan kebersamaan. Konsep universal inilah yang selalu harus kita dengung-dengungkan dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat luas. SUBAK DAN PELESTARIAN KEBUDAYAAN BALISeperti dikemukakan di depan bahwa sistem subak berlandaskan THK. Dalam konsep sistem kebudayaan, THK yang melandasi sistem subak adalah analog dengan sistem kebudayaan. Parhyangan analog dengan sistem pola pikir/nilai/konsep, pawongan analog dengan subsistem sosial, dan palemahan analog dengan subsistem artefak/kebendaan. Pertama, dalam aspek parhyangan/subsistem pola-pikir, kegiatan yang dilakukan subak adalah berkait dengan pelaksanaan upacara, kebersamaan/harmoni, kepercayaan adanya kekuatan spiritual yang ikut mengontrol/mengawasi pelaksanaan kegiatan di kawasan subak, dll. Kedua, dalam aspek pawongan/subsistem sosial, kegiatan yang dilakukan subak adalah mengatur organisasinya agar sesuai dengan kondisi lokal, adanya sanksi sosial bagi pelanggar aturan subak, adanya awig-awig subak, adanya kerjasama dalam pemanfaatan air irigasi, adanya pelaksanaan gotong-royong, dll. Ketiga, dalam aspek palemahan/subsistem artefak (kebendaan), kegiatan yang dilakukan subak adalah membagi air irigasi secara proporsional, adanya sistem one inlet and one outlet, membangun bangunan suci pada kawasan tertentu yang dianggap rawan konflik, dll. Harus dicatat bahwa semua kegiatan subak tersebut, bertujuan dan menuju pada harmoni dan kebersamaan, sesuai dengan hakekat THK tersebut. Kajian di atas (yakni melalui kajian dari aspek pola pikir/nilai/konsep, aspek sosial, dan aspek artefak/kebendaan) dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk mengkaji organisasi-organisasi yang menyebut dirinya dengan sebutan “subak”. Kini, Pemda Bali telah memberikan bantuan berupa block grant pada semua subak di Bali masing-masing Rp.50 juta. Demikian pula hanya pemerintah kabupaten/kota di Bali telah pula memberikan banatuan kepada desa adat dan subak sesuai kemampuannya masing-masing. Dukungan dan bantuan seharusnya diberikan kepada sistem subak agar tetap dapat mampu berperan sebagai bamper arus global dan melestarikan kebudayaan Bali (Windia dan Sedana, 2015). Bantuan yang diberikan kepada subak, seharusnya dilihat dalam tiga aspek, yakni aspek/subsistem pola pikir, aspek/subsistem sosial, dan aspek/subsistem artefak (kebendaan).
DAFTAR PUSTAKA Arfian S. l989. Pendayagunaan sumberdaya air dan lahan pada zaman Indonesia Kuno di Bali, analisis hasil penelitian arkeologi, Fak.Sastra UNUD, Denpasar. Arif,S.S. 1999. Applying philosophy of tri hita karana in design and management of subak irrigation system, dalam a study of subak as indigenous cultural, social, and technological system to establish a culturally based integrated water resources management vol.III (ed : S.Susanto), Fac.of agricultural technology, Gadjah Mada University, Yogya. Huppert,W and H.H.Walker. l989. Management of irrigation systems : guiding principles, GTZ, Eschborn. Maskey,R.K. and K.E.Weber. l996. Evaluating factors influencing farmers satisfaction with their irrigation system, a case from the hill of Nepal, dalam Irrigation and Dranage Systems, Vo.l0 th.l996,p.331, Kluwer Academic Publishers, Netherland. Mc.Ginnis,M.D. l999. Introduction, dalam Polycentric governance and development (ed: McGinnis), The Univ.of Michigan Press, Ann Arbor-USA. Poespowardojo,S. l993. Strategi kebudayaan, Gramedia, Jakarta. Purwitha,I.B.P. l993. Kajian sejarah subak di Bali, dalam Subak, sistem irigasi tradisional di Bali (ed; I Gde Pitana), Upada Sastra, Denpasar. Pusposutardjo, S. l996. Konsep konservasi tanah dan air untuk keberlanjutan irigasi, pidato pengukuhan guru besar di UGM, UGM, Yogya. Pusposutardjo, S. l997. Nilai ekonomi sumberdaya air, makalah yang disampaikan dalam Forum diskusi kelembagaan sektor pengairan, Surakarta. Pusposutardjo, S. 2001. Pengembangan irigasi, usahatani berkelanjutan, dan gerakan hemat air, Ditjen Dikti, Jakarta. Sudira,P. 1999. Pemodelan dan simulasi (diktat), FTP, UGM, Yogya. Sutawan,N; M.Swara; W.Windia; dan W.Sudana. l989. Laporan akhir pilot proyek pengembangan sistem irigasi yang menggabungkan beberapa empelan/subak di Kab.Tabanan dan Kab.Buleleng, Kerjasama DPU Prop.Bali dan Univ.Udayana, Denpasar. Sutawan, N. 2005. Subak menghadapi tantangan globalisasi, dalam Revitalisasi subak dalam memasuki era globalisasi (ed : Pitana dan Setiawan), Penerbit Andi, Yogyakarta. Wardha, I W. l989. Subak dari segi perkumpulan, analisis hasil penelitian arkeologi, Fak. Satra UNUD, Denpasar. Windia, W. 2002. Transformasi sistem irigasi subak yang berlandaskan konsep tri hita karana (disertasi, tidak dipublikasikan), PPS-UGM, Yogyakarta. Windia, W; W.Budiasa; W.Ginarsa; N.G.Ustryana; dan W.Sudarta. 2001. Keberlanjutan sumbnerdaya budaya di Kab.Gianyar, kerjasama Jurusan Sosek Fak.Pertanian UNUD dan Bappeda Kab.Gianyar, FP-UNUD, Denpasar. Windia, W dan I G. Sedana. 2015. Religious aspects in the system of subak irrigation, as a world heritage site in Bali, disampaikan dalam seminar on spiritual dimensions of rice culture in Southeast Asia, Srinakharinwirot Univ, Bangkok, 11-14 May 2015.
Prof. Wayan Windia |