Apakah pajak yang belum di setor masuk dalam surat berharga

Jakarta - Dividen bukan lagi hal yang asing, terutama bagi mereka yang berinvestasi saham dividen adalah satu hal yang dinanti-nanti. Secara umum, dividen adalah pembagian laba atau hasil yang dibayarkan kepada para pemegang saham yang didasari pada jumlah saham yang dimiliki. Biasanya dividen dibagikan dalam bentuk uang tunai.

Apabila dalam dunia perpajakan, dividen termasuk sebagai penghasilan, sehingga akan dikenakan pajak penghasilan (PPh). Inilah yang kemudian kita kenal sebagai pajak dividen. Akan tetapi, tidak semua dividen dikenakan pajak. Oleh karena itu, mari kita telusuri apa itu pajak dividen, bagaimana jenis-jenisnya, tarif, dan perkembangan pajak dividen.

Definisi Pajak Dividen

Pajak dividen merupakan potongan atau pungutan pajak atas laba yang diperoleh pemegang saham, pemegang polis asuransi, atau anggota koperasi yang menerima bagian dari hasil usaha tertentu. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai perubahan ke empat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mengenai pajak penghasilan. Adapun, dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sendiri tertuang pada Pasal 4 ayat 1 huruf g yang menyebutkan bahwa dividen adalah bagian dari penghasilan yang menjadi objek pajak PPh.

Jenis-Jenis Dividen

Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya bahwa dividen adalah pembagian laba atau hasil bagi para pemegang saham berdasarkan banyaknya saham yang dimiliki. Menurut undang-undang perpajakan, dividen dikenai potongan atau pungutan pajak penghasilan (PPh), sehingga dikategorikan sebagai objek pajak. Maka dari itu, setiap Wajib Pajak yang memperoleh dividen berupa laba dari saham, laba polis asuransi, atau laba hasil usaha koperasi diwajibkan untuk membayar pajak.

Namun, tidak semua dividen dikenakan pajak. Mengapa tidak dikenakan pajak? Hal ini dikarenakan sebagian laba atau hasil yang diperoleh pada kondisi tertentu tidak termasuk ke dalam objek pajak, sehingga atas dividen yang tidak termasuk objek pajak tersebut tidak ada potongan atau pungutan pajak penghasilan (PPh). Oleh karena itu, dapat kita kategorikan bahwa dividen terdiri dari dua jenis, yaitu dividen bukan sebagai objek pajak dan dividen sebagai objek pajak.

1. Dividen Bukan Sebagai Objek Pajak

Dividen yang dikategorikan bukan sebagai objek pajak sudah diatur dalam Pasal 4 ayat 3 huruf f mengenai pengecualian dari objek pajak penghasilan yang menjelaskan bahwa dividen yang diperoleh Wajib Pajak, yaitu Perseroan Terbatas (PT), koperasi, BUMN, atau BUMD yang penyertaan modalnya dari badan usaha yang berdiri dan berkedudukan di Indonesia dalam hal ini tidak menjadi objek pajak jika dividen tersebut bersumber dari cadangan laba yang ditahan; PT, BUMN, atau BUMD yang menerima dividen mempunyai penyertaan saham paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor; serta dividen yang merupakan dana pensiun bukan termasuk objek pajak.

2. Dividen Sebagai Objek Pajak

Sedangkan, dividen yang dikategorikan sebagai objek pajak adalah penghasilan dividen tersebut memang menjadi objek pajak tetapi tidak terkena pemotongan atau pemungutan PPh, serta penghasilan dividen tersebut memang menjadi objek pajak dan terkena pemotongan atau pemungutan PPh.

Dividen Sebagai Objek Pajak yang Tidak Dikenakan Pemotongan PPh

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa terdapat penghasilan dividen yang memang menjadi objek pajak tetapi tidak dikenakan pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan (PPh). Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 23 ayat 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 bahwa untuk dividen sebagai objek pajak maka pemotongan PPh tidak diberlakukan pada penghasilan yang dibayar dan terutang kepada bank, dividen yang sudah terdapat pada Pasal 4 ayat 3 huruf f dan Pasal 17 ayat 2 huruf c, sewa yang dibayar dan terutang yang berhubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi, bagian laba yang terdapat pada Pasal 3 ayat 3 huruf i, sisa hasil usaha koperasi yang diterima anggotanya, penghasilan yang dibayar dan terutang pada bada usaha yang dalam hal ini atas jasa keuangan sebagai penyalur pinjaman sesuai Peraturan Menteri Keuangan.

Dividen Sebagai Objek Pajak yang Dikenakan Pemotongan PPh Beserta Tarifnya

Sedangkan, penghasilan dividen yang memang menjadi objek pajak dan terkena pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan diatur ke dalam 3 (tiga) pasal yang berbeda. sehingga dikenakan besaran tarif yang berbeda juga di setiap pasalnya. Tiga pasal tersebut di antaranya adalah pertama, tarifnya:

1. PPh Pasal 4 Ayat 2 (PPh Final)

Telah diatur dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 mengenai pajak penghasilan bahwa atas dividen yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri akan dikenakan potongan pajak sebesar 10% dari jumlah bruto dan penghasilan tersebut bersifat final. Dividen tersebut termasuk dividen atas pemegang polis dari perusahaan asuransi dan anggota koperasi yang menerima bagian dari hasil usaha.

2. PPh Pasal 23

Sebagaimana yang sudah diatur dalam UU PPh bahwa penerima penghasilan atas dividen ini adalah Wajib Pajak dalam negeri serta Bentuk Usaha Tetap akan dikenakan potongan pajak sebesar 15% dari jumlah dividen. Namun, dikecualikan untuk orang pribadi yang pengenaan pajaknya berupa final, bunga, dan royalti. Tarif ini ialah 15% dari DPP jika penerima merupakan sebuah organisasi, termasuk BUT. PPh Pasal 23 dikenakan kepada BUT di dalam negeri.

3. PPh Pasal 26

Telah diatur dalam UU PPh bahwa atas pajak penghasilan Pasal 26 ini dikenakan potongan pajak sebesar 20% dari jumlah bruto dividen dan dalam hal ini penerima penghasilan dividen adalah orang pribadi yang tinggal di luar negeri. Pajak dividen sebesar 20% ini juga dikenakan bagi perusahaan luar negeri yang mengoperasikan usahanya melalui BUT di Indonesia dan perusahaan luar negeri yang menerima penghasilan di Indonesia tanpa BUT. Tarif ini ialah 20% dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak, suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia. PPh 26 dikenakan jika pemilik BUT di Luar Negeri mendapatkan deviden dari BUT atau bukan dari BUT.

Pajak Dividen Pasca Undang-Undang Cipta Kerja

Setiap tahun pemerintah selalu berusaha memaksimalkan peraturan perpajakannya, salah satunya adalah pemberian insentif dengan membebaskan pemotongan pajak penghasilan (PPh) atas dividen yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri, baik orang pribadi maupun badan. Kebijakan insentif ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja atau lebih dikenal dengan sebutan Omnibus Law yang kemudian, berlanjut pada penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2021 mengenai Perlakukan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU Cipta Kerja di bidang PPh, PPN, dan KUP.

Dalam aturan ini, atas dividen yang diterima oleh Wajib Pajak Badan dengan kepemilikan saham berapapun tidak akan dikenakan. Sedangkan, Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri akan dikenakan PPh Final sebesar 10%, jika dividen tersebut tidak diinvestasikan di dalam negeri dalam jangka waktu tiga tahun sejak dividen diperoleh, namun apabila dividen tersebut diinvestasikan maka tidak dikenakan PPh.

Adapun, dividen yang diperoleh dari luar negeri akan tetap dikenakan PPh. Namun, dividen yang diperoleh dari luar negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan dengan syarat nilai investasi sebesar 30% dari laba setelah pajak. Jangka waktu investasi minimal tiga tahun dan dilakukan di akhir bulan ke-3 untuk orang pribadi dan akhir bulan ke-4 untuk badan.

Sementara itu, sebagaimana diatur dalam PMK 18/2021 bahwa dividen yang ingin diinvestasikan tersebut wajib diinvestasikan kembali di Indonesia dalam beberapa bentuk investasi yang di antaranya adalah surat berharga dan surat berharga syariah, obligasi, atau sukuk BUMN yang diawasi OJK, obligasi atau sukuk perusahaan swasta yang diawasi OJK, obligasi, atau sukuk lembaga pembiayaan yang diawasi OJK, investasi infrastruktur sesuai kerjasama pemerintah dan badan usaha, investasi keuangan bank persepsi, investasi sektor riil sesuai ketentuan pemerintah, investasi untuk usaha Mikro, serta kerja sama dengan lembaga pengelola investasi.

Adapun, dividen yang tidak dikenakan pajak ini sudah mulai disampaikan melalui Laporan Realisasi dan SPT Tahunan pada 31 Maret untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan 31 April Untuk Wajib Pajak Badan.

Apa saja yang termasuk dalam surat berharga?

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dalam Buku I titel 6 dan titel 7, macam-macam surat berharga tersebut antara lain: wesel, cek, kwitansi, dan surat sanggup. Ada juga surat berharga di luar KUHD tersebut yaitu: bilyet giro, kartu kredit, travels cheque, obligasi, surat saham.

Apakah surat berharga bisa dikenakan pajak?

Surat Berharga dan Perpajakan Surat berharga tentu dikenakan pajak, baik dalam transaksi penjualan atau penerimaan bunganya. Misalnya, pengenaan tarif PPh Final atas bunga surat utang atau obligasi dari suatu proyek infrastruktur.

Mengapa PPh final tidak dapat dikreditkan?

Jadi, bisa dikatakan jika PPh Final merupakan pajak yang tidak diikutsertakan lagi dalam penghitungan PPh Terutang tahunan. Hal ini berarti bahwa suatu PPh yang sudah bersifat final, maka tidak dapat untuk dikreditkan dengan PPh Terutang.

Surat berharga termasuk aset apa?

Surat berharga termasuk aset lancar yang biasanya digunakan untuk bukti kepemilikan suatu kekayaan yang bernilai. Surat jenis ini bisa diperdagangkan dengan pihak lain serta ditukar dengan uang tunai. Beberapa contoh surat berharga perusahaan adalah deposito, obligasi, saham, wesel, dan lain sebagainya.