Apakah boleh shalat tidak pakai sajadah?

Assalamu’alikum Wr. Wb.

Redaksi NU Online, saya punya ganjalan mengenai shalat dengan sajadah atau alas apa pun yang hanya meng-cover wajah dan telapak tangan atau hanya wajah saja. Biasanya ketika Shalat Jumat seringkali jamaah berbagi sajadah dengan membentangkan secara horizontal. Apakah alas tersebut termasuk tempat shalat atau bukan? Jika termasuk tempat shalat apakah tidak apa-apa alas tersebut tidak meng-cover kaki?


Saya berpikiran, jika kaki tidak berada di atas alas tersebut, maka alas tersebut bisa dianggap sebagai penghalang sujud. Sedangkan rambut yang mengalangi dahi saja tidak boleh. Mohon jawabannya sehingga menghilangkan keragu-raguan tersebut. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb (amirul mukminin/malang)

Jawaban

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Kesucian dari najis pada badan, pakaian, dan tempat shalat merupakan syarat sah shalat. Ibnu Qasim dari Mazhab Syafi’i menerangkan bahwa kesucian pada badan, pakaian, dan tempat shalat merupakan kemutlakan pada saat seseorang melakukan shalat, pada saat berdiri, duduk, rukuk, atau sujud.

و الثالث: (الوقوف على مكان طاهر) فلا تصح صلاة شخص يلاقي بعض بدنه أو لباسه نجاسة في قيام أو قعود أو ركوع أو سجود.


Artinya, “Ketiga (berdiri di atas tempat suci) sehingga shalat seseorang yang menempel sebagian badan atau pakaiannya dengan najis pada saat berdiri, duduk, rukuk, atau sujud tidak sah,” (Ibnu Qasim, Fathul Qarib pada hamisy Qutul Habibil Gharib, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1417 H], halaman 55).


Ulama dari Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa sejauh tempat shalat tidak mengandung najis yang tidak dimaaf, shalat seseorang tetap sah baik ia melakukan aktivitas shalat dengan alas penuh maupun dengan setengah alas seperti yang ditanyakan.

و) مكان( يصلى فيه (عن نجس) غير معفو عنه فلا تصح الصلاة معه ولو ناسيا أو جاهلا بوجوده أو بكونه مبطلا


Artinya, “Dan [suci pada] (tempat) yang digunakan untuk shalat di atasnya (dari najis) yang tidak dimaaf sehingga shalat tidak sah di atasnya sekalipun lupa, tidak tahu keberadaan najis, atau keberadaannya membatalkan,” (Lihat Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu‘in pada hamisy I‘anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz I, halaman 97).


Adapun terkait alas bagi mazhab Syafi’i adalah tempat shalat yang tidak ikut terbawa oleh orang yang shalat meski hanya setengah sajadah atau setengah koran yang hanya menjadi alas wajah dan tangan.


Lain halnya dengan rambut panjang yang dapat menutupi dahi, serban yang disangkutkan pada leher atau dililitkan di kepala. Semua yang disebut terakhir berpotensi menghalangi anggota sujud dan alas shalat. 


Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.

(Alhafiz Kurniawan)

Source link

Sebagian muslim ada yang menyatakan memakai sajadah saat shalat itu bid’ah. Sehingga mereka pun shalat di atas tanah. Mereka menyandarkan pendapat ini pada Ibnu Taimiyah. Apakah benar beliau berpendapat seperti itu?

Menurut Ibnu Taimiyah: Shalat Di Atas Sajadah itu Bid’ah, Benarkah?

Ibnu Taimiyyah –rahimahullah– pernah ditanya tentang orang yang menggelar sajadah di masjid untuk shalat, apakah termasuk bid’ah ataukah bukan?

Jawab Ibnu Taimiyah,

الصلاة على السجادة بحيث يتحرى المصلى ذلك : فلم تكن هذه سنَّة السلف من المهاجرين والأنصار ومَن بعدهم مِن التابعين لهم بإحسان على عهد رسول الله ، بل كانوا يصلون في مسجده على الأرض لا يتخذ أحدهم سجادة يختص بالصلاة عليها

“Jika ada yang shalat di atas sajadah dengan angapan bahwa patutnya dengan sajadah, maka seperti beramal seperti itu tidaklah diajarkan oleh salaf dari kalangan Muhajirin dan Anshar, juga diajarkan oleh tabi’in setelah mereka. Bahkan para salaf melakukan shalat di atas tanah. Di antara mereka tidak mengkhususkan shalat di atas sajadah.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 163)

Kalau kita mau lihat konteks jawaban dari Ibnu Taimiyah, bukan memakai sajadah yang bid’ah, namun menganggap bahwa shalat itu mesti di sajadah. Bila tidak menggunakan sajadah berarti tidak afdhol. Itulah yang dimaksud. Buktinya adalah beliau membawakan riwayat yang sama dengan apa yang dibawakan oleh kakeknya dari kitab Al Muntaqo dalam beberapa halaman selanjutnya setelah membawakan perkataan di atas. Setelah itu, Ibnu Taimiyah berkata,

وَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الصَّلَاةِ عَلَى مَا يُفْرَشُ – بِالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ – عُلِمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَمْنَعْهُمْ أَنْ يَتَّخِذُوا شَيْئًا يَسْجُدُونَ عَلَيْهِ يَتَّقُونَ بِهِ الْحَرَّ

“Jika ada dalil pendukung yang menyatakan bolehnya shalat di atas alas -hal ini berdasarkan As Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan para ulama), maka diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang shalat di atas alas untuk menghalangi dari panas.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 175).

Jadi, jelas sekali Ibnu Taimiyah mengatakan asalnya boleh shalat di atas sajadah bahkan hal itu didukung oleh hadits, juga ijma’ (konsensus para ulama). Sehingga cara mengkompromi perkataan beliau adalah seperti yang penulis kemukakan di atas, yaitu yang keliru bila beranggapan bahwa patutnya shalat dengan menggunakan sajadah, tidak afdhol jika tidak menggunakannya.

Lihat penjelasan Syaikh ‘Utsman Al Khomis yang menerangkan apa maksud Ibnu Taimiyah dengan perkataannya bahwa shalat dengan sajadah itu bid’ah.

[youtube url=”http://www.youtube.com/watch?v=CDCC4UY6nJA”]

Syaikh ‘Utsman Al Khomis menerangkan, “Yang dimaksud bid’ah adalah jika berkeyakinan bahwa shalat mesti di sajadah dan ia mengharuskan seperti itu. Ini jelas bid’ah. Namun yang tepat, sujud di atas sajadah bukanlah bid’ah. Dan para ulama pun tidak menggolongkannya sebagai bid’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang shalat di atas khumroh (tikar kecil), terkadang pula shalat di atas tanah, juga kadang shalat di atas hashir (tikar dengan ukuran lebih besar). Beliau shalat di tempat mana saja yang mudah bagi beliau. Beliau tidak bersusah-susah diri dalam melaksanakan shalat. Kalau ada tikar di depan beliau, beliau tidak memindahkannya lalu shalat di atas tanah. Begitu pula ketika ada permadani lainnya, beliau tidak memindahkannya dan shalat di atas tanah. Apa yang beliau peroleh, beliau shalat di situ. Jadi, perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah bagi yang memaksudkan shalat harus di sajadah dan mengganggap shalat selain pada sajadah bermasalah. Jadi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan para ulama tidaklah mengatakan shalat di atas sajadah itu bid’ah secara mutlak. Sehingga tidak tepat mengatakan tidak boleh shalat di atas sajadah. Ini perkataan yang tidak benar.”

Aturan Shalat dengan Sajadah

Secara umum, penggunaan sajadah itu dibolehkan namun tetap memperhatikan beberapa syarat berikut:

1- Sajadah tersebut tidak terdapat gambar makhluk yang memiliki ruh (manusia dan hewan), wajib gambar tersebut dihapus jika ada.

2- Sajadah tersebut tidak terdapat gambar yang melalaikan dari shalat. Sajadah seperti ini dihukumi makruh.

3- Sajadah yang digunakan bukan dianggap lebih baik dari shalat di atas tanah.

4- Sajadah yang digunakan bukan dianggap lebih baik dari sajadah yang digunakan di masjid atau melakukannya karena khawatir adanya najis.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ada yang bersikap ekstrim dan memberikan was-was, mereka tidak mau shalat di atas tanah (lantai) atau tidak mau shalat di sajadah yang digunakan oleh kebanyakan orang, mereka hanya mau shalat di atas sajadah khusus yang mereka bawa.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 177).

5- Tidak boleh menganggap patutnya shalat dengan sajadah atau harus shalat dengan sajadah yang khusus untuk shalat. Ia mengharuskan shalat dengan seperti itu baik di rumah maupun di masjid. Bahkan ada yang beranggapan bahwa harus shalat di sajadah, padahal di rumah sudah dalam keadaan beralas (permadani atau tikar). Inilah yang dicela oleh Ibnu Taimiyah seperti yang dijelaskan di atas. (Lihat pembahasan Syaikh Sholeh Al Munajjid dalam Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 27000)

Semoga tulisan ini dapat meluruskan sebagian muslim yang keliru dalam memahami hukum sajadah. Hanya Allah yang memberi taufik.

Setelah Ashar di Pesantren Darush Sholihin, 11 Rabi’uts Tsani 1435 H

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom

Bagi Anda yang minat dengan satu paket buku karya Ustadz M. Abduh Tuasikal, silakan pesan melalui:

Costumer Service/ SMS: +62 852 00 171 222

WhatsApp: +62 8222 739 9227

Blackberry: 2AF1727A, 7A78C851

Kirim format pesan: paket buku#nama pemesan#alamat#no HP#jumlah paket.

Paket tersebut berisi 5 buku terbaru karya beliau: (1) Dzikir Pagi Petang Dilengkapi Dzikir Sesudah Shalat dan Sebelum Tidur – ukuran kecil seharga Rp.6.000,-, (2) 2- Dzikir Pagi Petang Dilengkapi Dzikir Sesudah Shalat dan Sebelum Tidur – ukuran besar seharga Rp.10.000,-, (3) Mengikuti Ajaran Nabi Bukanlah Teroris (edisi revisi) seharga Rp.14.000,-, (4) Panduan Amal Shalih di Musim Hujan seharga Rp.12.000,-, (5) Mengenal Bid’ah Lebih Dekat seharga Rp.13.000,-. Info selengkapnya di Ruwaifi.Com.

Apakah boleh shalat tanpa sajadah?

Jadi, intinya penggunaan sajadah sebagai alas dalam shalat itu bergantung pada kondisi tempat. Jika tempat yang digunakan suntuk shalat itu bersih dan layak, maka boleh saja shalat tanpa sajadah.

Apakah boleh sajadah diganti dengan kain?

Selain dari segi kebersihannya, juga dilarang menggunakan kain ini sebagai sajadah. Kata Buya Yahya, hal itu termasuk yang bisa membatalkan dan menjadikan sholat tidak sah.

Apakah Nabi memakai sajadah?

"Dulu Nabi tidak pakai sajadah (red. salat)," kata Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) dan Protokol Masjid Istiqlal, Ustadz Abu Hurairah Abdul Salam saat dihubungi Okezone Selasa (17/3/2020). Menurut Abu, kala itu Nabi Muhammad hanya menggunakan pelepah kurma sebagai alas salatnya.

Bolehkah sholat menggunakan sajadah empuk?

berdasarkan kitab Fathul Muin di atas, maka shalat di atas sajadah yang tebal diperbolehkan dan tidak berpengaruh dalam keabsahan shalat, sebab tidak termasuk kategori benda yang dibawa dan juga jika dirunut kebawah nantinya bertemu langsung (muttasil) dengan bumi.