Apa yang menjadi hal ikhwal perbedaan pendapat para ulama?

Apa yang menjadi hal ikhwal perbedaan pendapat para ulama?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan artikel berjudul Mengenal Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat Para Ulama (Bagian 1). Selamat membaca.

Bagi teman-teman para pembelajar, santri atau penuntut ilmu syari yang sering bergelut dengan buku-buku islami, terutama pada pembahasan disiplin ilmu fiqih, pasti tidak asing lagi ketika mendapati dalam satu tema pembahasan tertentu para fuqoha/ulama berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Tidak jarang dalam satu masalah bisa sampai ada tiga, empat perbedaan pandangan, atau minimal dua pendapat. Di tengah ulama, tentunya perbedaan seperti ini bukanlah didasari karena hawa nafsu atau hanya keinginan agar menang dari lawan semata, karena mereka para ulama adalah orang yang paling takut kepada Allah ta’ala, dalam firman-Nya Allah sampaikan:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (Fathir:28)

Dengan tingginya keilmuan mereka, menjadikan mereka orang yang begitu takut pada Allah ta’ala, jadi tidak mungkin mereka asal berpendapat karena hawa nafsu semata, atau sengaja menyelisihi dalil memperturutkan egonya, tapi mereka berbeda memang karena didasari adanya alasan-alasan dan sebab-sebab yang masih diterima dan diberi ruang dalam syariat. Nah, yang seperti ini perlu untuk kita garis bawahi sebagai pembelajar, agar lebih mengedepankan husnu dzon dan supaya tidak mudah berprasangka buruk pada ulama, apalagi sampai menyematkan label/julukan buruk yang kurang pantas kepada mereka.

Perbedaan pendapat, terutama dalam masalah fiqih merupakan sesuatu yang lumrah dan biasa, selagi perbedaan tersebut adalah sesuatu yang muktabar (terakui), sedikit di antara ketentuan perbedaan yang muktabar itu seperti apa, penjelasannya sebagaimana yang disampaikan dalam web tanya jawab islamqa di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Solih al-Munajjid berikut ini:

تقدير الخلاف ، والحكم عليه بأنه سائغ، معتبر، أو خلاف ذلك ؛ مرجعه إلى النظر إلى دليله ، في أكثر تعريفات الفقهاء والأصوليين ، فما بُني على حجة معتبرة من حيث الثبوت ، أو الدلالة ، أو القياس ، أو المصلحة ، أو الإجماع والآثار ، أو العقل والعرف والعادة ، فهو قول معتبر ، والخلاف الذي أحدثه معترف به.

Baca Juga:  Dzikir Di Sela-Sela Sholat Tarawih, Apakah Ada Tuntunannya?

“Penilaian bahwa sebuah khilaf (perbedaan pandangan), dan terhukuminya khilaf tersebut sebagai sesuatu yang boleh/dimaklumi, atau muktabar/terakui, atau sebaliknya (tidak diakui). Itu semua dikembalikan pada pandangan terhadap dalil yang dipergunakan. Dalam banyak definisi yang dibawakan oleh para fuqaha dan ahli ushul fiqh bahwa setiap masalah yang dibangun diatas argumen yang terakui dari sisi kevalidannya, atau makna yang ditunjukkan oleh dalil tersebut, atau dibangun di atas qiyas (analogi yang benar), atau maslahat (yang benar), atau konsensus ulama dan atsar (pendapat sahabat misalnya), atau logika dan adat kebiasaan (yang benar), maka pendapat yang demikian bisa dikatakan terakui (muktabar), dan khilaf yang dimunculkan bisa dimaklumi”. [1]

Jadi, sebagaimana paparan tersebut, jika khilaf yang ada masih termasuk ranah yang muktabar, ini masih masuk kategori perkara yang lumrah dan biasa dalam dunia ilmu fiqih secara khusus, dan kita tidak perlu memunculkan respon yang terlalu berlebihan untuk saling mengingkari.

Kembali ke perkara bahwa perbedaan pandangan itu sesuatu yang lumrah, terlebih jika hal tersebut adalah perbedaan yang muktabar, kesimpulan ini bersesuaian dan senada dengan statement para ulama salaf berikut di antaranya:

Imam Qatadah mengatakan:

من لم يعرف الاختلاف لم يشم رائحة الفقه بأنفه

“Siapa yang tidak mengenal perbedaan pendapat ulama, maka ia belum mencium aroma fiqih dengan hidungnya” [2].

Said bin Abi ‘Urwah mengatakan:

من لم يسمع الاختلاف فلا تعدوه عالما

“Barangsiapa yang belum pernah mendengar perbedaan pendapat, maka jangan nilai ia sebagai seorang alim” [3].

Ayyub al-Sikhtiyani mengatakan:

أجسر الناس على الْفتيا أقلهم علما باخْتلاف الْعلماء، وأمْسك الناس عن الْفتيا أعلمهم باخْتلاف الْعلماء

“Orang yang paling berani berfatwa adalah dia yang paling sedikit pengetahuannya tentang perbedaan pandangan ulama, dan orang yang paling menahan diri untuk berfatwa, dialah orang yang paling tahu perihal perbedaan pendapat ulama” [4].

Dari beberapa kutipan di atas, secara tersirat mengatakan bahwa bagi pembelajar ilmu syari, terutama disiplin ilmu fiqih, maka mau tidak mau ia harus mendapati dan mengetahui adanya khilaf para ulama, itu sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Dan untuk menambah wawasan kita, berikut kita akan sebutkan beberapa sebab yang menjadikan kenapa para ulama berbeda pendapat, supaya kita lebih tahu dan mengenal latar belakang kenapa ada khilaf di tengah ulama.

Baca Juga:  Tinta Ulama Lebih Baik Daripada Darah Syuhada?

Sebab pertama: Perbedaan Cara Baca al-Quran.

Ada banyak qiroat/cara baca al-Quran yang secara mutawatir diriwayatkan dari Rasul sallallahu ‘alaihi wa sallam. Nah, perbedaan cara baca ini terkadang menjadi pemicu berbedanya penyimpulan hukum syari dari ayat al-Quran yang ada, salah satu contohnya pada firman Allah ta’ala:

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam keadaan safar atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); usaplah mukamu dan tanganmu”. (al-Nisa:43).

Pada ayat di atas beberapa imam qiroat seperti Hamzah dan al-Kisai membaca (أو لمستم Au Lamastum) dengan tanpa alif (tidak memanjangkan huruf “lam”) [5], sedangkan para imam qiroat yang lain membacanya dengan (أَوْ لَامَسْتُمُ Au Laamastum) dengan memanjangkan huruf “lam” karena ada alif. Perbedaan bacaan ini lantas menjadi sebab perbedaan pendapat di kalangan ulama , karena huruf “lam” yang dibaca dengan mad dengan yang dibaca pendek menjadikan makna kata tersebut berbeda. Jika tidak dipanjangkan maka maknanya hanya sebatas “menyentuh”, adapun jika dibaca panjang maka maknanya “lebih dari sekedar menyentuh (senggama)”. Nah dari sini para fuqoha berbeda pandangan, apakah yang membatalkan thaharah itu cukup sebatas “menyentuh perempuan” saja, ataukah “menyentuh perempuan” dalam artian kiasan untuk hubungan biologis.

Ibnu Jarir al-Thabari meriwayatkan dalam tafsir beliau dari sekelompok ulama bahwa maknanya adalah “jimak/senggama”, dan beliau meriwayatkan dalam pendapat lain bahwa maksudnya adalah “cukup menyentuh dengan tangan” [6], Jadi, barangsiapa yang membacanya dengan mad “Au Laamastum” maka memaknainya sebagai jimak/senggama, adapun yang membacanya tanpa mad “Au Lamastum” maka memahami cukup menyentuh perempuan sudah membatalkan thaharah.

Sebab Kedua: Berserikatnya Makna Dalam Satu Lafadz Yang Sama.

Lafadz bahasa arab terkadang memiliki banyak pembagian dari sisi makna yang ditunjukkan oleh lafadz tersebut, ini yang kemudian disebut sebagai lafadz yang “musytarok”, yaitu lafadz yang digunakan oleh orang arab untuk menunjukkan dua makna atau lebih, seperti lafadz العين al-‘Ain yang terkadang maknanya adalah “mata”, atau “sumber mata air”. Berserikatnya makna ini terkadang bisa terdapat dalam kata benda, bisa juga dalam sebuah kata kerja, seperti kata عسعس ‘as’asa yang terkadang bermakna “datang” atau “pergi”, atau kata قضى qadhaa yang kadang maknanya “memerintahkan”, “menghukumi”, atau “mewajibkan”.

al-Quran dan al-Sunnah sering kita dapati di dalamnya lafadz-lafadz yang musytarok, dan keberadaan lafadz musytarok ini menjadi salah satu sebab kenapa para ulama berbeda pendapat dalam menyimpulkan hukum, seperti contoh riilnya dalam masalah masa iddah (menunggu) bagi seorang yang diceraikan (mutollaqoh) oleh suaminya, apakah hitungannya dengan menghitung “haidh” ataukah dengan “tuhr/masa suci”, perbedaan pendapat fuqoha ini berawal dari bagaimana memahami lafadz القرء al-Qur’ yang terdapat dalam ayat berikut:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (al-Baqarah:228).

Lafadz “Quru” termasuk diantara lafadz yang musytarok, satu lafadz namun secara etimologi dalam bahasa arab bisa dimaknai “haidh” atau “tuhr/suci”, berangkat dari sini, ulama yang memahami bahwa maknanya adalah haidh, maka status perempuan normal (yang masih haidh) jika dia ditalak oleh suaminya, hitungan masa iddah (menunggu) bagi si istri adalah sampai melalui tiga kali haidh, jika selama menunggu tiga kali haidh ini suami tidak merujuknya, konsekuensinya adalah si perempuan tersebut sudah bukan istrinya lagi.

Adapun ulama yang memahami bahwa quru itu dimaknai tuhr/suci, maka mereka mengatakan bahwa masa iddah istri yang tertalak adalah tiga kali suci, jika sampai berlalu masa tersebut tanpa suami merujuknya, akibatnya menjadi ia bukanlah istri dari suaminya lagi.

Referensi: