Apa yang dimaksud dengan kontinuitas dan diskontinuitas dalam sejarah

Kontinuitas dan Diskontinuitas

  Definisi

  Kontinuitas dan diskontinuitas adalah salah satu dari pendekatan yang digunakan untuk menunjukkan relasi antara Perjanjian Lama dan Baru. Kata kontinuitas berasal dari kata contynuen yang muncul pertengahan abad 14 M. Dalam bahasa Prancis lama menggunakan kata continuar yang berasal dari bahasa Latin continuare yang berarti "join together, connect, make or be continuous," atau kata continuus "uninterrupted," yang berasal dari kata continere (intransitive) "to be uninterrupted," secara literal juga dapat diterjemahkan sebagai "to hang together". 105 Dalam pemahaman ini, maka kontinuitas dilihat memiliki sifat saling terkait dan berkelanjutan tanpa ada gangguan. Sedangkan, kata diskontinuitas berasal dari bahasa Prancis Lama discontinuer, kata ini memiliki keterkaitan dengan kata discontinuare dari bahasa Latin abad pertengahan yang berarti

  105 Online Etymology Dictionary, s.v. “continue”. Dikutip dari http:www.etymonline.comindex.php?term=continueallowed_in_frame=0 (diakses 2 September 105 Online Etymology Dictionary, s.v. “continue”. Dikutip dari http:www.etymonline.comindex.php?term=continueallowed_in_frame=0 (diakses 2 September

  Karakteristik Kontinuitas dan Diskontinuitas Berbeda dengan dua pendekatan sebelumnya, pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas mencoba melihat relasi antara dua perjanjian dalam ketegangan antara aspek yang berlanjut dan yang terhenti, terus menerus atau berganti, kontinu dan diskontinu. Ketegangan tersebut diterima sebagai sebuah realitas yang tak terelakan dalam relasi antar perjanjian, baik dalam aspek sejarah maupun teologis.

  Kontinuitas dan Diskontinuitas dalam Aspek Kesejarahan

  C. H Dodd menyatakan bahwa “the unity of the Bible is based on the common

  origin of every part of the Bible in a ‘community conscious of a continuous history.’” 107 Kesadaran akan keberlanjutan sejarah antara Perjanjian Lama dan Baru ditunjukkan melalui keberkaitan latar belakang Perjanjian Baru yang hanya dapat dipahami melalui Perjanjian Lama, begitu juga sebaliknya adanya beberapa hal dalam Perjanjian Lama yang hanya mungkin digenapi dalam Perjanjian Baru. Keberlanjutan ini ditunjukkan melalui pemahaman mengenai konsep perjanjian.

  106 Online Etymology Dictionary, s.v. “discontinue”. Dikutip dari http:www.etymonline.comindex.php?allowed_in_frame=0search=discontinuesearchmode=none

  (diakses 2 September 2015).

  Dalam surat Korintus, Galatia, atau Roma, Paulus beberapa kali menggambarkan ada dua perjanjian, yaitu “perjanjian lama” dan “perjanjian baru.” Kedua perjanjian ini seolah menjadi pemisah antara Kekristenan dengan Yudaisme, dimana Yudaisme diwakili oleh Perjanjian Lama dan Kekristenan berpegang pada Perjanjian Baru. Oleh sebab pemahaman seperti ini maka muncul tokoh-tokoh seperti Marcion yang mencoba membuang Perjanjian Lama atau Bultmann yang melihat Perjanjian lama bukan sebagai bagian dari Alkitab Kristen. 108 Meski demikian, nampaknya pemaknaan ini kurang tepat, sebab konsep “perjanjian baru” dalam bagian ini lebih merujuk kepada Yeremia 31:31-

  34. Dalam Yeremia 31:31-34, pemaknaan “perjanjian baru” lebih mengarah pada makna pembaharuan dan bukan penggantian. Campbell menyatakan bahwa,

  Paul does not think so much in terms of static abrogation—of the replacement of one covenant by another—but rather, in terms of dynamic transformation. Thus Christ is the telos, or goal, of the law rather than its termination (Rm. 10:4). 109

  Oleh karena itu, penggunaan kata “perjanjian baru” dalam pemahaman surat Paulus bukan menunjukkan diskontinuitas, namun justru merujuk pada kontinuitas kesejarahan yang dibangun sejak zaman Abraham.

  Selain itu, fakta bahwa penggunaan kata “perjanjian baru” dan “perjanjian lama” dalam surat Paulus lebih sering bertujuan untuk mengkontraskan antara pemahaman iman Kristen dengan pemahaman gnostik-Kristen maupun gnostik-Yudaisme yang sedang dilawan oleh Paulus, menunjukkan bahwa secara konsisten Paulus tidak sedang berusaha membuat pemisahan antara Perjanjian Lama dan Baru. Lebih lanjut, jika merujuk pada

  108 Bdk. Baker, Two Testaments, One Bible, 244.

  109 W. S. Campbell, “Christianity and Judaism: Continuity and Discontinuity,” International Bulletin of Missionary Research 8, no. 2 (April, 1984): 54-58.

  beberapa bagian surat Paulus yang lain, nampak Paulus mencoba menarik garis penghubung antara iman kekristenan dengan iman Perjanjian yang Abraham miliki, hal ini nampak dalam Roma 4: 3; 9:7-8, dan Galatia 3:7-29. Dengan demikian, tidak berlebihan jika Campbell menyatakan bahwa “Paul should not be regarded as confusing Judaism and Christianity. On the contrary, this study has been emphasize that there is real continuity between Judaism and Christianity.” 110

  Sekalipun Perjanjian Lama dan Baru memiliki keterkaitan sejarah, namun bukan berarti tidak ada diskontinuitas kesejarahan yang terjadi antara kedua perjanjian tersebut. Charles Ryrie mengkritik penekanan teologi Perjanjian dengan menyatakan bahwa “Covenant theology can only emphasize the unity, and in so doing overemphasizes it until it becomes the sole governing category of interpretation.” 111 Dalam hal ini, Ryrie bermaksud untuk menunjukkan juga adanya perbedaan yang tidak dapat ditutup sebelah mata. Oleh sebab itu, C.H. Dodd dan Bernhard W. Anderson menyatakan bahwa ada diskontinuitas kesejarahan yang terjadi dalam relasi antar perjanjian terdapat pada figur Yesus Kristus. 112 Menambahkan hal ini, Kasemann juga menyatakan bahwa Paulus "has to decide between the old and the new covenants, instead of seeing both as a historical continuity in the light of the concept of the renewed covenant." 113 Ia memaksudkan

  110 Campbell, “Christianity and Judaism”: 56.

  111 Charles C. Ryrie, Dispensationalism Today (Chicago, Illinois: Moody, 1965), 35.

  112 Baker, Two Testaments, One Bible, 238-39.

  113 Ernst Käsemann, "The Spirit and the Letter," dalam Perspectives on Paul, ed. Ernst Käsemann 113 Ernst Käsemann, "The Spirit and the Letter," dalam Perspectives on Paul, ed. Ernst Käsemann

  Menjelaskan konsep di atas, Perjanjian Baru menunjukkan bahwa kehadiran Kristus bukan hanya menggenapi janji Allah dalam Perjanjian Lama, namun melampaui dan menggantikan beberapa pemahaman yang ada. Perubahan atau pergantian yang terjadi dalam relasi antar perjanjian ini antara lain terdapat pada konsep Israel sebagai umat Allah. Dalam Perjanjian Lama, digambarkan bagaimana Allah berfokus pada perjanjian-Nya dengan Israel secara nasionalis. Kisah Keluaran menunjukkan secara jelas bagaimana Israel sebagai bangsa dipanggil menjadi anak Allah (Keluaran 4:21). Hal ini berkaitan dengan perjanjian Allah dengan Abraham dan keturunannya. Namun dalam Perjanjian Baru, umat Allah tidak lagi berfokus pada keturunan Abraham secara fisik, tetapi lebih mengarah pada keturunan Abraham secara spiritual (Galatia 3:7). Bahkan secara keras Paulus mengatakan dalam Roma 9:7 bahwa “tidak semua yang terhitung keturunan Abraham adalah anak Abraham.” Perubahan ini terjadi akibat pemahaman mengenai iman kepada Kristus. Dalam Galatia 3:29 dikatakan “jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.” Hal ini menunjukkan ada sebuah perubahan dalam konsep Israel sebagai umat Allah dalam Perjanjian Baru, dimana penentu ke-“Israel”-an seseorang tidak terletak pada permasalahan genetik atau nasionalis, namun karena iman pada Kristus.

  Selain itu, sekalipun Baker menyatakan bahwa adanya jarak 400 tahun dalam masa inter-testamental secara fundamental tidak mengganggu keterkaitan sejarah antara Perjanjian Lama dan Baru secara cukup serius, 114 namun tidak dapat dihindarkan bahwa

  jarak 400 tahun dari Perjanjian Lama dan Baru juga memberikan gap secara sosial, politik, dan juga budaya. Dalam kitab Maleakhi, kondisi terakhir yang dihadirkan adalah kondisi Israel pasca pembuangan di bawah pemerintahan raja Persia, dimana mereka diperbolehkan kembali ke daerah asal mereka untuk membangun kembali kota mereka. 115 Sedangkan dalam kitab awal Perjanjian Baru, secara politik pemerintahan sudah dipegang oleh kerajaan Roma. Bruce Satterfield menunjukkan bahwa selama 400 tahun terjadi dua peralihan kerajaan dimana pada tahun 334 sM kerajaan Yunani di bawah kepemimpinan Aleksander Agung berhasil meraih kekuasaan dari tangan Persia, namun pada tahun 128 sM, di bawah kepemimpinan Hasmonean bangsa Yahudi berhasil lepas dari kekuasaan Yunani. Meski demikian kemerdekaan ini tidak berlangsung lama, sebab pada tahun 63 sM pemerintahan Romawi berhasil menaklukan bangsa Yahudi dan memerintah sepanjang masa Perjanjian Baru. 116 Pergerakan sosial-politik yang demikian cepat ini, mau tidak mau memberikan gap baik dalam konteks kesejarahan maupun dalam pemahaman sosial, politik, dan teologi. Oleh sebab itu, perbedaan antara Perjanjian Lama dan Baru tidak bisa serta merta diabaikan demi menjaga argumen kesatuan teologis dari Perjanjian Lama dan Baru. Justru menurut John Bright cara terbaik untuk melihat relasi antar perjanjian adalah dengan menerima kompleksitas kontinuitas-diskontinuitas yang ada di dalamnya. 117

  115 W. S. Lasor, D. A. Hubbard, dan F. W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 455.

  116 Bruce Satterfield, “The Inter-Testamental Period,” http:emp.byui.eduSATTERFIELDBPapers IntertestamentalPeriod.htm (diakses 2 September 2015).

  117 Baker, Two Testaments, One Bible, 244.

  Kontinuitas dan Diskontinuitas dalam Aspek Teologis

  Selain dari aspek sejarah, kontinuitas dan diskontinuitas juga terjadi dalam ranah teologis. C. Vriezen mengakui adanya kesamaan perspektif yang dimiliki antara dua perjanjian ini dalam hal pemahaman tentang nubuatan, persekutuan, dan konsep Kerajaan. 118 Pemahaman mengenai nubuatan Mesianis dan pemenuhannya di dalam

  Yesus menjadi salah satu contoh keterkaitan teologis antara Perjanjian Lama dan Baru. Dalam surat Matius digambarkan dengan begitu masif mengenai Yesus sebagai pemenuhan dari nubuatan mesianik Perjanjian Lama. Hal ini nampak pada penggunaan julukan yang diberikan kepada Yesus, seperti Mesias (16:16), Anak Daud (1:18, 22:41- 46), Anak Allah (3:17, 4:1), Anak Manusia (9:6, 12:1-8), atau Raja Israel (21:5). Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika Brevard Childs mengatakan “Scripture indeed bears witness to Christ, but it is an Old Testament which receives its true content from the person and work of Jesus.” 119 Hal ini menunjukkan bagaimana kesatuan antara Perjanjian Lama dan Baru di dalam dan melalui figur Kristus.

  Di sisi yang lain, figur Kristus bukan hanya membawa keberlanjutan Perjanjian Lama dan Baru, namun juga melampaui apa yang Perjanjian Lama pikirkan. Hal ini nampak dari adanya diskontinuitas dari kedua perjanjian ini. Bultmann, melalui pendekatan kesejarahan, menilai bahwa sejarah Perjanjian Lama tidak berbicara secara langsung mengenai Yesus, akan tetapi pemahaman mengenai Yesus tetap dapat ditangkap melalui bentuk penafsiran yang lebih lanjut akan teks sejarah Perjanjian

  118 Baker, Two Testaments, One Bible, 240.

  Lama. 120 Sekalipun secara lugas ia menyatakan adanya diskontinuitas, namun Bultmann juga tetap membuka adanya ruang kontinuitas dalam bentuk yang melampaui makna kesejarahan yang Perjanjian Lama coba bentuk. Lebih lanjut, Childs juga mengatakan bahwa “Jesus Christ is the end of the law (Roma 10:4) which cuts off absolutely all of

  Jewish striving for righteousness based on works (Roma 9:31).” 121 Hal ini menunjukkan bagaimana Yesus bukan sekedar hadir menyatakan adanya diskontinuitas dari Perjanjian

  Lama, namun juga menghadirkan pemahaman kebenaran yang melampaui keyakinan teologis Perjanjian Lama.

  Sebagai contoh, dalam Perjanjian Lama, konsep umat Allah dipahami dengan makna “menjadi IsraelYahudi”. Hal ini ditandai dengan konsep sunat dalam Perjanjian Lama. Kejadian 17:10-11 mencatat,

  Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat; haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu.

  Bandingkan dengan Keluaran 12:48,

  Tetapi apabila seorang asing telah menetap padamu dan mau merayakan Paskah bagi TUHAN, maka setiap laki-laki yang bersama-sama dengan dia, wajiblah disunat; barulah ia boleh mendekat untuk merayakannya; ia akan dianggap sebagai orang asli. Tetapi tidak seorangpun yang tidak bersunat boleh memakannya.

  Dua bagian ini menunjukkan bahwa sunat bukan hanya menjadi tanda Perjanjian, namun juga menjadi tanda seseorang masuk dalam umat Allah, dianggap sebagai orang asli. Oleh karena itu, dalam Perjanjian Lama, konsep umat Allah tidak dapat dilepaskan dari sunat sebagai tanda menjadi bagian dari umat IsraelYahudi.

  120 John S. Feinberg, “System of Discontinuity,” dalam Continuity and Discontinuity: Perspectives on the Relationship Between the Old and New Testaments, ed. John S. Feinberg dan S. Lewis Johnson

  (Westchester, Illinois: Crossway Books, 1988), 64.

  Sunat yang semestinya menjadi cara untuk bangsa asing datang dan mengenal Allah, serta menjadi satu dengan umat-Nya. Dalam Perjanjian Baru, justru menjadi sebuah pemisah antara orang Yahudi dan non-Yahudi. Hal ini jelas dapat kita temukan pada Kisah Para Rasul atau surat-surat Paulus, dimana perbedaan antara Yahudi dan non- Yahudi menjadi salah satu permasalahan penting yang dihadapi komunitas Kristen mula- mula (Lih, 6:1). Karena itu, Paulus mengajarkan bahwa di dalam dan melalui iman pada Kristus, tembok pemisah itu sudah dihancurkan.

  Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera (Efesus 2:14-15).

  Dalam hal ini, menjadi umat Allah tidak lagi harus ditandai oleh sunat secara fisik. Namun lebih daripada itu, di dalam dan melalui Kristus kita disatukan menjadi umat Allah lewat sunat hati. Paulus mengatakan “Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah” (Roma 2:29). Dalam sunat hati inilah umat Allah yang sejati dipersatukan jauh melampaui batasan budaya atau suku bangsa. Disinilah terjadi diskontinuitas sekaligus kontinuitas dalam konsep umat Allah.