Apa turunan teknik padat karya

Apa turunan teknik padat karya
Barang yang dijual dipasar sebaiknya yang dibutuhkan masyarakat
(gambar: freepik.com)

Pada artikel sebelumnya tentang kelangkaan telah dijelaskan bahwa kebutuhan manusia bersifat tidak terbatas sedangkan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan yang berupa barang dan jasa terbatas jumlahnya. Keadaan timpang yang merupakan masalah tersebut dinamakan kelangkaan (Scarcity).

Kelangkaan yang merupakan persoalan mendasar yang terdapat dalam setiap kehidupan masyarakat memunculkan tiga masalah pokok ekonomi berkaitan dengan bagaimana menentukan pilihan. Ketiga masalah pokok ekonomi tersebut memiliki hubungan yang erat antara satu dan yang lainnya. Masalah ekonomi akan timbul apabila ketigal hal tersebut tidak dihadapi dengan baik atau dipecahkan

Tiga masalah pokok ekonomi tersebut adalah Apa yang akan diproduksi? Bagaimanakah cara memproduksi? Dan kepada siapa saja produksi tersebut akan dijual?

Masalah pokok ekonomi pertama yang harus dihadapi dan dipecahkan adalah barang apa yang harus diproduksi dan berapa banyak? Pertanyaan tersebut mengarah pada jenis dan jumlah barang dan jasa yang harus diproduksi dalam perekonomian karena sumber daya bersifat terbatas.

Produsen harus memerhatikan barang apa dan berapa banyak yang dibutuhkan oleh masyarakat. Produsen tidak dapat memproduksi barang dan jasa sebanyak yang diinginkan oleh semua anggota masyarakat. Peningkatan produksi suatu barang biasanya berarti penurunan produksi untuk barang lainnya. Oleh karena itu, setiap masyarakat harus memilih secara tepat barang dan jasa apa yang harus diproduksi dan berapa banyak barang dan jasa diproduksi.

Untuk dapat mengetahui kebutuhan masyarakat secara tepat dapat dilakukan penelitian atau survey pasar. Selanjutnya, apakah telah tersedia sumber daya untuk menghasilkan barang tersebut. Dengan sumber daya yang tersedia produsen harus mampu memutuskan penggunaan barang tersebut sebagai sumber daya.

Sebagai contohnya terdapat sebidang tanah yang terletak di tepi jalan raya, akan digunakan untuk apa tanah tersebut? Apakah untuk bercocok tanam? Membangun rumah atau pabrik?

Keputusan yang tepat dapat mengatasi beberapa masalah ekonomi dan menekan sedikit kemungkinan timbulnya masalah baru. Kesalahan dalam memberi jawaban dapat berakibat tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat sehingga keuntungan yang seharusnya didapat oleh produsen pun menjadi hilang

Masalah ekonomi berikutnya yang harus dihadapi dan dipecahkan adalah bagaimana barang tersebut harus diproduksi. Pertanyaan tersebut mengacu kepada pilihan pelaku produksi dan cara produksi. Masalah ini berkaitan dengan siapa yang akan memproduksi barang tersebut, dengan menggunakan komposisi sumber daya produksi apa saja dan dengan menggunakan teknik produksi yang bagaimana. Pilihan cara produksi meliputi jenis faktor produksi dan teknik produksi yang digunakan.

Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan produksi. Salah satu diantaranya adalah bagaimana memilih teknik produksi yang tepat. Pemilihan teknik produksi ini ada kaitannya dengan ketersediaan macam-macam sumber daya yang ada. Apakah menggunakan teknik produksi yang padat karya ataukah padat modal. Masing-masing teknik produksi memiliki kelebihan tersendiri. Jika menggunkan teknik padat karya kelebihannya banyak menyerap tenaga kerja secara otomatis mengurangi pengangguran. Sedangkan teknik yang padat modal lebih menekankan penggunaan alat, mesin, dan teknologi yang canggih sehingga produksi dapat lebih efisien.

Permasalahan berikutnya yang harus dihadapi dan dipecahkan adalah untuk siapa (for whom) barang itu diproduksi? Masalah ini berkaitan dengan siapa yang akan menikmati dan memperoleh manfaat dari barang tersebut.

Selain melakukan produksi, produsen juga perlu mempertimbangkan kepada siapa produknya akan dipasarkan/dijual. Sebab apa gunanya melakukan produksi melimpah jika tidak ada yang membutuhkannya? Oleh karena itu barang dan jasa yang diproduksi harus merupakan kebutuhan masyarakat serta dijual dengan harga terjangkau oleh masyarakat.

Dengan adanya ketiga masalah pokok ekonomi tersebut, setiap manusia dituntut untuk menentukan pilihan atau keputusan dalam mempergunakan sumber daya atau faktor produksi sehingga dapat mencari alternatif dalam menghadapi sumber daya yang langka. Ketiga masalah di atas termasuk ke dalam ruang lingkup ekonomi mikro. Contoh permasalahan ekonomi yang lebih bersifat makro adalah tingkat pengangguran dan laju inflasi.

Ketiga masalah pokok ekonomi di atas, yaitu apa yang akan diproduksi, bagaimanakah cara memproduksi, dan kepada siapa saja produksi tersebut akan dijual,  selalu dihadapi oleh setiap negara, baik negara sedang berkembang maupun negara yang sudah maju. Akan tetapi tidak semua sistem perekonomian memecahkan ketiga masalah tersebut dengan cara yang sama. Kemungkinan-kemungkinan produksi setiap negara untuk memecahkan masalah-masalah pokok yang dihadapai oleh setiap negara tergantung dari sistem perekonomian yang dianut oleh masing-masing negara.

Apa turunan teknik padat karya
Seorang anak menemani ayahnya membuat alat musik biola dari kayu jati Belanda di Toriyo, Sukoharjo, Jawa Tengah, 20 November 2015. Dalam sebulan rumah industri biola tersebut mampu membuat sekitar 1.000 biola dengan harga 300 ribu hingga 1,5 juta rupiah. Biola-biola tersebut selain laku di dalam negeri, banyak juga pembeli dari luar negeri seperti Brunei, Thailand, dan Singapura. TEMPO/Bram Selo Agung

TEMPO.CO, Jakarta - Produk industri dalam negeri dipacu agar lebih berdaya saing dan menjadi pemenang perdagangan global. Kementerian Perindustrian mengusulkan insentif berupa pemotongan pajak penghasilan (PPh) untuk industri padat karya yang berorientasi ekspor. “Kami usulkan potongannya lima persen. Namun syaratnya adalah potongan tersebut digunakan untuk investasi, bukan untuk deviden, sehingga dapat mendorong ekspansi. Hal ini akan kami bahas dengan Kementerian Keuangan pada minggu depan. Bentuknya bisa tax allowance,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto usai Rapat Kerja Kementerian Perdagangan di Jakarta, Rabu, 22 Februari 2017. Airlangga melalui keterangan tertulis menyebutkan, industri padat karya berorientasi ekspor yang sedang didongkrak kinerjanya, antara lain sektor industri tekstil dan produk tekstil, industri alas kaki, industri pengolahan ikan dan rumput laut, industri aneka (mainan anak, alat pendidikan dan olah raga, optik, alat musik), industri farmasi, kosmetik dan obat tradisional, serta industri kreatif (kerajinan, fashion, perhiasan). Selanjutnya, industri barang jadi karet (ban kendaraan bermotor dan rethreading ban pesawat terbang), industri elektronik dan telematika (multimedia, software), industri furniture kayu dan rotan, serta industri makanan dan minuman (turunan CPO, olahan kopi, kakao). Kemenperin mencatat, pedagangan luar negeri Indonesia secara global, didominasi ke Asia sebesar 60,93 persen. Selanjutnya, ke Amerika sekitar 12,49 persen, Eropa 11,45 persen, Australia 11,07 persen, dan Afrika 3,51 persen. "Kami akan mendorong peningkatan ekspor produk industri Indonesia ke negara-negara Eropa dan memanfaatkan peluang ke Australia,” ujarnya. Airlangga menyampaikan, beberapa negara yang industrinya cukup maju sangat protektif untuk melindungi pasar dalam negeri dengan menerapkan banyak instrumen Non Tariff Measures (NTMs). "Indonesia masih terbilang terbuka, karena secara total NTMs tahun 2016, Indonesia hanya menerapkan 272 pos tarif. Sedangkan, Uni Eropa sebanyak 6.805, Amerika Serikat 4.780, Tiongkok 2.194, dan Jepang 1.294 pos tarif," sebutnya. Untuk itu, lanjut Airlanga, pihaknya bersama kementerian terkait lainnya akan lebih memperhatikan pemanfaatan NTMs sebagai proteksi perdagangan produk domestik, agar tetap kompetitif baik di pasar dalam dan luar negeri. "Salah satunya melalui anti dumping. Indonesia saat ini baru menerapkan anti dumping sekitar 48 pos tarif, sedangkan Uni Eropa sebanyak 287, Amerika Serikat 229, Tiongkok 101, dan India 280 pos tarif,” ungkapnya. Sejalan dengan itu, Presiden Joko Widodo meminta kepada kementerian terkait untuk menurunkan rata-rata tarif bea masuk impor, khususnya bahan baku yang akan digunakan pada produk ekspor. Minimal tarifnya setara dengan Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat, dengan rata-rata tarif 6-2 persen. Saat ini, bea masuk Indonesia berkisar delapan persen, tergolong setara dengan Tiongkok yang rata-rata 10 persen dan India 12 persen. "Hal ini diharapkan pula semakin menguatkan produktivitas industri dalam negeri. Selain itu, produk bisa lebih berdaya saing dengan negara tujuan ekspor,” tegasnya. Dongkrak Ekspor Menurut Airlangga, untuk mendongkrak nilai ekspor, juga akan dilakukan melaui perjanjian kerja sama bilateral seperti Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA). "Kami berharap investasi di sektor industri dapat bertambah, termasuk kami telah bahas mengenai kerja sama dengan Amerika, Perancis, Tiongkok dan Jepang,” tuturnya. Pada tahun 2016, ekspor produk industri non-migas mencapai US $ 109,76 miliar atau naik sebesar 1,07 persen jika dibandingkan periode tahun 2015 sebesar US $ 108,60 miliar. "Ekspor produk industri ini memberikan kontribusi sebesar 76 persen dari total ekspor nasional tahun 2016 yang sebesar US $ 144,43 miliar,” ujar Airlangga. Sedangkan, nilai impor produk industri non-migas tahun 2016 sebesar US $ 108,26 miliar atau turun sebesar 1,14 persen, jika dibandingkan periode tahun 2015 sebesar US $ 109,51 miliar. Jadi, neraca perdagangan Indonesia masih surplus sebesar US $ 1,50 miliar. Di tingkat ASEAN, Menperin mengungkapkan, beberapa produk industri nasional yang telah unggul, antara lain produk pupuk urea, kaca lembaran, keramik, bubur kertas (pulp) dan kertas, tekstil dan serat sintetis, serta kakao Indonesia yang mampu menduduki peringkat pertama di Asia Tenggara. Sementara, produk ban, otomotif, olekimia, dan baja atau logam menempati peringkat kedua di Asia Tenggara. Prtumbuhan cabang industri non-migas yang tertinggi pada tahun 2016 dicapai oleh industri makanan dan minuman sebesar 8,46 persen. Selanjutnya, diikuti industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki sebesar 8,15 persen, industri kimia, farmasi dan obat tradisional sebesar 5,48 persen, industri barang galian bukan logam sebesar 5,46 persen, serta industri mesin dan perlengkapan sebesar 5,05 persen. Pertumbuhan sektor-sektor tersebut melampaui pertumbuhan ekonomi tahun 2016.

ANTARA