Apa saja ibrah yang dapat diambil dari proses lahirnya bani umayyah

Dalam teori siklusnya, Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa setiap peradaban akan mengalami tiga fase, yakni: perjuangan, kemajuan, dan kehancuran. Teori tersebut bisa ditarik pada konteks karier manusia, perusahaan, organisasi, bahkan negara. Dalam tulisan ini, kita terapkan teori tersebut atas siklus tiga imperium besar yang pernah berkuasa di bumi ini, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan Majapahit.

Sebagaimana sebuah peradaban lainnya, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan Majapahit juga mengalami tiga fase sebagaimana yang disebut oleh Ibnu Khaldun. Kali ini kita fokuskan pada sejarah kehancuran tiga kerajaan tersebut, beserta sabab musababnya, sebagai ibrah untuk kehidupan kita di masa mendatang.

Pertama, Dinasti Umayyah. Sebuah peradaban Islam pertama yang menerapkan sistem pemerintahan monarki, dengan Damaskus sebagai ibukotanya. Didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Umayyah mengalami puncak kemajuan di bawah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.Setelah berkuasa selama kurang lebih 90 tahun, dinasti ini hancur pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad pada tahun 750 M.

Selain faktor eksternal, akibat pemberontakan yang diinisiasi oleh keluarga Bani Abbas yang dibantu Abu Muslim al-Khurasani, Dinasti Umayyah mengalami kemunduran akibat gaya hidup feodalisme dan konsumerisme khalifah dan pembesar-pembesar negara. Faktor lain yang dianggap sebagai biang utama kehancuran dinasti ini adalah klasifikasi sosial, dimana kaum Mawali (non Arab) memiliki status lebih rendah daripada mereka yang berasal dari Arab. Perlakuan diskriminatif ini, menyebabkan kaum Mawali bergabung dengan gerakan underground Bani Abbas dan melakukan konfrontasi yang berujung pada keruntuhan Umayyah.

Kedua, Dinasti Abbasiyah. Merupakan Renaisans Aufklarungnya dunia Islam. Pernah menguasai dunia selama 5 abad, kerajaan yang didirikan oleh Abdul Abbas as-Saffah ini mengalami puncak kejayaan di era Khalifah Harun ar-Rasyid. Kemajuan di berbagai bidang, terutama dalam keilmuan, membuat Dinasti Abbasiyah menjadi pusat peradaban dunia. Ribuan ulama lahir dengan karyanya yang monumental, membuat dinasti ini menjadi inspirasi seluruh manusia di era itu.

Figur khalifah yang lemah dianggap sebagai biang kehancuran Dinasti Abbasiyah. Khalifah-khalifah pasca al-Makmun tidak memiliki kapasitas yang mumpuni sebagaimana para pendahulunya. Kenyamanan dan kemapanan hidup para pangeran berakibat pada kelengahan. Para calon raja ini tidak memiliki semangat juang sebagaimana moyangnya, karena dari kecil tidak pernah ditempa oleh kepedihan. Kepekaan sosial mereka juga lemah, mereka tidak paham akan makna penderitaan, karena terbiasa hidup dalam kemewahan.

Kondisi tersebut di atas sungguh mengecewakan rakyatnya, banyak dinasti-dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Artinya, pemasukan negara mengalami penurunan drastis, karena semakin sedikit yang membayar upeti. Kondisi kerajaan yang sudah lemah ini diperparah oleh oknum-oknum penjilat yang penuh kepentingan. Dalam keadaan la yamutu wa la yahya, Dinasti Abbasiyah tak berdaya ketika pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan meluluhlantahkan Baghhad. Golden Age tinggal sejarah.

Baca juga:  Mengapa Indrapura Ada di Mana-Mana?

Ketiga, Majapahit. Kerajaan yang kekuasaannya begitu luas ini berhasil menancapkan wibawanya dalam sejarah Nusantara. Duet antara Maharaja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, dianggap sebagai pemerintahan terbaik yang pernah dimiliki negeri ini. Sumpah Palapa begitu melegenda, sumpah ini berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil Nusantara. Majapahit menerapkan persemakmuran, bukan penjajahan.

Sebagaimana siklus peradaban, secara pelan kerajaan yang didirikan Raden Wijaya ini juga mengalami kehancuran. Kemunduran Majapahit bermula ketika Prabu Wikramawardhana terlibat perang saudara dengan Bhre Wirabhumi, saudara iparnya, yang di kenal dengan Perang Paregreg. Perang ini selain melemahkan kerajaan itu sendiri, kepercayaan rakyat perlahan mulai pudar. Armada Majapahit yang berjaya di zamannya telah lumpuh dan tak mampu menjangkau wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Wilayah kekuasaan Majapahit perlahan melepaskan diri dengan mendirikan kadipaten-kadipaten baru. Majapahit tinggal puing-puing.

Dari Sejarah untuk Masa Depan

Adalah sunnatullah, bahwa tidak ada yang abadi selain Allah. Kefaanaan makhluk adalah suatu keniscayaan. Meskipun demikian, kita bisa belajar dari sejarah, tentang apa saja yang menjadi penyebab dari sebuah kehancuran. Takdir akan keusaian sesuatu memang telah ditulis oleh-Nya, namun kita sebagai manusia wajib untuk memberikan yang terbaik bagi kehidupan. Sejarah dicatat agar kita dapat mengambil ibrah dari peristiwa yang baik, dan tidak terperosok di lubang keburukan yang sama. Karena memang siklus kehidupan terjadi berulang-ulang.

Baca juga:  4 Peradaban Sosial yang Dibangun Nabi Pasca Hijrah di Madinah

Dari keruntuhan Umayyah kita belajar tentang keadilan. Diskriminasi terhadap sesama hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial dan memancing pemberontakan. Karena pada hakikatnya, manusia tidak pernah tahan terhadap kedzaliman. Pada Abbasiyah kita merenungi kedewasaan. Bahwa hidup tanpa tantangan hanya akan meninabobokkan. Kesuksesan orang-orang besar diawali oleh berbagai tempaan, derajat kemuliaan harus diongkosi dengan masyaqat dan perjuangan.

Selanjutnya, ambisi kekuasaan hanya mengantarkan manusia pada kehinaan. Kerajaan sedigdaya Majapahit runtuh karena konflik perebutan tahta. Kekuasaan memang menggoda, tapi berubah menjadi malapetaka manakala diperoleh dengan menghalalkan segala cara. Dunia pernah memiliki sejarah kelam, nyawa ribuan prajurit melayang, anak menjadi yatim, wanita menjadi janda, dan infrastruktur menjadi rusak, hanya gara-gara kegilaan satu orang yang penuh ambisi kekuasaan.

Indonesia hari ini masih terjebak hal yang sama, pemilihan umum yang digelar baik tingkat daerah sampai nasional syarat akan keculasan. Demokrasi masih menjadi jargon yang berada di menara gading. Konflik-konflik hari ini sering terjadi demi sebuah jabatan. Adanya demarkasi pendukung paslon A dan paslon B terus menganga bahkan ketika pemilu telah selesai. Jika persatuan tak lebih diutamakan ketimbang kekuasaan, bisa saja negeri kita juga mengalami kehancuran.

“Jika memburu kekuasaan hanya benar-benar demi kekuasaan itu sendiri, sebaiknya harap diingat bahwa tidak ada raja besar seberkuasa apapun yang tidak mengalami kehancuran.” –Cak Nun-. Wallahu A’lam

Apa saja ibrah yang dapat diambil dari proses lahirnya bani umayyah
Foto diambil dari minanews.net

Apa saja ibrah yang dapat diambil dari proses lahirnya bani umayyah

KLIKMU.CO

Oleh: Kyai Mahsun Djayadi*

Nama lengkapnya, Abu Abdul Malik Marwan, ibnu al-Hakam, ibnu Abil ‘Ash, ibnu Umayyah, ibnu ‘Abdis-Syams. lahir sekitar 623-626, dan meninggal April/Mei 685. Lebih popular dipanggil Marwan bin Hakam.
Marwan bin Hakam, sempat mengenal Nabi Muhammad saw pada masa hidupnya sehingga ia termasuk golongan sahabat Nabi. Sementara itu, ibu Marwan bernama Aminah binti Alqamah berasal dari kabilah Banu Kinanah, kabilah besar bangsa Arab yang menempati wilayah barat daya Mekkah hingga Tihamah, dan merupakan kabilah nenek moyang suku Quraisy.

Marwan bin Hakam, adalah khalifah Umayyah keempat, yang berkuasa kurang dari setahun pada 684-685. Tiga khalifah sebelumnya adalah : Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M), Yazid ibn Muawiyah (681-683 M), dan Muawiyah ibn Yazid (683-684 M). Mu’awiyah bin Abu Sufyan merupakan khalifah pertama sekaligus pendiri dinasti Bani Umayyah, sedangkan dua khalifah penggantinya tidak terlalu signifikan prestasi kepemerintahannya.
Marwan bin Hakam merupakan Khalifah yang hebat tetapi dalam masa yang singkat. Ia adalah khalifah pertama dari trah Marwani (Marwan dan keturunannya), yang menjadi penguasa dinasti Bani Umayyah menggantikan khalifah-khalifah Sufyani (keturunan Abu Sofyan) yang kekuasaannya runtuh akibat Persetruan internal umat Islam tahap kedua. Persetruan internal umat islam tahap pertama adalah antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

Apa saja ibrah yang dapat diambil dari proses lahirnya bani umayyah

Marwan bin Hakam, meskipun memerintah kurang dari satu tahun, tetapi memiliki nilai-nilai kepemimpinan yang sangat positive dan sangat bermakna bagi umumnya umat Islam. Dia dianggap memiliki reputasi beragam. seorang sejarawan Clifford E. Bosworth menyebutnya sebagai panglima dan negarawan yang cerdik, cakap, tegas, dan berhasil melanggengkan kekhalifahan Umayyah, sedangkan riwayat-riwayat lain yang anti-Umayyah mengejeknya sebagai “Abul Jabaabirah” (bapak para tiran).
Marwan memulai kiprahnya pada masa pemerintahan sepupunya, Khalifah Utsman bin Affan (memerintah 644-656), saat ia menjabat sebagai katib (sekretaris) dan menjadi orang kepercayaan Utsman. Ia terluka saat menghadapi pemberontak yang mengepung rumah Utsman dan membunuh sang khalifah.

Marwan kemudian menjadi “wali kota” Madinah pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680), seorang kerabatnya yang mendirikan kekhalifahan Umayyah. Pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah (680-683), Perang Saudara Islam II pecah dan Marwan memimpin kubu Umayyah di Madinah melawan para penentangnya.
Setelah meninggalnya Yazid pada November 683, pemimpin anti-Umayyah di Hijaz, Abdullah bin az-Zubair, menyatakan diri sebagai khalifah dan berhasil mengusir Marwan dan kabilah Banu Umayyah dari Madinah ke negeri Syam, pusat kekuasaan dinasti tersebut. Khalifah selanjutnya Muawiyah bin Yazid, meninggal pada 684 dan kekuasaan Umayyah menyusut hanya di sebagian Syam. Banyak wilayah yang menyatakan tunduk kepada Ibnu az-Zubair.

Marwan bin Hakam, mengajukan diri sebagai khalifah pengganti Muawiyah bin Yazid dalam pertemuan kabilah-kabilah pro-Umayyah di Jabiyah di bawah pimpinan Ibnu Bahdal dari Banu Kalb. Para pemuka kabilah ini setuju memilih Marwan bin Hakam sebagai khalifah dan mereka mengalahkan pasukan Qais yang memihak Ibnu az-Zubair dalam Pertempuran Marj Rahith pada Agustus 684.

IBRAH DARI KISAH INI :

Marwan bin Hakam, sosok pemimpin yang fenomenal. Disebut fenomenal, karena Dialah orang pertama dari keluarga Marwani (trah Marwan) yang berhasil menjadi khalifah dinasti Bani Umayyah, menggantikan trah Sufyani yang sebelumnya berkuasa.
Marwan bin Hakam, bukan orang baru dalam perpolitikan Islam, karena sesungguhnya Dia telah pernah menjabat berbagai posisi terutama pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan, kebetulan Dia adalah sepupu Utsman bin Affan.

Selain itu Marwan bin Hakam, oleh para ahli sejarah dianggap mempunyai prestasi besar jika diukur dengan masa atau waktu memerintah yang kurang dari setahun, yakni berhasil mengkonsolidasikan Kembali kekuatan dinasti.

Mungkin ada Sebagian orang mengira bahwa posisi Marwan bin Hakam sebagai khalifah dinasti Bani Umayyah sebagai factor keberuntungan lantaran kedekatannya dengan keluarga kerajaan, atau lantaran dari keluarga elit suku quraisy. Tetapi kenyataan sesungguhnya ternyata Marwan bin Hakam bukan memanfaatkan modal sosial kedekatan dengan keluarga kerajaan ataupun elit Quraisy, melainkan karena kepribadiannya sundiri yang memang cerdas, ahli strategi, dan professional.
Marwan bin Hakam, merupakan khalifah yang hebat dan Singkat.

*Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah KotaSurabaya

Apa saja ibrah yang dapat diambil dari proses lahirnya bani umayyah