Analisis terhadap pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku kasus narkoba dengan meninjau

Oleh : Ratih Frayunita Sari, S.I.Kom., M.A Penyuluh Narkoba Ahli Pertama BNN Provinsi Kepulauan Riau

Penegakan Hukum Bagi Kasus Narkoba di Indonesia

Di Indonesia eksekusi hukuman mati bagi kasus tindak pidana narkotika merupakan sebuah persoalan yang tidak mudah. Hal ini didasarkan berbagai aspek yang memberikan implikasi terhadap penerapan hukuman mati. Sebagian besar menganggap langkah ini merupakan hal yang sangat tepat karena para pengedar narkoba yang dapat merusak generasi bangsa. Sesuai dengan  Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat menjerat pengedar atau bandar narkoba dengan memberikan hukuman paling berat yaitu hukuman mati. Namun di sisi lain permasalahan yang sering diangkat adalah bahwa  eksekusi hukuman mati bagi bandar narkoba di Indonesia dan hukuman mati bagi Bandar Narkoba bertentangan dengan aspek hak asasi manusia.

Jika mengacu pada kondisi kejahatan peredaran narkoba saat ini memang sudah merupakan kejahatan transnasional yang dilakukan antar negara tanpa batas dan wilayah. Kejahatan narkoba sebagai bentuk kejahatan paling mematikan karena sasaran utamanya adalah generasi muda. Namun tanpa disadari kejahatan narkoba sebagai kejahatan yang telah merenggut nyawa manusia pasca mengkonsumsi narkoba akibat over dosis dan pengaruh kecanduan terhadap narkotika tersebut. Bahkan melalui pemerintah saat ini sudah mencanangkan Indonesia sebagai darurat narkoba karena narkoba sudah tidak mengenal batas dan wilayah (territorial). Bahkan Menurut Direktur Jenderal Pemasyarakatan setengah hunian LAPAS/RUTAN Seluruh Indonesia merupakan kasus narkoba.[1] Hal tersebut mengindikasikan kepada kita bahwa Indonesia benar – benar darurat narkoba.

Pemberian hukuman mati bagi Bandar Narkoba merupakan salah satu bentuk keseriusan negara terhadap penanganan kasus narkotika di negara ini. Termasuk hukuman mati bagi Bandar Narkoba Freddy Budiman. Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Freddy Budiman dan kepada beberapa kasus tindak pidana narkotika lainnya merupakan bentuk hukuman penjeraan agar pelaku tindak pidana pengedar dan Bandar Narkoba merasa jera untuk mengedarkannya dan sebagai bentuk pelajaran bagi kasus pidana narkotika yang masih ada dan berkeliaran saat ini.

Terpidana mati kasus peredaran gelap narkotika (Bandar Narkoba) saudara Freddy Budiman yang sudah divonis mati oleh hakim pengadilan Jakarta Barat pada tanggal 15 Juli 2013 dan dieksekusi pada hari Jumat tanggal 29 Juli 2016 Pukul 00.45 dini hari di Nusakambangan Cilacap Jawa tengah. Eksekusi mati tersebut dilakukan setelah menunggu 3 (tiga) tahun sampai kasus peninjauan kembali dan permintaan grasi kepada Presiden tidak terpenuhi. Ekseskusi mati ini sudah dilakukan demi kepentingan dan pelaksanaan hukum yang lebih efektif. [2] Penjatuhan hukuman mati bagi terpidana kasus peredaran gelap narkoba diatur dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 pasal 113 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2). Penjatuhan hukuman mati jika ditinjau dari hukum positif Indonesia bertentangan dengan hak asasi manusia yang tertuang di dalam Pasal 4 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Jika menilik hukum positif Indonesia mengatur salah satunya adalah hukuman mati. Hukuman mati marupakan salah satu bentuk hukuman yang paling berat dijalankan seorang terpidana dengan cara menghilangkan nyawanya. Hukuman mati diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP).[3] Hukuman mati dapat diberikan oleh hakim setelah melakukan pertimbangan dengan sebaik–baiknya berdasarkan fakta hukum di persidangan dan alat bukti yang cukup sehingga hakim dapat memutuskan seseorang mendapatkan salah satu bentuk hukuman tersebut.

Kejahatan narkoba itu tidak hanya membunuh hidup, namun membunuh kehidupan manusia, bahkan masyarakat luas. Kejahatan narkoba itu bukan hanya menghilangkan belasan ribu nyawa manusia setiap tahun, tetapi menghancurkan kehidupan dan masa depan generasi penerus bangsa.[4]

Dalam kasus tindak pidana narkoba yang dianggap sebagai kejahatan yang paling serius dan bahkan akibat yang ditimbulkan dapat menghancurkan masa depan anak bangsa. Namun, dalam sejumlah penelitian menunjukkan, ternyata tidak ada korelasi positif antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan tersebut, di Indonesia justru menunjukkan peningkatan dari pengguna dan pengedar, sampai pada adanya produsen. Dalam kaitan ini, upaya penanggulangan narkoba di negara-negara maju sudah mulai dilakukan dengan meningkatkan pendidikan sejak dini dan melakukan kampanye anti narkoba, serta penyuluhan tentang bahayanya. Demikian seriusnya penanggulangan masalah narkoba bagi kehidupan manusia sudah mendorong kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan narkoba tersebut.[5]

Di dalam artikel terikat Konvensi Internasional Hukuman Mati Mesti Jalan Terus, diberitakan bahwa MK dalam putusannya pada 30 Oktober 2007 menolak uji materi hukuman mati dalam Undang-Undang Narkotika dan menyatakan bahwa hukuman mati dalam Undang-Undang Narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945 lantaran jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut asas kemutlakan. Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya  ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, MK, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen undang-undang, yakni hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan.20

Alasan lain pertimbangan putusan MK salah satunya karena Indonesia telah terikat dengan konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam Undang-Undang Narkotika. Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia justru berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, yang salah satunya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal.

Dalam konvensi tersebut Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat yakni pidana mati. Dengan menerapkan hukuman berat melalui pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan MK menegaskan, Pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius.

Dalam pandangan MK, keputusan pembikin undang-undang untuk menerapkan hukuman mati telah sejalan dengan Konvensi PBB 1960 tentang Narkotika dan Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights, dan Undang-Undang HAM sebab ancaman hukuman mati dalam Undang-Undang.

Artinya kita dapat simpulkan bahwa penegakan hukuman mati bagi Bandar Narkoba harus dilakukan demi kepentingan umat manusia yang lebih banyak dengan membunuh satu orang dapat menyelamatkan banyak orang lainnya sehingga membunuh bandar narkoba artinya dapat mengayomi masyarakat lainnya dari penyalahgunaan narkoba akibat peredarannya yang semakin meningkat. Eksekusi hukuman mati bagi Bandar Narkoba tidak bertentangan dengan hak asasi manusai karena tidak bertentangan dengan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sehingga hukuman mati dapat diterapkan di Indonesia dan juga hukuman mati di atur di dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Daftar Pustaka :

Anwar, Umar. 2016. Penjatuhan Hukuman Mati Bagi Bandar Narkoba Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi Manusia. Jakarta : Kementerian Hukum dan HAM

Barda Nawawi, Arif, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Effendi, Masyhur, 1994, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Effendi, Masyhur dan Taufan Sukmana Evandi, 2010, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, Bogor: Ghalia Indonesia.

Purnomo, Agus. 2016. Hukuman Mati Bagi Tindak Pidana Narkoba di Indonesia: Perspektif Sosiologi Hukum. Jurnal Hukum dan Syariah.

Tempo.co Setengah Penghuni Penjara Indonesia Terpidana Kasus Narkoba (https://m.tempo.co/read/ news/2016/03/28/063757367/ setengah-enghuni-penjara-indonesia-terpidana-kasus-narkoba) diakses tanggal 19 September 2021

[1] Setengah Penghuni Penjara Indonesia Terpidana Kasus Narkoba (https://m.tempo.co/read/ news/2016/03/28/063757367/ setengah-enghuni-penjara-indonesia-terpidana-kasus-narkoba) diakses tanggal 31 Agustus 2016.

[2] Rentetan Kasus Hukum Freddy Budiman, si Gembong Narkoba (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/434190-rentetan- kasus-hukum-freddy-budiman-si-gembong-narkoba), diakses Tanggal 20 Agustus 2016).

[3] Pasal 10 KUHP berbunyi sebagai berikut : Pidana terdirl atas: a. pidana pokok: 1. Pidana, mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim.

[4] Pendapat Mahfud MD pada harian Seputar Indonesia (SINDO), 19 Oktober 2012. https://saripedia.wordpress.com/tag/hukuman- mati-menurut-undang-undang/ Diakses Tanggal 30 Agustus 2016.

[5] Arief Barda Nawawi, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti) hlm. 56

Terkait