Perasaan cinta tidak akan pernah lepas dari kehidupan kita. Entah itu rasa cinta terhadap benda dan rasa cinta kepada sang pencipta Dalam kesempatan kali ini kami ingin sedikit menguraikan pengetahuan kami tentang mahabbah yaitu katayang digunakan untuk menunjukan pada sesuatu faham atau aliran dalam tasawuf, yang obyeknya lebih ditunjukan pada tuhan. Mahabbah memiliki empat jenis yaitu cinta kepada allah, cinta karena allah, cinta bersama allah dan cinta naluri. Cinta naluri terbagi menjadi tiga yaitu cinta penghormatan dan penghargaan, cinta kasih sayang dan rahmat seperti kecintaan kepada anak dan cinta yang dimiliki oleh semua orang. 1. Apa pengertian mahabbah? 2. Apa pengertian khauf secara bahasa dan istilah? 3. Apa macam-macam khauf? 4. Apa pengertian raja' secara bahasa dan istilah? 5. Apa macam-macam raja'? 1. Untuk mengetahui apa definisi dari mahabbah. 2. Untuk mengetahui apa definisi dari khauf secara bahasa dan istilah. Secara bahasa Khauf berasal dari kata khafa, yakhafu, khaufan yang artinya takut. Raja' secara bahasa artinya harapan atau cita-cita. Raja' adalah mengharap ridho, rahmat dan pertolongan kepada Allah SWT, serta yakin hal itu dapat diraihnya, atau suatu jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari Allah SWT, setelah 4 melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang diharapaknnya. Jika mengharap ridha, rahmat dan pertolong Allah SWT, kita harus memenuhi ketentuan Allah SWT. Jika kita tidak pernah melakukan shalat ataupun ibadah-ibadah lainnya, jangan harap meraih ridha,rahmat,dan pertolongan Allah Firman Allah Ta'ala : Artinya: "Untuk itu, barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Robb-Nya." (QS.Al-Kahfi:110) Dua bagian termasuk termasuk raja` yang terpuji pelakunya sedangkan satu lainnya adalah raja` yang tercela. Yaitu: a. Seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah di atas cahaya Allah, ia senantiasa mengharap pahala-Nya b. Seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap ampunan Allah, kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya.
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna suatu pengabdiannya, takut, khawatir kalau Allah tidak senang padanya dan akan menghukumnya karena apa yang telah ia lakukan. Menanamkan rasa takut kepada Allah akan mengantarkan seorang hamba untuk selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan. Rasa takut kepada Allah juga bisa mendorong seorang hamba untuk takwa kepada Allah dan mencari ridha-Nya, mengikuti ajaran-Nya, meninggalkan larangan-Nya, dan melaksanakan perintah-Nya. Rasa takut kepada Allah dipandang sebagai salah satu tiang penyangga iman kepada-Nya dan merupakan landasan penting dalam pembentukan kepribadian seorang muslim yang memiliki akhlak mulia. Kemudian, akhlak mulia yang mengikuti khauf adalah raja'. Raja' adalah suatu sikap mental optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya yang shaleh. Raja' merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh ada kecuali mengharap hanya kepada Allah. Memalingkan kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa berupa syirik besar ataupun syirik kecil tergantung apa yang ada dalam hati orang yang tengah mengharap. Al-Hasan pernah ditanya, “Wahai Abu Sa‟id, bagaimana kami berbuat di majlis orang yang membuat kami takut hingga hati kami hampir terbang?” Al-Hasan menjawab, “Demi Allah, engkau bergaul dengan kaum yang membuatmu ketakutan sampai rasa aman mendatangimu, itu lebih baik bagimu daripada menemani kaum yang membuatmu merasa aman sampai ketakutan menjumpaimu.” Umar berkata, “Jika semua orang dipanggil untuk masuk neraka kecuali yang satu orang, tentu aku berharap yang seorang itu adalah aku. Dan jika semua orang dipanggil untuk masuk surga kecuali yang satu orang, aku pasti merasa takut akulah yang seorang itu.” Ini adalah ibarat puncak khauf dan raja‟ serta keseimbangannya. Orang seperti Umar perlu menyeimbangkan antara khauf dan raja'nya. 1. Tingkatan Khauf Tingkatan pertama, rasa takut yang minim. Ini adalah ketakutan yang mengalir seperti kehalusan perempuan, muncul dalam jiwa saat mendengar ayat-ayat al-Qur‟an, lalu menghasilkan tangisan dan mengalirkan air mata. Demikian juga keadaannya saat menyaksikan hal-hal yang menakutkan. Namun, saat sebab yang menakutkan itu lenyap, hati kembali pada kelalaian dan pelarian. Ini adalah khauf yang minim, faedahnya sedikit dan pengaruhnya lemah, seperti tongkat yang lemah digunakan untuk memukul binatang ternak yang kuat, tidak membuatnya sakit dan tidak memengaruhinya. Tingkatan kedua, rasa takut yang berlebihan, kebalikan yang pertama. Yaitu ketakutan yang amat kuat dan keluar dari batas normal hingga menghasilkan keputusasaan dan frustasi. Ketakutan semacam ini tercela, karena menghalangi amal. Padahal yang diharapkan dari khauf adalah munculya amal. Jika diumpamakan dengan pukulan terhadap binatang ternak, ketakutan yang berlebihan ini seperti pukulan yang membuat salah satu anggota tubuh binatang itu rusak hingga tidak bisa bekerja. dan itu tentu akan menggagalkan tujuan yang diharapkan dari pukulan itu. Tingkatan ketiga, rasa takut yang normal dan seimbang, yaitu rasa takut yang memunculkan amal dan apinya menyala di hati. Simpulannya, jika rasa takut itu tidak mendorong munculnya amal saleh, keberadaannya sama dengan tiada. Seperti pecut yang tidak bisa membuat binatang bergerak. Jika rasa takut itu berdampak memunculkan amal, itulah yang terpuji, yang normal dan seimbang. Jika rasa takut itu malah mencegah amal dan menghasilkan keputusasaan dan frustasi, itu berlebihan dan tercela. Inilah tingkatan-tingkatan khauf. 2.Cara Mengapai Raja' Cara pertama, melalui ayat-ayat al-Qur‟an. Muhammad al-Baqir berkata, “Kalian penduduk Irak berkata, "Ayat yang paling memberikan harapan di dalam Kitab Allah Firman Allah: "Hai hamba-hambaa-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Az-Zumar [39]: 53). Cara kedua, melalui khabar para nabi. Anas ibn Malik meriwayatkan dari Nabi bahwa, “Beliau meminta kepada Allah berkenaan dengan dosa-dosa umatnya. Beliau berkata, "Ya Rabb, jadikanlah hisab mereka padaku, agar tidak seorang pun selain aku melihat keburukan-keburukan mereka.‟ Maka Allah pun mewahyukan kepadanya, 'Mereka adalah umat mu, mereka juga adalah hamba-hamba-Ku, dan Aku mengasihi mereka lebih daripada rasa kasihmu kepada mereka. Jangan jadikan hisab mereka kepada selain Aku, agar tidak seorang pun melihat keburukan-keburukan mereka, tidak engkau dan tidak pula selainmu. Cara ketiga, melalui perenungan (i'tibar). Yakni dengan merenungkan semua bagian nikmat yang telah diberikan Allah kepada makhluk, dengan menyandarkannya kepada diri mereka dan kepada semua ciptaan. Jika hamba telah mengetahui nikmat-nikmat Allah yang amat halus bagi hamba-hamba-Nya di dunia, mengetahui hikmat-Nya. Oleh karena itu, khauf dapat mencegah orang berbuat dosa. Sedang raja' bisa menguatkan keinginan untuk melakukan ketaatan. Ingat mati dapat menjadikan orang bersikap zuhud dan tidak mengambil kelebihan harta duniawi yang tidak perlu. Kedua, agar tetap tenang dengan berbagai kesulitan hidupnya. Wallahu a'lam bishawab
Ada dua hal yang harus dimiliki orang yang beriman, yaitu Khauf dan Raja’. Khauf dan Raja’ adalah sebuah pendorong dan penarik untuk taat kepada Allah. Menurut para ulama, keduanya seperti kedua sayap untuk terbang. Jika salah satunya tidak ada, maka timpang. Secara bahasa, Khauf bisa diartikan takut. Menurut Imam Abi Thalib al-Makki dalam kitabnya, Qût al-Qulub, Khauf adalah sebuah nama bagi ketakutan yang kuat terhadap sesuatu. Arti Raja’ secara bahasa adalah harapan. Menurut Imam Abi Thalib al-Makki adalah sebuah nama bagi harapan yang kuat pada sesuatu. Tentu, Khauf dan Raja’ ini harus kita aplikasikan dalam ibadah sehari-hari. Misalnya, salat lima waktu. Maka kita harus takut atau cemas. Jangan-jangan salat lima waktu kita tidak diterima. Tetapi, di waktu yang sama kita juga harus memiliki Raja’. Berharap kepada Allah semoga Allah menerima salat lima waktu kita. Misalnya lagi, ketika kita terjerumus ke dalam dosa. Maka kita perlu menangis meratapinya. Kita takut (khauf) dosa itu tidak diampuni oleh Allah. Dosa itu membuat Allah murka sehingga kita dimasukkan ke dalam neraka. Tetapi di waktu yang bersamaan, kita juga menggelorakan rasa harap (Raja’) yang kuat kepada Allah. Kita berharap Allah mengampuni dosa-dosa kita. Kita berharap semoga Allah mengasihi kita. Faedah Khauf dan Raja’ Menurut para ulama, Khauf dan Raja’ ini karakterisitik orang yang beriman. Keduanya harus dimiliki secara bersamaan. Kenapa harus demikian? Imam Abu Said al-Khadimi al-Hanafi menjelaskan dalam Bariqah Mahmudiyah bahwa seseorang yang hanya memiliki rasa takut, maka dia putus asa. Dia tidak semangat untuk beramal. Misalnya, dia takut salatnya tidak diterima oleh Allah. Akhirnya dia tidak semangat salat. Dia akan berpikir, salatnya tidak akan diterima, jadi buat apa salat. Sama dengan orang yang takut gagal. Akhirnya dia tidak bergerak dan kemudian benar-benar gagal. Begitu juga, orang yang hanya memiliki rasa Raja’ maka dia merasa aman. Dia merasa pasti masuk surga. Dia tidak berpikir bahwa dirinya sangat berpotensi masuk neraka. Di pikirannya hanya surga dan surga. Orang yang seperti ini lebih berpotensi bermaksiat. Dalil-dalil Khauf dan Raja’ Dalil-dalil tentang Khauf dan Raja’ ini banyak sekali. Baik dalam Al-Quran, Hadis, Atsar, ataupun kalam ulama salaf. Berikut ini dalil-dalil Khauf (takut) dan Raja (harap): 1. Dalil Khauf dan Raja’ dalam Al-Quran تتجافى جُنُوبُهُمْ عَنِ المضاجع يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap……” (QS. As-Sajadah: 16) Bahwa orang yang beriman itu tidak tidur malam. Mereka berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harap yang sangat mendalam. Imam Khazin menjelaskan, yang dimaksud takut dan harap di sini adalah takut masuk neraka dan berharap masuk surga. Syaikh Al-Maraghi juga mengatakan ketika menafsiri ayat tersebut, bahwa orang yang beriman itu berdoa kepada Allah dengan dua rasa di hatinya. Pertama, rasa takut mendapatkan murka dan siksa Allah. Kedua, rasa harap mendapatkan ampunan, rahmat dan maghfirahnya Allah. 2. Dalil Khauf dan Raja’ dalam Hadis أن النبي صلى الله عليه و سلم دخل على شاب وهو في الموت فقال كيف تجدك ؟ قال والله ! يا رسول الله ! إني أرجو الله وإني أخاف ذنوبي فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يجتمعان في قلب عبد في مثل هذا الموطن إلا أعطاه الله ما يرجو وآمنه مما يخاف “Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. menjenguk pemuda yang akan meninggal (sakaratul maut). Lalu Rasulullah berkata, “Bagaimana engkau mendapati dirimu?” Pemuda itu menjawab, “Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya aku berharap kepada Allah dan sesungguhnya aku takut pada dosa-dosaku. Lalu Rasulullah berkata, “Keduanya (Raja’ dan Khauf) tidak berkumpul dalam hati seorang hamba yang sedang sekarat kecuali Allah akan memberikan apa yang dia harapkan dan menyelamatkan dari apa yang dia takutkan.”” (HR. Imam Turmudzi) Ya, pemuda itu saat mendekati ajalnya, ada dua rasa dalam hatinya. Yaitu rasa harap atas rahmat Allah dan rasa takut terhadap dosa-dosanya. Lantas, Rasulullah menegaskan, orang yang memiliki rasa Raja’ dan Khauf saat sekarat, maka Allah akan memberikan harapannya (rahmat Allah) dan menyelamatkan dari ketakutannya (siksaan Allah). Begitulah penjelasan Syiakh al-Mubarakfuri dalam kitabnya, Tuhfah al-Ahwadzi. Kisah Ulama Salaf yang Dirundung Rasa Khauf Ada banyak ulama yang lebih tampak rasa Khaufnya. Sehingga rasa Khauf itu membuat mereka meneteskan air mata. Misalnya, Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz. Diceritakan dalam kitab Hilyah al-Auliya Wa Thabaqat al-Ashfiya’ bahwa suatu ketika Umar bin Abdul Aziz menangis. Tangisan Khalifah dari Dinasti Umayyah itu terdengar oleh istrinya, Fatimah. Fatimah ikut menangis. Lalu, menangis pula orang-orang yang ada di dalam rumah keturunan Sayidina Umar bin Khattab itu. Setelah keadaan mulai tenang, Fatimah bertanya kepada sang suami, gerangan apa yang membuatnya menangis. Umar bin Abdul ‘Aziz menjawab, “Wahai Fatimah, aku teringat tempat kembalinya manusia kelak. Ada yang ke surga, ada pula yang ke neraka.” Lalu, Umar bin Abdul Aziz menjerit dan pingsan. Mislanya lagi, kisah Syaikh Muhammad bin Al-Munkadir yang tercatat dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala’. Pada suatu malam, beliau salat. Lalu menangis tersedu-sedu. Keluarga beliau terbangun. Mereka bertanya “kenapa”. Tetapi, beliau tetap menangis. Lalu, keluarganya mengundang Syaikh Abi Hazim. Mereka ingin Syaikh Abi Hazim menenangkan beliau. Kemudian, Abi Hazim bertanya, “Kenapa engkau menangis?” Syaikh Muhammad bin al-Munkadir menjawab, “Aku membaca ayat.” Abi Hazim bertanya, “Ayat apa?” Syaikh Muhammad bin al-Munkadir menjawab, “وبدا لهم من الله ما لم يكونوا يحتسبون” Membaca ayat tersebut, Abi Hazim malah ikut menangis. Dia yang awalnya ingin menenangkan Syaikh Muhammad bin Al-Munkadir, malah ikut dalam ketakutan yang luar biasa. Ayat di atas berbicara bahwa kelak orang-orang celaka itu mendapatkan siksaan dari Allah. Padahal mereka tidak pernah mengira akan mendapatkan siksaan tersebut. Syaikh al-Munkadir dan Syaih Abu Hazim sama-sama takut termasuk orang yang mendapatkan siksaan itu. Tidak Semua Harapan Itu Dapat Dibenarkan Raja’ atau berharap memang harus menjadi salah satu karakter orang yang beriman. Namun ternyata, tidak semua Raja’ (harapan) bisa dibenarkan. Sebab, banyak orang bilang berharap, tapi tidak berusaha mendapatkannya. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddinnya mengumpamakan orang yang memiliki Raja’ (harapan) ini seperti petani. Kata beliau, jika ada orang menanam benih di tanah yang bagus. Tanahnya berpotensi untuk ditumbuhi tanaman. Lalu petani itu menyirami tanamannya. Menyingkirkan penyakitnya. Lalu, dia berharap hasil panennya melimpah. Maka dia pengharap yang benar. Jika ada petani menanam benih di tanah yang bagus. Tapi tidak disiram. Dia hanya menunggu hujan padahal pada waktu itu bukan musim hujan. Dia juga tidak menyingkirkan penyakit-penyakit tanaman. Lalu, dia berharap panennya melimpah. Maka, petani tersebut berharap pada harapan kosong. Jika ada petani menanam benih di tanah yang tandus. Tidak disiram dengan air. Tidak dibuang penyakit-penyakitnya. Lalu dia berharap hasil tanamannya melimpah. Maka, orang tersebut termasuk pengharap yang bodoh. Artinya, orang yang berharap dengan benar itu tidak hanya berharap. Akan tetapi, juga berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Jika tidak ada usaha, maka harapannya tidak benar. Bisa harapan kosong, bisa harapan bodoh. Imam Al-Ghazali mengutip sebuah hadis, Rasulullah bersabda, الأحمق من أتبع نفسه هواها وتمنى على الله الجنة “Orang bodoh adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berharap kepada Allah agar mendapatkan Surga.” Akhiran, Khauf (takut) dan Raja’ (berharap) adalah dua sayap yang perlu kita miliki. Bahkan wajib. Keduanya akan mengantarkan kita pada sikap waspada sekaligus penuh harap. Waspada dari api neraka dan berharap masuk surga. |