Tuliskan macam-macam ragam main pukul dan perguruan pencak silat betawi

BUSANA itu punya ciri leher yang bulat. Ia juga berlengan panjang. Pada badannya dibuat longgar. Celananya pun biasanya dibuat menggantung agar terlihat lebih simpel. Itulah setelan baju pangsi yang identik dengan orang Betawi.

Baju pangsi dahulu biasa dipakai para jagoan atau orang pandai berkelahi. Dari sisi warna, biasanya orang yang jago silat serta pemuka agama memakai warna cerah seperti krem atau putih, sedangkan warna hitam biasanya dipakai para jagoan silat.

Bukan rahasia lagi, tanah Betawi adalah surga silat. Hampir separuh dari sekitar 600-800 aliran atau perguruan yang ada di Indonesia berasal dari Jakarta. Ada sekitar 317 aliran maen pukulan di tanah Betawi, yang merupakan pengembangan dari sekitar 100-200 pecahan aliran dari empat aliran inti. Jumlah 317 aliran tersebut merupakan data yang dimiliki PPS Putra Betawi.

Betawi kaya akan silat atau dalam dialek lokal disebut maen pukulan. Ada ungkapan, “Tiap utan ade macannye, tiap kampung ade maenannye (setiap hutan ada macannya, setiap kampung ada mainannya).” Hampir di setiap kampung dapat ditemukan maen pukulan, yang tentunya berbeda satu sama lain.

Lalu dari manakah asal silat di tanah Betawi? Pangsi juga ternyata bisa menjadi penanda asal mula silat Betawi.

Berdasarkan akar maen pukulan, GJ Nawi dalam buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi me­ngelompokkan aliran maen pukulan Betawi menjadi dua kategori. Pertama yaitu akar aliran luar (aliran dari luar Nusantara) dan kedua yaitu akar aliran dalam (aliran Nusantara). Aliran luar yang banyak memengaruhi maen pukulan Betawi ialah ilmu bela diri kaum imigran Tionghoa. Hingga akhirnya, itu menjadi aliran maen pukulan Betawi yang berdiri sendiri, terlepas apakah aliran ilmu bela diri dibawa para imigran itu.

Pangsi ditenggarai berawal dari cara berpakaian orang Tionghoa, baju tui khim dan celana phang si, serta penggunaan kain ciu kin yang kerap dikenakan di leher para jago kuntao peranakan Tionghoa. Pada masyarakat Tionghoa peranakan di Kampung Cina Benteng Tangerang, tradisi mengalungkan ciu kin atau cukin di leher sebagai penanda yang bersangkutan memiliki kemampuan maen pukulan atau terkait dengan dunia maen pukulan, seperti para jago dan centeng.

“Tradisi berpakaian jago kuntao di Betawi bermetamorfosis menjadi baju tikim, celana pangsi, dan sarung yang dikalungkan di pundak. Seiring dengan perjalanan waktu, hal itu berkembang dan memiliki makna filosofi yang disesuaikan dengan adat istiadat orang Betawi umumnya dan kalangan maen pukulan khususnya sebagai dua simbol identitas Betawi, yaitu salat dan silat.” Begitu menurut analisis GJ Nawi.

Para imigran Tionghoa berasal dari Tiongkok Selatan. Mereka bermigrasi ke Betawi setelah Dinasti Manchu berkuasa di Tiongkok pada 1644. Mereka mempunyai ciri antara lain rambut bagian depan dicukur dan memakai taucang. Mereka membawa kebudayaan negeri asalnya, salah satunya ilmu bela diri ke Batavia dan mengembangkannya.

Orang-orang di daratan Tiongkok menyebut ilmu bela diri dengan yu su yang artinya ilmu kelemasan atau wushu yang berarti seni perkasa atau seni perang. Ketika orang Tiong­kok Selatan mengembangkannya di Betawi, oleh orang Tionghoa peranakan itu disebut kuntao. Secara etimologi, kuntao berasal dari dialek Hokkian, yaitu kun thau yang secara harfiah berarti kepalan tangan atau tinju, atau secara bebas memiliki pengertian sebagai seni bertarung.

Imigran Tionghoa
Pengaruh ilmu bela diri imigran Tionghoa juga dapat dilihat dari karakter khas gerakannya yang cepat, kuat, dan energik, dengan variasi metode pukulan dan suara hentakan menyertai gerakan-gerakannya. Dominasi tangan sebagai karakter serangan dan pertahanan dalam maen pukulan Betawi menandakan adanya pengaruh ilmu bela diri yang dibawa orang-orang selaun Sungai Yangtze (Tiongkok Selatan), yang dikategorikan sebagai aliran nan chuan atau ilmu bela diri aliran selatan.

Pada masa itu, mulai muncul entitas ilmu bela diri penduduk natif yang baru terbentuk. Sebagian besar masyarakat menyebutnya dengan istilah lokal, yakni maen pukulan.

Berangsur-angsur pula, muncul nama-nama aliran maupun gaya maen pukulan di Batavia kemudian disusul kemunculan sosok pendekar, jawara, jago, dan jagoan yang piawai ilmu bela diri. Pada umumnya, nama aliran diambil dari nama seseorang yang mengkreasikan atau nama kampung tempat asal maen pukulan itu.

Sebelum dengan budaya Tionghoa, dapat pula ditemui akulturasi aliran bela diri di Nusantara. Banyak bela diri dari berbagai daerah yang turut menyuburkan maen pukulan Betawi, seperti dari Tatar Sunda, Banten, dan Sulawesi.

Menilik sejarahnya, hunian awal masyarakat Betawi di Kalapa (sebelum Jayakarta) telah berfungsi sebagai pelabuhan laut penting pada masa Kerajaan Tarumanagara pada abad ke 4-7 Masehi. Sejak saat itu pula, beragam etnik berbaur di tanah Betawi.

Ilmu bela diri etnik Sunda menjadi dasar bagi aliran-aliran maen pukulan. Ruang lingkup etnik Betawi secara demografi berada di jazirah Jawa bagian barat. Maen pukulan Betawi yang banyak berakulturasi ialah yang berada di pinggiran yang berdekatan dengan wilayah kebudayaan Sunda dan Banten.

Ilmu bela diri orang Melayu dan Bugis tidak ke­tinggalan memperkaya perbendaharaan teknik dan aliran maen pukulan Betawi. Beberapa gerakan khas bentuk lenggang dapat ditemukan pada komunitas Betawi di daerah Mampang, Tenabang, dan Kepulauan Seribu.

Penyebutan gerak jurus dan aliran yang masih menggunakan istilah asli menjadi indikasi adanya pengaruh itu. Sebagai contoh, sendeng dalam aliran pencak silat Bugis bertransformasi menjadi sinding dalam aliran maen pukulan Betawi. Pengaruh ilmu bela diri orang Mandar ditemukan di Kepulauan Seribu, yaitu istilah siliwaki atau seliwaki untuk menyebut seliwa di tanah Betawi. (M-2)

Tuliskan macam-macam ragam main pukul dan perguruan pencak silat betawi

Ilustrasi Pencak Silat. /Pixabay/AgusTriyanto

PORTAL JEMBER - Masyarakat Betawi zaman dulu identik dengan budaya pencak silat. Masyarakat Betawi saat itu menyebut pencak silat dengan nama maen pukul.

Pencak silat Betawi terkenal dengan aliran jurusnya seperti: Cingkrik, Gie Sau, Beksi, Kelabang Nyebrang, Merak Ngigel, Naga Ngerem, dan masih banyak lagi.

Salah satu silat betawi yang paling dikenal adalah silat Cingkrik.

Baca Juga: Soal Kerumunan Jokowi di NTT, Prof. Zubair Djoerban: Bukan Tentang Politik, Ini Bicara Protokol Kesehatan

Dilansir PORTAL JEMBER dari berbagai sumber, Silat Cingkrik berasal dari daerah Rawa Belong yang kini masuk ke dalam wilayah Kelurahan Sukabumi Utara, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Aliran cingkrik diciptakan oleh Kong Maing (ismail bin Muayad) sekitar tahun 1920-an. Kong Maing mempelajari gerak silat dari kera atau monyet.

Ki Maing menurunkan ilmu silatnya kepada beberapa murid, antara lain Saari, Ajid, dan Ali.

Baca Juga: Kerumunan Jokowi Dibandingkan Kasus Habib Rizieq, Teddy Gusnaidi: Beda Hukum Tak Bisa Disamakan

Gerakan utama silat ini adalah menggunakan satu kaki untuk melompat yang disebut sebagai jejingkrikan. Orang Betawi kemudian menyebutnya sebagai jingkrik atau cingkrik.

Tuliskan macam-macam ragam main pukul dan perguruan pencak silat betawi

Tuliskan macam-macam ragam main pukul dan perguruan pencak silat betawi
Lihat Foto

Alsadad Rudi

Dua orang anak yang tengah memperagakan jurus silat Betawi dalam acara Lebaran Betawi 2016 di Lapangan Betawi, Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (14/8/2016).

KOMPAS.com - Orang awam mungkin hanya tahu seni bela diri silat, namun tidak mengetahui maen pukulan. Padahal keduanya ternyata sangat berkaitan erat.

Rupanya, orang dahulu kala khususnya di Jakarta, lebih sering menyebut bela diri khas Betawi dengan istilah maen pukulan.

Sejarah Maen Pukulan

Seperti dikutip dalam buku karya G. J. Nawi yang berjudul Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi, istilah maen pukulan lahir sebagai bentuk perlawanan masyarakat setempat terhadap penindasan yang dilakukan kolonial Belanda di masa penjajahan.

Meski begitu, masyarakat khas Betawi menggunakan maen pukulan bukan untuk menyerang melainkan untuk membela diri.

Sama seperti yang diajarkan oleh para guru maen pukulan zaman dulu, bahwa penduduk selain harus memiliki keterampilan bela diri, juga harus menguasai nilai agama agar keduanya seimbang.

Seperti salah satu kisah Kong Sima yang tinggal di daerah Kampung Dua, Jatisampurna Bekasi. Kong Sima yang bekerja sebagai pedagang kerap mendapat perlakuan tidak mengenakkan. Namun untungnya, ia jago membela diri sehingga ia kerap disegani oleh penindas.

Bahkan kemudian Ia memiliki anak murid yang juga diajarkannya gerakan-gerakan maen pukulan.

Baca juga: Belajar Hidup dari Pertarungan Silat

Filosofi

Masih dalam buku yang sama, masyarakat Betawi mengartikan maen pukulan sebagai permainan yang melibatkan kontak fisik serangan membela dengan atau tanpa senjata. Oleh karena itu munculah istilah pukul karena memang lebih banyak menggunakan tangan.

Meski begitu seiring perkembangan zaman, tendangan juga mendominasi namun hanya sebatas pusar ke bawah.

Jenis Aliran Maen Pukulan

Aliran maen pukulan rupanya beragam variasi. Ada aliran yang memang orisinil dan ada aliran yang mengikuti variasi gerakan dari ahli warisnya.