Tahukah kamu yang disebut junta militer negara asean manakah yang dikuasai oleh junta militer

Jakarta, CNN Indonesia --

Amerika Serikat mendesak ASEAN berupaya lebih keras lagi menangani junta militer Myanmar yang secara sepihak memperpanjang status darurat militer dan menunda pemilihan umum.

Pejabat senior AS meminta Indonesia dan delapan negara anggota ASEAN lainnya meningkatkan tekanan kepada junta Myanmar agar melaksanakan lima poin konsensus yang disepakati para pemimpin negara blok tersebut pada April lalu.

"Jelas bahwa junta Myanmar hanya mengulur waktu dan ingin terus memperpanjang waktu demi keuntungannya sendiri. Jadi, semakin banyak alasan mengapa ASEAN harus terlibat dalam hal ini, menjunjung tinggi kesepakatan lima poin konsensus yang juga disepakati Myanmar," kata pejabat tersebut kepada wartawan menjelang pertemuan tingkat menteri luar negeri AS dan negara ASEAN secara virtual pada Senin (2/8).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dikutip AFP, pejabat AS itu menganggap keputusan junta militer Myanmar menunda pemilu hingga 2023 adalah "seruan bagi ASEAN untuk meningkatkan upayanya."

Lima poin konsensus soal Myanmar disepakati negara ASEAN, termasuk Myanmar, dalam pertemuan pemimpin negara Asia Tenggara di Jakarta pada April lalu.

Pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, juga turut hadir dalam pertemuan itu.

Lima poin konsensus itu terdiri dari pertama, kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya.

Kedua, segera mulai dialog konstruktif antara semua pihak terkait di Myanmar untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat. Ketiga, utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN.

Keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre. Terakhir, utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu semua pihak terkait.

Sampai saat ini, perkembangan penerapan kelima konsensus ASEAN itu dipertanyakan komunitas internasional. Di Myanmar, aparat keamanan masih menghadapi para pedemo anti-kudeta dan warga sipil dengan kekerasan.

Dalam rapat virtual antara menlu ASEAN (AMM) pada Senin, Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, menyatakan sampai saat ini pemerintah Myanmar yang dikuasai militer tak kunjung menerapkan lima poin konsensus yang disepakati seratus hari lalu.

Retno menuturkan RI berharap Myanmar segera melaksanakan lima poin konsensus tersebut, terutama segera menyetujui usulan ASEAN mengenai penunjukan special envoy.

Retno juga menegaskan utusan khusus ASEAN soal Myanmar harus segera diberikan mandat yang jelas dan mendapat akses penuh dan bebas selama meninjau situasi di Myanmar.

(rds/dea)

[Gambas:Video CNN]

BEIJING, KOMPAS.com - Seorang utusan China melobi negara-negara Asia Tenggara untuk mengizinkan pemimpin junta militer Myanmar menghadiri pertemuan puncak regional yang diselenggarakan oleh presiden China minggu depan, tetapi permintaan ini ditentangan keras.

Kedudukan Myanmar sebagai anggota dari 10 negara Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menjadi sorotan, setelah kudeta 1 Februari. Ketika itu militernya menggulingkan pemerintah terpilih pemenang Nobel Aung San Suu Kyi, yang memicu kekacauan berdarah.

Baca juga: Aung San Suu Kyi Dijerat Junta Militer Myanmar Dakwaan Penipuan di Pemilu

Beberapa anggota ASEAN, kecewa dengan kembalinya krisis dan penindasan demokrasi di Myanmar. Usaha untuk menekan para jenderalnya telah dilakukan dengan mengeluarkan mereka dari pertemuan ASEAN.

Dalam keputusan yang belum pernah terjadi sebelumnya bulan lalu, para pemimpin ASEAN memblokir pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, dari pertemuan puncak ASEAN.

Alasannya karena dia gagal memenuhi janji untuk mengizinkan utusan ASEAN bertemu dengan anggota parlemen yang digulingkan dalam kudeta.

Sebaliknya, para pemimpin ASEAN mengatakan seorang tokoh non-politik dari Myanmar harus diminta untuk hadir. Pada akhirnya, Myanmar tidak terwakili.

Baca juga: Junta Myanmar Bebaskan Danny Fenster, Jurnalis AS yang Dipenjara 11 Tahun

Empat sumber diplomatik dan politik di kawasan itu mengatakan Indonesia, Brunei, Malaysia dan Singapura menginginkan Min Aung Hlaing dilarang menghadiri pertemuan China-ASEAN 22 November yang diselenggarakan oleh Presiden China Xi Jinping.

"Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Brunei telah sepakat untuk mempertahankan posisi yang sama dengan KTT ASEAN," kata sumber pemerintah di negara ASEAN yang menolak disebutkan namanya, merujuk pada permintaan agar Myanmar diwakili oleh tokoh non-politik.

Juru bicara kementerian luar negeri Indonesia Teuku Faizasyah, menegaskan pendiriannya yang teguh pada tokoh non-politik, mengacu pada "kebijaksanaan" yang ditunjukkan oleh para pemimpin sebelum KTT Oktober.

“Indonesia konsisten pada posisinya tentang siapa yang harus mewakili Myanmar dalam KTT pemimpin mendatang,” kata Faizasyah melansir Reuters pada Kamis (18/11/2021).

Indonesia telah menjadi salah satu kritikus ASEAN yang paling blak-blakan. Menteri luar negeri Retno Marsudi menyatakan bahwa Myanmar tidak boleh diwakili di tingkat politik sampai memulihkan demokrasi.

Kementerian luar negeri Malaysia menolak berkomentar. Kementerian luar negeri Singapura, Brunei dan Vietnam tidak segera menanggapi permintaan komentar Reuters.

Baca juga: Junta Militer Myanmar Penjarakan Jurnalis AS 11 Tahun

Kementerian luar negeri China tidak segera menanggapi permintaan komentar tetapi pada hari Selasa (16/11/2021), juru bicaranya, Zhao Lijian, mengatakan China mendukung semua pihak di Myanmar.

Termasuk, kata dia, dalam upaya mencari penyelesaian politik melalui dialog. China juga menyatakan akan bekerja dengan masyarakat internasional dalam upaya memulihkan stabilitas dan melanjutkan transformasi demokrasi.

Pemerintah militer Myanmar tidak menanggapi permintaan komentar.

Menjaga prinsip

Seorang diplomat regional yang diberi penjelasan tentang upaya lobi China mengatakan bahwa Utusan Khususnya untuk Urusan Asia Sun Guoxiang mengunjungi Singapura dan Brunei pekan lalu. Tetapi, mereka diberitahu bahwa Ming Aung Hlaing tidak dapat berpartisipasi dalam KTT virtual tersebut.

Sun, menghadapi oposisi ASEAN, kemudian mengatakan kepada Min Aung Hlaing pada pertemuan di ibukota Myanmar Naypyidaw pada akhir pekan bahwa China harus menerima sikap ASEAN.

China "akan mempertahankan prinsip perwakilan non-politik yang diterapkan oleh ASEAN", kata diplomat regional itu, mengutip Sun.

ASEAN selama beberapa dekade dikenal karena kebijakan keterlibatan dan non-intervensinya, tetapi kudeta Myanmar telah mengubahnya.

Baca juga: Bill Richardson, Juru Runding Ternama AS, Tiba di Myanmar dan Dijadwalkan Bertemu Junta

Pada April, ASEAN menengahi rencana lima poin pada pertemuan puncak para pemimpin khusus, yang dihadiri Min Aung Hlaing.

Isinya mencakup janji untuk mengakhiri kekerasan dan memungkinkan utusan ASEAN untuk memulai dialog dengan "semua pihak", termasuk anggota parlemen yang digulingkan.

Myanmar belum menindaklanjuti kesepakatan di Jakarta itu, dengan mengatakan pihaknya memiliki "peta jalan" sendiri untuk pemilihan baru.

Kepala junta militer Myanmar masih bisa tampil di KTT saat itu.

Myanmar adalah negara koordinator China untuk ASEAN tahun ini, yang berarti membantu memfasilitasi interaksinya dengan blok tersebut.

"Biasanya, anggota koordinator akan mengatur semuanya, seperti tautan virtual dan sebagainya," kata salah satu sumber.

Myanmar, tambah sumber itu, dapat menggunakan peran ini untuk "menempatkan" Min Aung Hlaing, bahkan jika negara-negara ASEAN lainnya keberatan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

tirto.id - Junta militer Myanmar mengambil alih kendali negara dalam kudeta pada Senin, 1 Februari 2021. Mereka menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis dengan menangkap Kanselir Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint, dan beberapa tokoh senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dalam sebuah penggerebekan dini hari. Ketegangan antara pemerintah dan militer ini terjadi karena tentara menuduh pemerintah mencurangi pemilihan parlemen pada November 2020 lalu. Panglima Tertinggi Tatmadaw, Jenderal Min Aung Hlaing langsung mengumumkan bahwa dia mengambil alih kekuasaan, sembari menuduh adanya kecurangan dalam pemilihan umum yang diadakan pada tahun 2020 lalu, di mana partai Suu Kyi memperluas mayoritas parlemennya dengan mengorbankan perwakilan militer.
Pada Senin (1/2) kemarin, para pemimpin militer langsung mengambil alih kendali selama satu tahun dan mengumumkan keadaan darurat, bahkan menyerahkan kekuasaan kepada Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing.

Tampaknya, seperti diwartakan Time, kudeta tersebut akan membatalkan reformasi demokrasi yang dimenangkan sipil Myanmar dengan susah payah. Ini terjadi hanya lima tahun setelah Suu Kyi memenangkan kepemimpinan politik dalam pemilihan paling bebas setelah beberapa dekade berada dalam cengkeraman militer.

“Kudeta itu tiba-tiba mengakhiri dorongan Myanmar menuju demokrasi selama dekade terakhir,” kata Lee Morgenbesser, pakar politik otoriter di Asia Tenggara di sekolah pemerintahan dan hubungan internasional di Universitas Griffith Australia.

Tentara mempromosikan Wakil Presiden Myint Swe menjadi penjabat presiden pada Februari 2021 setelah mereka menggulingkan Presiden Win Myint dan kepala pemerintahan de facto Aung San Suu Kyi dalam sebuah kudeta militer.


Sejarah Junta Militer dalam Kudeta Myanmar

Sikap militer yang menolak mengakui hasil pemilu dengan menangkap Suu Kyi mungkin terasa seperti mengulang sejarah masa lalu Myanmar. Negara yang dulunya dikenal sebagai Burma itu telah lama dianggap sebagai negara paria ketika berada di bawah kekuasaan junta militer yang menindas. Dan itu terjadi sejak tahun 1962 sampai dengan 2011.

Melansir Forbes, pada tahun 1962, empat belas tahun setelah negara itu merdeka dari pemerintahan kolonial Inggris, Tatmadaw (sebutan untuk angkatan bersenjata Myanmar), yang berada di bawah Jenderal Ne Win menggulingkan pemerintahan sipil, kemudian memasang rezim otoriter.

Kudeta tersebut muncul dari ketakutan militer atas pemerintah sipil yang mereka sebut "gagal" dalam menindak gerakan etnis minoritas dan sayap bersenjata. Maka daripada itu, kejadian baru-baru ini bukan kudeta pertama dalam sejarah Myanmar. Sebab, kudeta yang pertama terjadi pada tahun 1962 itu berhasil membawa militer ke tampuk kekuasaan. Pada Agustus 1988, Myanmar kembali diguncang oleh protes massal yang menyebabkan penggulingan Jenderal Ne Win dan posisinya kembali digantikan oleh junta militer yang baru. Peralihan kekuasaan ini telah menyebabkan kerusuhan di mana ribuan orang dilaporkan terbunuh. Setelah serangkaian protes yang dikenal sebagai Pemberontakan 8888 itu, Myanmar kembali dipimpin junta militer, dan mereka kembali berkuasa selama 22 tahun. Para jenderal militer yang mengendalikan negara sering membungkam semua perbedaan pendapat, bahkan kerap dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Hal tersebut memicu kecaman dan sanksi internasional terhadap Myanmar, yang kala itu berada di bawah kepemimpinan militer. Sejak tahun 2011, Myanmar mulai melakukan serangkaian reformasi secara bertahap, dan mereka mulai melakukan pemilihan umum secara bebas pada tahun 2015. Pemilu tersebut membawa Suu Kyi--putri seorang pahlawan kemerdekaan yang terbunuh--ke tampuk kekuasaan, ini dianggap sebagai pemilihan umum paling bebas dalam 25 tahun.

Namun, seperti diwartakan BBC, operasi militer terhadap tersangka teroris di Negara Bagian Rakhine sejak Agustus 2017 telah mendorong lebih dari setengah juta Muslim Rohingnya mengungsi ke negara tetangga Bangladesh. Kejadian ini digambarkan PBB sebagai "pembersihan etnis".

Otomatis, tragedi tersebut merusak reputasi pemerintah baru Myanmar di mata internasional dan menyoroti tentang cengkraman militer yang berkelanjutan di Myanmar. Aung San Suu Kyi telah menjalankan tugasnya sebagai Penasihat Negara sejak akhir militer memerintah pada tahun 2016. Namun, reputasi pemimpin gerakan pro-demokrasi ini terpukul pada tahun 2017 karena perlakuan pemerintahnya terhadap komunitas Muslim Rohingya, yang menurut PBB sebagai "korban pembersihan etnis di tangan militer".