Siapa saja tokoh utama dalam cerpen Robohnya Surau Kami tersebut bagaimana karakter masing masing jelaskan?

Academia.edu no longer supports Internet Explorer.

To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.


ROBOHNYA SURAU KAMI

Ali Akbar Navis

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis,

Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah

Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah

ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya

ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana

dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia

sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang

dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil

pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id

kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau.

Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya,

sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong

mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang

minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering

diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu

tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan

segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka

mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu

kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat

anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang

terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang

tidak di jaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat

disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena

aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk

dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan,

seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi

minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di

sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku

tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu.

Dan aku tanya Kakek,

“Pisau siapa, Kek?”

“Ajo Sidi.”

“Ajo Sidi?”

Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu

dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa

mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang

terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar

baginya ialah karena semua pelakupelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk

diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar

kampungku yang cocok dengan watak pelakupelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan

bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi

pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami

sebut pimpinan katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah

membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin

tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”

“Siapa?”

“Ajo Sidi.”

“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.

“Kenapa?”

“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh

tenggorokannya.”

“Kakek marah?”

“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah

lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak

karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah

begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar

dan tawakal.”

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya

lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang

bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku

sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan?

Terkutukkah

perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka

mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga

seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin

rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak

pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku

dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan,

sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak

kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada

umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk

membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap

waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya.

Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku

terkejut.Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku

dikatakan manusia terkutuk.”

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”

“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku

mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku

nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.

“Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang

yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka

tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah

dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di

dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu

yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil

membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang

masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang

masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu

nanti’. Bagai tak habishabisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka,

bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu

Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.

‘Engkau?’

‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’

‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’

‘Ya, Tuhanku.’

‘apa kerjamu di dunia?’

‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’

‘Lain?’

‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’

‘Lain.’

‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebutnyebut

nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku

juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’

‘Lain?’

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia

insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya.

Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus

dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba

menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya

mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.

‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan

Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat

merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut

terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’

‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’

‘Lain?’

‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun

bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’

‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’

‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’

‘Masuk kamu.’

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti

kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan

ia percaya Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia

terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya,

karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri.

Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh

pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan

semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat

beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini

kita dimasukkan-Nya ke neraka.’

‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang

ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.

‘Ini sungguh tidak adil.’

‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’

‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’

‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di

dalam kelompok orang banyak itu.

‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.

‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin

gerakan revolusioner.

‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita

berdemonstrasi menghadap Tuhan.’

‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah

suara menyela.

‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.

Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang

menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar.

Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling

taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji

kebesaran- Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di

luar kepala kami.Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang

Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka.

Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang

cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga

sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.

‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’

‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’

‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’

‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang

lainnya,

bukan?’

‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak.

Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka

sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’

‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’

‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’

‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’

‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’

‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’

‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil

tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi

kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’

‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’

‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’

‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’

‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu

mereka hafal di luar kepala.’

‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’

‘Ada, Tuhanku.’

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.

Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan

engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri

kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat

tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau

semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah

saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke

neraka. Letakkan di keraknya!”

Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan

yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di

kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia

bertanya saja pada

malaikat yang menggiring mereka itu.

‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.

‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut

masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu

sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir

selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia

berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’

Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi

menjenguk.

“Siapa yang meninggal?” tanyaku kagut.

“Kakek.”

“Kakek?”

“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali.

Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”

“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang

tercengang-cengang.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.

“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”

“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh

perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?”

“Kerja.”

“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.

“Ya, dia pergi kerja.”

—the end—

ANALISIS CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI

 UNSUR INTRINSIK  DAN EKSTRINSIK

a.      Unsur Intrinsik

1.      Tema :

Seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.

2.     

Amanat pokok yang terdapat dalam cerpen ini adalah "Pelihara, dan jagalah apa yang kau miliki, bertanggungjawablah dengan kewajibanmu di dunia ini." Amanat lain yang dapat diambil dari cerpen, antara lain: 1) jangan cepat marah kalau diejek orang, 2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik, 3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar, 4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan

5) jangan egois.

3.     

 Latar Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial. a. Latar Tempat Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya, seperti yang sudah dipaparkan di atas contoh seperti berikut :

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.

Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua

b.     

Latar Waktu Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :

“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….”

c.      

Latar Sosial Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :

Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek. Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.

4.      Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.

5.     

Penokohan Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Saleh. 1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain. 2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual,dan cinta kerja. 3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain pendek akal dan pikirannya, serta terlalu lemah imannya.

4) Haji Saleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri (egois).

6.      Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Saleh di depan tokoh aku.

7.      Gaya Bahasa / Majas

Majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini

Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi….” Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.

b. Unsur Ekstrinsik

1.      Judul                             : Robohnya Surau Kami

2.      Penulis                           : Ali Akbar Navis

3.      Agama Pengarang         : Islam

  NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM CERPEN

ü  Nilai Sosial :

Kita harus saling membantu jika orang lain dalam kesusahan seperti dalam cerpen tersebut karena pada hakikatnya kita adalah mahluk sosial.

ü  Nilai Moral

Kita sebagai sesama manusia hendaknya jangan saling mengejek atau menghina orang lain tetapi harus saling menghormati.

ü  Nilai Agama

Kita harus selalu melakukan kehendak Allah, jangan melakukan hal yang dilarang oleh-Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong.

ü  Nilai Pendidikan

Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu berusaha dengan sekuat tenaga.

ü  Nilai Adat

Kita harus memegang teguh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

MANFAAT CERPEN

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di Kelas. Cerpen sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria yang sudah ditetapkan secara umum yaitu: a. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.

b. Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.


Berdasarkan kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di kelas III SMU. Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun aktif-kreatif ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut. Namun demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan lancar, guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari satu kali dan jangan coba- coba membaca ringkasannya.

ANALISIS CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI

 UNSUR INTRINSIK  DAN EKSTRINSIK

a.      Unsur Intrinsik

1.      Tema :

Seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.

2.     

Amanat pokok yang terdapat dalam cerpen ini adalah "Pelihara, dan jagalah apa yang kau miliki, bertanggungjawablah dengan kewajibanmu di dunia ini." Amanat lain yang dapat diambil dari cerpen, antara lain: 1) jangan cepat marah kalau diejek orang, 2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik, 3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar, 4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan

5) jangan egois.

3.     

 Latar Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial. a. Latar Tempat Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya, seperti yang sudah dipaparkan di atas contoh seperti berikut :

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.

Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua

b.     

Latar Waktu Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :

“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….”

c.      

Latar Sosial Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :

Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek. Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.

4.      Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.

5.     

Penokohan Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Saleh. 1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain. 2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual,dan cinta kerja. 3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain pendek akal dan pikirannya, serta terlalu lemah imannya.

4) Haji Saleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri (egois).

6.      Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Saleh di depan tokoh aku.

7.      Gaya Bahasa / Majas

Majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini

Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi….” Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.

b. Unsur Ekstrinsik

1.      Judul                             : Robohnya Surau Kami

2.      Penulis                           : Ali Akbar Navis

3.      Agama Pengarang         : Islam

  NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM CERPEN

ü  Nilai Sosial :

Kita harus saling membantu jika orang lain dalam kesusahan seperti dalam cerpen tersebut karena pada hakikatnya kita adalah mahluk sosial.

ü  Nilai Moral

Kita sebagai sesama manusia hendaknya jangan saling mengejek atau menghina orang lain tetapi harus saling menghormati.

ü  Nilai Agama

Kita harus selalu melakukan kehendak Allah, jangan melakukan hal yang dilarang oleh-Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong.

ü  Nilai Pendidikan

Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu berusaha dengan sekuat tenaga.

ü  Nilai Adat

Kita harus memegang teguh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

MANFAAT CERPEN

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di Kelas. Cerpen sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria yang sudah ditetapkan secara umum yaitu: a. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.

b. Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.


Berdasarkan kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di kelas III SMU. Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun aktif-kreatif ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut. Namun demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan lancar, guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari satu kali dan jangan coba- coba membaca ringkasannya.