Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik dalam Islam

alhikmah.ac.id – Islam merupakan satu-satunya manhaj yang lurus (al-sirāt al-mustaqīm). Karakter ini lah yang berbeda dengan tipe agama-agama sebelumnya. Ajaran agama sebelumnya dikoreksi al-Qur’ān disebabkan mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan). Seperti Nasrani yang menuhankan Nabinya. Sikap ini yang dijauhi Islam. Peringatan itu telah disampaikan Rasulullah Shallahu ‘alihi wa sallam: “Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena sikap berlebihan dalam agama.” (HR. Imam Ahmad, hadis shahih).

Ghuluw adalah sikap melampaui batas kebenaran. Sesuatu yang berlebih-lebihan pasti akan keluar dari jalan yang lurus. Ibn Hajar mengatakan: “Ghuluw adalah berlebih-lebihan terhadap sesuatu dan menekan hingga melampau batas.” (Fathul Bāri, 13, hal. 278).

Sikap ghuluw telah lama menjangkiti umat-umat terdahulu. Sebelum Nabi Muhammad, umat-umat Nabi Nuh, Nabi Musa dan Isa dikecam karena telah melebih-lebihkan aturan yang telah diberikan.

Allah berfirman:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللّهِ وَقَالَتْ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِؤُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putera Allah dan orang-orang Nasrani berkata: “Al masih itu putera Allah. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?”

Inilah sikap ghuluw, seorang nabi dilebih-lebihkan menjadi dipertuhankan. Mereka melampau batas (had) yang telah ditentukan Allah. Adakalahnya ghuluw itu mulanya dilakukan oleh orang-orang yang baik, bertujuan mengabdi kepadanya. Hanya saja, karena tidak berilmu, semangat yang berlebihan tidak terarahkan.

Jadi ghuluw dalam beragama adalah sikap melampau batas-batas dalam perintah agama. Hal itu dilakukan dengan cara menambah dengan porsi yang berlebihan sehingga mengeluarkannya dari apa yang diinginkan syariat. Sebab menjalankan perintah syariat itu tidak berlebihan (ifrāth) tidak pula menganggap remeh (tafrīth) (Mas’ud Shobri, al-Ghuluw fi al-Dīn wa al-Hayāh,14).

Seperti pendapat Imam Fakhruddin al-Rāzi, ghuluw yang dilarang di sini adalah ghuluw madzmūm (sikap berlebihan yang dikecam). Yaitu ghuluwun bāthil. Imam al-Rāzi mencontohkan ghuluw madzmūm ayat al-Qur’an surat al-Mā’idah: 77:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيراً وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ

Katakanlah: “Hai Ahlul Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang Telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka Telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.”

Secara umum, ghuluw dalam agama itu dilarang. Akan tetapi yang dilarang itu yang telah melampaui batas syari’at seperti yang dilakukan oleh kaum Ahlul Kitab. Mereka melewati batas-batas kebenaran, sehingga mengeluarkannya dari agama yang diridlai. Adapun ghuluw yang dilakukan dalam kerja penelitian, meneliti hakikat sesuatu dan berusaha menemukan argumentasi yang tepat sebagaimana yang dilakukan oleh mutakallimun menurut Imam al-Razi disebut ghuluw mahmūdah (yang terpuji).

Sikap ghuluw madzmūmah (tercela) itu melingkupi ghuluw dalam ibadah, ghuluw dalam hukum takfir, ghuluw dalam akidah dan ghuluw dalam hidup.

Pertama, ghuluw dalam Ibadah. Yaitu mewajibkan dirinya kepada sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah. Mengharamkan sesuatu untuk dirinya, padahal Allah tidak pernah mengharamkan untuknya, atau ada pula yang terlalu berlebihan melaksanakan ibadah sunnah tapi kewajiban-kewajibannya dilalaikan. Seperti mengharamkan dirinya untuk tidak menikahi wanita dengan tujuan untuk beribadah secara total. Sikap seperti ini meski maksudnya baik, akan tetapi karena melampau batas, maka sikap tersebut mengeluarkan dari jalur kebenaran.

Seperti kisah seorang sahabat Nabi Muhammad yang mengaku di depan Nabi bahwa dia shalat malam tidak berhenti-berhenti, puasa setiap hari dan tidak menikah. Rasulullah pun terperangah dengan sikap ekstrim tersebut. Beliau melarang sikap tersebut. Beliau memberi saran, cukup laksanakan apa yang telah diperintahkan syariat.

Kedua, ghuluw dalam hukum takfir. Selama seorang Muslim itu mengamalkan ijtihad fiqh para ulama, maka ia tidak boleh dikafirkan. Perbedaan dalam ijtihad fiqih di kalangan para ulama tidak sampai kepada hukum saling mengkafirkan. Seperti hukum membaca qunut subuh, jumlah shalat tarawih dan ijtihad-ijtihad lainnya tidak diperkenankan sampai mengkafirkan. Perkara-perkara ijtihad itu disebut ikhtilaf tanawwu (perbedaan fariatif).

Adapun jika seseorang telah keluar jauh dari al-haq, berbuat kekufuran secara jelas, dan hal-hal lain yang dalam teks agama masuk ke dalam kelompok yang dikafirkan, maka otoritas hukum tentu menghukumi kafir.

Ketiga, ghuluw dalam akidah. Ghuluw jenis ini seperti yang dilakukan oleh kaum Ahlul Kitab. Menuhankan para nabinya. Dan kaum nabi Nuh yang menyembah matahari, bulan dan bintang padahal mengaku percaya pada Allah. Dalam hal ini, para ulama’ menyebut kaum Yahudi paling ekstrim. Mereka adalah kaum yang sangat mudah menyamakan makhluk dan khaliq (pencipta), menyamakan Allah dengan manusia. Di antara kaum juga ada yang berlebihan mencintai pemimpin hingga menyematkan sifat ketuhanan kepadanya.

Keempat, ghuluw dalam kehidupan. Di antaranya, makan, minum dan memakai air secara berlebihan. Rasulullah melarangnya: ”Tidaklah Bani Adam memenuhi kantong yang lebih jelek dari pada perutnya. Hendaklah Bani Adam makan sekedar menegakkan punggungnya. Jika tidak bisa, maka makanlah sepertiganya untuk makanan, sepertiganya untuk minuman, dan sepertiganya untuk napasnya.” (HR Tirmidzi).

Meskipun, ghuluw jenis ini tidak sampai mengancam keislaman seseorang, akan tetapi hal ini tetap dilarang. Akibatnya, bisa menjerumuskan seseorang kepada kerusakan diri, kesehatan dan kehidupannya.

Seseorang bersikap ghuluw disebabkan karena bebarapa hal. Bisa dikarenakan kekurangan ilmu dan tidak memahami hakikat agama.

Seseorang yang enggan menikah dengan alasan agar lebih konsentrasi dalam beribadah, itu disebakan tidak memahami konsep nikah dan ibadah. Di antara fenomena ghuluw disebabkan tidak memahami hakikat agama adalah memahami nash agama dengan satu pandangan yang sempit serta mengesampingkan persoalan yang lebih besar yang menimpa umat (Yusuf Qardhawi, al-Shahwah al-Islamiyah bain al-Juhud wa al-Tatharruf).

Bisa pula disebabkan oleh fanatisme buta dan sempitnya wawasan. Oleh sebab itu, Islam itu ajaran yang komprehensif, maka setiap sesuatu dipandang secara integral dan berdasarkan ilmu.

Pada hakikatnya, Islam juga melarang orang untuk meremehkan (tafrīth) ajaran dan perintah agama. Orang meremehkan perintah agama juga akan jatuh kepada kekeliruan. Ajaran Islam merupakan ajaran yang lurus, tidak tafrith tidak pula ifrath. Karakter ini menyangkut setiap aspek, baik keyakinan, ibadah, akhalk, muamalah, dan kehidupan sehari-hari.

JAKARTA, iNews.id – Islam menganjurkan umatnya untuk tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas (ghuluw) dalam setiap tindakannya. Berlebih-lebihan merupakan sikap tercela karena tidak akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya, juga buruk di mata orang lain.

Allah melarang orang berlebih-lebihan, baik dalam hal ibadah maupun dalam aktivitas kehidupan sehari-hari misalnya makan dan minum. Apapun yang berlebihan umumnya tidak mendatangkan hal positif, malah bisa merugikan. Pendeknya, larangan berlebihan ini tidak hanya dalam konteks duniawi, tetapi juga akhirat.

”Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al-Maidah:77).

Peringatan lain tertuang dalam Surat Al-Araf ayat 31, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.

Perintah agar umat tidak bersikap berlebihan itulah yang akan diulas dalam Cahaya Hati Indonesia Ramadan edisi Rabu (13/6/2018). Mengangkat tema “Hal Berlebihan itu Tidak Baik”, para penceramah yang hadir dalam program religi ini yaitu Ustaz Aam Amiruddin, KH Cholil Nafis, Syeikh Fikri Thoriq, dan Habib Nabiel bin Fuad Al Musawa.

Dalam tausiahnya Ustaz Aam akan mengajak jamaah untuk mendalami pentingnya melaksanakan ibadah dengan tepat atau berimbang. Jangan sampai seluruh hidup hanya untuk beribadah kepada Allah, tetapi tanggung jawab sebagai manusia dan keluarga tak disentuh sama sekali. Padahal dalam kehidupan antarmanusia itu juga mengandung nilai ibadah.

Sementara KH Cholil mengingatkan agar umat hati-hati dengan tabaruj. Syeikh Fikri akan mengajak jamaah mengetahui kisah Ghuluw di Zaman Rasulullah. Adapun Habib Nabiel mengulas komprehensif tentang rahasia di balik larangan bersikap berlebih-lebihan.

Ingin tahu bagaiman sesungguhnya Batasan berlebih-lebihan? Simak tayangan program Cahaya Hati Indonesia Ramadan edisi Rabu (13/6/2018). Dipandu Iqbal Fais, program disiarkan langsung stasiun televisi iNews dari Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, mulai pukul 15.30 WIB.

Editor : Zen Teguh

TAG : inews bulan ramadan cahaya hati indonesia

Bagikan Artikel: