Sebutkan daerah daerah di indonesia yang mengembangkan plts

PLTS di Indonesia kedepannya dipercaya memiliki potensi yang besar. Semakin banyak masyarakat yang ingin menggabungkan energi listrik konvensional seperti PLN dengan energi alternatif tenaga surya ini. Selain diminati di skala perumahan, kedepannya PLTS ini akan banyak diminati oleh skala industri atau pabrik. Diprediksi di masa depan biaya listrik akan terus meningkat sehingga tagihan biayanya terus membengkak. Untuk penghematan biaya dan energi, PLTS akan banyak diaplikasikan untuk kebutuhan industri atau pun pabrik.

Penggunaan energi alternatif untuk gedung komersial, seperti gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, hotel, rumah sakit, dan lainnya, juga telah terbukti lebih hemat, efektif dan efisien. Pemerintah telah mulai menggunakan energi terbarukan dengan pembangkit listrik tenaga surya untuk mendukung program infrastruktur atau pembangunan. Salah satu contohnya adalah untuk elektrifikasi pedesaan. 

Masih banyak desa-desa di Indonesia yang belum mendapatkan akses listrik secara merata. Meskipun angka rasio elektrifikasi perdesaan mencapai 99,48% atau meningkat signifikan 84% dari tahun 2019, per Agustus 2020 masih terdapat 433 desa di Indonesia yang belum teraliri listrik. Secara terperinci, 433 desa tersebut terbagi di daerah Papua sebanyak 325 desa, Papua Barat sebanyak 102 desa, Nusa Tenggara Timur sebanyak 5 desa, dan Maluku 1 desa. Dengan menggunakan energi alternatif dari tenaga surya, diharapkan akses listrik akan dapat segera dinikmati secara merata oleh semua masyarakat Indonesia. 

Untuk mendukung penggunaan energi baru dan terbarukan, pemerintah telah mulai menggunakan energi alternatif sinar matahari untuk kebutuhan fasilitas publik. Contohnya, menggunakan energi surya untuk penerangan outdoor sehingga anggaran bisa lebih dihemat. Indonesia merupakan negara tropis, sehingga di masa depan energi alternatif sinar matahari ini akan dimanfaatkan secara maksimal dalam berbagai sektor.

Sebutkan daerah daerah di indonesia yang mengembangkan plts

Selasa, 19 Juni 2012 - Dibaca 51027 kali

Pemanfaatan energi matahari sebagai sumber energi alternatif untuk mengatasi krisis energi, khususnya minyak bumi, yang terjadi sejak tahun 1970-an mendapat perhatian yang cukup besar dari banyak negara di dunia. Di samping jumlahnya yang tidak terbatas, pemanfaatannya juga tidak menimbulkan polusi yang dapat merusak lingkungan. Cahaya atau sinar matahari dapat dikonversi menjadi listrik dengan menggunakan teknologi sel surya atau fotovoltaik. Potensi energi surya di Indonesia sangat besar yakni sekitar 4.8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp, namun yang sudah dimanfaatkan baru sekitar 10 MWp. Saat ini pemerintah telah mengeluarkan roadmap pemanfaatan energi surya yang menargetkan kapasitas PLTS terpasang hingga tahun 2025 adalah sebesar 0.87 GW atau sekitar 50 MWp/tahun. Jumlah ini merupakan gambaran potensi pasar yang cukup besar dalam pengembangan energi surya di masa datang. Komponen utama sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan menggunakan teknologi fotovoltaik adalah sel surya. Saat ini terdapat banyak teknologi pembuatan sel surya. Sel surya konvensional yang sudah komersil saat ini menggunakan teknologi wafer silikon kristalin yang proses produksinya cukup kompleks dan mahal. Secara umum, pembuatan sel surya konvensional diawali dengan proses pemurnian silika untuk menghasilkan silika solar grade (ingot), dilanjutkan dengan pemotongan silika menjadi wafer silika. Selanjutnya wafer silika diproses menjadi sel surya, kemudian sel-sel surya disusun membentuk modul surya. Tahap terakhir adalah mengintegrasi modul surya dengan BOS (Balance of System) menjadi sistem PLTS. BOS adalah komponen pendukung yang digunakan dalam sistem PLTS seperti inverter, batere, sistem kontrol, dan lain-lain. Saat ini pengembangan PLTS di Indonesia telah mempunyai basis yang cukup kuat dari aspek kebijakan. Namun pada tahap implementasi, potensi yang ada belum dimanfaatkan secara optimal. Secara teknologi, industri photovoltaic (PV) di Indonesia baru mampu melakukan pada tahap hilir, yaitu memproduksi modul surya dan mengintegrasikannya menjadi PLTS, sementara sel suryanya masih impor. Padahal sel surya adalah komponen utama dan yang paling mahal dalam sistem PLTS. Harga yang masih tinggi menjadi isu penting dalam perkembangan industri sel surya. Berbagai teknologi pembuatan sel surya terus diteliti dan dikembangkan dalam rangka upaya penurunan harga produksi sel surya agar mampu bersaing dengan sumber energi lain. Mengingat rasio elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 55-60% dan hampir seluruh daerah yang belum dialiri listrik adalah daerah pedesaan yang jauh dari pusat pembangkit listrik, maka PLTS yang dapat dibangun hampir di semua lokasi merupakan alternatif sangat tepat untuk dikembangkan. Dalam kurun waktu tahun 2005-2025, pemerintah telah merencanakan menyediakan 1 juta Solar Home System berkapasitas 50 Wp untuk masyarakat berpendapatan rendah serta 346,5 MWp PLTS hibrid untuk daerah terpencil. Hingga tahun 2025 pemerintah merencanakan akan ada sekitar 0,87 GW kapasitas PLTS terpasang. Dengan asumsi penguasaan pasar hingga 50%, pasar energi surya di Indonesia sudah cukup besar untuk menyerap keluaran dari suatu pabrik sel surya berkapasitas hingga 25 MWp per tahun. Hal ini tentu merupakan peluang besar bagi industri lokal untuk mengembangkan bisnisnya ke pabrikasi sel surya. (Sources : http://www.litbang.esdm.go.id)

Bagikan Ini!

Jakarta, CNBC Indonesia - Terhitung sejak 2019 hingga 2022 mendatang, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, ada 12 Pembangkit Listrik Tenaga Sambah (PLTSa) yang bakal beroperasi."Sesuai rencana, 12 pembangkit tersebut akan mampu menghasilkan listrik hingga 234 Megawatt (MW) dari sekitar 16 ribu ton sampah per hari," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, Agung Pribadi, dalam keterangan resminya, Jumat (19/7/2019).Merinci lebih jauh, Surabaya (10 MW) akan menjadi kota pertama yang mengoperasikan pembangkit listik berbasis biomassa tersebut dari volume sampah sebesar 1.500 ton/hari dengan nilai investasi sekitar US$ 49,86 juta. Lokasi PLTSa kedua berada di Bekasi. PLTSa tersebut memiliki nilai investasi sebesar US$ 120 juta dengan daya 9 MW.Selanjutnya, ada tiga pembangkit sampah yang berlokasi di Surakarta (10 MW), Palembang (20 MW), dan Denpasar (20 MW). Total investasi untuk menghasilkan setrum dari tiga lokasi yang mengelola sampah sebanyak 2.800 ton/hari sebesar US$ 297,82 juta.Sisanya, Jakarta sebesar 38 MW dengan investasi US$ 345,8 juta, Bandung dengan kapasitas 29 MW dan investasi sebesar US$ 245 juta, Makassar, Manado, dan Tangerang Selatan dengan masing-masing kapasitas 20 MW dan investasi yang sama, yaitu US$ 120 juta.Dari 12 usulan pembangunan PLTSa yang ada, 4 di antaranya memiliki perkembangan yang cukup baik dan menunggu penyelesaian pada tahun ini, yang di antaranya berlokasi di Surabaya, Jakarta, Bekasi, dan Solo. Bahkan, pembangunan PLTSa di kota-kota tersebut dimonitor langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi)."Kota-kota tadi termasuk di Bali menjadi prioritas utama penanganan sampah di bawah pengawasan Presiden Joko Widodo," pungkas Agung.Sebelumnya, pembangunan PLTSa sempat disinggung oleh pemerintah karena dinilai lambat. PT PLN (Persero) pun disebut-sebut menjadi salah satu penyebab.Menanggapi hal ini, Plt Direktur Utama PLN Djoko Abumanan menjelaskan, pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) bukan menjadi tanggungjawab PLN, tetapi dikembalikan kepada pemerintah daerah masing-masing.Saat ini, lanjut Djoko, PLN membeli listrik PLTSa dengan harga US$ 13,3 per kWh. Ini mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.PLN, kata dia akan memanfaatkan sampah sebagai energi listrik pada opsi terakhir bila sampah tidak dapat memenuhi kriteria reduce, reused,dan recycle 3R. "Kalau sudah gak bisa diapa-apakan, dijadikan listrik. Sampah kan urusan hulu ke hilir," ucapnya.Adapun, Kementerian ESDM pernah merilis data perkembangan pengoptimalan pembangkit listrik dari sampah. Dari paparan tersebut diketahui, tantangan salah satu pembangkit listrik energi baru ini kerap hadir dari pemerintah daerah."Adanya persepsi yang kurang tepat dari Pemda bahwa penjualan listrik menggantikan kewajiban Pemda untuk mengelola sampah melalui pembayaran Biaya Layanan Pengelolaan Sampah (BPLS)," tulis di paparan ESDM tersebut.

Simak video saat Jokowi marah soal sampah yang menumpuk:

[Gambas:Video CNBC]


(wed/wed)

Oleh:

Antara Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)

Bisnis.com, JAKARTA - Sebanyak 64.620 hamparan panel surya tersusun rapi di Desa Wineru, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara.

Ribuan panel surya tersebut membentang di atas ladang seluas 29 hektare. Kehadiran alat penangkap sinar matahari tadi difungsikan oleh Vena Energy sebagai sumber energi listrik baru sejak 5 September 2019.

Country Head Vena Energy Arisudono Soerono menuturkan setiap harinya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Likupang menyalurkan listrik mencapai 15 Megawatt meskipun memiliki kapasitas terpasang 21 Mega Watt Peak (MWp).

Baca Juga : Utilisasi PLTS Atap Bisa Optimal, Ini Caranya

"Jam beroperasi selama 12 jam, mulai dari pukul 05.30 pagi sampai matahari terik bisa 15 MW, kalau enggak ya menurun. Kalau hujan bisa masuk 3 MW," ujarnya dalam siaran pers, Jumat (13/3/2020).

Dengan jumlah kapasitas terpasang tersebut, Ari menilai PLTS Likupang menjadi PLTS terbesar di Indonesia hingga saat ini dan sebagai penopang sistem kelistrikan jaringan Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sulutgo (Sulawesi Utara-Gorontalo) sebesar 15 MWp.

"Ini merupakan (PLTS) terbesar di Indonesia sebelum adanya PLTS Terapung di Cirata nanti," katanya.

Baca Juga : Dukung Pertemuan G-20, PLTS 70 MW Bakal Dibangun di Labuan Bajo

Dia menuturkan kemampuan konversi dari tegangan 800 Volt DC ke 380 Volt AC mengakibatkan adanya losses (susut) sebanyak 6 MW.

Setelah itu, sistem produksi listrik PLTS Likupang langsung terhubung secara online dengan jaringan listrik milik PLN.

"Pembangkit ini online grid, setiap kWh kita produksi, kita langsung kirim ke PLN secara online tanpa (storage) baterai," jelas Ari.

Meskipun tidak sepanjang hari listrik dihasilkan, tetapi Ari mengungkapkan dari sisi harga jauh di bawah harga listrik yang menggunakan BBM atau Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).

PLTS Likupang sendiri dibangun sejak Power Purchase Agreement (PPA) tahun 2017 akhir dan memakan waktu sekitar 1,5 tahun dengan total biaya investasi mencapai US$29,2 juta. Pembangkit tersebut memiliki 120 arry box, 24 set inverter dan 6 PV box.

"Kontrak jual beli listrik berlangsung selama 20 tahun dengan skema built, own, operate, transfer (BOOT)," terang Ari.

Selama puncak kegiatan konstruksi, PLTS Likupang mampu menyerap hingga 900 pekerja lokal. Sementara, saat beroperasi, 80 persen pekerjanya merupakan masyarakat sekitar. Selama beroperasi, pembangkit ini mampu melistriki hingga 15.000 rumah tangga serta mengurangi efek gas rumah kaca hingga 20,01 kilo ton.

Untuk diketahui, Vena Energy merupakan perusahaan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) yang fokus dalam pengembangan pembangkit listrik surya serta angin.

Selain PLTS Likupang, Vena juga merupakan produsen listrik swasta untuk pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) Tolo di Jeneponto yang berkapasitas 72 MW serta 3 PLTS di Lombok, Nusa Tenggara Barat dengan kapasitas masing-masing 7 MWp.

Keberhasilan mengoperasikan PLTS Likupang mendorong Vena Energy membuka opsi untuk melakukan ekspansi pada sejumlah proyeknya di Indonesia sambil menunggu keputusan PLN.

"Tergantung pada kesiapan dan kesediaan PLN sebab harus ikuti Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Tapi kalau kami sangat siap," ujarnya.

Vena Energy saat ini telah diundang oleh PLN untuk mengikuti tender PLTS di 3 lokasi di Pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur) dengan kapasitas 150 MWp.

Kasubdit Investasi dan Kerjasama Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Ani Wiyanti menuturkan bahwa potensi pengembangan PLTS memang terhitung besar.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi pengembangan PLTS mencapai 207,8 GWp dengan realisasi mencapai 0,15 GWp. Khusus untuk wilayah Sulawesi Utara potensi tenaga surya yang ada mencapai 2,1 GWp.

"Seluruh Indonesia, kapasitas terpasang mencapai 152,44 MW dan 10,9 persen adalah PLTS Atap dan sisanya PLTS on the ground. Potensi yang ada pun baru untuk daratan," ungkapnya.

Kementerian ESDM terus berupaya mendorong agar pengembangan EBT terus dilakukan. Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik yang ada, pada tahun 2020 tambahan kapasitas pembangkit EBT ditargetkan sebesar 933 MW dengan PLTS sebesar 78 MW.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :