Sebagai seorang remaja Kristen bagaimana kamu menghadapi tantangan iman mu dalam hal teknologi

TANTANGAN BAGI PENDIDIKAN KRISTEN
DI TENGAH KEMAJUAN TEKNOLOGI
(Junihot Simanjuntak, M.Th)

Pengantar 

Abad duapuluh ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan teknologi mempengaruhi setiap bidang dan aspek kehidupan, meliputi semua aspek kehidupan, politik, ekonomi,sosial budaya, keagamaan, etika, dan estetika, bahkan keamanan dan ilmu pengetahuan itu sendiri, termasuk bidang pendidikan.  Sejak dahulu teknologi telah diterapkan dalam pendidikan, tetapi yang digunakan adalah teknologi sederhana seperti penggunaan papantulis dan kapur, pena dan tinta, sabak dan grip, dan lain-lainnya. Dewasa ini sesuai dengan tahapan perkembangannya yang digunakan adalah teknologi maju, seperti audio dan vidio cassette, overhead projector, film slide, dan motion film, mesin pengajaran, komputer, CD-rom dan internet.[1]

Perkembangan teknologi begitu cepat pada beberapa dekade terakhir, seperti perkembangan teknologi komunikasi dan informatika. Teknologi ini berkembang sangat pesat berkat temuan-temuan di bidang elektronika. Perkembangan radio dan televisi telah membuka bagian-bagian dunia yang terbelakang menjadi daerah atau negara, dalam beberapa menit sudah dapat diketahui orang-orang dibagian dunia lainnya.

Selain kemajuan di bidang komunikasi massa, kemajuan bidang telekomunikasi pun mengalami kemajuan yang begitu pesat. Kemajuan dibidang telepon, faksimil, yang dikombinasikan dengan kemajuan di bidang komputer, menghasilkan sistim komunikasi gaya baru internet.[2] Bahkan Lee Wannak dalam artikelnya yang berjudul “Pendidikan Teologi dan Peran dari Para Guru di Abad Ke-21: Memperhatikan Wilayah Asia Pasific” mengemukan bahwa dalam  20 tahun yang akan datang, segala sesuatu yang pernah ditulis, dikarang/digubah/disusun, yang dilaksanakan dan dicatat  akan memiliki digitized. Akses yang universal ke informasi akan merubah pekerjaan para pustakawan dalam menjalankan risetnya. Kita tidak akan pernah mempelajari cukup untuk mengakomodasi masa depan.[3]

Dalam pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut di atas, tentu patut diakui besarnya sumbangan yang telah diberikan ke pada masyarakat dunia secara umum dan kepada masyarakat dunia pendidikan secara khusus.  Namun tidak bisa dipungkiri juga, bahwa diantara besarnya sumbangsih kemajuan teknologi yang telah dinikmati oleh dunia pendidikan, bahwa di dalamnya terdapat juga sumbangsih yang patut diwaspadai atau dengan kata lain merugikan bagi pendidikan itu sendiri dan sekaligus tantangan baru bagi dunia pendidikan itu sendiri.

Makalah ini dimaksudkan untuk melihat secara tajam tantangan-tangan tersebut dari sudut pandang pendidikan Kristen yang tentu menjadikan nilai-nilai Kekristen sebagai alat ukur baik tidaknya teknologi pendidikan tersebut, sehingga pendidikan Kristen itu sendiri diharapkan dapat menanggulangi dan menjembatani dari dampak baik dan buruknya sebuah teknologi yang digunakan dalam dunia pendidikan itu sendiri. Untuk sampai kepada inti pembahasan dalam makalah ini, adalah lebih bijak jika terlebih dahulu kita melihat defenisi istilah dari teknologi pendidikan dan media pendidikan supaya tidak terjadi kebingungan dalam memahami kedua hal tersbut, karena kedua istilah tersebut digunakan dalam makalah ini.

Defenisi Istilah

Ada dua penggunaan istilah yang kadang bisa membingungkan, yaitu antara teknologi pendidikan dan media pendidikan. Apakah sesungguhnya ada perbedaan antara teknologi pendidikan dan media pendidikan? Ataukah kedua-duanya memiliki pengertian yang sama?

Istilah “teknologi” berasal dari bahasa Yunani “technologia” yang menurut webster Dictionary berarti “systimatic treatment” atau penanganan sesuatu secara sistimatis, sedangkan “techne’ sebagai dasar kata teknologi berarti: “art, skill, science” atau keahlian, keterampilan dan ilmu. Jadi “teknologi pendidikan” dapat diartikan sebagai pegangan atau pelaksanaan pendidikan secara sistimatis, menurut sistem tertentu.[4]

Sedangkan istilah “media” berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata ‘medium’ yang secara harafiah berarti perantara atau pengantar. Banyak batasan yang diberikan orang tentang media. Namun apapun batasannya yang diberikan, ada persamaan diantara batasan tersebut yaitu bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.[5]

Teknologi pendidikan sebagai suatu cara mengajar yang menggunakan alat-alat dan teknik modern yang sebenarnya dihasilkan bukan untuk keperluan pendidikan akan tetapi dapat dimanfaatkan dalam pendidikan seperti radio, film, projector, TV, video, tape recorder, computer, dan lain-lainnya. Disisi lain media pada mulanya hanya dianggap sebagai alat bantu mengajar guru (teach aids). Alat bantu yang dipakai adalah alat bantu visual, misalnya gambar, model, objek dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman konkret, motivasi belajar serta mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa. Namun sayangnya, karena terlalu memusatkan perhatian pada alat bantu visual yang dipakainya orang kurang memperhatikan aspek disain, pengembangan pembelajaran (instruction) produksi dan evaluasinya. Dengan masuknya pengaruh teknologi audio pada sekitar pertengahan abad ke-20, alat visual untuk mengkonkretkan ajaran ini dilengkapi dengan alat audio sehingga kita kenal adanya alat audio visual atau audio visual aids (AVA).

Namun media bukan hanya berupa alat atau bahan saja, akan tetapi hal-hal lain yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengetahuan. Menurut Gerlac dan Eli (1980:244)  secara umum media itu meliputi orang, bahan peralatan, atau kegiatan yang menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Jadi, dalam pengertian ini media bukan hanya alat perantara seperti TV, radio, komputer, internet, LCD, slide, bahan cetakan, dll. tetapi meliputi orang atau manusia sebagai sumber belajar atau berupa kegiatan semacam diskusi, seminar, karya wisata, simulasi, dan lain sebagainya untuk menambah pengetahuan dan wawasan, mengubah sikap siswa, atau untuk menambah keterampilan.[6]

Jadi antara teknologi pendidikan dan media berdasrkan studi terhadap kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda, tetapi hakekat dan tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama memandang soal mengajar dan belajar sebagai masalah yang harus dihadapi secara ilmiah. Teknologi pendidikan dan media pendidikan sama-sama alat penunjang efisiensi dan efektivitas pendidikan.

Pengaruh Positif Teknologi dalam Pendidikan

Penerapan teknologi dalam dunia pendidikan ditinjau dari sudut pengembangan kurikulum ada dalam dua bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools technology), sedangkan penerapan teknologi lunak disebut juga teknologi sistem (system teknology).

Penggunaan teknologi pendidikan dalam arti teknologi alat, sangat memberi dampak positif yang luas, penggunaan alat-alat teknologis dapat dipakai untuk menunjang efisiensi dan efektivitas pendidikan.  Kurikulum dapat diisi dengan rencana-rencana penggunaan berbagai alat. Contoh-contoh model pengajaran seperti: pengajaran dengan bantuan film dan video, pengajaran berprogram, mesin pengajaran, pengajaran modul. Pengajaran dengan bantuan komputer, dan lain-lain. Pada bagian ini bahan ajar dan proses pembelajaran disusun secara sistem. Dalam arti teknologi sebagai sistem, teknologi pendidikan memudahkan penyusunan program pengajaran atau rencana pengajaran dengan menggunakan pendekatan sistem. Program ini bisa dipadukan dengan alat dan media pengajaran.[7]

Selain itu dari sisi media, penggunaan media dalam pendidikan, teknologi pendidikan sangat membantu sekali dalam memberi pengalaman belajar pada situasi yang sebenarnya. Melalui kemajuan tersebut para guru dapat menggunakan berbagai media sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelajaran. Dengan menggunakan media komunikasi  bukan saja dapat mempermudah dan mengefektifkan proses pembelajaran, akan tetapi juga bisa membuat proses pembelajaran lebih menarik.[8]

Pengaruh Negatif Teknologi dalam Pendidikan

Pendidikan sangat erat hubungannya dengan kehidupan sosial, sebab, pendidikan merupakan salah satu aspek sosial. Pendidikan tidak terbatas pada pendidikan formal saja, melainkan juga pendidikan nonformal, sebab pendidikan meliputi segala usaha sendiri atau usaha pihak luar untuk meningkatkan pengetahuan dan kecakapan, memperoleh keterampilan dan membentuk sikap-sikap tertentu.

Pada bagian sebelumnya telah diungkapkan bahwa kemajan bidang komunikasi massa sangat berpengaruh sangat berpengaruh terhadap pendidikan. Sebab media massa juga merupakan juga media pendidikan. Dengan kata lain melalui media massa dapat berlangsung proses pendidikan. Baik dalam bentuk tayangan-tayangan yang berbentuk informasi atau pun tayangan yang berbentuk hiburan juga memiliki nilai-nilai pendidikan.

Bagaimanpun mendia massa mempunyai fungsi pendidikan. Tiap-tiap acara TV atau radio, tiap berita atau tulisan dalam surat kabar, majalah, internet dapat menambah pengetahuan pendengar, penonton, atau pembacanya. Dalam hal ini media massa mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan belajar dalam kelas, sebab di dalam kelas, belajar berlangung secara disadari, diperintah, dan diuji, tetapi melalui media massa belajar terjadi secara tidak disadari, tanpa paksaan atau perintah orang lain dan tidak ada tekanan untuk ulangan atau ujian.

Karena terlalu banyaknya jenis-jenis media massa, untuk membatasi ruanglingkup permasalahan dalam makalah saya mengambil satu contoh saja pengaruh negatif teknologi yang disumbangkan oleh media televisi (TV) saja. Menurut Mar’at seorang psikolog dari Unpad mengemukakan bahwa “TV mampu mengubah sikap, pandangan, dan perasaan seseorang.”

Tentang efek negatif acara TV beberapa ahli dan hasil penelitian menyatakan: banyak orang yang membuang waktunya antara 4-6 jam tiap hari untuk mengikuti semua acara TV. Bahkan menurut Quentin J. Schultze dalam artikelnya yang berjudul “Faith, Education and Communication Technology”sekitar 70%  keluarga-keluarga di U.S.sekarang makan malam selagi duduk di depan pesawat televise.[9] Film-film banyak yang mempertunjukkan kejahatan, pembunuhan, perampokan, dan sebagainya, iklan TV pada pendidikan anak dapat menimbulkan the gimmees terutama pada anak (penyakit merengek ingin dibelikan). Kecendrungan anak untuk mengadakan peniruan dan identifikasi. Kita mengetahui bahwa anak suka meniru; dan pada masa tertentu terutama pada awal masa pubertas ada masa anak beridentifikasi dengan tokoh-tokoh pujaan tertentu. Mudah kita pahami bahwa yang menjadi idola anak adalah tokoh-tokoh terkenal atau jagoan-jagoan tertentu. Sering terjadi kalau anak sudah memuja seorang tokoh, apa saja yang dilakukan oleh tokoh tersebut selalu baik. Pada hal mungkin saja tidak semua tingkah laku tokoh tersebut baik, apalagi idolanya itu adalah tokoh-tokoh dalam film-film Barat yang mungkin tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.[10]

Para peneliti mengatakan, mempertimbangkan bukti acara televisi penuh kekerasan, film dan vidio games dapat mempengaruhi perilaku anak. “Meskipun tetap mempertimbangkan berbagai faktor, penelitian menunjukkan kekerasan melalui media benar memberikan pengaruh terhadap tindak kekerasan,” ujar pemimpin peneliti dari Rutgers University di Newark, New Jersey, Paul Boxer. Dia menuturkan secara rata-rata para remaja yang tidak terpapar kejahatan melalui media tidak menunjukkan perilaku yang mengarah pada kekerasan.[11]

Hebatnya pengaruh negatif media TV tersebut juga diperkuat dalam artikel Ajeng Kania, seorang guru kelas, SD Taruna Karya 04, yang dimuat dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, yang mengatakan: “Melihat program televisi sekarang ini, terdapat beberapa tayangan yang membuat hati kita miris. Bagi kalangan siswa, alih-alih mengambil nilai positif edukatif, mereka ikut hanyut terbawa arus mengikuti gaya hidup tokoh-tokoh sinetron yang cenderung mengekploitasi kekerasan, seksualitas, dan sikap serba materi.”[12]

Tugas Pendidikan Kristen

Dengan mencermati pengaruh teknologi pendidikan melalui media televisi (sebagai salah satu contoh konkrit) sebagai hasil dari perkembangan teknologi komunikasi, dimana telah dibuktikan oleh para peneliti munculnya dampak negatif terhadap perilaku anak, dimana anak jadi the gimmees, pengeksploitasian kekerasan, seksualitas, dan sikap serba materi, mengidolakan atau bahkan memuja tokoh-tokoh TV yang tidak sesuai dengan kepribadian dan nilai-nilai Kristen, sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka adalah salah satu tugas pendidikan Kristen untukmenanggulangi dan menjembatani dari dampak baik dan buruknya sebuah teknologi pendidikan secara khusus dalam konteks media televisi.

Berikut ada tiga usulan saya yang dapat dilakukan oleh pendidikan Kristen dalam menanggulangi dampak negatif dari teknologi dan dalam menjembatani hadirnya teknologi pendidikan di tengah-tengah generasi-generasi Kristen. Ketiga usulan saya tersebut adalah:

Pertama, pendidikan Kristen harus bersifat “gereja sentris”. Maksudnya, pendidikan Kristen harus menjadi perpanjangan tangan gereja sebagai “agen” Allah di dunia ini untuk memproklamasikan Injil kerajaan Allah yang bersifat holistik (Mat. 28:19-20). Pendidikan Kristen harus menjadi pelaku pemberita Injil, menjadikan para peserta didik murid Tuhan Yesus. Yang kita ajarkan adalah firman Tuhan. Firman Tuhan yang mengajarkan manusia “imago Dei” Allah (Kej. 1:26-27). Namun dosa telah “merusak hubungan” manusia dengan Allah, dengan sesama dan dengan dirinya sendiri (Kej. 3). Oleh sebab itu kemanusian anak didik harus di bawa kepada Yesus untuk memulihkan kembali hubungannya dengan Allah, dimana Yesus menjadi berita kabar baik yang menjiwai seluruh kegiatan pembelajaran: “Yesus sebagai rahmat Allah bagi manusia berdosa untuk menerima pengampunan dosa. Dimana Yesus telah mati di kayu salib untuk memberikan pengampunan dosa dan bangkit pada hari ketiga, sesui dengan kitab suci dan nubuat kitab para nabi” (1 Kor. 15:3-5). Pendidikan harus berusaha membawa pendidik dan peserta didiknya belajar, yaitu belajar semakin mengenal Allah dalam berbagai aspek hidupnya.[13]

Pendidikan Kristen harus merubah penekanannya kepada misi. Tanpa misi penginjilan, saya rasa sebaik apapun kurikulum dan strategi pembelajaran yang diterapkan, anak didik tidak akan pernah dapat keluar dari dampak-dampak buruk yang dilahirkan oleh teknologi pendidikan media massa dan komunikasi dan media-media yang lainnya. Kalau pun dapat ditanggulangi, solusinya tidak akan jauh dari usaha-usaha memisahkan anak-anak didik dari teknologi itu sendiri, alias kembali menempuh jalan kehidupan membiara dan atau monastisisme belaka. Menolak teknologi dan anti modernitas.

Kedua, pendidikan Kristen harus berorientasi pada formasi Spritual dari pada berorientasi pada ilmu pengetahuan belaka (baca: mengkopi ulang pengetahuan guru kepada murid).

Salah satu bidang yang paling produktif dari pelayanan rohani adalah formasi spritual, secara khusus formasi spritual yang berhubungan dengan anak-anak. Karena spektrum yang luas dari permasalahan orang dewasa adalah kegagalan menggenapi kebutuhan dasar dari anak-anak. Usia anak yang paling menentukan dalam pembentukan spritual adalah anak yang berada di bawah duabelas tahun. Secara khusus yang paling menentukan dimulai sejak dari masa pembentukan anak dalam rahim ibunya. Formasi Spritual anak-anak harus dimulai setelah anak di Injili.[14]

Pondasi Alkitab Alkitab dari formasi spritual adalah proses perubahan bentuk secara terus-menerus sehingga menjadi sama dengan Kristus.  Tugas formasi spritual adalah proses mencapai tujuan kedewasaan rohani. Kedewasaan rohani dicapai ketika seorang Kristen secara terus-menerus menunjukkan kasih karunia Allah. Kedewasaan rohani bukanlah sesuatu yang statis atau status akhir di mana seorang Kristen sudah mencapai kesempurnaan. Jadi defenisi dari formasi spritual adalah suatu proses yang disengaja, bersegi, perubahan bentuk sebagaimana Kristus membentuk kita sehingga kita dapat menjadi seperti diri-Nya secara terus menerus seperti Kristus mematangkan para murid (band. Mat. 5:8; Flp. 3:12, 15).[15]

Ketiga, guru-guru Kristen harus menjiwai roh mentoring bagi peserta didiknya.  Mentoring, dimaksudkan sebagai usaha pembentukan ulang kehidupan berdasarkan Alkitab. Hal ini tampak dalam Efesus 4:15, dimana kita didorong untuk “di dalam segala sesuatu bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus yang adalah Kepala.”

Guru hendaknya didorong terlibat dalam hubungan-hubungan dengan anak didiknya  sebagai: (1) model peran. Guru bukan hanya ‘membicarakan’ bagaimana hidup saleh, melainkan menunjukkan secara langsung bagaimana sebenarnya hidup saleh itu; (2) pengasuh. Menyiratkan suatu proses pengembangan dimana guru mampu mengenali kemampuan, pengalaman, kedewasaan psikology peserta didik yang sedang diasuhnya; (3) kepedulian. Menunjukkan kemampuan guru mengungkapkan perasaan keakraban, rasa hormat, integritas.

Penutup 

Teknologi Pendidikan hadir ditengah-tengah pendidikan Kristen sebagai berkat dan sekaligus sebagai pergumulan. Meski teknologi pendidikan banyak memberi presenden negatif bagi pembentukan perilaku para generasi Kristen terlebih pada tingkat usia anak-anak dan remaja, namun pendidikan Kristen tidak dimaksudkan hadir ditengah-tengah masyarakat Kristen dan masyarakat pada umumnya sebagai “provokator” anti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Justru pendidikan Kristen ditantang untuk membenahi dirinya agar lebih bijaksana memanfaatkan segala bentuk alat teknologi yang disodorkan ke tengah-tengah masyarakat untuk menghantarkan tugas pendidikan Kristen itu pada tingkat keberhasilan yang sesuai dengan tujuan Allah dalam pendidikan itu sendiri.

Tujuan Allah yang paling tinggi atas semua orang-orang Kristen adalah untuk mengasihi Dia, memuliakan Dia dan menjadi seperti Yesus Kristus. Pengajaran menyeluruh Alkitab, sebagaimana terlihat dalam kutipan teks pendek yang spesifik, mengkonfirmasikan kebenaran ini. Tujuan yang menakjubkan ini tercapai melalui suatu proses pembentukan spiritual yang dilakukan oleh para  pendidik-pendidik Kristen.

Untuk menjembatani hadirnya teknologi di tengah-tengah pendidikan, pendidikan Kristen harus membuat perencanaan strategisnya terkait dalam menyusun kurikulum dan penggunaan media yang berbasis pada teknologi, sehingga pendidikan Kristen dapat mengambil keuntungan di tengah-tengah kehadiran teknologi tersebut. Bentuk-bentuk perencaan startegis yang saya usulkan adalah: perjelas Injil kepada para peserta didik, arahkan kurikulum pada formasi spritual, dan hidupi jiwa pendidikan dengan roh mentoring. Ketiga usulan perencanaan strategis ini tentu harus dihidupi oleh pengenalan akan Allah,  Alkitab sebagai subject matter pendidikan, keteladan kepada Yesus sebagai Guru Agung, dan yang tidak kalah pentingnya adalah membiarkan pribadi Roh Kudus memakai orang (pribadi) untuk membina, memampukan sesamanya di dalam sikap kerendahan hati, menjadi “sumber kreativitas” (creative Spirit) yang siap menyinari manusia dengan kreativitas dan inovasi (band. Kej. 1:1-2; 1 Kor. 2:14).

Pendidik-pendidik Kristen yang adalah hamba Tuhan dan gembala, mari kita dampingi anak didik kita dan bantu para orangtua untuk memperjelas falsafah media komunikasi: apakah ia berorientasi pada bisnis? Atau pada pembentukan spritualitas anak? Dorong masyarakat Kristen untuk menyesuaikan fungsi komunikasi dengan tingkat kemampuan pemahamannya.

KEPUSTAKAAN

Buku:

Hill, V. Brian

1990 That The May Learn: Towards a Christian View of Education (London: Lancer Books) 

Khol, Manfred Waldemar dan Senanayake A.N. Lal (peny.) 

2002 Educating For To Morrow (Bangalore, India: SAIACS Press) 

Nasution, N.

1982 Teknologi Pendidikan. (Bandung: C.V. Jemmars)

Sadirman, Arif S dkk 

2005 Media Pendidikan. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada)

Sanjaya, Wina 

2006 Strategi Pembelajaran. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group)

Sidjabat, B. Samuel 

1996 Strategi Pendidikan Kristen: Suatu Tinjauan Teologis-Filosofis. (Yogyakarta: Penerbit  Yayasan Andi)

Sukmadinata, Nana Syaodiah 

2008 Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. (Bandung: Penerbit  PT. Remaja Rosdakarya)

Wood, Edith (peny.) 

1995 Educating That Transform (ed. Edith Wood) (Bangalore, India: Theological Book Trust)

Artikel:

Kania, Ajeng.

02-02-2007 Harian Umum Pikiran Rakyat

Republikan On Line

tt “Pengaruh Media Terhadap Kenakalan Anak dan Remaja”

Schultze, Quentin 

2004 Journal of Education & Christian Belief, JE & CB 8:1

[1] Nanah Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. (Bandung: Penerbit  PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 96.

[3] Lee Wanak. “Pendidikan Teologi dan Peran dari Para Guru di Abad Ke-21: Memperhatikan Wilayah Asia Pasific” dalam Educating for Tomorrow (Indiana Polis, U.S.A: Overseas Council International, 2002), hal. 162.

[4] S. Nasution. Teknologi Pendidikan. (Bandung: C.V. Jemmars, 1982), hal. 8

[5] Arief S. Sadirman, R. Raharjo, Anung Haryono, dan C.S.A Rahardjito. Media Pendidikan. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 6

[6] Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal 163

[7] Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, hal. 96.

[8] Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran, hal 162.

[9] Quentin J. Schultze, “Faith, Education and Communication Technology” dalam Journal of Education & Christian Belief, JE & CB 8:1 (2004) 9 – 21, hal. 12.

[10] Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, hal. 73 dan 77.

[11]Republika On Line, dalam “Pengaruh Media Terhadap Kenakalan Anak dan Remaja”, tt., hal. 1.

[12]Ajeng Kania. “Merindukan Tayangan Edukatif Bagi Siswa” dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, Kamis, 2 Februari 2007.

[13] Brian V. Hill, That The May Learn: Towards a Christian View of Education (London: Lancer Books, 1990), hal. 199

[14] W.Stanley Heath,  “Spritual Formation” dalam  Educating That Transform (ed. Edith Wood) (Bangalore, India: Theological Book Trust, 1995), hal. 61

[15] Fritz Deininger and Richard Herring, “The Challenges and Blessing of Spritual Formation in Theological Education” dalam Educating For To Morrow (Bangalore, India: SAIACS Press, 2002), hal. 113.